Anda di halaman 1dari 13

Tinjauan Terhadap Fatwa MUI Tentang Wadiah

Mata Kuliah : Fiqh Ekonomi dan Bisnis


Pengampu : Dr. Nafis Irkhami, M.Ag., MA.

Besse Khusnul Khatimah

Abstrak

Dalam perbankan syariah salah satu akad yang ada di dalam produknya adalah akad wadiah.
Akad wadiah merupakan perjanjian penitipan dana antara pihak penitip dengan pihak
penerima yang dipercaya untuk menjaga titipan tersebut. Akad wadiah juga termasuk akad
tabarru’ atau tolong menolong sehingga masuk dalam kategori akad nonprofit. Secara umum
para ulama fiqh sepakat bahwa akad wadiah ini boleh dilaksanakan. Namun seiring
perkembangan dunia perekonomian, bank-bank syariah dalam pelaksanaan akad wadiah pun
juga mengalami perkembangan sehingga terdapat perbedaan dalam fiqh. Adapun akad
wadiah ini diperbolehkan dan diatur dalam fatwa DSN-MUI.
Pendahuluan

Dalam dunia dewasa ini masyarakat mulai mengalami perkembangan baik itu pada bidang
sosial, budaya, pendidikan maupun ekonomi. Dalam bidang ekonomi persaingan yang ada
semakin meningkat karena adanya kebebasan setiap individu untuk ikut dalam aktivitas
ekonomi, bahkan dalam lingkup negara sudah mulai membangun perekonomiannya misalnya
dengan cara kerja sama dengan negara lain seperti investasi. Hal ini mendorong setiap
individu dalam masyarakat untuk terus mengembangkan potensi atau kemampuannya dalam
berbagai bidang demi menciptakan SDM yang sesuai dengan kebutuhan dalam aktivitas
ekonomi yang semakin berkembang.

Kegiatan ekonomi dasarnya adalah bagaimana masyarakat memenuhi kebutuhannya baik itu
kebutuhan yang bersifat primer maupun kebutuhan sekunder dengan melakukan proses
transaksi dengan pelaku eknomi lainnya. Namun dalam perekonomian ini masyarakat tidak
hanya memenuhi kebutuhan dasarnya akan tetapi juga melakukan investasi atau saving untuk
jangka panjang. Kegiatan investasi ini biasanya dilakukan pada lembaga keuangan baik dari
bank konvensional maupun bank syari’ah. Invesati kemudian banyak diminati masyarakat
sebagai bekal untuk pemenuhan kebutuhan di masa yang akan datang.

Bank syari’ah merupakan suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara bagi
pihak yang berkelebihan dana dengan yang kekurangan dana untuk kegiatan usaha dan
kegiatan lainnya sesuai dengan hukum islam. Bank syari’ah juga biasa disebut dengan
islamic banking atau interset fee banking dimana dalam sistem ini tidak mengandung unsur
bunga atau riba , kemudian spekulasi atau maisir, serta ketidakpastian atau gharar .

Keberadaan lembaga keuangan dalam Islam adalah vital karena kegiatan bisnis dan roda
ekonomi tidak akan berjalan tanpanya. Bank syariah adalah bank yang beroperasi dengan
tidak mengandalkan pada bunga (Desminar, 2019). Tujuan utama dari pendirian lembaga
keuangan berlandaskan etika ini adalah tiada lain sebagai upaya kaum muslimin untuk
mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya berlandaskan Al-Qur‟an dan As-Sunnah
(Syafi’i , 2001).

