Anda di halaman 1dari 8

REFLEKS SPINAL PADA KATAK

Nama : Mariana Jellin Wirdiningsih


NIM : B1A019122
Rombongan :7
Kelompok :2
Asisten : Widi Kurniasih

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN I

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2020
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem saraf adalah pusat kontrol tubuh yang mengatur komunikasi serta
mengarahkan fungsi organ dan sistem tubuh. Sistem saraf terdiri dari otak,
sumsum tulang belakang, saraf dan ganglia. Sistem saraf dapat dikelompokan
menjadi dua kategori, yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Menurut
Alhagry (2017), sitem saraf pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang.
Otak adalah pusat dari segala suatu tindakan di tubuh kita dan setiap perubahan
emosi yang kita alami. Sistem saraf tepi terdiri dari semua saraf yang
menghubungkan otak dan sumsum tulang belakang dengan reseptor sensorik, otot,
dan kelenjar. Sistem saraf tepi membawa implus yang dibentuk oleh reseptor
sensorik ke sistem saraf pusat dan juga membawa implus saraf dai sistem saraf
pusat ke efektor (Chalik, 2016).
Neuron atau sel-sel saraf adalah sel halus yang menghasilkan dan mengirim
implus saraf. Neuron bersifat amitotik sehingga neuron tidak dapat digantikan jika
mengalami kerusakan karena neuron tidak mengalami mitosis. Neuron memiliki
dua karakteristik fungsional, yaitu iritabilitas dan konduktivitas. Iritabilitas adalah
kemampuan menanggapi rangsangan dengan membentuk implus saraf.
Konduktivitas adalah kemampuan untuk mengirim implus saraf sepanjang akson
ke neuron lain. Berdasarkan fungsinya neuron dibedakan menjadi tiga, yaitu
neuron aferen, neuron eferen dan neuron interneuron. Neuron aferen berfungsi
untuk menyampaikan informasi dari ujung perifer ke sistem saraf pusat. Neuron
eferen berfungsi menyampaikan informasi dari sistem saraf pusat ke sel efektor
(sel otot, kelenjar, dan sel lainnya). Neuron interneuron terletak di seluruh sistem
saraf pusat yang berfungsi sebagai integrator dan pengubah sinyal (Chalik, 2016).
Gerak dapat terjadi secara sadar dan ada pula gerak yang terjadi tanpa
disadari. Implus pada gerak sadar melalui jalan panjang, yaitu impuls dari reseptor
dibawa oleh saraf sensori ke otak untuk diolah kemudian hasil olahan berupa
tanggapan dibawa oleh saraf motor sebagai perintah kepada efektor. Gerak refleks
yang paling sederhana hanya memerlukan dua tipe sel saraf, yaitu neuron sensor
dan neuron motorik. Gerak refleks terjadi apabila rangsangan yang diterima oleh
saraf sensori langsung disampaikan oleh neuron perantara. Pada gerak refleks,
implus melalui jalur yang pendek yaitu dimulai dari reseptor penerima
rangsangan, lalu diteruskan ke saraf pusat oleh saraf sensori, kemudian diterima
oleh sel saraf penghubung dan tanggapan langsung dikirim ke saraf motor untuk
sampai ke efektor tanpa diolah di dalam otak (Wulandari, 2009).
Banyak komponen-komponen yang terlibat dalam gerak, secara disadari
maupun tidak disadari. Mekanisme gerak tubuh tak lepas dari peranan sistem
saraf. Berdasarkan fungsinya sistem saraf dibedakan menjadi tiga, yaitu sel saraf
sensorik, sel saraf mototrik dan sel saraf konektor. Sel saraf sensorik merupakan
sel yang berfungsi untuk membawa rangsangan dari reseptor ke sistem saraf
pusat. Sel saraf sensorik disebut juga sel saraf indera karena berhubungan dengan
alat indera sebagai penerima rangsangan. Sel saraf motorik adalah sel yang
berfungsi untuk membawa implus berupa tanggapan dari sel saraf pusat menuju
kelenjar tubuh. Sel saraf motorik disebut juga sel saraf penggerak karena
berhubungan dengan otot sebagai alat gerak. Sel saraf konektor atau penghubung
merupakan sel yang berfungsi meneruskan rangsangan dari sel saraf sensorik dan
sel saraf motorik (Wilarso, 2001).
Menurut Storer (1970), ada beberapa faktor yang menyebabkan gerak
refleks, antara lain: 1) adanya reseptor rangsangan dari luar, 2) Induksi nervous
implus atau badan sel saraf ke tulang tulang belakang, 3) Adanya sinapsis, 4)
Terjadinya penerimaan rangsangan oleh neuron mototrik sehingga terjadi refleks
sebagai respon. Menurut Richard dan Gordan (1989), rangsangan atau stimulus
deri luar biasanya berupa sinar, tekanan, zat-zat, dsb. Sedangkan rangsangan atau
stimulasi dari dalam yaitu berupa makanan, oksigen, air dan lainnya.

B. Tujuan

Tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui:


1. Terjadinya refleks spinal pada katak
II. MATERI DAN CARA KERJA

A. Materi

Bahan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah katak sawah
(Fejervarya cancrivora) dan larutan H2SO4 1% (asam sulfat 1 %).

