Anda di halaman 1dari 27

JELAJAHI

HOME

NASIONAL

REGIONAL

MEGAPOLITAN

INTERNASIONAL

MONEY

BOLA

TEKNO

SAINS

VIK

ENTERTAINMENT

OTOMOTIF

LIFESTYLE

PROPERTI

TRAVEL

EDUKASI

KOLOM

IMAGES

JEO

KOMPAS TV

KOMPASIANA

GRIDOTO

GRAMEDIA

KONTAN

BOLASPORT

KOMPASKARIER

GRID.ID
KGMEDIA.ID

Ad
Home

 
Sains

 
Fenomena

Dampak Pandemi Virus Corona pada Lingkungan, Polusi


Udara Global Turun
Selasa, 17 Maret 2020 | 19:03 WIB

 
Komentar
 Lihat Foto

Citra satelit Copernicus Sentinel-5P milik ESA dari langit di Italia Utara, menunjukkan penurunan polusi udara secara drastis
setelah Italia menyatakan lockdown karena wabah pandemi virus corona, Covid-19.

Penulis: Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas

 | 
Editor: Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas

KOMPAS.com - Pandemi virus corona yang menyebabkan Covid-19 semakin memberi


pukulan keras terhadap ekonomi global. Namun, ada dampak lain yang sangat positif bagi
lingkungan.

Kabar baik di tengah kabar buruk terkait semakin luasnya penyebaran virus corona di dunia.
Sebab, lagi-lagi Covid-19 menunjukkan pengaruh positif terhadap polusi udara secara global.

Saat China menyatakan lockdown karena penyebaran virus corona yang semakin liar, citra
satelit menunjukkan tingkat polusi yang menurun drastis di langit Negeri Tirai Bambu itu.
Kali ini, seperti melansir Science Alert, Selasa (17/3/2020), para astronom menunjukkan
penurunan emisi nitrogen dioksida di langit Eropa.

Baca juga: Virus Corona China Beri Dampak Tak Terduga pada Lingkungan, Apa
Saja?

Menggunakan instrumen Tropomi pada satelit Copernicus Sentinel-5P, astronom mengambil


gambar permukaan Bumi yang diambil dari 1 Januari hingga 11 Maret 2020.

Gambar tersebut menunjukkan penurunan nitrogen dioksida, yakni emisi gas buang dari
kendaraan bermotor dan asap industri, yang turun secara drastis.

"Penurunan emisi nitrogen dioksida di atas Lembah Po di Italia utara sangat nyata," jelas
Claus Zehner, manajer misi Badan Antariksa Eropa (ESA) Copernicus Sentinel-5P.

Zehner mengatakan meski mungkin ada variasi dalam data karena tutupan awan dan
perubahan cuaca, namun dia meyakini pengurangan emisi terjadi bersamaan dengan
lockdown di Italia.

Baca juga: Panduan Mencegah Virus Corona bagi Kelompok Paling Rentan Terinfeksi

"Hal ini menyebabkan lebih sedikit lalu lintas dan kegiatan industri (berlangsung di Italia),"
ungkap dia.

Polusi udara sebabkan kematian lebih tinggi


Pada 8 Maret lalu, peneliti sumber daya lingkungan dari Standford University, Marshall
Burke melakukan beberapa perhitungan baik tentang penurunan polusi udara baru-baru ini di
beberapa wilayah di China.

Halaman Selanjutnya

Seperti diketahui, virus corona yang…


Halaman

 1

 2

 3
Menangkan e-Voucher Belanja total jutaan rupiah. Kumpulkan poin di Kuis Hoaks/Fakta. *S&K berlaku

 Ikut

Video Pilihan
Sumber: Science Alert

TAG:
 lingkungan
 italia
 eropa
 polusi
 polusi udara
 global
 ESA
 virus corona
 corona
 dampak virus corona
 Covid-19
 nitrogen dioksida
 pandemi virus corona

TERKAIT

 WHO Resmi Sebut Virus Corona Covid-19 sebagai Pandemi Global


 Virus Corona China Beri Dampak Tak Terduga pada Lingkungan, Apa Saja?
 Pakar Johns Hopkins Adopsi Metode Antibodi dari Abad 19 pada Covid-19
 Panduan Cegah Covid-19 di Rumah, Ini Rencana Aksi yang Bisa Dilakukan
 Misi Mars Gabungan Rusia-Eropa Ditunda Sampai 2022 karena Covid-19
 Sembuh dari Virus Corona, Benarkah Fungsi Paru-paru Berkurang?
 Covid-19 di Indonesia, Ahli Sebut Deteksi Virus Corona Bisa Lebih Awal
 Benarkah Klorokuin pada Kina bisa Sembuhkan Corona, Ahli Jelaskan
 CT Scan Pasien Covid-19 Ini Tunjukkan Keparahan akibat Virus Corona