Adapun dalam bisnis kontemporer, masalah penitipan modal pada lembaga perbankan
biasanya melalui sistem tabungan, giro dan deposito. Kegiatan ekonomi islam ada berbagai
jenis,salah satunya yaitu kegiatan jual beli, perdagangan, atau bisnis. Kegiatan bisnis lainnya
yang dilakukan pada perbankan syariah adalah pemanfaatan penitipan barang dari masyarakat
yang mempunyai nilai ekonomis di bank syariah dalam tempo waktu tertentu. Orientasi
utama kegiatan ekonomi tersebut disamping menjalankan syiar islam khususnya
bermuamalah juga untuk mencari keuntungan dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah
keagamaan yaitu kaidah ekonomi syariah ( Mohammad, 2020). Dalam makalah ini lebih
lanjut akan membahas penitipan barang dengan akad wadiah berdasarkan fatwa DSN-MUI
mengenai ketentuan umum tabungan dan giro berdasarkan wadiah.

Pengertian Wadiah

Wadiah adalah titipan dari nasabah yang harus dijaga oleh pihak yang dititipkan (dalam hal
ini bank) dan wajib dikembalikan kapanpun pemiliknya ingin mengambil. Barang titipan (Al-
Wadi’ah), secara bahasa lughatan ialah secara sesuatu yang ditempatkan bukan pada
pemiliknya supaya dijaganya (mawudi’ah ‘inda ghairi malikihi layahfadzahu), berarti bahwa
alwadi’ah ialah memberikan. makna yang kedua al-wadi’ah dari segi bahasa ialah menerima ,
seperti seseorang berkata , awda’tuhu artinya aku menerima harta tersebut darinya (qabiltu
minhu dzalika al-mal liyakuna wadi’ah indi). Makna al-wadi’ah memiliki arti, yaitu
memberikan harta untuk dijaganya dan pada penerimaannya (i’tha’u al-mal liyahfadzahu wa
fi qabulihi) (Mohammad, 2020).
Sedangkan Al-Qur’an memberikan arti wadi’ah sebagai amanat bagi orang yang menerima
titipan dan ia wajib mengembalikannya pada waktu pemilik meminta kembali (Dwi, 2010).
Secara komulatif, wadi’ah memiliki dua pengertian , yang pertama pernyataan dari seseorang
yang telah memberikan kuasa atau mewakilkan kepada pihak lain untuk memelihara atau
menjaga hartanya; kedua, sesuatu harta yang dititipkan seseorang kepada pihak lain
dipelihara atau dijaganya ( Ahmad, 2004)
Wadiah atau al-wadi’ah ini diambil dari prinsip Fiqih dalam Islam yaitu Al-wadi’ah yang
artinya titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang
harus dijaga dan juga dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki pengembailan
tersebut. Sedangkan menurut ulama fiqih, al-wadi’ah bersifat amanah, bukan menjamin atau
menanggung sehingga bila terjadi kerusakan, maka bukan merupakan tanggung jawab pihak
yang dititip, kecuali jika kerusakan disebabkan karena pihak yang dititipi. Al-wadi’ah juga
diketahui termasuk dalam akad tabarru’at yaitu akad yang bertujuan untuk saling tolong
menolong yang dalam hal ini, al-wadi’ah bersifat non for profit transaction atau tidak
mencari keuntungan, kecuali jika kemudian disepakati adanya skema bisnis sehingga menjadi
mu’awadhah (transaksi pertukaran) atau tijarah (profit motive transaction).
Adapun pengertian Wadiah menurut para ahli yaitu, yang pertama menurut Imam Hanafi arti
al-wadi’ah adalah mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan
ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat. Kemudian Menurut Imam
Hambali Wadiah berarti mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara
tertentu. Kemudian menurut Bank Indonesia (2008) wadiah merupakan akad penitipan
barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi
kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan serta keutuhan
barang/uang.

Jenis-jenis Wadiah

Dalam islam diketahui ada dua jenis wadiah, yaitu ( Trisandini, 2013) :

 Wadi’ah Yad Amanah

Wadiah yad amanah merupakan akad penitipan barang atau uang dimana pihak penerima
titipan tidak diperkenankan untuk menggunakan barang atau uang yang dititipkan juga tidak
bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang atau uang titipan yang bukan
diakibatkan oleh perbuatan atau kelalaian pihak penerima titipan. Adapun biaya penitipan ini
boleh dibebankan kepada pihak penitip sebagai kompensasi atas tanggungjawab
pemeliharaan, namun jika pihak penerima titipan tidak merasa keberatan biaya penitipan
boleh ditiadakan.

