Jelajahi
Jelajahi
HOME
NASIONAL
REGIONAL
MEGAPOLITAN
INTERNASIONAL
MONEY
BOLA
TEKNO
SAINS
VIK
ENTERTAINMENT
OTOMOTIF
LIFESTYLE
PROPERTI
TRAVEL
EDUKASI
KOLOM
IMAGES
JEO
KOMPAS TV
KOMPASIANA
GRIDOTO
GRAMEDIA
KONTAN
BOLASPORT
KOMPASKARIER
GRID.ID
KGMEDIA.ID
Ad
Home
Sains
Fenomena
Komentar
Lihat Foto
Citra satelit Copernicus Sentinel-5P milik ESA dari langit di Italia Utara, menunjukkan penurunan polusi udara secara drastis
setelah Italia menyatakan lockdown karena wabah pandemi virus corona, Covid-19.
|
Editor: Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas
Kabar baik di tengah kabar buruk terkait semakin luasnya penyebaran virus corona di dunia.
Sebab, lagi-lagi Covid-19 menunjukkan pengaruh positif terhadap polusi udara secara global.
Saat China menyatakan lockdown karena penyebaran virus corona yang semakin liar, citra
satelit menunjukkan tingkat polusi yang menurun drastis di langit Negeri Tirai Bambu itu.
Kali ini, seperti melansir Science Alert, Selasa (17/3/2020), para astronom menunjukkan
penurunan emisi nitrogen dioksida di langit Eropa.
Baca juga: Virus Corona China Beri Dampak Tak Terduga pada Lingkungan, Apa
Saja?
Gambar tersebut menunjukkan penurunan nitrogen dioksida, yakni emisi gas buang dari
kendaraan bermotor dan asap industri, yang turun secara drastis.
"Penurunan emisi nitrogen dioksida di atas Lembah Po di Italia utara sangat nyata," jelas
Claus Zehner, manajer misi Badan Antariksa Eropa (ESA) Copernicus Sentinel-5P.
Zehner mengatakan meski mungkin ada variasi dalam data karena tutupan awan dan
perubahan cuaca, namun dia meyakini pengurangan emisi terjadi bersamaan dengan
lockdown di Italia.
Baca juga: Panduan Mencegah Virus Corona bagi Kelompok Paling Rentan Terinfeksi
"Hal ini menyebabkan lebih sedikit lalu lintas dan kegiatan industri (berlangsung di Italia),"
ungkap dia.
Halaman Selanjutnya
1
2
3
Menangkan e-Voucher Belanja total jutaan rupiah. Kumpulkan poin di Kuis Hoaks/Fakta. *S&K berlaku
Ikut
Video Pilihan
Sumber: Science Alert
TAG:
lingkungan
italia
eropa
polusi
polusi udara
global
ESA
virus corona
corona
dampak virus corona
Covid-19
nitrogen dioksida
pandemi virus corona
TERKAIT
TERPOPULER
1
Suspect Covid-19 Lanjut Usia Meninggal di Ambulans gara-gara 3 Rumah Sakit
PenuhDibaca 107872 kali
2
Beredar Video Tim Medis China Tiba di Indonesia, Ini Penjelasan Imigrasi Dibaca 100355
kali
3
Syarat Mendapatkan Kartu Pra Kerja dan Bisa Terima 'Gaji' Rp 1 Juta Per
BulanDibaca 85834 kali
4
Tegal "Local Lockdown", Akses Masuk Kota Ditutup Beton MBC Dibaca 68286 kali
5
Duka Keluarga Korban Covid-19, Baru Kehilangan Sang Ibu, Ayahnya Juga
Meninggal karena Terinfeksi CoronaDibaca 64002 kali
TERPOPULER LAINNYA
KOMENTAR
Dapatkan hadiah utama Smartphone dan Voucher Belanja setiap minggunya, dengan berkomentar di
bawah ini! #JernihBerkomentar *Baca Syarat & Ketentuan di sini!