TERPOPULER

 1
Suspect Covid-19 Lanjut Usia Meninggal di Ambulans gara-gara 3 Rumah Sakit
PenuhDibaca 107872 kali

 2
Beredar Video Tim Medis China Tiba di Indonesia, Ini Penjelasan Imigrasi Dibaca 100355
kali
 3
Syarat Mendapatkan Kartu Pra Kerja dan Bisa Terima 'Gaji' Rp 1 Juta Per
BulanDibaca 85834 kali

 4
Tegal "Local Lockdown", Akses Masuk Kota Ditutup Beton MBC Dibaca 68286 kali

 5
Duka Keluarga Korban Covid-19, Baru Kehilangan Sang Ibu, Ayahnya Juga
Meninggal karena Terinfeksi CoronaDibaca 64002 kali

TERPOPULER LAINNYA
KOMENTAR 

Dapatkan hadiah utama Smartphone dan Voucher Belanja setiap minggunya, dengan berkomentar di
bawah ini! #JernihBerkomentar *Baca Syarat & Ketentuan di sini!

Tulis komentar Anda...

TERKINI

 Mengapa AS Memiliki Kasus Covid-19 Terbanyak, Melebihi China? SAINS - 1 menit


lalu
 Panduan Mencegah Virus Corona di Transportasi Publik dan Tempat
IbadahSAINS - 1 jam lalu
 Update Corona 27 Maret: 531.864 Kasus di 199 Negara, 123.942
SembuhSAINS - 2 jam lalu
 Waspada, Olahraga Berlebih Bisa Picu Kemandulan, Ini Penjelasan Ahli SAINS -
3 jam lalu
 Gaya Hidup Bisa Sebabkan Kemandulan, Ini Cara Mencegahnya SAINS - 4 jam lalu
 Gempa Hari Ini: Sulawesi, Kuta, dan Papua Diguncang Lindu Pagi Tadi SAINS - 5
jam lalu
 Selain Angkut Barang, Keledai Dipakai Bangsawan China untuk Main
PoloSAINS - 5 jam lalu
 Wabah Corona di Indonesia, Ahli Peringatkan Bahaya Social Distancing
Setengah HatiSAINS - 6 jam lalu
 Perlunya Suplai Obat ke Pasien TBC Saat Wabah Covid-19, Ahli Jelaskan SAINS -
17 jam lalu

Lihat Semua

JELAJAHI

 KOMPAS.COM
 BOLA
 TEKNO
 OTOMOTIF
 INTERNASIONAL
 NEWS
 NASIONAL
 MEGAPOLITAN
 ENTERTAINMENT
 MONEY
 SAINS
 REGIONAL

 PROPERTI
 LIFESTYLE
 TRAVEL
 EDUKASI
 IMAGES
 VIK
 OHAYO JEPANG
 PESONA INDONESIA
 KOLOM
 JEO
 KOMPAS VIDEO

 ARTIKEL TERPOPULER
 ARTIKEL TERKINI

 TOPIK PILIHAN
 ARTIKEL HEADLINE

About
 
Policy

 
Contact Us

 
Career

 
Pedoman Media Siber

©2020 PT. Kompas Cyber Media

1. Teras

Nasional

NASIONAL

Merenungkan Sejenak Relasi Corona dan Keserakahan


Manusia
Senin, 23 Maret 2020

Niel Makinuddin, pegiat di Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN-TNC)

“Barangkali di sana ada jawabnya, mengapa di tanahku terjadi bencana.


Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan
bangga dengan dosa-dosa. Atau alam mulai enggan bersahabat dengan
kita, coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.” Ebiet G Ade,
Penyanyi Balada.
SEJAK kemunculan wabah virus corona dari Wuhan, Tiongkok, Desember
2019 hingga sekarang, dunia terguncang. Manusia gagap. Negara gagap.
Padahal, bukan pertama kali dunia mengalami wabah penyakit dan
bencana. Mungkin, hikmah dari kejadian-kejadian itu luput dikaji manusia.

