Anda di halaman 1dari 4

Selamat malam tutor, ijin menyampaikan hasil diskusi saya.

Nama : Ni Komang Trisnayanti


NIM : 042296764

Saya memilih pertanyaan pertama Menurut saudara, kebijakan apa yang ampuh untuk
meningkatkan kesejahteraan petani? Jelaskan alasan dan analisis saudara.
Jawab :
Dinamika perkembangan pertanian Indonesia menunjukkan kecenderungan yang cukup
memprihatinkan. Dalam kurun waktu tahun 2001-2003 sebanyak 610.596 ha sawah
(termasuk yang produktif) berganti menjadi kawasan pemukiman dan kegiatan lain. Meski
lahan pertanian menyempit, jumlah petani justru meningkat dari 20,8 juta (tahun 1993)
menjadi 25,4 juta (Sensus Pertanian 2003). Rata-rata kepemilikan lahan petani mengalami
penurunan drastis, yaitu tinggal kurang dari 0,25 ha per jiwa (Bambang Ismawan, 2005).
Hasil Sensus Pertanian 10 tahun kemudian,tercatat bahwa jumlah petani kembali meningkat
mencapai 31,70 juta orang (Sensus Pertanian 2013). Sementara jumlah lahan sawah pertanian
menyusut hingga mencapai angka 8,1 juta ha. Penyusutan bertambah cepat dengan semakit
cepatnya pertumbuhan kota yang membutuhkan lahan pertanian baik untuk permukiman maupun
untuk industri. Kondisi makin mengkhawatirkan karena tingkat pendapatan petani yang tidak
berubah secara signifikan. Pendapatan semusim (padi) hanyalah antara Rp325.000,00-
Rp543.000,00 atau hanya Rp81.250,00 –Rp135.000,00 per bulan. Dalam suatu studi
ditemukan bahwa 80 persen pendapatan rumah tangga petani kecil berasal dari kegiatan di
luar sektor pertanian (non-farm), misalnya kuli bangunan, ojek, tukang becak, membuka
warung, sektorinformal, dan lain-lainnya. Dalam kategori ini, sebenarnya dapat dikatakan
tidak ada lagi “masyarakat petani”, yakni mereka yang bekerja di sektor pertanian dan
kebutuhan hidupnya dicukupi dari kegiatan itu. Situasi diperburuk dengan terancamnya
ekologis (lingkungan) yang menjadi basis produksi pertanian. Rusaknya sistem ekologis
itu ditandaidengan merosotnya tingkat kesuburan tanah antara lain karena massifnya
penggunaan bahan an-organik dalam pupuk dan obat pembasmi hama. Departemen
Kimpraswil menyatakan bahwa 1,5 juta ha lahan irigasi yang menjadi tumpuan penyediaan
air bagi tanaman pertanian telah rusak. Hal ini mengakibatkan kekeringan yang meluas di
beberapa wilayah pertanian. Pada saat yang sama, hewan-hewan alami seperti burung, ikan, dan
berbagai jenisbinatang lain, jumlahnya makin menurun dan banyak yang mendekati
kepunahan. Hal ini sebagian disebabkan kegiatan eksplorasi dan industrialisasi
yang merambah di wilayah-wilayah perhutanan. Sementara, jumlah dan jenis tanaman, baik
tanaman pangan, hias, maupun pelindung pun makin merosot.

