Anda di halaman 1dari 12

TUGAS UTS

ANALISIS PENYAKIT DEMAM TIFOID

DOSEN PENGAMPUH : NURSIA AJA SKM. M.,SC

DI SUSUN OLEH

NAMA : NURUL ISNA AJENG SARI


HI.YUSUP

NPM : 121051320118062

SEMESTER : 6 (Enam)

PEMINATAN : EPIDEMIOLOGI

MATA KULIAH : EPIDEMIOLOGI TROPIS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHTAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALUKU UTARA

2021
1. Pendahuluan

Tifoid merupakan penyakit demam akut dan mengancam jiwa yang disebabkan

oleh infeksi sistemik dari bakteri Salmonella enteric dengan serotype masing-

masing typhi dan paratyphi. Gejala klasik penyakit ini adalah onset bertahap

demam berkelanjutan setinggi 103 ̊F-104 ̊F (30 C


̊ -40 ̊C), menggigil dan sakit

perut. Selain itu, gejala lainnya adalah sakit kepala yang berat,badan lemah,

anoreksia, bradikardi relatif, splenomegali,pada penderita kulit putih 25%

diantaranya menunjukkan adanya “rose spot” pada tubuhnya, batuk tidak

produktif pada awal penyakit, pada penderita dewsa lebih banyak terjadi

konstipasi dibandingkan dengan diare. Masa inkubasi demam tifoid tergantung

dari jumlah bakteri yang menginfeksi, masa inkubasi dapat berlangsung dari

tiga hari sampai dengan satu bulan dengan rata-rata antara 8-14 hari.

2. Epidemiologi

Tifoid terdapat di seluruh dunia dan penyebarannya tidak bergantung pada iklim

sebab penyebaran penyakit ini bersifat fecal-oral. Tifoid lebih banyak dijumpai di

negara-negara berkembang didaerah tropis yang berkenaan dengan

ketersediaan air bersih, sanitasi lingkungan, dan kebersihan individu yang kurang

baik. Menurut WHO, sekitar 21 juta kasus tifoid dan 222.000 kasus kematian

berhubungan dengan penyakit ini terjadi secara global tiap tahunnya, dimana

kebanyakan mengenai anak-anak kecil dan usia sekolah di Asia. Sedangkan,

dalam referensi lain mengatakan bahwa diperkirakan angka kejadian

penyakit ini mencapai 13-17 juta kasus di seluruh dunia dengan angka

kematian mencapai 600.000 jiwa per tahun. Daerah endemiknya tersebar di

berbagai benua, mulai dari Asia, Afrika, Amerika Selatan, Karibia, hingga

Oceania. 80% kasus ditemukan di negara-negara berkembang, seperti


Bangladesh, LAOS, Nepal, Pakistan, India, Vietnam, dan Indonesia. Di

Indonesia, mayoritas penderitanya adalah kelompok umur 3-19 tahun (91%)

(WHO, 2003).Di Indonesia, Kabupaten Sumba Barat Daya adalah salah

satu daerah endemic tifoid dengan angka kesakitan diperkirakan

mencapai 725/100.000 penduduk per tahun. Angka tersebut melebihi angka

kesakitan rata-rata kejadian demam tifoid di daerah pedesaan Indonesia

(385/100.000 penduduk) bahkan mendekati angka kesakitan untuk penduduk

perkotaan (810/100.000 penduduk)

3. Etiologi

Etiologi tifoid adalah bakteri gram negatif, bentuk batang, tidak berkapsul, bersifat

aerobik dan anaerob fakultatif, memiliki flagela dan tidak berspora,

dinamakan Salmonella typhi atau Salmonella entérica serotype Typhi

4. Penularannya

Penularan demam tifoid dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu dikenal dengan

5F yaitu (food, finger, fomitus, fly, feses) Feses dan muntahan dari penderita

demam tifoid dapat menularkan bakteri Salmonella typhi kepada orang lain.

Kuman tersebut ditularkan melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi

dan melalui perantara lalat, di mana lalat tersebut akan hinggap di makanan yang

akan dikonsumsi oleh orang sehat. Apabila orang tersebut kurang

memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang

tercemar oleh bakteri Salmonella typhi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui

mulut selanjutnya orang sehat tersebut akan menjadi sakit.