BERITA TERKAIT

1. Umat Diimbau Tak Lakukan Ibadah yang Mengumpulkan Massa, Termasuk Salat
Jumat
2. Dalam Sehari, 20 Pasien Corona di Indonesia Meninggal Dunia
3. Cegah Corona di Fasilitas Umum, Tim Gabungan Semprotkan Disinfektan
SELASAR melakukan wawancara via whatsapp dengan Niel Makinuddin,
seorang pemerhati sosial dan lingkungan hidup Kaltim, pegiat di Yayasan
Konservasi Alam Nusantara (YKAN-TNC). Jawaban dalam wawancara ini
merupakan pendapat Niel pribadi. Selamat menyimak.

SELASAR (SR): Sebagai aktivis dan pemerhati lingkungan, bagaimana


Bapak memandang pandemi corona ini?

Niel Makinuddin (NM): Saya coba memandang dari sudut lain, ya.


Pandemi corona ini bisa jadi cara bumi meminta perhatian kita (manusia)
sejenak saja. Seolah Bumi sedang kirim pesan ke manusia, “tolong
berhentilah sejenak eksploitasi dan berbuat kerusakan atasku. Berikan
waktu sejenak saja agar aku bisa bernapas dan memulihkan diri dari aneka
kerusakan yang telah engkau perbuat.”

Manusia sering lupa, sebagai khalifah (manager) di muka bumi, mereka


punya tanggung jawab untuk merawat dan menjaga bumi. Kita
diperintahkan Allah SWT utk makan dan minum serta mencari rezeki di
muka bumi. Namun, “dilarang” berlebihan (sehingga menimbulkan
kerusakan dan ketidakseimbangan).

Coba kita tengok sejenak ke belakang. Pandemic global seperti ini


sebetulnya sudah beberapa kali terjadi. Pada Tahun 1976 di Kongo
menyebar virus ebola, yang menyebabkan korban meninggal dunia sekitar
14.000 jiwa. Sementara pada Tahun 2009 di Amerika dan Meksiko
mewabah virus H1N1, korban yang menelan korban lebih besar sebanyak
123.000 jiwa.

Namun, pandemic dahsyat pernah terjadi sekitar 100 tahun lalu, yakni
pada Tahun 1918, dengan menyebarnya virus H1N1 atau Spanish flu (flu
Spanyol) yang menjangkiti 500 juta jiwa (27% dari populasi dunia waktu itu)
dan menelan korban meninggal sekitar 75 Juta jiwa.

SR: Adakah kajian/jurnal yang menjelaskan relasi antara ancaman biologis


seperti virus corona atau virus flu Spanyol dulu, dengan perubahan iklim?

NM: WHO sudah memprediksi ancaman perubahan iklim terhadap sebaran


penyakit infeksi menular sejak 2003. Namun kajiannya baru sebatas
demam berdarah dan malaria. Mereka sudah membuat permodelan
bagaimana kenaikan suhu dan deforestrasi hutan, akan menyebabkan
kenaikan jumlah kasus demam berdarah dan malaria.
Untuk kasus zoonosis (penyakit yang ditularkan dari hewan), memang
belum ada kajian ilmiahnya, pengaruh antara hewan-hewan carrier
terhadap wabah yang terjadi sepuluh tahun terakhir.

Karena untuk mengetahui hubungannya, perlu ada kajian lengkap antara


ekosistem, kepadatan penduduk, mobilitas, kualitas lingkungan dan banyak
faktor lainnya.

Namun, ahli satwa liar sudah memperingatkan, jangan merusak ekosistem


asli satwa dan mengkonsumsinya. Karena kita belum tahu apa saja yang
mereka bawa.

Misal kelelawar diketahui menjadi inang setidaknya 60 virus (termasuk


coronavirus), dan mereka biasanya tinggal di gua-gua. Merusak habitat
dan mengkonsumsi satwa liar, berarti sama saja membuka dan
memperlemah benteng pertahanan manusia. Karena virus itu butuh inang
untuk hidup, dan inang itu adalah satwa liar. .
David Quammen, penulis buku Spillover: Animal Infections and the Next
Pandemic, meringkas siklus dan penyebab munculnya banyak penyakit:
virus, bakteri, kuman, kehilangan tempat tinggal akibat hutan dan alam
diinvasi manusia untuk keperluan hidup maupun keserakahan. “Kita
memotong pohon, memburu binatang, merenggut mereka dari habitatnya,
bahkan menjualnya ke pasar untuk dimakan membuat virus kehilangan
rumah alamiahnya,” tulisnya dalam New York Times. “Mereka mencari
inang baru dan itu adalah tubuh manusia.”

Kate Jones dkk yang menulis di jurnal Nature menemukan bahwa selama
1940-2004 ditemukan 335 jenis penyakit baru, 72% berasal dari satwa liar.
Tepat pada periode itu, jumlah emisi Gas Rumah Kaca memecahkan rekor
dalam 800.000 tahun dan jumlah CO2 di atmosfer tembus 400 ppm.