Kebijakan-kebijakan Pembangunan Pertanian


1) Kebijakan Harga: Kebijakan Pangan Murah
Secara teoretis kebijakan harga dapat dipakai mencapai tiga tujuan, yaitu
 Stabilisasi harga-harga hasil pertanian terutama pada tingkat petani,
 Meningkatkan pendapatan petani melalui perbaikan dasar tukar (term of trade),
 Memberikan arah dan petunjuk pada jumlah produksi.
Kebijakan harga yang diterapkan di Indonesia misalnya kebijakan harga beras minimum
dan harga beras maksimum. Kebijakan ini ditekankan untuk mencapai tujuan yang
pertama, yaitu stabilisasi harga hasil pertanian. Kebijakan umum yang ditempuh
pemerintah adalah kebijakan pangan murah. Hal ini dikaitkan dengan strategi
pembangunan ekonomi yang berorientasi untuk mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi.
Strategi ini dijalankan denganmendorong industrialisasi yang berbasis di wilayah
perkotaan. Kebijakan ini justru menghambat perbaikan kesejahteraan petani, selain
juga tidak mendorong perkembangan ekonomi pedesaan.
2) Kebijakan Pemasaran
Kebijakan pemasaran dilakukan untuk memasarkan hasil-hasil pertanian yang bertujuan
ekspor, selain pengaturan distribusi sarana produksi bagi petani. Pemerintah
berusaha menciptakan persaingan yang sehat di antara pedagang dengan melayani
kebutuhan petani seperti pupuk, insektisida,pestisida, dan lain-lain, sehingga petani
dapat membeli sarana produksi tersebut dengan harga yang tidak terlalu tinggi.
Perubahan peranan pemerintah karena liberalisasi pertanian telah mengecilkan
kemampuan pemerintah dalam mengatur pasar, sehingga petani kesulitan
untuk mendapatkan sarana produksi tersebut dengan harga yang terjangkau. Hal ini
misalnya diindikasikan dengan makin mahalnya harga pupuk, yang sering
disebabkan karena langkanya persediaan di pasaran padahal pemerintah
menjelaskan bahwa pasokan sarana produksi tersebut cukup memadai, bahkan
berlebih.
3) Kebijakan Struktural
Kebijakan struktural dalam pertanian dimaksudkan untuk memperbaiki struktur
produksi misalnya luas pemilikan lahan, pengenalan dan pengusahaan alat-
alat pertanian yang baru, dan perbaikan sarana pertanian yang umumnya baik
prasarana fisik maupun sosial ekonomi. Penguasaan aset produktif berupa lahan yang
terlalu kecil dan tidak merata mengakibatkan rendahnya produktivitas yang
berimbas pada sulitnya upaya peningkatan kesejahteraan petani kecil. Kebijakan
pemerintah dalam hal ini adalah dengan mengatur kembali distribusi pemilikan lahan
(land reform) yang diupayakan secara adil dan demokratis. Kebijakan lain yang
dilakukan pemerintah adalah dengan mengembangkan teknologi lokal dan
mengenalkan teknologi baru yang sesuai dengan kebutuhan petani melalui
pelatihan-pelatihan dan penyuluhan yang intensif. Di samping itu, kebijakan yang
terkait dengan upaya pemberdayaan petani adalah kebijakan penanggulangan
kemiskinan. Kebijakan ini ditempuh melalui pembuatan program-program yang
ditujukan untuk meningkatkan pendapatan petani, memperkuat kelembagaan
kelompok tani, dan mempermudah akses petani miskin terhadap sarana produksi,
pasar, dan pembiayaan usaha tani. Pola yang lazim digunakan adalah pola kredit
bergulir (revolving grant) yang diarahkan sebagai basis pengembangan lembaga
keuangan mikro.