TERKINI
Lihat Semua
JELAJAHI
KOMPAS.COM
BOLA
TEKNO
OTOMOTIF
INTERNASIONAL
NEWS
NASIONAL
MEGAPOLITAN
ENTERTAINMENT
MONEY
SAINS
REGIONAL
PROPERTI
LIFESTYLE
TRAVEL
EDUKASI
IMAGES
VIK
OHAYO JEPANG
PESONA INDONESIA
KOLOM
JEO
KOMPAS VIDEO
ARTIKEL TERPOPULER
ARTIKEL TERKINI
TOPIK PILIHAN
ARTIKEL HEADLINE
About
Policy
Contact Us
Career
Pedoman Media Siber
1. Teras
Nasional
NASIONAL
BERITA TERKAIT
1. Umat Diimbau Tak Lakukan Ibadah yang Mengumpulkan Massa, Termasuk Salat
Jumat
2. Dalam Sehari, 20 Pasien Corona di Indonesia Meninggal Dunia
3. Cegah Corona di Fasilitas Umum, Tim Gabungan Semprotkan Disinfektan
SELASAR melakukan wawancara via whatsapp dengan Niel Makinuddin,
seorang pemerhati sosial dan lingkungan hidup Kaltim, pegiat di Yayasan
Konservasi Alam Nusantara (YKAN-TNC). Jawaban dalam wawancara ini
merupakan pendapat Niel pribadi. Selamat menyimak.
Namun, pandemic dahsyat pernah terjadi sekitar 100 tahun lalu, yakni
pada Tahun 1918, dengan menyebarnya virus H1N1 atau Spanish flu (flu
Spanyol) yang menjangkiti 500 juta jiwa (27% dari populasi dunia waktu itu)
dan menelan korban meninggal sekitar 75 Juta jiwa.
Kate Jones dkk yang menulis di jurnal Nature menemukan bahwa selama
1940-2004 ditemukan 335 jenis penyakit baru, 72% berasal dari satwa liar.
Tepat pada periode itu, jumlah emisi Gas Rumah Kaca memecahkan rekor
dalam 800.000 tahun dan jumlah CO2 di atmosfer tembus 400 ppm.
Saya mendengar kabar bahwa baru saja terjadi adalah gempa di Kroasia.
Bayangkan bagaimana pemerintah dan penduduknya yang harus lock
down di rumah, terpaksa keluar karena ada gempa.
Kita dianjurkan harus sering cuci tangan dan mandi setiap habis keluar,
dan wabah ini terjadi kala kita masih di musim penghujan, sehingga air
berlimpah. Ini adalah privilege (kenyaman/kenikmatan).
Sumber air terjaga adalah buah keberadaan hutan. Coba bayangkan kalo
hutan habis dan jadi gurun? Kita akan sulit menemukan air. Lebih penting
dari itu, di hutan juga tempat tinggal satwa liar yang menjadi inang-inang
berbagai virus tersebut.
Jaga ekosistem karst di Kaltim karena di dalamnya ada ribuan gua yang
menjadi rumah alami kelelawar dan aneka satwa. Manfaatkan secara bijak,
misal dengan pengembangan Taman Bumi (Geopark) untuk wisata
berbasis alam.
China, Vietnam dan tetangga dekat Malaysia sudah memulai dan hasilnya
luar biasa. Alamnya terjaga dan pendapatan (devisa) terus masuk.
Hijaukan kota-kota dan tambah rasio ruang terbuka hijau.
SR: Kira-kira berapa lama lagi teror virus corona ini akan berlalu?
Selain itu, mari kita terus doakan dan dukung para tenaga medis yang
sedang berjihad mempertaruhkan nyawanya, dengan stay at home (tinggal
di rumah).
Ini adalah saatnya menunjukkan bahwa pandemi adalah waktunya untuk
saling menguatkan, saling mendukung dan berlomba untuk menjadi
manusia seutuhnya. Manusia yang peduli sesamanya dan peduli
kesehatan bumi.