John Vidal, environmental editor The Guardian, mendatangi Desa Maybout


di Gabon, asal muasal virus ebola, yang membunuh 11.300 orang dalam
dua tahun pada 1996. Ia penasaran mengapa Mayobut yang berada di
kawasan hutan tropis bisa menyimpan virus yang ganas itu. Vidal langsung
menemukan jawabannya ketika ia berkano (sejenis ketinting/perahu)
menyusuri hutan di sana yang telah rusak akibat pembalakan dan
penambangan emas.

Dari penduduk desa, ia mendapat cerita bahwa orang pertama yang


meninggal akibat demam adalah seorang anak yang pergi ke hutan
memburu simpanse dan memakan dagingnya. Orang-orang yang turut
memakannya tak selamat setelah dua hari demam hebat. Daging
simpanse itu kemudian dikenal menyimpan ebola yang menular antar
manusia.

SR: Jika memang ada kaitannya, berarti ancaman biologis seperti itu


masih akan menghantui umat manusia? Bagaimana antisipasi yang harus
dilakukan oleh pemerintah dan umat manusia?
NM: Saya prediksi masih akan terjadi. Bumi kita kerusakannya sudah
lumayan nyata dan dia akan memiliki cara (mekanisme) sendiri untuk
melakukan pemulihan (recovery). Dalam proses pemulihan dan upaya
mencapai keseimbangan, akan ada berbagai kejadian yang harus
dirasakan oleh manusia.

Sebenarnya sudah banyak peringatan yang diberikan oleh bumi.


Kecepatan mencairnya es di kutub utara, cuaca panas dan kebakaran
ekstrem di Australia akhir 2019, banjir berulang di Jakarta dan Samarinda.
Bila bencana dan wabah terjadi bersamaan, manusia pasti akan
kewalahan. Rumah sakit dan tenaga medis tidak akan mampu.

Saya mendengar kabar bahwa baru saja terjadi adalah gempa di Kroasia.
Bayangkan bagaimana pemerintah dan penduduknya yang harus lock
down di rumah, terpaksa keluar karena ada gempa.

Indonesia dan Kaltim, harus menyadari bahwa kekayaan alam, berupa


ekosistem hutan hujan tropis (tropical rainforest dan ekosistem laut, yang
tersisa ini adalah modal untuk mandiri, survival, dan harus dijaga sekuat
tenaga.

Kita dianjurkan harus sering cuci tangan dan mandi setiap habis keluar,
dan wabah ini terjadi kala kita masih di musim penghujan, sehingga air
berlimpah. Ini adalah privilege (kenyaman/kenikmatan).

Sumber air terjaga adalah buah keberadaan hutan. Coba bayangkan kalo
hutan habis dan jadi gurun? Kita akan sulit menemukan air. Lebih penting
dari itu, di hutan juga tempat tinggal satwa liar yang menjadi inang-inang
berbagai virus tersebut.

Sehingga, intinya kita harus sungguh-sungguh menjaga ekosistem hutan


dan ekosistem laut kita. Ekosistem itu merupakan rumah alami aneka
satwa liar baik yang berukuran besar maupun berukuran nano (semisal
virus corona). Kedua, kita sudah harus meninggalkan cara-cara eksploitatif
dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Sudah saatnya mendorong
ekonomi hijau yang berorientasi kepada keberlanjutan (sustainable
development) dan keadilan sosial.

Jaga ekosistem karst di Kaltim karena di dalamnya ada ribuan gua yang
menjadi rumah alami kelelawar dan aneka satwa. Manfaatkan secara bijak,
misal dengan pengembangan Taman Bumi (Geopark) untuk wisata
berbasis alam.

China, Vietnam dan tetangga dekat Malaysia sudah memulai dan hasilnya
luar biasa. Alamnya terjaga dan pendapatan (devisa) terus masuk.
Hijaukan kota-kota dan tambah rasio ruang terbuka hijau.

Untuk ini, Pemerintah daerah bisa buat kebijakan yang mewajibkan


menanam pohon tiap pengantin dan tiap rumah. Restorasi yang sudah
rusak (lubang tambang). Buka data, transparansi pemerintah dan ajak
semuanya bergerak.

SR: Apakah langkah yang dilakukan pemerintah saat ini untuk meredam


penularan virus corona sudah tepat?

