Anda di halaman 1dari 6

Nama/NIM : DWI

NUROKHATUN / 201180055

Tugas diajukan untuk


memenuhi UAS

mata kuliah perbandingan


mazhab

Dosen : Dr. Dian Cita Sari, M.Pd.I]

KEDUDUKAN WAQAF DALAM ISLAM STUDI PERBANDINGAN


MAZHAB HANAFI DAN MAZHAB SYAFI’I

1. PENDAHULUAN

Harta dalam pandangan Islam mempunyai fungsi sosial dan milik personal, harta
benda yang ada pada seseorang adalah sesuatu yang dipercayakan oleh Allah kepada hamba-
NYA untuk digunakan sesuai dengan ajaran-Nya. Ditengah problem sosial masyarakat
Indonesia dan tuntutan akan kesejahteraan ekonomi akhir – akhir ini, maka wakaf juga
menjadi salah satu faktor yang cukup diperhitungkan untuk kesejahteraan ditengah
masyarakat, dan juga wakaf merupakan salah satu aspek ajaran Islam yang berdimensi
spritual. Karena itu, pendefenisian ulang terhadap wakaf agar memiliki makna yang lebih
relevan dengan kondisi riil persoalan kesejahteraan menjadi sangat penting.
Wakaf sebagai salah satu ibadah yang memiliki dimensi sosial serta penyempurnaan
harta bagi umat Islam serta memiliki peran yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan.
Tidak haya di sisi ekonomi, namun wakaf juga dapat menjadi instrumen kebangkitan umat.
Secara nyata wakaf bisa mengentaskan kemiskinan sekaligus bisa memberdayakan umat.
Wakaf telah dikenal dalam Islam sejak masih ada nabi Muhammad SAW., yaitu sejak
beliau hijrah ke madinah, disyari‟atkannya pada tahun kedua Hijriyyah. Para ulama
berpendapat bahwa peristiwa atau pelaksanaan Wakaf yang pertama terjadi ialah Wakaf yang
dilaksanakan oleh sahabat Umar bin Khattab terhadap tanahnya di Khaibar.
1
Wakaf berasal dari bahasa arab, yaitu waqofa-yaqifu-waqfan yang berarti
„‟berhenti‟‟ atau „‟menahan‟‟
Dalam peristilahan syara‟ secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang
pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (Tahbisul ashli), lalu
menjadikan manfaatnya berlaku umum.
Menanggapi persoalan kedudukan benda wakaf ulama mazhab berbeda pendapat
termasuk di dalamnya mazhab Syafi‟i dan mazhab Hanafi.
Para jumhur ulama berpendapat wakaf adalah untuk selama-lamanya dan salah satu
menjadi syarat sahnya wakaf yang dalam bahasa mereka disebut ta‟bid al-waqf ( keabadian
benda wakaf ). Hal ini menjadi penting dalam perwakafan. Para ulama menjadikan ta‟bid
alwaqf sebagai salah satu syarat sahnya wakaf. Jika wakaf dilakukan hanya untuk sementara
waktu, setelah waktu yang ditentukan habis lalu benda yang telah diwakafkan ditarik
kembali, maka rasanya tidak cukup etis dengan kehidupan bersosial.
Tentang persoalan wakaf di atas, ada suatu permasalahan yang muncul, yaitu
menyikapi benda yang telah diwakafkan. Apakah benda yang telah diwakafkan boleh ditarik
kembali ataukah tidak, benda seperti apakah yang bisa diwakafkan, bagaimana pendapat para
ulama tentang hal tersebut.

2. PEMBAHASAN/ISI
Perkataan waqf menjadi wakaf dalam bahasa indonesia, berasal dari kata kerja bahasa
Arab „‟waqofa-yaqifu-waqfan‟‟ berarti “ragu-ragu, berhenti, memberhentikan, memahami,
mencegah, menahan, mengaitkan, memperlihatkan, meletakkan, memperhatikan, mengabdi,
dan tetap berdiri.‟‟
Wakaf menurut Imam Syafi‟i adalah bahwa wakaf berpindah status kepemilikan dari
orang yang berwakaf kepada si penerima wakaf. Namun si penerima wakaf itu tidak
diperbolehkan melakukan tindakan hukum terhadap harta benda wakaf tersebut, seperti
menjual, mewariskan, menghibahkan, atau yang lainnya.
Wakaf menurut Imam Hanafi adalah, penghentian benda tidak bergerak dari
kepemilikan si waqif secara umum, dan menyedekahkan manfaatnya secara umum. Imam
Hanafi berpendapat bahwa barang yang telah di wakafkan tidak lepas dari kepemilikan si
Waqif, dan sah bagi waqif untuk menariknya kembali, serta boleh menjualnya, dengan
ketentuan/ Syarat yang berlaku yang telah di tetapkan oleh Imam hanafi.