Umat Diimbau Tak Lakukan Ibadah yang Mengumpulkan Massa, Termasuk Salat Jumat
19 jam yang lalu
TERANYAR
Umat Diimbau Tak Lakukan Ibadah yang Mengumpulkan Massa, Termasuk Salat Jumat
19 jam yang lalu
Kaltim Terima 2.400 Alat Uji, Ini Daftar Orang yang Diprioritaskan Ikuti Rapid Test
Corona
19 jam yang lalu
INFOGRAFIK
TENTANG KAMI REDAKSI KONTAK PEDOMAN MEDIA SIBER
Bumi butuh istirahat—–Earth is taking a break. Kalimat ini saya temui pada
sebuah status di media sosial. Cukup singkat tapi menggambarkan
bagaimana situasi di pusat-pusat dunia yang berubah menjadi sepi akibat
berhentinya aktifitas manusia. Saya termenung panjang ketika melihat suatu
gambar yang menunjukkan hilangnya keramaian pada Il Piazza del Duomo,
pusat kota termasyhur di Milan, Italia akibat keganasan virus corona. Seketika
ingatan saya berkelindan pada karakter Bodhi pada novel Supernova, yang
diceritakan punya kemampuan untuk menjadi dan juga bisa merasakan hal
yang sama pada setiap benda apa saja yang dia tatap. Jika dia melihat lalat,
segala inderanya tiba-tiba seakan berubah menjadi lalat. Sembari mengingat
memori itu, sejenak pandangan mata saya arahkan ke sawah dan perkebunan
di sekeliling. Tak sengaja, sebuah pertanyaan kemudian muncul di benak
saya. How is it feel to be Earth ? *** Saya larut membayangkan, bagaimana
rasanya jika 80 % tubuhmu awalnya adalah hutan yang memproduksi oksigen
sehingga membuatmu leluasa bernafas sekaligus menyuplai energi untuk
tubuhmu berotasi. Namun, tiba-tiba hanya dalam jangka waktu sekitar 200
tahun, semua berubah dipenuhi bangunan-bangunan beton yang
menghasilkan polusi sehingga membuat dadamu sesak ? Mungkinkah
sebagai bumi, kau akan marah pada manusia? yang notabenenya didaulat
sebagai khalifah, bertugas untuk menjaga segala apa yang ada di dalam
tubuhmu. Batin saya mendesak prihatin, sudah selayaknya Bumi marah.
Dalam keseharian kita, kesakitan yang dalam justru berasal dari kekecewaan
yang diperoleh karena terkhianati oleh kawan sendiri. Manusia, berawal dari
paham antroposentrisnya, kemudian menganggap bumi dan aspek yang lain
adalah objek yang diperuntukkan untuk kelangsungan hidup manusia itu
sendiri. Pemahaman ini, juga menjadi basis dari perilaku ekonomi manusia.
Alam dengan segala kekuasannya dipandang sebagai sumber daya yang
bebas dikeruk dan diolah, melalui kekuatan rasio dan sebebas insting
manusia menuntun. Celakanya, ada sekitar 7,5 milliar manusia yang secara
sukarela mengeksplorasi bumi agar tetap hidup. Sehingga nyaris pada setiap
bagian di Bumi, dosa manusia dengan gampang ditelusuri jejaknya. Baca
Juga Menaklukkan Jarak Absolut, Mendekatkan Jarak Relatif Manusia dan
Alam Kita urai satu per satu. Untuk menghasilkan makanan, proses awal, dan
konvensional yang bisa kita lakukan adalah membuka lahan dengan
menebangi pohon-pohon. Seiring berjalannya waktu, keinginan untuk
menghasilkan sesuatu dengan instan membuat manusia menyakiti tanah.
Pupuk kimia digunakan untuk memperkuat sektor pertanian, yang kemudian
mengubah struktur tanah menjadi gersang dan tak dapat dinikmati lagi oleh
tumbuhan lainnya. Tak lama kemudian, kedigdayaan rasio membuat manusia
semakin bertumbuh. Alat produksi yang awalnya sederhana, dikembangkan
menjadi jauh lebih revolusioner lewat kemajuan teknologi. Di awal abad 18,
rivalitas cendekiawan menghasilkan suatu penemuan fenomenal; teknologi
listrik, yang juga menjadi pondasi dari revolusi industri kedua. Fase ini
membuat manusia menjadi semakin ganas. Lahan-lahan hijau digusur,
berganti menjadi hutan-hutan beton berwujud pabrik. Penemuan listrik pun
menjadi loncatan tinggi bagi cara manusia memproduksi sesuatu; menjadi
semakin cepat (effisien) dan dengan jumlah yang banyak (massif) tanpa
memerlukan banyak waktu. Kehadiran pabrik pun menjadi masalah besar bagi
lingkungan. Karena tak hanya tanah yang direnggut, limbah hasil produksi pun
dialirkan ke sungai-sungai sebagai wadah penampungan. Realitas akan
tercemarnya sungai dan laut akibat bertumpuknya limbah hasil industri
ataupun rumah tangga terpampang dengan jelas. Hati saya semakin miris
ketika membaca laporan soal matinya empat pesut (lumba-lumba) air tawar
khas pulau Kalimantan di sungai Mahakam. Limbah rumah tangga maupun
industri lagi-lagi menjadi penyebab utama memburuknya kualitas air di sungai
Mahakam. Setelah secara sadar menyakiti tanah, manusia beralih pada air.