NM: Dalam derajat tertentu, langkah mencegah dan memutus rantai


penyebaran virus merupakan opsi yang harus ditempuh. Mencegah jauh
lebih penting mengingat kapasitas Rumah Sakit dan tenaga medis kita jauh
dari cukup. Ikhtiar ini akan menjadi sempurna manakala warga masyarakat
dan dunia usaha turut berperan dlm mengurangi interaksi antar manusia.
Kurangi kumpul-kumpul dan jaga jarak (physical distancing).

Saya lebih cenderung menggunakan istilah physical distancing (jaga jarak


fisik), dibandingkan menggunakan istilah Social distancing. Di era seperti
sekarang ini kohesivitas (ikatan) social harus dikuatkan dan didekatkan
agar menjadi semacam “teamwork” Tangguh menghadapi wabah corona.
Diperlukan jiwa sukarela untuk melakukan collective actions agar efektif
memutus rantai dan kecepatan penyebaran virus ini.

Namun, saya akan terus mengingatkan bahwa akar masalahnya adalah


kita harus berdamai dan memperbaiki hubungan dnegan alam. Kita harus
banyak memohon ampun kepada Sang Pemilik Alam dan memperbaiki
cara hidup di bumi ini. Tidak hanya untuk mencegah virus corona namun
juga untuk mencegah dna meminimalkan bencana lainnya seperti
kebakaran, banjir, longsor, abrasi, dsb.

SR: Kira-kira berapa lama lagi teror virus corona ini akan berlalu?

NM: Akan tergantung dari seberapa efektif ikhtiar kita dalam mencegah


dan memutus rantai penyebaran virus ini. Saya tentu berharap secepatnya.

Untuk lahirnya collective actions yang efektif, diperlukan kesadaran bahwa


kita sedang menghadapi krisis (sense of crisis). Krisis ini hanya bisa kita
cegah manakala kita semua, siapapun kita, dan apapun posisi kita, turut
mengambil peran aktif di dalamnya. Salah satunya, dengan mematuhi
arahan pemerintah dan ulama yakni meminimalkan interaksi fisik dan
kumpul-kumpul. Sebab “musuh” yang menyerang kita sungguh tidak
terlihat dan karenanya kita cenderung meremehkan.

Selain itu, mari kita terus doakan dan dukung para tenaga medis yang
sedang berjihad mempertaruhkan nyawanya, dengan stay at home (tinggal
di rumah).
Ini adalah saatnya menunjukkan bahwa pandemi adalah waktunya untuk
saling menguatkan, saling mendukung dan berlomba untuk menjadi
manusia seutuhnya. Manusia yang peduli sesamanya dan peduli
kesehatan bumi.

Penulis: Redaksi Selasar


Editor: Awan
BERITA LAINNYA

Terus Melonjak, Pasien Positif Corona di Indonesia Sudah 1.024 Orang


7 menit yang lalu

ODP Corona di Kukar Bertambah Lagi, Dua Pasien Positif Membaik


52 menit yang lalu

DIPERPANJANG! Pelajar Kaltim Belajar di Rumah sampai Tengah April


6 jam yang lalu

Umat Diimbau Tak Lakukan Ibadah yang Mengumpulkan Massa, Termasuk Salat Jumat
19 jam yang lalu
TERANYAR

ODP Corona di Kukar Bertambah Lagi, Dua Pasien Positif Membaik


52 menit yang lalu

Para Sejawat Jibril


4 jam yang lalu

DIPERPANJANG! Pelajar Kaltim Belajar di Rumah sampai Tengah April


6 jam yang lalu

Umat Diimbau Tak Lakukan Ibadah yang Mengumpulkan Massa, Termasuk Salat Jumat
19 jam yang lalu
Kaltim Terima 2.400 Alat Uji, Ini Daftar Orang yang Diprioritaskan Ikuti Rapid Test
Corona
19 jam yang lalu
INFOGRAFIK
TENTANG KAMI REDAKSI KONTAK PEDOMAN MEDIA SIBER