2
Menurut golongan Hanafiyah dan Hanabilah, meskipun wakaf di tujukan untuk orang
tertentu, tetapi cukup dengan Ijab. Para ulama sepakat bahwa wakaf, baik mauquf „alaihnya
Mu‟ayyan (orang tertentu), maupun ghairu mu‟ayyan (untuk kepentingan umum) sighatnya
cukup dengan Ijab.
Sedangkan golongan Malikiyah, Syafi‟iyyah, dan sebagian dari golongan Hanabilah
berpendapat, jika mauquf „alaihnya mu‟ayyan maka harus dengan Ijab dan Qabul. Apabila
mauquf „alaihnya menolak, maka haknya itu gugur dan dapat dipindahkan haknya pada
orang atau pihak lain.1
Menurut Imam Abu Hanifah, wakaf adalah penghentian harta tidak bergerak dari
kepemilikan si waqif secara hukum dan menyedekahkan manfaatnya untuk kepentingan
umum. Oleh karena itu, barang yang telah di wakafkan tidak harus lepas dari pemiliknya- si
waqif, dan sah bagi si waqif menariknya lagi, serta boleh menjualnya.
Namun wakaf itu tidak tetap/ boleh ditarik kembali, kecuali dengan salah satu dari
tiga perkara2, yaitu;
Pertama, hakim memutuskan bahwa wakaf tetap. Hal ini terjadi apabila terjadi persengketaan
antara si waqif dan nazhir.
Kedua, hakim menggantungkan berlakunya wakaf pada kematian waqif. Misalnya, si waqif
mengatakan, “Jika aku mati, maka aku wakafkan rumahku”, maka wakaf itu haus
dilaksanakna sebagaimana wasiatnya. Dan dilaksanakan setelah si waqif meninggal dunia,
bukan sebelum si waqif meninggal.
Ketiga, apabila seseorang menjadikan wakafnya itu sebagai masjid, dan memisahkan dari
miliknya, dan ia mengizinkan didalam wakaf tersebut untuk shalat. Maka, apabila telah ada
seseorang shalat di masjid tersebut, niscaya hilanglah kepemilikan wakaf tersebut dari si
waqif.
Dalam hal tersebut, Abu Hanifah mengemukakan 2 dalil. Dalil yang pertama ialah,
Hadits riwayat Daruquthni,