*** Tak berhenti sampai disitu, manusia dengan aktifitas ekonominya
bergerak untuk meracuni udara. Tak peduli jika udara adalah salah satu
sumber vital manusia untuk bertahan hidup. Baca Juga Science dan
Modernisasi yang Berkelindan Emisi karbon akibat limbah pembangkit listrik
dan pabrik, atau sistem pembakaran pada kendaraan punya sumbangsih
besar pada pemanasan global dan perubahan iklim. Jadi air, tanah dan udara,
tiga elemen penting pada Bumi menjadi saksi betapa mengerikannya aktifitas
ekonomi manusia. Sebenarnya, situasi kritis ini perlahan memunculkan
kesadaran akan lingkungan dari berbagai orang. Satu dari sekian di antaranya
adalah Gunter Pauli dengan konsep Ekonomi Biru-nya. Upaya untuk memadu-
padankan antara aktifitas ekonomi dan keseimbangan lingkungan agaknya
menempuh jalan buntu pada konsep Green Economy. Sebabnya, konsep
Green Economy dianggap mahal dan tidak solutif untuk diterapkan. Aliran
yang bertumpu pada pola pikir modernisasi ekologi yang berusaha membuat
proses produksi menjadi ramah lingkungan lewat mesin-mesin teknologi yang
canggih. Alhasil, kritikan datang pada output proses ini berupa produk
“ecolabel” yang cenderung mahal. Maka, gagasan ekonomi biru bertumpu
pada semangat untuk mengurangi limbah dengan menjadikan limbah sebagai
bahan baku pada proses produksi selanjutnya, bukan berakhir sebagai hal
yang tak berguna. Ide ini sesungguhnya bercermin pada cara kerja alam yang
tak pernah menghasilkan sisa pada setiap proses produksinya. Ajakan untuk
menjadikan alam sebagai bahan integral dari pembangunan berkelanjutan ini
juga disampaikan dengan indah lewat pidato Presiden SBY pada Konvensi
Pembangunan Berkelanjutan PBB di Brasil tahun 2012 yang mengangkat tema
sangat melankolis ” The future that we want “ Pembunuh Sebenarnya
Berbagai konvensi dilewati, sekian perjanjian telah disetujui. Namun, ironi
tetap tak berhenti. Laporan dari IPBES [The Intergovernmental Science-Policy
Platform on Biodiversity and Ecosystem Services] menyampaikan hal yang
menyayat hati. Dalam prediksi dari 150 orang ilmuwan yang menyadur sekitar
15.000 hasil kajian, mereka mengungkapkan bahwa satu juta jenis spesies
baik di darat dan di laut terancam punah akibat kerusakan ekologi. Baca Juga
Inilah Keunggulan Kalender Hijriyah Dibanding Kalender Lain Ketidakpedulian
kita terhadap lingkungan agaknya mengganas dalam beberapa tahun terakhir.
Selain sukses membunuh berbagai macam spesies, peningkatan produksi
pangan manusia sebesar 300 % dalam 40 tahun terakhir juga telah
mengorbankan hutan akibat perluasan budidaya pertanian dan perkebunan.
Saya pun terpikir, jika virus corona sampai tulisan ini dibuat telah membunuh
hampir 8.000 orang di 152 Negara, bagaimana dengan pembunuhan
berencana yang dilakukan manusia pada alam dalam beberapa abad terakhir?