Kebijakan-kebijakan yang dapat menyejahterakan petani


Mubyarto (2000) menegaskan bahwa kebijakan pembangunan pertanian yang berorientasi pada
kesejahteraan petani harus berisi kebijakan-kebijakan tentang penaggulangan kemiskinan, karena
dalam kenyataan petani yang lahan garapannya sangat sempit (petani gurem) selalu berpola
nafkah ganda, yaitu tidak mungkin menggantungkan pendapatnnya hanya dari usaha tani saja
tetapi usaha-usaha lain (off-farm) di luar usaha tani.
Beberapa kebijakan tersebut yang dapat menyejahterkan petani adalah sebagai berikut :
1. Indonesia patut kembali mewujudkan swasembada beras. Keterbatasan produksi
dalam negeri dapat menyebabkan Indonesia mengimpor beras di pasar dunia. Untuk
itu Indonesia harus terus-menerus memberikan perangsangpada petani produsen beras
dalam negeri agar terus bergairah meningkatkan produksi, jika perlu melalui
berbagai subsidi sarana produksi termasuk subsidi kredit usaha tani. Subsidi
pertanian seperti yang diterapkan di negara-negara maju tidak boleh dianggap
merupakan kebijakan yang keliru di Indonesia.
2. Tidak hanya beras tetapi juga komoditi jagung dan kedelai kini diimpor dalam jumlah
besar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sub-sektor peternakan Indonesia kini
membutuhkan jagung dan kedelai sertakacang tanah yang merupakan sumber protein
nabati yang diperlukan Indonesia setelah kebutuhan akan karbohidrat terpenuhi.
Kebijakan peningkatan produksi komoditi-komoditi pertanian palawija yang selama ini
relatif terlantar sangat dianjurkan sehingga Indonesia tidak “terpaksa” lagi mengimpor
komoditi pertanian tersebut dalam jumlah besar, khususnya dalam mendukung
perkembangan industri peternakan.
3. Jika kini Indonesia mengimpor gula hampir sama besar dengan volume produksi
dalam negeri menimbulkan pertanyaan kebijakan pertanian, apa yang salah di masa
lalu? Inpres No. 9/1975 tentang TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) melarangpabrik-
pabrik gula (BUMN maupun pabrik-pabrik swasta) menyewa tanah rakyat untuk
menanam tebu dengan alasan naif “tebu harus ditanam oleh petani sendiri”.
Keluarnya Inpres ini membuktikan betapa pemerintah membuat kebijakan
tanpa memahami kondisi riil usaha tani tebu. Inpres No. 9/1975 telah
“merusak” atau “menghancurkan” sistem produksi dan hubungan-hubungan
produksi dan perdagangan tebu dan gula dalam negeri, yang mengakibatkan
produksi gula Indonesia merosot padahal konsideran Inpres TRI sesungguhnya
adalah untuk menaikkan produksi dan produktivitas gula di dalam negeri. Kita
memerlukan pembaruan kebijakan usaha tani tebu dan industri gula yang bersifat
menyeluruh dan “nasionalistik” yang tidak dapat dipisahkan dari kebijakan harga
dasar padi/beras.
4. Untuk mempertahankan perangsang berproduksi bagi petani dalam berbagai
komoditi yang dihasilkannya, pemerintah harus merevitalisasi kebijakan harga dasar
padi sekaligus dalam kaitannya dengan harga-harga gula, jagung, kedelai, dan
harga tertinggi bagi sarana produksi pupuk dan obat-obatan (pestisida dan
insektisida). Hubungan-hubungan harga-harga yang menarik antara komoditi
pertanian dengan sarana produksi yang diperlukan petani (nilai tukar atau Term of
Trade) tidak pernah secara serius digarap oleh pemerintah dan departemen pertanian.
Pendekatan dan pengembangan sistem agribisnis yang terkesan semakin “agresif”
berakibat pada penekanan berlebihan pada aspek bisnis atau aspek keuntungan
dan “efisiensi” berusaha tani, tetapi dengan mengabaikan kenyataan masih
besarnya peran usaha tani subsistem dalam pertanian kita yang tidak harus
menomorsatukan asas efisiensi. Petani miskin dalam pertanian subsistem harus
diberdayakan bukan justru dianggap “tidak ada”, atau “perlu dihilangkan”, karena
harus mengikuti hukum-hukum bisnis pertanian komersial. Tuntutan yangkeliru agar
pertanian Indonesia meningkatkan daya saing dengan mengikuti hukum-hukum
persaingan internasional, yang “mengharamkan subsidi”, harus dilawan dengan
segala kekuatan oleh pakar-pakar kita
Sumber : BMP ESPA431 MODUL 2 HAL 2.3 – 2.14

Anda mungkin juga menyukai