Karakteristik Wadi’ah yad Amanah ( Ismail,2014)

 Barang yang dititipkan oleh nasabah tidak boleh di manfaatkan oleh pihak penerima
titipan. Penerima titipan dilarang untuk memanfaatkan barang titipan.
 Penerima titipan berfungsi sebagai penerima amanah yang harus menjaga dan
memelihara barang titipan, sehingga perlu menyediakan tempat yang aman dan
petugas yang menjaganya.
 Penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya atas barang yang
dititipkan, hal ini karena penerima titipan perlu menyediakan tempat untuk
menyimpan dan membayar biaya gaji pegawai untuk menjaga barang titipan,
sehingga boleh meminta imbalan jasa.
 Wadi’ah Yad Dhamanah
Wadiah yad dhamanah merupakan akad penitipan barang atau uang dimana pihak penerima
titipan dengan atau tanpa adanya izin pemilik barang atau uang dapat memanfaatkan barang
atau uang tersebut dan harus bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan barang/uang
titipan. Adapun pihak penerima dapat memberikan insentif kepada penitip dalam bentuk
bonus atau hadiah.
Karakteristik Wadi’ah yad Dhamanah ( Ismail, 2014) :

 Harta dan barang yang dititipkan boleh dimanfaatkan oleh pihak yang menerima
titipan.
 Penerima titipan sebagai pemegang amanah. Meskipun harta yang
 dititipkan boleh dimanfaatkan, namun penerima titipan harus memanfaatkan harta
titipan yang dapat menghasilkan keuntungan.
 Bank mendapat manfaat atas harta yang dititipkan, oleh karena itu penerima titipan
boleh memberikan bonus. Bonus sifatnya tidak mengikat, sehingga dapat diberikan
atau tidak. Besarnya bonus tergantung pada pihak penerima titipan. Bonus tidak boleh
diperjanjikan pada saat kontrak, karena bukan merupakan kewajiban bagi penerima
titipan
 Dalam aplikasi bank syariah, produk yang sesuai dengan akad wadi’ah yad Dhamanah
adalah simpanan giro dan tabungan.

Dasar Hukum Wadiah


Dalam syariat islam wadiah hukumnya boleh. Hal ini berdasarkan pada Al-Qur’an, sunnah
Rasulullah, dan ijma’ ulama.
 Surah An-Nisa’ Ayat (58).

“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,


dan apabila kamu menetapkan hukum di anatara manusia hendaknya kamu menetapkannya
dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh,
Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat”.

Berdasarkan ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa ketika pihak pemberi titipan atau pemilik
harta titipan meminta barang atau harta titipan tersebut dikembalikan maka pihak penerima
titipan harus mengembalikan barang titipan tersebut kepada pemiliknya tepat waktu sesuai
dengan kesepakan oleh keduanya. Penerima titipan juga wajib mengembalikannya secara
transparansi atau jujur tidak menipu dan menyembunyikan rahasia dari pemilik titipan
tersebut. Menurut para mufasir, ayat tersebut turun karena berkaitan dengan penitipan kunci
Ka‟bah kepada Utsman bin Thalhah (seorang sahabat Nabi) sebagai amanat dari Allah.