Penyuluhan dan edukasi terkait penyakit demam tifoid (gejala,penyebab

langsung, faktor resiko, bahaya dan sebagainya) Sosialisai melalui media massa

(poster, iklan, brosur, pamflet, dsb)


General and Specific Protection (Perlindungan Umum dan Khusus) Mengajak

masyarakat untuk gotong-royong melakukan sanitasi lingkungan (bersih-bersih

pekarangan rumah, fasilitas umum seperti bak sampah, dsb.) Memperhatikan

sarana dan sumber air bersih Mengajak masyarakat untuk melakukan personal

hygiene (mencuci tangan setelah buang air besar, dan sesudah maupun

sebelum makan) Mengadakan pelatihan cara mengolah dan menyajikan

makanan yang baik, sehat, dan bersih kepada para Ibu rumah tangga Mengajak

masyarakat untuk selalu memanfaatkan toilet ketika (maaf) buang air besar

maupun buang air kecil. Pasteurisasi susu yang tepat Imunisasi/vaksinasi,

terutama kepada para tenaga medis, anggota keluarga penderita, dan turis

asing yang mendatangi daerah endemis

Early Diagnosis and Promt Treatment (Diagnosis Dini dan Pengobatan Segera)

Screening Pengobatan yang cepat dan tepat, seperti pemberian antibiotika

yangtepat Pencarian dan pelaporan kasus demam tifoid yang rutin dan sigap

Tertiary Prevention Pencegahan ini dilakukan terhadap pasien atau penderita

penyakit tertentu sehingga diharapkan dapat mencegah bertambah parahnya

penyakit yang diderita dan mencegah terjadinya kecacatan mapun kematian.

Disability Limitation (Pembatasan Kecacatan) Ahli medis melakukan pengobatan

secara intensif Perencanaan pengobatan yang spesifik, sperti pada

orang dewasa menggunakan ciprofloxacin dan untuk anak-anak ada TMP-SMX

yang masih efektif untuk penderita akut (Rehabilitasi) Penderita disarankan untuk

menjaga personal hygiene, sanitasi lingkungan dan makanan, sarana air bersih,

dan sebagainya.

5. Gejala dan tanda


a. Demam yang meningkat secara bertahap tiap hari hingga mencapai 39°C-

40°C dan biasanya akan lebih tinggi pada malam hari

b. Nyeri otot

c. Sakit kepala

d. Merasa tidak enak badan

e. Sakit perut

f. Berat badan menurun

6. Pengobatan

Penanganan penyakit tifus dilakukan dengan pemberian obat antibiotik.

Pengobatan bisa dilakukan di rumah atau perlu dilakukan di rumah sakit.

7. Pencegahan

Pencegahan tingkat dasar merupakan upaya pencegahan dini terhadap penyakit

secara umum oleh masyarakat. Hal ini terkait dengan usaha memelihara atau

mempertahankan gaya hidup sehat masyarakat. Selain itu, pencegahan dapat

dilakukan agar kebiasaan buruk atau tidak sehat masyarakat kemudian tidak

diikuti oleh generasi selanjutnya. Oleh karena pencegahan ini masih bersifat

umum (tidak untuk penyakit tertentu) sehingga bisa digunakan tidak hanya

untuk penyakit demam tifoid saja tetapi juga untuk penyakit lainnya. Contoh

primordial prevention, yaitu menjaga pola makan sehat, sanitasi personal

maupun lingkungan, dan sebagainya.

8. Faktor resiko

Sanitasi lingkungan yang buruk meliputi sumber air bersih yangtercemar, kondisi

lingkungan sekitar rumah maupun di dalam rumah yang kotor (sampah

bertebaran di mana-mana), kotoran hewan dijalan umum yang tidak

dibersihkan (dibiarkan begitu saja), dan sebagainya.