Bumi butuh istirahat—–Earth is taking a break. Kalimat ini saya temui pada
sebuah status di media sosial. Cukup singkat tapi menggambarkan
bagaimana situasi di pusat-pusat dunia yang berubah menjadi sepi akibat
berhentinya aktifitas manusia. Saya termenung panjang ketika melihat suatu
gambar yang menunjukkan hilangnya keramaian pada Il Piazza del Duomo,
pusat kota termasyhur di Milan, Italia akibat keganasan virus corona. Seketika
ingatan saya berkelindan pada karakter Bodhi pada novel Supernova, yang
diceritakan punya kemampuan untuk menjadi dan juga bisa merasakan hal
yang sama pada setiap benda apa saja yang dia tatap. Jika dia melihat lalat,
segala inderanya tiba-tiba seakan berubah menjadi lalat. Sembari mengingat
memori itu, sejenak pandangan mata saya arahkan ke sawah dan perkebunan
di sekeliling. Tak sengaja, sebuah pertanyaan kemudian muncul di benak
saya. How is it feel to be Earth ? *** Saya larut membayangkan, bagaimana
rasanya jika 80 % tubuhmu awalnya adalah hutan yang memproduksi oksigen
sehingga membuatmu leluasa bernafas sekaligus menyuplai energi untuk
tubuhmu berotasi. Namun, tiba-tiba hanya dalam jangka waktu sekitar 200
tahun, semua berubah dipenuhi bangunan-bangunan beton yang
menghasilkan polusi sehingga membuat dadamu sesak ? Mungkinkah
sebagai bumi, kau akan marah pada manusia? yang notabenenya didaulat
sebagai khalifah, bertugas untuk menjaga segala apa yang ada di dalam
tubuhmu. Batin saya mendesak prihatin, sudah selayaknya Bumi marah.
Dalam keseharian kita, kesakitan yang dalam justru berasal dari kekecewaan
yang diperoleh karena terkhianati oleh kawan sendiri. Manusia, berawal dari
paham antroposentrisnya, kemudian menganggap bumi dan aspek yang lain
adalah objek yang diperuntukkan untuk kelangsungan hidup manusia itu
sendiri. Pemahaman ini, juga menjadi basis dari perilaku ekonomi manusia.
Alam dengan segala kekuasannya dipandang sebagai sumber daya yang
bebas dikeruk dan diolah, melalui kekuatan rasio dan sebebas insting
manusia menuntun.  Celakanya, ada sekitar 7,5 milliar manusia yang secara
sukarela mengeksplorasi bumi agar tetap hidup. Sehingga nyaris pada setiap
bagian di Bumi, dosa manusia dengan gampang ditelusuri jejaknya. Baca
Juga  Menaklukkan Jarak Absolut, Mendekatkan Jarak Relatif Manusia dan
Alam Kita urai satu per satu. Untuk menghasilkan makanan, proses awal, dan
konvensional yang bisa kita lakukan adalah membuka lahan dengan
menebangi pohon-pohon. Seiring berjalannya waktu, keinginan untuk
menghasilkan sesuatu dengan instan membuat manusia menyakiti tanah.
Pupuk kimia digunakan untuk memperkuat sektor pertanian, yang kemudian
mengubah struktur tanah menjadi gersang dan tak dapat dinikmati lagi oleh
tumbuhan lainnya. Tak lama kemudian, kedigdayaan rasio membuat manusia
semakin bertumbuh. Alat produksi yang awalnya sederhana, dikembangkan
menjadi jauh lebih revolusioner lewat kemajuan teknologi. Di awal abad 18,
rivalitas cendekiawan menghasilkan suatu penemuan fenomenal; teknologi
listrik, yang juga menjadi pondasi dari revolusi industri kedua. Fase ini
membuat manusia menjadi semakin ganas. Lahan-lahan hijau digusur,
berganti menjadi hutan-hutan beton berwujud pabrik. Penemuan listrik pun
menjadi loncatan tinggi bagi cara manusia memproduksi sesuatu; menjadi
semakin cepat (effisien) dan dengan jumlah yang banyak (massif) tanpa
memerlukan banyak waktu. Kehadiran pabrik pun menjadi masalah besar bagi
lingkungan. Karena tak hanya tanah yang direnggut, limbah hasil produksi pun
dialirkan ke sungai-sungai sebagai wadah penampungan. Realitas akan
tercemarnya sungai dan laut akibat bertumpuknya limbah hasil industri
ataupun rumah tangga terpampang dengan jelas. Hati saya semakin miris
ketika membaca laporan soal matinya empat pesut (lumba-lumba) air tawar
khas pulau Kalimantan di sungai Mahakam. Limbah rumah tangga maupun
industri lagi-lagi menjadi penyebab utama memburuknya kualitas air di sungai
Mahakam. Setelah secara sadar menyakiti tanah, manusia beralih pada air.
*** Tak berhenti sampai disitu, manusia dengan aktifitas ekonominya
bergerak untuk meracuni udara. Tak peduli jika udara adalah salah satu
sumber vital manusia untuk bertahan hidup. Baca Juga  Science dan
Modernisasi yang Berkelindan Emisi karbon akibat limbah pembangkit listrik
dan pabrik, atau sistem pembakaran pada kendaraan punya sumbangsih
besar pada pemanasan global dan perubahan iklim. Jadi air, tanah dan udara,
tiga elemen penting pada Bumi menjadi saksi betapa mengerikannya aktifitas
ekonomi manusia. Sebenarnya, situasi kritis ini perlahan memunculkan