 Surah Al-Baqarah ayat 283


“ Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka
hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya(utangnya) dan
hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan
kesaksian, karena barang siapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa), Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Berdasarkan ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam melakukan akad wadi‟ah
pondasinya adalah sikap saling mempercayai dan berbaik sangka pada masing-masing pihak,
dimana tidak terdapat kecurangan atau mengingkari hak-hak dan kewajiban-kewajibannya.
Penerima titipan pun juga harus menunaikan amanat yang diberikan oleh penitip harta
kepadanya sebaik mungkin. Penerima titipan harus mempercayai dirinya sendiri sehingga ia
mampu menjaga amanah berupa harta titipan yang diserahkan kepadanya , karena makruh
hukumnya terhadap orang yang dapat menjaganya tetapi ia tidak percaya pada dirinya sendiri
terhadap amanah yang diserahkan kepadanya. Selain itu apabila seseorang tersebut tidak
mampu atau tidak sanggup untuk menjaga harta titipan sebagaimana mestinya hukumnya
haram, karena hal tersebut berarti ia membukakan peluang untuk melakukan kerusakan atau
lenyapnya barang yang dititipkan tersebut

 Hadist

“Tunaikanlah amanah kepada orang yang mengamanahkan kepadamu, dan janganlah kamu
mengkhianati orang yang mengkhianatimu." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
“Serahkanlah amanat kepada orang yang yang mempercayai anda dan janganlah anda
mengkhianati anda.” (H.R. Abu Dawud,Tirmidzi, Dan Hakim).
Berdasarkan hadist tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk menyerahkan amanah dalam hal
ini melakukan penitipan barang harus dengan seorang yang dapat dipercaya memiliki
kejujuran yang tinggi serta dapat bertanggungjawab atas amanah yang diberikan.
Rukun dan Syarat Wadiah
Rukun wadi`ah adalah hal-hal yang berkaitan atau yang harus ada didalamnya yang
menyebabkan terjadinya Akad Wadi`ah yaitu :
 Muwaddi’ ( orang yang menitipkan )
 Mustawda’ ( orang yang dititipi barang )
 Wadi’ah ( barang yang dititipkan )
 Shigot ( Ijab dan qobul )
Adapun yang dimaksud dengan syarat wadiah adalah persyaratan yang harus dipenuhi oleh
rukun wadiah yang dalam hal ini persyaratan tersebut mengikat kepada Muwaddi’ atau orang
yang menitipkan, mustawda’ yaitu pihak penerima titipan dan wadi’ah atau barang yang
dititipkan. Muwaddi’ dan mustawda’ mempunyai persyaratan yang sama yaitu harus balig,
berakal dan dewasa. Sementara wadi’ah disyaratkan harus berupa suatu harta yang berada
dalam bentuk nyata.

Menurut ulama Mazhab Hanafi menyatakan bahwa rukun wadiah hanya satu, yaitu ijab dan
qabul, sedangkan yang lainnya termasuk syarat bukan rukun. Sedangkan sahnya perjanjian
wadiah harus memenuhi syarat-syarat sebagai brikut :

 Pihak yang melakukan akad harus baligh, berakal dan cerdas artinya dapat bertindak
secara hukum, karena seperti yang diketahu akad wadiah merupakan akad yang banyak
mengandung risiko penipuan. Oleh sebab itu anak kecil sekalipun yang telah berakal,
tetap tidak dibenarkan untuk melakukan akad wadiah, baik sebagai pihak yang
menitipkan barang maupun sebagai pihak yang menerima titipan barang. Disamping itu,
jumhur ulama juga mensyaratkan orang yang berakad harus cerdas. Sekalipun telah
berakal dan baligh, tetapi kalau tidak cerdas, hukum wadah –nya tetap tidak sah.
 Barang titipan baik sifat maupun wujudnya harus jelas dan dapat dipegang dan dikuasai.
maksudnya, barang titipan itu dapat diketahui jenisnya atau identitasnya dan dikuasai
untuk dipelihara.
 Bagi pihak penerima titipan harus menjaga barang titipan tersebut dengan sebaik
mungkin dan memelihara barang titipan tersebut di tempat yang aman.