Alat yang digunakan pada praktikum kali ini antara lain jarum penusuk,
pinset, gelas beker dan baki preparat.

B. Cara Kerja

1. Kepala katak dipegang dan ditundukan ke arah ventral (perut)


2. Otak katak dirusak menggunakan jarum penusuk
3. Katak diberi rangsangan stimulus dengan cara tubuhnya dibalik, kaki depan
ditarik, kaki belakang ditarik dan kakinya dicelupkan ke dalam larutan H 2SO4.
Kemudian diamati respon yang ditunjukan katak
4. ¼ medulla spinalis dirusak, kemudian diberi perlakuan atau diberi stimulus
dengan cara yang sama seperti tahap ketiga serta amati respon katak
5. 2/4 medulla spinalis dirusak, kemudian diberi perlakuan atau diberi stimulus
dengan cara yang sama seperti tahap ketiga serta amati respon katak
6. 3/4 medulla spinalis dirusak, kemudian diberi perlakuan atau diberi stimulus
dengan cara yang sama seperti tahap ketiga serta amati respon katak
7. Medulla spinalis dirusak total, kemudian diberi perlakuan atau diberi stimulus
dengan cara yang sama seperti tahap ketiga serta amati respon katak
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Tabel 3.1. Pata Pengamatan


Rangsangan Stimulus (stimulates)

Perusakan Pembalikan Penarikan (withdrawal of) Pencelupan


(damages) (body kaki ke
Kaki depan Kaki belakang
turning) H2SO4
(front legs) (hind legs)
Otak (brain) + + + ++

¼ medulla - - - ++
spinalis
½ medulla - - - +
spinalis
¾ medulla - - - +
spinalis
Total medulla - - - -
spinalis

Keterangan
++ : ada respon, cepat
+ : ada respon, lambat
- : tidak ada respon

B. Pembahasan

Berdasarkan data pengamatan, diperoleh hasil sebagai berikut. Saat otak


katak dirusak, katak masih dapat memberikan respon berupa usaha untuk
mengembalikan tubuhnya ke posisi semula setelah diberi perlakuan berupa dibalik
posisi tubuhnya, ditarik kaki depan dan belakangnya serta dicelupkan ke dalam
larutan asam sulfat. Saat ¼, ½, ¾, dan seluruh (total) medulla spinalis katak
dirusak katak tidak memberikan respon apapun setelah diberi perlakuan
pembalikan tubuh, penarikan kaki depan dan kaki belakang. Akan tetapi saat ¼, ½
dan ¾ medulla spinalis dirusak, katak masih memberikan respon saat dicelupkan
ke dalam larutan asam sulfat. Sedangkan saat medulla spinalis dirusak total, katak
tidak memberikan repon apapun.
Hasil data pengamatan berbeda dengan pendapat Trueb dan Duellman.
Menurut Trueb dan Duellman (1986), perusakan ¼ medulla spinalis tidak
merusak semua sistem saraf sehingga katak masih bisa memberikan repson berupa
gerak resleks spinal saat diberi perlakuan pembalikan badan dan penarikan kaki
katak. Begitu pula saat perusakan ½ dan ¾ dari medulla spinalis. Seharusnya
katak masih memberikan respon meski semakin lebar atau banyak perusakan pada
medulla spinalis, respon yang akan diberikan semakin lemah. Setelah medulla
spinalis dirusak total, katak tidak memberikan respon apapun setelah diberi
perlakuan pembalikan badan, penarikan kaki depan, penarikan kaki belakang dan
pencelupan ke larutan H2SO4. Hal tersebut dikarenakan perusakan medulla
spinalis juga merusak tali-tali spinal yang terdiri dari saraf sensori dan motori
sebagai jalur saraf. Sehingga apabila saraf tersebut dirusak maka katak tidak akan
memberikan respon setelah diberi stimulus (Pearce, 1989).
IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:

1. Katak masih memberikan respon berupa gerak rafleks spinal setelah diberi
perlakuan atau stimulus, meskipun otak katak sudah dirusak.
2. Katak tidak akan memberikan respon apapun setelah diberi perlakuan atau
stimulus jika medulla spinalis katak dirusak total.
DAFTAR PUSTAKA
Alhagry, Salma. et al. 2017. Emotion Recognition based on EEG using LSTM
Recurrent Neural Network. International Journal of Advanced Computer
Science and Applications. Vol 8(10). pp. 355-358
Chalik, Raimundus. 2016. Anatomi Fisiologi Manusia. Jakarta: Pusdik SDM
Kesehatan
Pearce, E. 1989. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia.
Richard, W.H dan Gordan. 1989. Animal Physiology. New York: Harper-Collins
Publisher.
Storer, T. dkk. 1970. Zoologi Umum. Jakarta: Erlangga.
Trueb, L. A. dan Duellman. 1986. Biology of Amphibians. New York: McGraw Hill
Company.
Wilarso, Joko. 2001. Biologi Pendidikan Dasar. Jakarta: Erlangga.
Wulandari, Ika Puspita. 2009. Pembuatan Alat Ukur Kecepatan Respon Manusia
Berbasis Mikrokontroller. Jurnal Neutrino. 1(2). pp. 208-219.

Anda mungkin juga menyukai