Anda di halaman 1dari 8

Perhitungan PPH Orang Pribadi

(PPH OP)

Nama : zakil Humarisi


Nim : 1901003010041
Subjek pajak
Wajib pajak adalah Menurut Undang-Undang Perpajakan tahun Nomor 6 tahun 1983 yang
diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan, wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak,
pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Setiap wajib pajak yang telah di memenuhi persyaratan subjektif dan objektif wajib
mendaftarkan diri pada kantor ditjen pajak yang wilayah kerjanyameliputi tempat tinggal atau
tempat kedudukan wajib pajak dan kepadanya diberikan nomor pokok wajib pajak (NPWP)

Subjek Pajak Penghasilan


Yang menjadi subjek pajak (UU No.36 thn 2008 PPh Psl 2 ayat 1) adalah:

1. A. orang pribadi
B. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
2. Badan
3. Bentuk usaha tetap

Subjek pajak dalam negeri:


1. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia.
2. Orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan,
atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai
niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
3. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
4. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.

Subjek pajak luar negeri:


Berikut ini yang dimaksud dengan subjek pajak luar negeri:
1. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia
2. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia
3. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia
4. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat di Indonesia, yang memperoleh
penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Objek pajak
 adalah suatu transaksi (biasanya sumber pendapatan) yang menurut peraturan
perpajakan tergolong sebagai transaksi yang harus dikenai pajak.

 Sedangkan objek PPh merupakan setiap penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib
pajak. Penghasilan tersebut diperoleh wajib pajak dari dalam maupun luar negeri, seperti:

1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya kecuali ditentukan lain dalam Undang-
undang Pajak Penghasilan.

2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan.

3. Laba usaha.

4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta seperti keuntungan karena
pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti
saham atau penyertaan modal.

5. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena


pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota.

6. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau


pengambilalihan usaha.

7. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali
yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan
badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil
termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan.

8. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.

9. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.

10. Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.

11. Royalti.

12. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.

13. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.

14. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

15. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.

16. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.

17. Premi asuransi.

18. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari WP
yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.

19. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.

20. Penghasilan dari usaha berbasis syariah.

21. Surplus Bank Indonesia.

22. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam UU yang mengatur mengenai KUP.

23. Objek Pajak yang dikenakan PPh final atas penghasilan berupa bunga deposito dan
tabungan-tabungan lainnya.

24. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek.

25. Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan.
Tarif
Tariff pajak yang di muat pada PPh pasal 21 dibebankan kepada wajib pajak yang telah
berpenghasilan. Namun, sebelumnya anda harus mengetahui terlebih dahulu tentang besaran
penghasilan kena pajak PPh pasal 21 yang di atur dalam peraturan direktorat jendral pajak
sebagai berikut:

1. Penghasilan kena pajak (PKP)


adalah penghasilan Wajib Pajak yang menjadi dasar untuk menghitung pajak penghasilan.
Pendapatan kena pajak diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan.

Penghasilan kena pajak didapat dengan menghitung penghasilan bruto dikurangi dengan biaya


untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan. Apabila dalam menghitung
penghasilan kena pajak, penghasilan bruto setelah dikurangkan dengan biaya untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan didapat kerugian maka kerugian tersebut
dikompensasikan mulai dengan penghasilan tahun pajak berikutnya sampai dengan berturut-
turut lima tahun.

Untuk Wajib Pajak dalam negeri orang pribadi, dalam menghitung penghasilan kena pajak
diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak.

2. Penghasilan tidak kena pajak (PTKP)


PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) adalah besarnya penghasilan yang menjadi batasan
tidak kena pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, dengan kata lain apabila penghasilan neto
Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha dan/atau pekerjaan bebas jumlahnya
dibawah PTKP tidak akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 dan apabila
berstatus sebagai pegawai atau penerima penghasilan sebagai objek PPh Pasal 21, maka
penghasilan tersebut tidak akan dilakukan pemotongan PPh Pasal 21.

CONTOH PERHITUNGAN:
Berapa tarif pajak penghasilan PPh 21 pribadi? Menurut Pasal 17 ayat (1), tarif pajak
penghasilan wajib pajak pribadi dibagi menjadi empat lapis sebagai berikut:

Lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Tarif Pajak


Sampai dengan Rp 50.000.000 5%
Di atas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp 250.000.000 15%
Di atas Rp 250.000.000 sampai dengan Rp 500.000.000 25%
Lebih dari Rp 500.000.000 30%