Sifat Akad Wadiah

Pada dasarnya wadiah merupakan akad yang tidak lazim, dimana antara pihak penitip dan
pihak penerima kedua belah pihak tersebut dapat membatalkan perjanjian akad wadiah kapan
saja, karena dalam wadiah terdapat unsur permintaan tolong maka memberikan pertolongan
itu adalah hak dari pihak penerima titipan. Kalau ia tidak mau maka tidak ada keharusan
untuk menjaga titipan dan jika pihak penerima ini mengharuskan adanya pembayaran
semacam biaya administrasi maka akad wadiah ini berubah menjadi akad sewa ijaroh dan
mengandung unsur kelaziman. Artinya pihak penerima harus menjaga dan bertanggung
jawab terhadap barang yang dititipkan dan pihak penerima tidak dapat membatalkan akad ini
secara sepihak kerena sudah dibayar.
Hukum Menerima Benda Titipan

Hukum menerima barang titipan ada empat yaitu (Juhaya,2014) :

 Sunnah, disunnahkan menerima titipan bagi orang yang percaya kepada dirinya
bahwa dia sanggup menjaga benda-benda yang dititipkan kepadanya.
 Wajib, diwajibkan menerima benda-benda titipan bagi seseorang yang percaya bahwa
dirinya sanggup menerima dan menjaga benda-benda tersebut,sementara orang lain
tidak ada seorang pun yang dapat dipercaya untuk memelihara benda-benda tersebut.
 Haram, apabila seseorang tidak kuasa dan tidak sanggup memelihara benda-benda
titipan.
 Makruh, bagi orang yang percaya kepada dirinya sendiri bahwa dia mampu menjaga
benda-benda titipan,tetapi dia kurang yakin (ragu) pada kemampuannya maka bagi
orang seperti ini dimakruhkan menerima benda-benda titipan.

Fatwa DSN-MUI

Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia melalui rapat pleno pada tanggal 1 April
2000 mengeluarkan keputusan fatwa Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia
Nomor 2 Tahun 2000 tentang Tabungan. Pada fatwa tersebut Dewan Syariah Nasional Majlis
Ulama Indonesia mengatur beberapa ketentuan sebagai berikut:
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan tabungan ada dua jenis:
a. Tabungan yang tidak dibenarkan secara syariah, yaitu tabungan yang berdasarkan
perhitungan bunga.
b. Tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan
Wadiah.
Ketentuan Umum Tabungan berdasarkan Mudharabah:
a. Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul mal atau pemilik dana, dan bank
bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
b. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang
tidak bertentangan dengan prinsip syari‟ah dan mengembangkannya, termasuk di
dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
c. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
d. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad
pembukaan rekening.
e. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan menggunakan nisbah
keuntungan yang menjadi haknya.
f. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang
bersangkutan.
Ketentuan Umum Tabungan berdasarkan Wadiah:
a. Bersifat simpanan.
b. Simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasar-kan kesepakatan.
c. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (athaya) yang
bersifat sukarela dari pihak bank.

Kemudian fatwa Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia Nomor 1 Tahun 2000
tentang Tabungan. Pada fatwa tersebut Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia
mengatur beberapa ketentuan sebagai berikut:

Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan Giro ada dua jenis:
a. Giro yang tidak dibenarkan secara syariah, yaitu tabungan yang berdasarkan perhitungan
bunga.
b. Giro yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadiah.
Ketentuan Umum Giro berdasarkan Mudharabah:
g. Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul mal atau pemilik dana, dan bank
bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
h. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang
tidak bertentangan dengan prinsip syari‟ah dan mengembangkannya, termasuk di
dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
i. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
j. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad
pembukaan rekening.
k. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan menggunakan nisbah
keuntungan yang menjadi haknya.
l. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang
bersangkutan.
Ketentuan Umum Giro berdasarkan Wadiah:
d. Bersifat titipan.
e. Titipan bisa diambil kapan saja (on call).
f. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (athaya) yang
bersifat sukarela dari pihak bank.