1
Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Islam, (Jakarta :
Penamadani, 2005), hlm., 146
2
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, al-Juz‟u Tsaminu, (Damaskus, Dar
al-Fikr, 1989), hlm., 153
“Dari Ibnu Abbas berkata3, bersabda Rasulullah SAW; “Tidak ada penahanan dari ketentuan-
ketentuan Allah.” Berkata Ali Rahimahullah, hadits ini tidak disandarkan kepada siapapun
kecuali kepada ibnu luhai‟ah dari saudaranya dan keduanya lemah” (Hadits Riwayat
Daruqutni).
Berdasarkan hadits di atas, Abu Hanifah berpendapat bahwa seandainya wakaf itu
adalah mengeluarkan harta yang diwakafkan dari kepemilikan si waqif, niscaya hal itu
merupakan penahanan dari ketentuan Allah. Karena sesungguhnya, wakaf itu berkisar antara
warisan dan bagian-bagian mereka yang telah ditentukan.
Dalil Imam Abu Hanifah yang kedua ialah, “Dari Abi „Aun dari Syuraih berkata :
“Telah datang Muhammad dengan menjual Habs”. (Hadits diriwayatkan oleh Baihaqi). Lalu,
Abu Hanifah menyatakan, apabila Rasulullah SAW datang dengan hal yang demikian
(menjual habs atau waqf), maka tidak perlu kita menciptakan habs atau wakaf yang lain.
Sebab, wakaf itu artinya menahan „ain barang yang diwakafkan, sedangkan melepaskan
barang yang diwakafkan yaitu tidak disyari‟atkan dalam Islam4.
Syafi‟iyyah berpendapat bahwa, wakaf adalah melepaskan harta yang di wakafkan
dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh
melakukan apa saja terhadap benda yang sudah di wakafkan, seperti perlakuan pemilik
dengan cara memindahkan kepemilikannya kepada yang lain, baik dengan pertukaran
ataupun tidak.
Jika waqif wafat, maka harta yang diwakafkannya tersebut tidak dapat diwarisi oleh
ahli warisnya. Wakif menyalurkan manfaat harta yang di wakafkannya kepada mauquf „alaih
(yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana wakif tidak dapat melarang
penyaluran sumbangannya tersebut. Apabila wakif melarangnya, maka Qadhi berhak
memaksanya agar memberikannya kepada mauquf „alaih. Karena itu Mazhab Syafi‟i
mendefenisikan Wakaf adalah : “Tidak melakukan tindakan atas suatu benda, yang berstatus
sebagai milik Allah SWT, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan
(sosial)”5.

3
Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Islam, (Jakarta :
Penamadani, 2005), hlm., 128
3
4
Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Islam, (Jakarta :
Penamadani, 2005), hlm., 129
5
Departemen Agama, Fiqh Wakaf, (Jakarta : Direktorat Pengembangan Zakat dan
Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005), hlm., 3

4
Syafi‟iyyah berpendapat bahwa, benda yang sudah tidak bisa berfungsi, tetap tidak
boleh dijual, ditukar, diganti, dan dipindahkan. Karena dasar wakaf itu sendiri bersifat abadi.
Sehingga kondisi apapun benda wakaf tersebut harus dibiarkan sedemikian rupa.

Hanafiyah membolehkan penarikan benda wakaf, sedangankan Syaf‟iyyah melarang


penarikan bena wakaf. Namun dalam menyikapi perbedaan ulama tersebut, perlu adanya
sikap yang sesuai dengan situasi yang di hadapi. Dan harus relevan dengan keadaan yang ada
di lingkungan masyarakat.

3. KESIMPULAN
Terjadinya perbedaan pendap at diantara Ulama merupakan hal yang biasa terjadi.
Dari pembahasan di atas dapat kita ketahui sebabnya terjadi perbedaan pendapat di kalanan
Syafi‟i dan Hanafi mengenai Penarikan Wakaf tersebut.
Ulama Hanafi berpendapat bahwa harta wakaf tersebut tidak serta merta lepas dari
kepemilikan si wakif dan diperbolehkannya menarik harta wakaf itu kembali, namun dengan
beberapa Syarat;
a. hakim memutuskan bahwa wakaf tetap. Hal ini terjadi apabila terjadi
persengketaan antara si waqif dan nazhir.
b. hakim menggantungkan berlakunya wakaf pada kematian waqif.
c. apabila seseorang menjadikan wakafnya itu sebagai masjid, dan memisahkan dari
miliknya, dan ia mengizinkan didalam wakaf tersebutuntuk shalat.
Sebaliknya Ulama Syafi‟i berpendapat bahwa, harta wakaf sama sekali tak boleh
ditarik. Harta yang telah diwakafkan tersebut bukan lagi miliknya, akan tetapi telah berubah
menjadi milik Allah SWT/ milik Ummat. Itu dikarenakan Imam Syafi‟i berpendapat bahwa
wakaf adalah menahan harta yang dapat dimanfaatkan, serta kekal bendanya dengan tidak
melakukan tindakan hukum terhadap harta benda wakaf tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama, Fiqh wakaf, (jakarta : Direktorat pengembangan zakat dan
wakaf direktorat jenderal bimbingan masyarakat islam danpenyelanggaraan haji, 2005)
Wahbah al-zuhaili al-wajiz fii ilmi ushulilfiqh, (Damaskus suriah, Darul fikri
1997)
Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Islam, (Jakarta :
Penamadani, 2005

Anda mungkin juga menyukai