Yang dimaksud Penghasilan Kena Pajak (PKP) di atas adalah hasil pengurangan dari pendapatan
bersih per tahun dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Apa itu PTKP?
PTKP merupakan jumlah pendapatan wajib pajak yang dibebaskan dari pajak penghasilan.
Direktorat Pajak menganggap pendapatan itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar
wajib pajak dan keluarga sehingga tidak dimasukkan dalam perhitungan PPh 21.
Nilai PTKP ditetapkan oleh Kementerian Keuangan secara berkala, dan selalu mengalami
kenaikan dari tahun ke tahun. PTKP 2018 masih sama dengan PTKP 2016 yang ditetapkan
oleh Peraturan Menteri Keuangan No 101/PMK.010/2016, yakni sebesar Rp 54.000.000 per
tahun untuk wajib pajak pribadi yang tidak kawin.
Contoh 1:
Seorang karyawan lajang dan tak punya tanggungan (TK/0) di perusahaan Anda memiliki gaji
(sudah dikurangi biaya jabatan 5% dan iuran pensiun) Rp 7.400.000, sehingga pendapatan
bersih per tahun Rp 88.800.000. Berapa tarif pajaknya?
PKP = penghasilan bersih – PTKP
PKP = Rp Rp 88.800.000 – Rp 54.000.00
PKP = Rp 34.800.000
Karena PKP kurang dari Rp 50.000.000, maka berlaku tarif PPh 21 sebesar 5%.
PPh 21 terutang = 5% x Rp 34.800.000
PPh 21 terutang = Rp 1.740.000
Contoh 2:
Karyawan lainnya di perusahaan Anda golongan jabatannya lebih tinggi, Misalnya bergaji bersih
Rp 10.500.000 per bulan, atau Rp 126.000.000 per tahun. Maka berlaku tarif seperti berikut:
PKP = penghasilan bersih – PTKP
PKP = Rp 126.000.000 – Rp 54.000.000
PKP = Rp 72.000.000
Karena PKP di atas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp 250.000.000, maka berlaku dua lapis tarif
PPh 21:
Rp 50.000.000 dikenai tarif 5%
Rp 22.000.000 dikenai tarif 15%
PPh 21 terutang = (5% x Rp 50.000.000) + (15% x Rp 22.000.000)
PPh 21 terutang = Rp 2.500.000 + Rp 3.300.000
PPh 21 terutang = Rp 5.800.000
Lalu, bagaimana tarif PPh 21 untuk wajib pajak yang punya tanggungan maupun yang
berkeluarga, apakah besarnya berbeda? UU di atas tidak membedakannya. Artinya, tarif pajak
penghasilan wajib pajak pribadi berlaku untuk yang tidak kawin, kawin, dan punya tanggungan.

Perbedaannya terletak pada besaran PTKP yang ditetapkan sesuai dengan status wajib pajak.
Jika PTKP wajib pajak tidak kawin dan tak punya tanggungan adalah Rp 54.000.000, maka PTKP
wajib pajak punya tanggungan dan/atau kawin sebagai berikut:

 Ditambah Rp 4.500.000 karena menikah.


 Ditambah Rp 4.500.000 untuk setiap tanggungan keluarga, maksimal 3 orang. Yang
dimaksud tanggungan adalah keluarga sedarah satu garis keturunan, semenda, atau
anak angkat.
 Ditambah Rp 54.000.000 untuk suami-istri yang penghasilannya digabung.

Tidak Kawin Status PTKP


Wajib pajak TK/0 Rp 54.000.000
1 orang tanggungan TK/1 Rp 58.500.000
2 orang tanggungan TK/2 Rp 63.000.000
3 orang tanggungan TK/3 Rp 67.500.000
Kawin
Wajib pajak kawin K/0 Rp 58.500.000
1 orang tanggungan K/1 Rp 63.000.000
2 orang tanggungan K/2 Rp 67.500.000
3 orang tanggungan K/3 Rp 72.000.000
Kawin dan Penghasilan Suami-Istri Digabung
Wajib pajak kawin K/I/0 Rp 112.500.000
1 orang tanggungan K/I/1 Rp 117.000.000
2 orang tanggungan K/I/2 Rp 121.500.000
3 orang tanggungan K/I/3 Rp 126.000.000

Jika suami istri memiliki pekerjaan sendiri, penghasilan sendiri, dan NPWP sendiri, maka PTKP
istri adalah TK/0 atau dianggap tidak kawin dan tak punya tanggungan. Sedangkan PTKP suami
adalah kawin yakni K/0 sampai dengan K/3.
Contoh 3:
Jika karyawan pada contoh 2 yang bergaji bersih setahun Rp 126.000.000 di atas kemudian
kawin dan memiliki 2 orang anak, maka perhitungan tarif PPh 21-nya seperti berikut:
PKP = penghasilan bersih – PTKP K/2
PKP = Rp 126.000.000 – Rp 67.500.000
PKP = Rp 58.500.000
Karena PKP di atas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp 250.000.000, berlaku tarif dua lapis:
Rp 50.000.000 dikenai tarif 5%
Rp 8.500.000 dikenai tarif 15%
Maka PPh 21 terutang = (5% x Rp 50.000.000) + (15% x Rp 8.500.000)
Maka PPh 21 terutang = Rp 2.500.000 + Rp 1.275.000
Maka PPh 21 terutang = Rp 3.775.000

Anda mungkin juga menyukai