Siapa kira-kira yang lebih kejam? Apalagi, pada akhirnya obat penangkal pada
virus ini akan ditemukan, namun pembunuhan berkelanjutan manusia pada
alam adalah sesuatu yang sulit dihentikan. Padahal, kalimat hikmah dari
negara Bhutan di pegunungan Himalaya sudah mengingatkan kita “jika pohon
terakhir sudah ditebang, sungai terakhir dikosongkan dan ikan terakhir telah
ditangkap, saat itulah manusia menyadari bahwa uang tak memberikan
kehidupan”. Maka, terinspirasi dari tulisan seorang aktifis Jaringan Intelektual
Muda Muhammadiyah (JIMM), abang A.S. Rosyid, sebagaimana kita tak dapat
mengembalikan setiap nyawa yang hilang akibat virus corona, manusia pun
tak akan mampu memulihkan peradaban ekologis yang lenyap akibat dari
aktifitas ekonomi yang sembarangan. Jadi, virus corona mungkin menjadi
pertanda yang nyata, bahwa Bumi mungkin butuh istirahat dari penatnya
aktifitas manusia yang merusaknya. Misalnya saja, aktifitas bertransportasi
yang menyumbang angka 70 % pada penyebab buruknya kualitas udara di
Kota Jakarta yang mencapai level sangat tidak sehat. Editor: Yahya FR Irsyad
Madjid Kader IMM Malang Raya, anggota di Kader Hijau Muhammadiyah
(KHM) Komite Malang Raya Related post ESSAY Nabi Ayub, Cerita Konspirasi,
dan Kita 27/03/2020 FILSAFAT Mengapa Orang Berbuat Baik? 27/03/2020
ESSAY Orang Indonesia Kok Dilawan! 27/03/2020 ESSAY Nabi Ayub, Cerita
Konspirasi, dan Kita 27/03/2020 FILSAFAT Mengapa Orang Berbuat Baik?
27/03/2020 ESSAY Orang Indonesia Kok Dilawan! 27/03/2020 ESSAY Nabi
Ayub, Cerita Konspirasi, dan Kita 27/03/2020 Tinggalkan Balasan Facebook
CommentsWordpress Comments (0) BERITA & ARTIKEL TERBARU ESSAY
Orang Indonesia Kok Dilawan! 27/03/2020 ESSAY Nabi Ayub, Cerita
Konspirasi, dan Kita 27/03/2020 FILSAFAT Mengapa Orang Berbuat Baik?
27/03/2020 ESSAY Covid-19 dan Peradaban-peradaban yang Tumbang
27/03/2020 IBTIMES.ID – KANAL ISLAM BERKEMAJUAN IBTimes.id Kanal
Islam Berkemajuan. Menyajikan Wacana Keislaman, Kemoderenan dan
Keindonesiaan. Jalan Nanas 47B, Banyuraden, Gamping, Sleman, Yogyakarta.
E-mail: redaksi@ibtimes.id Tentang Kami Disclaimer Redaksi Media Siber
Kontak Kami 2018 IBTimes Indonesia Tentang Kami Disclaimer Redaksi
Media Siber Kontak Kami . See - https://ibtimes.id/virus-corona-dan-bumi-yang-
butuh-istirahat/
Sepinya tempat ini dari pengunjung terkait dengan kebijakan WHO yang
meminta untuk menghindari keramaian sebagai upaya agar terhindar dari
virus corona.
Potret Bumi istirahat. (twitter/a7medabdelhady1)
Selain menjadi tempat wisata, beberapa tempat populer ini salah satunya
menjadi tempat tujuan beribadah yang setiap harinya selalu ramai dengan
pengunjung. Namun, karena ancaman virus corona, tempat ini harus
berhenti beroperasi.
Karena fenomena ini, netizen lalu menyebut bahwa Bumi sedang
beristirahat dari berbagai hal setelah selama bertahun-tahun terus aktif.
"Earth time, semoga Allah melindungi kita. Amiin" tulis netizen pemilik akun
@syahir4zizan.
"Mother Nature selalu memiliki caranya sendiri untuk pulih, ya dia selalu
melampaui kita" balas pemilik akun @brrywgn.
"Sudah waktunya untuk bernafas Bumi! Kami terus berjalan dan lupa
bahwa kamu membutuhkan waktu sendiri juga. Kamu hanya mengingatkan
kami #Covid_19" ungkap netizen dengan akun @lookingroom_pic.
Potret viral saat Bumi istirahat ini diketahui telah mengumpulkan lebih dari
84 ribu retweets dan 351 komentar netizen.
Tag