kesadaran akan lingkungan dari berbagai orang. Satu dari sekian di antaranya
adalah Gunter Pauli dengan konsep Ekonomi Biru-nya. Upaya untuk memadu-
padankan antara aktifitas ekonomi dan keseimbangan lingkungan agaknya
menempuh jalan buntu pada konsep Green Economy. Sebabnya, konsep
Green Economy dianggap mahal dan tidak solutif untuk diterapkan. Aliran
yang bertumpu pada pola pikir modernisasi ekologi yang berusaha membuat
proses produksi menjadi ramah lingkungan lewat mesin-mesin teknologi yang
canggih. Alhasil, kritikan datang pada output proses ini berupa produk
“ecolabel” yang cenderung mahal.   Maka, gagasan ekonomi biru bertumpu
pada semangat untuk mengurangi limbah dengan menjadikan limbah sebagai
bahan baku pada proses produksi selanjutnya, bukan berakhir sebagai hal
yang tak berguna. Ide ini sesungguhnya bercermin pada cara kerja alam yang
tak pernah menghasilkan sisa pada setiap proses produksinya. Ajakan untuk
menjadikan alam sebagai bahan integral dari pembangunan berkelanjutan ini
juga disampaikan dengan indah lewat pidato Presiden SBY pada Konvensi
Pembangunan Berkelanjutan PBB di Brasil tahun 2012 yang mengangkat tema
sangat melankolis ” The future that we want “ Pembunuh Sebenarnya
Berbagai konvensi dilewati, sekian perjanjian telah disetujui. Namun, ironi
tetap tak berhenti. Laporan dari IPBES [The Intergovernmental Science-Policy
Platform on Biodiversity and Ecosystem Services] menyampaikan hal yang
menyayat hati. Dalam prediksi dari 150 orang ilmuwan yang menyadur sekitar
15.000 hasil kajian, mereka mengungkapkan bahwa satu juta jenis spesies
baik di darat dan di laut terancam punah akibat kerusakan ekologi. Baca Juga 
Inilah Keunggulan Kalender Hijriyah Dibanding Kalender Lain Ketidakpedulian
kita terhadap lingkungan agaknya mengganas dalam beberapa tahun terakhir.
Selain sukses membunuh berbagai macam spesies, peningkatan produksi
pangan manusia sebesar 300 % dalam 40 tahun terakhir juga telah
mengorbankan hutan akibat perluasan budidaya pertanian dan perkebunan.
Saya pun terpikir, jika virus corona sampai tulisan ini dibuat telah membunuh
hampir 8.000 orang di 152 Negara, bagaimana dengan pembunuhan
berencana yang dilakukan manusia pada alam dalam beberapa abad terakhir?
Siapa kira-kira yang lebih kejam? Apalagi, pada akhirnya obat penangkal pada
virus ini akan ditemukan, namun pembunuhan berkelanjutan manusia pada
alam adalah sesuatu yang sulit dihentikan. Padahal, kalimat hikmah dari
negara Bhutan di pegunungan Himalaya sudah mengingatkan kita “jika pohon
terakhir sudah ditebang, sungai terakhir dikosongkan dan ikan terakhir telah
ditangkap, saat itulah manusia menyadari bahwa uang tak memberikan
kehidupan”. Maka, terinspirasi dari tulisan seorang aktifis Jaringan Intelektual
Muda Muhammadiyah (JIMM), abang A.S. Rosyid, sebagaimana kita tak dapat
mengembalikan setiap nyawa yang hilang akibat virus corona, manusia pun
tak akan mampu memulihkan peradaban ekologis yang lenyap akibat dari
aktifitas ekonomi yang sembarangan. Jadi, virus corona mungkin menjadi
pertanda yang nyata, bahwa Bumi mungkin butuh istirahat dari penatnya
aktifitas manusia yang merusaknya. Misalnya saja, aktifitas bertransportasi
yang menyumbang angka 70 % pada penyebab buruknya kualitas udara di
Kota Jakarta yang mencapai level sangat tidak sehat. Editor: Yahya FR Irsyad
Madjid Kader IMM Malang Raya, anggota di Kader Hijau Muhammadiyah
(KHM) Komite Malang Raya Related post ESSAY Nabi Ayub, Cerita Konspirasi,
dan Kita 27/03/2020 FILSAFAT Mengapa Orang Berbuat Baik? 27/03/2020
ESSAY Orang Indonesia Kok Dilawan! 27/03/2020 ESSAY Nabi Ayub, Cerita
Konspirasi, dan Kita 27/03/2020 FILSAFAT Mengapa Orang Berbuat Baik?
27/03/2020 ESSAY Orang Indonesia Kok Dilawan! 27/03/2020 ESSAY Nabi
Ayub, Cerita Konspirasi, dan Kita 27/03/2020 Tinggalkan Balasan Facebook
CommentsWordpress Comments (0) BERITA & ARTIKEL TERBARU ESSAY
Orang Indonesia Kok Dilawan! 27/03/2020 ESSAY Nabi Ayub, Cerita
Konspirasi, dan Kita 27/03/2020 FILSAFAT Mengapa Orang Berbuat Baik?
27/03/2020 ESSAY Covid-19 dan Peradaban-peradaban yang Tumbang
27/03/2020 IBTIMES.ID – KANAL ISLAM BERKEMAJUAN IBTimes.id Kanal
Islam Berkemajuan. Menyajikan Wacana Keislaman, Kemoderenan dan
Keindonesiaan. Jalan Nanas 47B, Banyuraden, Gamping, Sleman, Yogyakarta. 
E-mail: redaksi@ibtimes.id Tentang Kami Disclaimer Redaksi Media Siber
Kontak Kami 2018 IBTimes Indonesia Tentang Kami   Disclaimer   Redaksi   
Media Siber   Kontak Kami . See - https://ibtimes.id/virus-corona-dan-bumi-yang-
butuh-istirahat/