Personal hygiene yang buruk ini dapat berupa perilaku tidak bersih dan sehat

oleh anggota masyarakat, seperti tidak mencuci tangan sebelum maupun

sesudah makan, menggunakan peralatan makan yang sudah dipakai

sebelumnya (belum dicuci langsung dipakai kembali, atau kalaupun dicuci

tetapi tidak bersih), tidak menggunakan jamban atau toilet untuk buang air

besar maupun buang air kecil.

Menjadikan sungai sebagai sapiteng rumah tangga Hal ini dapat mencemari

sungai sehingga bakteri S.typhi dapat menyebar di dalam sungai. Jika, sungai

tersebut dimanfaatkan sebagai tempat untuk mandi, cuci, kakus maka bakteri S.

typhi akan sangat mudah menginfeksi manusia. Mengkonsumsi makanan

(khususnya sayuran) dalam kondisi mentah dan minum air yang tidak direbus

Makanan atau minuman yang tidak dimasak hingga matang atau mendidih

(untuk air) akan menyebabkan bakteri yang berada pada sayur dan yang

berada didalam air tidak mati sehingga akan dengan mudah termakan dan

masuk ke dalam tubuh. Pasteurisasi susu yang tidak baik Pasteurisasi susu yang

menggunakan suhu yang tidak sesuai maka dapat memicu berkembangnya

bakteri-bakteri termasuk bakteri S.typhi, apabila terminum oleh manusia maka

akan masuk ke dalam tubuh dan menginfeksi manusia tersebut. Cara

pengolahan dan penyajian makanan dan minuman yang tidak baik Cara

pengolahan dan penyajian makanan dan minuman yang tidak sesuai standar

kebersihan.
TUGAS UTS

ANALISIS PENYAKIT KUSTA

DOSEN PENGAMPUH : NURSIA AJA SKM. M.,SC

DI SUSUN OLEH

NAMA : NURUL ISNA AJENG SARI


HI.YUSUP

NPM : 121051320118062

SEMESTER : 6 (Enam)

PEMINATAN : EPIDEMIOLOGI

MATA KULIAH : EPIDEMIOLOGI TROPIS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHTAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALUKU UTARA

2021
Kusta merupakan penyakit kulit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium

Leprae. Kusta dikenal dengan “The Great Imitator Disease” karena penyakit ini

seringkali tidak disadari karena memiliki gejala yang hampir mirip dengan penyakit

kulit lainnya. Hal ini juga disebabkan oleh bakteri kusta sendiri mengalami proses

pembelahan yang cukup lama yaitu 2–3 minggu dan memiliki masa inkubasi 2–5

tahun bahkan lebih (Kemenkes RI, 2018). Insiden kusta di dunia pada tahun 2016

berdasarkan data WHO mengalami peningkatan, yakni dari 211.973 pada tahun

2015 menjadi 214.783 di tahun 2016. Sebesar 94% dari insiden kusta ini dilaporkan

oleh 14 negara dengan >1000 kasus baru tiap tahunnya. Hal ini menunjukkan masih

banyak wilayah yang menjadi kantong endemisitas tinggi kusta di dunia.

Kesembuhan penyakit kusta berhubungan erat dengan keberhasilan pengobatan.

Pengobatan kusta telah disesuaikan dengan standar WHO. Kusta PB diterapi

dengan pemberian Rifampicin & Dapson selama 6 bulan, sementara kusta MB

diterapi yakni dengan penambahan Clofazimin oleh WHO selama 12 bulan (Kumar,

Girdhar, Chakma, & Girdhar, 2015). Sejak tahun 2015 hingga tahun 2017, Jawa

Timur telah menunjukkan peningkatan persentase kebehasilan pengobatan

penderita kusta. Angka keberhasilan pengobatan penderita kusta pada tahun 2015

telah melebihi target secara kumulatif (>90%). Penderita kusta yang berhasil

menyelesaikan Multidrug Treatment (MDT) berjumlah 136.544 kasus. Angka

keberhasilan pengobatan PB di tingkat provinsi pada tahun 2015 mencapai 91,10%,

sedangkan pencapaian di kabupaten/kota sebesar >90% di 22 kabupaten/kota.