Wadiah dalam Perbankan Islam

Dalam perbankan islam diketahui ada dua pola yang digunanakan terkait akad wadiah ini,
yaitu al-wadi’ah yad al-amanah dan alwadi’ah yad adh-dhamanah. Namun pada dasarnya
penerima simpanan tetap bersifat yad al-amanah yaitu tangan amanah dimana ia tidak
bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakaan yang terjadi pada aset titipan selama hal
ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara
barang titipan. Hal ini berdasarkan suatu hadis: “Jaminan pertanggungjawaban tidak diminta
dari peminjam yang tidak menyalahgunakan (pinjaman) dan penerima titipan yang tidak lalai
terhadap titipan tersebut”

Akan tetapi, dalam aktivitas perekonomian pada saat ini, kemungkinan pihak penerima
simpanan tidak akan hanya menyimpan barang titipan tersebut, tapi bisa juga menggunakan
barang titipan tersebut sebagai perluasan bisnis , tetapi dalam mempergunakan barang titipan
tersebut dalam aktivitas perekonomian pihak penerima harus mendapatkan izin dari si
pemberi titipan untuk kemudian mempergunakan hartanya tersebut dengan catatan ia
menjamin akan mengembalikan aset tersebut secara utuh. Dengan damikian, ia bukan lagi
yad al-amanah, tetapi yad adh-dhamanah (tangan penanggung) yang bertanggungjawab atas
segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada barang tersebut.

Berdasarkan pemahaman terkait yad adh-dhamanah, bank sebagai penerima simpanan dapat
menggunakan wadiah untuk tujuan currunt account (giro) dan saving account (tabungan
bejangka). Adapun beberapa ketentuannya yaitu :

 Pihak penitip memiliki hak untuk menginvestasikan aset yang dititipkan


 Pihak penitip berhak mengetahui bagaimana assetnya dikelola
 Pihak penerima menjamin hanya nilai pokok jika modal berkurang karena rugi
 Keuntungan yang diperoleh dapat dibagi sebagai hisbah (hadiah)
 penitip tidak mempunyai hak suara.

Sebagai konsekuensi dari yad adh-dhamanah semua keuntungan yang diperoleh dari
pengelolaan dana titipan tersebut menjadi milik bank. Namun tentu juga pihak bank akan
menanggung seluruh kemungkinan kerugian yang terjadi. Sebagai imbalan pihak penitip akan
mendapat jaminan keamanan terhadap harta yang dititipkanya dan fasilitas-fasilitas giro
lainnya. Bank sebagai penerima titipan, sekaligus juga pihak yang memanfaatkan harta
titipan tersebut tidak dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus atau hadiah
dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal
atau persentase secara advance akan tetapi betul-betul merupakan kebijaksanaan dari
manajemen bank.

Hal ini berdasarkan dengan sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan dari Abu Rafie bahwa
Rasulullah saw. pernah meminta seseorang untuk meminjamkannya seekor unta. Diberinya
unta kurban (berumur sekitar dua tahun). Setelah selang beberapa waktu, Rasulullah saw.
memerintahkan Abu Rafie kembali kepada Rasulullah saw. seraya berkata, “Ya Rasulullah,
unta yang sepadan tidak kami temukan; yang ada hanya unta yang lebih besar dan berumur
empat tahun.” Rasulullah saw. berkata, “Berikanlah itu karena sesungguhnya sebaik-baik
kamu adalah yang terbaik ketika membayar.” (HR Muslim).