Hitekno.com - Virus corona menjadi teror di dunia selama beberapa


waktu belakangan ini, Bumi seolah dibuat istirahat dari keramaian. Belum
lama ini, netizen mengunggah deretan potret Bumi istirahat yang
langsung saja membuat terenyuh banyak orang.

Adalah netizen dengan akun @a7medabdelhady1 yang pertama kali


mengunggah potret Bumi istirahat dan menjadi viral di Twitter pada Jumat
(13/3/2020) lalu.
Dalam potret tersebut, nampak beberapa tempat-tempat populer yang
biasanya selalu ramai. Namun, karena virus corona, tempat-tempat
tersebut justru sepi dari pengunjung.

"Bumi mengambil istirahat, istirahat yang sangat dibutuhkan" tulis


@a7medabdelhady1 dalam cuitannya.
Baca Juga
 Bukan Diaduk, Kreasi Bubur Goreng Ini Bikin Netizen Emosi
 Disangka Leci, Penampakan Buah Misterius Ini Bikin Netizen Syok
 Populer: Peta Lokasi Pasien Virus Corona, Tirukan Gaya Rambut Pakai Pocky
 Peta Sebaran Lokasi Pasien Virus Corona di Jakarta, Paling Banyak di Jaksel

Sepinya tempat ini dari pengunjung terkait dengan kebijakan WHO yang
meminta untuk menghindari keramaian sebagai upaya agar terhindar dari
virus corona.
Potret Bumi istirahat. (twitter/a7medabdelhady1)

Nampak dari potret ini beberapa tempat-tempat populer yang sepanjang


saat selalu ramai dengan pengunjung. Beberapa tempat tersebut antara
lain Kota Mekkah, Wuhan, Venice Italy, hingga St Mark's Basilica di San
Marco.

Selain menjadi tempat wisata, beberapa tempat populer ini salah satunya
menjadi tempat tujuan beribadah yang setiap harinya selalu ramai dengan
pengunjung. Namun, karena ancaman virus corona, tempat ini harus
berhenti beroperasi.
Karena fenomena ini, netizen lalu menyebut bahwa Bumi sedang
beristirahat dari berbagai hal setelah selama bertahun-tahun terus aktif.

Potret Bumi istirahat. (twitter/a7medabdelhady1)

"Earth time, semoga Allah melindungi kita. Amiin" tulis netizen pemilik akun
@syahir4zizan.

"Mother Nature selalu memiliki caranya sendiri untuk pulih, ya dia selalu
melampaui kita" balas pemilik akun @brrywgn.
"Sudah waktunya untuk bernafas Bumi! Kami terus berjalan dan lupa
bahwa kamu membutuhkan waktu sendiri juga. Kamu hanya mengingatkan
kami #Covid_19" ungkap netizen dengan akun @lookingroom_pic.

Potret viral saat Bumi istirahat ini diketahui telah mengumpulkan lebih dari
84 ribu retweets dan 351 komentar netizen.

Tag

Anda mungkin juga menyukai