Pada tahun 2016 penderita yang berhasil MDT meningkat sebanyak 138.897 kasus,

namun ditingkat provinsi mengalami penurunan yakni 90%, sedangkan ditingkat

kabupaten/kota MDT >90% mengalami peningkatan sebesar 81,60% di 33


kabupaten/kota. Peningkatan ini juga terjadi pada tahun 2017 yang menunjukkan

bahwa pencapaian di tingkat provinsi sedikit naik menjadi 90,40%, sedangkan di

kabupaten/kota masih di angka yang sama seperti pada tahun 2016 (Dinkesprov

Jawa Timur, 2018).

Gambaran kasus kusta tipe PB berdasarkan jenis kelamin dari tahun 2015-2017

menunjukkan adanya fluktuasi kasus antara laki-laki dan perempuan setiap

tahunnya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gero & Reinaldis

(2015) yang menyatakan bahwa sejak tahun 2002 sampai dengan tahun 2011, atau

selama 10 tahun berturut-turut mayoritas penderita kusta di Rumah Sakit Pembantu

Abad Naob, Kafamenanu adalah laki-laki dengan jumlah total 797 selama 10 tahun,

atau 89% dari jumlah total penderita kusta yang ada. Jika dirata-rata penderita kusta

laki-laki pertahunnya berjumlah 80 orang. Penderita kusta perempuan yang ada

yaitu hanya berjumlah 102 penderita selama 10 tahun, atau hanya sekitar 11% saja.

Tingginya kasus kusta tipe PB, terutama pada laki-laki dari pada perempuan

disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah mobilitas laki-laki lebih tinggi

daripada perempuan, sehingga frekuensi paparan lebih besar dari pada perempuan

(Kuswiyanto, 2015). Faktor lain yaitu perbedaan perilaku pencarian pengobatan

pada laki-laki biasanya lebih tidak peduli dengan kondisi tubuhnya, dibandingkan

dengan perempuan yang lebih cepat dalam mencari pengobatan karena lebih peduli

dengan penampilan (Ranjan, Dogra, & Dogra, 2015). Perbedaan aktivitas juga bisa

menjadi penyebabnya. Besarnya frekuensi dan intensitas aktivitas pada seseorang

diluar rumah misalnya dalam bekerja, bersosialisasi, dan melakukan interaksi

dengan banyak orang bisa menjadi faktor risiko penularan kusta, sebab bisa jadi

interaksinya tersebut dilakukan dengan orang yang sudah terinfeksi oleh bakteri

kusta dan berpotensi menularkannya pada orang lain yang ada disekitarnya (Susanti
& Azam, 2016). Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Blora pada tahun 2016

menunjukkan bahwa pada penderita kusta berjenis kelamin laki-laki yang telah

melakukan praktik pencarian pengobatan dengan baik sebesar 61,90%. Penderita

kusta laki-laki yang praktik pencarian pengobatannya buruk sebesar 38,10%. Salah

satu faktor penyebabnya adalah adanya keterbatasan waktu dalam hal pencarian

pengobatan atas kondisi kustanya. Sebagian laki-laki biasanya lebih mementingkan

untuk bekerja dibandingkan berobat ke pelayanan kesehatan untuk pengobatan

kustanya sedini mungkin (Madyasari, Saraswati, Adi, & Wuryanto, 2017).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kbupaten Sumenep merupakan kabupaten

dengan kasus kusta terutama tipe PB terbanyak dalam 3 tahun berturut-turut yaitu

dari 2015-2017. Jika dilihat dari segi geografis, kabupaten tersebut merupakan

kabupaten yang termasuk dalam wilayah/daerah Tapal Kuda, yakni sekitar Madura,

sampai daerah di sepanjang Pantai Utara Jawa Timur. Hal ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Aisyah & Agusni (2018) yang menyatakan bahwa

jumlah pasien terbanyak yang datang ke unit rawat jalan rumah sakit Dr. Soetomo

Surabaya paling banyak berasal dari Kota Surabaya, Madura (Sampang, Bangkalan,

Pamekasan dan Sumenep). Pada penelitian tersebut juga dijelaskan bahwa di Jawa

Timur terutama di wilayah Tapal Kuda merupakan daerah yang endemis kusta,

setidaknya ada 16 daerah endemis kusta.