1. Giro Wadiah

Giro wadiah merupakan fasilitas simpanan dana bagi nasabah dengan akad titipan. Adapun
titipan tersebut merupakan simpanan pihak ketiga pada bank syariah baik perorangan atau
badan hukum yand diukur dalam mata uang rupiah atau valuta asing dengan prinsip syariah
yang penarikannya dapat dilakukan sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan. Adapun prinsip
wadiah yang digunakan adalah prinsip wadi’ah yad dhamanah dimana nasabah bertindak
sebagai penitip yang memberikan izin atau hak kepada bank syariah untuk menggunakan atau
memanfaatkan uang titipannya. Sedangkan bank syariah bertindak sebagai pihak yang dititipi
disertai hak untuk mengelola dana titipan tersebut. Adapun keuntungan dan kerugian dari
penyaluran dana ditanggung oleh bank, sedangkan pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan
tidak menanggung kerugian. Namun demikian, bank diperkenankan untuk memberikan
intensif berupa bonus dengan syarat tidak boleh diperjanjikan dimuka.

Hal ini sesuai dalam Fatwa DSN-MUI NO.01/DSN-MUI/IV/2000 tentang giro dimana giro
yang dibenarkan secara syariah salah satunya giro dengan prinsip wadiah dengan ketentuan
giro tersebut bersifat titipan yang bisa diambil kapan saja dan tidak ada imbalan yang
disyaratkan dalam perjanjian

Karakteristik giro wadi’ah adalah:


 Dana giro wadi’ah dapat digunakan oleh bank untuk kegiatan komersial
 Keuntungan dan kerugian dari penyaluran dana wadi’ah menjadi hak yang harus
ditanggung oleh bank.
 Pemilik dana wadi’ah dapat menarik kembali dananya sewaktu-waktu, sebagian atau
seluruhnya
 Penarikan menggunakan cek, bilyet giro, atau dengan pemindah bukuan.
 Bank dapat memberikan bonus namun tidak diperjanjikan di muka.
2. Tabungan Wadiah
Tabungan wadi’ah merupakan titipan pihak ketiga kepada bank syariah yang penarikannya
dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang disepakati dengan kwitansi, kartu ATM,
sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindah bukuan. Hal ini sesuai
dengan Fatwa DSN-MUI NO.02/DSN-MUI/IV/2000 tentang tabungan dimana tabungan
yang dibenarkan secara syariah salah satunya tabungan dengan prinsip wadiah dengan
ketentuan tabungan tersebut bersifat titipan yang bisa diambil kapan saja dan tidak ada
imbalan yang disyaratkan dalam perjanjian

Kesimpulan

Inti dari wadiah dalam bank syariah yaitu perjanjian dimana pihak yang menyimpan barang
di bank bertujuan agar bank bisa bertanggungjawab untuk menjaga barang tersebut dan
menjamin pengembaliannya. Dengan akad wadiah semua keuntungan yang dihasilkan dari
dana titipan yang dikelola akan menjadi milik bank (demikian pula sebaliknya). Sebagai
imbalan bagi nasabah, pihak penyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap harta dan
fasilitas-fasilitas giro lain. Dalam industri perekonomian khususnya pada lingkup berbankan
insentif, bonus atau hadiah dapat diberikan kepada nasabah atas harta yang dititipkan dan hal
ini menjadi kebijakan dari bank bersangkutan.
Daftar Pustaka

Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani
Press, 2001

Desminar. Akad Wadiah dalam Perspektif Fiqh Muamalah. Jurnal Menara Ilmu, Vol XIII
No. 3, Januari 2019

Ismail. Perbankan Syari’ah, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014

Juhaya. Pengantar Ilmu Ekonomi Dilengkapi Dasar-dasar Ekonomi Islam, Bandung :


Pustaka Setia, 2014

Lutfi,Mohammad. Penerapan Akad Wadiah di Perbankan Syariah. Jurnal Madani Syariah.


Vol. 3 No. 2, Agustus 2020

Ridwan, Ahmad Hasan. Bmt dan Bank Islam Instrumen Lembaga Keuangan Syariah,
Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004

Suwiknyo, Dwi. Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2010

Usanti, Trisandini dan Abd. Shomad. Transaksi Bank Syariah, Jakarta: PT. Bumi Aksara,
2013

Anda mungkin juga menyukai