Penyakit kusta disebabkan oleh M .leprae yang ditemukan oleh G.H. Armauer

Hansen tahun 1873 di Norwegia. Basil ini bersifat tahan asam, bentuk pleomorf

lurus, batang ramping dan sisanya berbentuk paralel dengan kedua ujung-ujungnya

bulat dengan ukuran panjang 1-8 um dan diameter 0,25-0,3 um. Basil ini menyerupai

kuman berbentuk batang yang gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora.

Dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen basil yang hidup dapat berbentuk batang yang
utuh, berwarna merah terang, dengan ujung bulat (solid), sedang basil yang mati

bentuknya terpecah-pecah (fragmented) atau granular. Basil ini hidup dalam sel

terutama jaringan yang bersuhu rendah dan tidak dapat dikultur dalam media buatan

(in vitro).

Micobacterium leprae menyerang saraf tepi tubuh manusia. Tergantung dari

kerusakan saraf tepi, maka akan terjadi gangguan fungsi saraf tepi : sensorik,

motorik dan otonom. Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi

saraf tepi, baik karena kuman kusta maupun karena terjadinya peradangan (neuritis)

sewaktu keadaan reaksi lepra. Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya

kurang/mati rasa (anestesi). Akibat kurang/mati rasa pada telapak tangan dan kaki

dapat terjadi luka. Sedangkan pada kornea mata akan mengakibatkan

kurang/hilangnya reflek kedip sehingga mata mudah kemasukan kotoran, benda-

benda asing yang dapat menyebabkan infeksi mata dan akibatnya buta. Kekuatan

otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/lumpuh dan lama-lama otot mengecil

(atrofi) oleh karena tidak dipergunakan. Jarijari tangan dan kaki menjadi bengkok

(clow hand/clow toes) dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi, bila terjadi

kelemahan/ kekakuan pada mata, kelopak mata tidak dapat dirapatkan

(lagoptalmus).

Mekanisme penularan kusta yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah

dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Terdapat bukti

bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman Mycobacterium leprae

menderita kusta, Iklim (cuaca panas dan lembab) diet, status gizi, status sosial

ekonomi dan genetik Juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan

pada kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa
dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu. Faktor ketidak cukupan

gizi juga diduga merupakan faktor penyebab,

Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya

kecuali susunan saraf pusat. Kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri M.

leprae yang menyerang kulit, saraf tepi di tangan maupun kaki, dan selaput lendir

pada hidung, tenggorokan dan mata. Kuman ini satu genus dengan kuman TB

dimana di luar tubuh manusia, kuman kusta hidup baik pada lingkungan yang

lembab akan tetapi tidak tahan terhadap sinar matahari. Kuman kusta dapat

bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab, gelap tanpa sinar matahari sampai

bertahun-tahun lamanya. Manusia merupakan reservoir untuk penularan kuman

seperti Mycobacterium tuberculosis dan morbus Hansen, kuman tersebut dapat

menularkan pada 10-15 orang. Menurut penelitian pusat ekologi kesehatan (1991),

tingkat penularan kusta di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana

seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya.

Di dalam rumah dengan ventilasi baik, kuman ini dapat hilang terbawa angin dan

akan lebih baik jika ventilasi ruangannya menggunakan pembersih udara yang bisa

menangkap kuman. Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host

baik benda mati, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk

akibat interaksi semua elemen-elemen termasuk host yang lain. Lingkungan terdiri

dari lingkungan fisik dan non fisik, lingkungan fisik terdiri dari : keadaan geografis

(dataran tinggi atau rendah, persawahan dan lain-lain), kelembaban udara, suhu,

lingkungan tempat tinggal. Adapun lingkungan non fisik meliputi : sosial (pendidikan,

pekerjaan), budaya (adat, kebiasaan turun temurun), ekonomi (kebijakan mikro dan

local) dan politik (suksesi kepemimpinan yang mempengaruhi kebijakan pencegahan

dan penanggulangan suatu penyakit).

Anda mungkin juga menyukai