Anda di halaman 1dari 5

B. H.M.

Rasyidi

1. Riwayat Hidup H. M Rasyidi

H. Mohamad Rasjidi (Kotagede, Yogyakarta, 20 Mei 1915 – 30 Januari 2001) adalah mantan Menteri
Agama Indonesia pada Kabinet Sjahrir I dan Kabinet Sjahrir II.Fakultas Filsafat, Universitas Kairo, Mesir
(1938) Universitas Sorbonne, Paris (Doktor, 1956) Guru pada Islamitische Middelbaare School
(Pesantren Luhur), Surakarta (1939-1941) Guru Besar Fakultas Hukum UI Direktur kantor Rabitah Alam
Islami, Jakarta.

H.M. Rasyidi, lulusan lembaga pendidikan tinggi Islam di Mesir yang mmelanjutkan ke Paris, dan
kemudian memperoleh pengalaman mengajar di Kanada. Lepas dari retorika-retorika anti-Baratnya,
orang tak akan luput mendapati bahwa hamper keseluruhan kontruksi akademiknya dibangun atas
dasar unsur-unsur yang ia dapatkan dari Barat. Maka tidak heran, kalau ia koreksi karya Dr. Harun
Nasution tentang Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Bulan Bintang, 1977, Strategi Kebudayaan dan
Pembaharuan Pendidikan Nasional, Media Dakwah, 1979. Kebebasan Beragama, Media Dakwah, 1979.
Janji-janji Islam, terjemahan dari Roger Garandy, Bulan Bintang, 1982. 1

2. Pemikiran Kalam H.M Rasyidi

Pemikiran kalam beliau banyak yang berbeda dari beberapa tokoh seangkatannya. Hal ini dilihat dari
keritikan beliau terhadap Harun Nasution, dan Nurcholis Majid. Secara garis besar pemikiran kalamnya
dapat dikemukakan sebagai berikut:

a. Tentang perbedaan ilmu kalam dan teologi.

Rasyidi menolak pandangan Harun Nasution yang menyamakan pengertian ilmu kalam dan teologi.
Untuk itu Rasyidi berkata, “…Ada kesan bahwa ilmu kalam adalah teologi Islam dan teologi adalah ilmu
kalam Kristen”.2 Selanjutnya Rasyidi menelurusi sejarah kemunculan teologi. Menurutnya, orang Barat
memakai istilah teologi untuk menunjukkan tauhid atau kalam karena mereka tak memiliki istilah lain.
Teologi terdiri dari dua perkataan, yaitu teo (theos) artinya Tuhan, dan logos, artinya ilmu. Jadi teologi
berarti ilmu ketuhanan.adapun sebab timbulnya teologi dalam Kristen adalah ketuhananNabi Isa,
sebagai salah satu dari tri-tunggal atau trinitas. Namun kata teologi kemudian mengandung beberapa
aspek agama Kristen, yang di luar kepercayaan (yang benar), sehingga teologi dalam Kristen tidak sama
dengan tauhid atau ilmu kalam.3

b. Tema-tema ilmu kalam

1
Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal. 61.

2
H.M. Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution, Tentang “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”, (Jakarta: Bulan Bintang,
1977), hal. 32

3
H.M. Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution,…, hal. 33-34
Salah satu tema ilmu kalam Harun Nasution yang dikritik oleh Rasyidi adalah deskripsi aliran-aliran
kalam yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi umat Islam sekarang, khususnya di Indonesia. Untuk
itu, Rasyidi berpendapat bahwa menonjolnya perbedaan pendapat antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah,
sebagaimana dilakukan Harun Nasution, akan melemahkan iman para mahasiswa. Memang tidak ada
agama yang mengagungkan akal seperti Islam, tetapi dengan menggambarkan bahwa akal dapat
mengetahui baik dan buruk, sedangkan wahyu hanya membuat nilai yang dihasilkan pikiran manusia
bersifat absolute-universal, berarti meremehkan ayat-ayat al-Qur’an seperti:

َ ‫َوهَّللا ُ َيعْ لَ ُم َوأَ ْن ُت ْم ال َتعْ لَم‬


‫ُون‬

Artinya; “Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah: 232)

Rasyid kemudian menegaskan pada saat ini, di Barat sudah dirasakan bahwa akal tidak mampu
mengetahui baik dan buruk. Buktinya adalah kemunculan eksistensialisme sebagai reaksi terhadap aliran
rasionalisme.4

Rasyidi mengakui bahwa soal-soal yang pernah diperbincangkan pada dua belas abad yang lalu, masih
ada yang relevan untuk masa sekarang, tetapi ada pula yang sudah tidak relevan. Pada waktu sekarang,
demikian Rasyidi menguraikan, yang masih dirasakanlah oleh umat Islam pada umumnya adalah
keberadaan Syi’ah.5

c. Hakikat iman

Bagian ini merupakan kritikan Rasyidi terhadap deskripsi iman yang diberikan Nurcholis Madjid, yakni
“percaya dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan. Dan sikap apresiatif kepada Tuhan merupakan inti
pengalaman keagamaan seseorang. Sikap ini disebut takwa. Takwa diperkuat dengan kontak yang
kontinu dengan Tuhan. Apresiasi ketuhanan menumbuhkan kesadaran ketuhanan yang menyeluruh,
sehingga menumbuhkan keadaan bersatunya hamba dengan Tuhan”.6 Menanggapi pernyataan di atas
Rasyidi mengatakan bahwa iman bukan sekedar menuju bersatunya manusia dengan Tuhan, tetapi
dapat dilihat dalam dimensi konsekuensial atau hubungan dengan manusia dengan manusia, yakni
hidup dalam masyarakat. Bersatunya seseorang dengan Tuhan tidak merupakan aspek yang mudah
dicapai, mungkin hanya seseorang saja dari sejuta orang. Jadi, yang terpenting dari aspek penyatuan itu
adalah kepercayaan, ibadah dan kemasyarakatan. 7

C. Harun Nasution

4
Ibid, hal. 52

5
Ibid, hlm. 104

6
H.M. Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi, (Jakarta: Bulang Bintang, 1977), hlm. 61.

7
Ibid, hlm. 63
1. Riwayat Singkat Harun Nasution

Harun Nasution lahir pada hari Selasa 23 September 1919 di Sumatera. Ayahnya, Jabar Ahmad adalah
seorang ulama yang mengetahui kitab-kitab Jawi.

Pendidikan formalnya dimulai dari sekolah Belanda HIS. Setelah tujuh tahun di HIS. Selama tujuh
tahun, Harun belajar bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum di HIS itu, dia berada dalam
lingkungan disiplin yang ketat. Di lingkungan keluarga, harun memulai pendidikan Agama dari
lingkungan keluarganya dengan belajar mengaji, shalat dan ibadah lainnya. 8 beliau meneruskan ke MIK
(Modern Islamietishe Kweekschool) di Bukittinggi pada tahun 1934. pendidikannya lalu diteruskan ke
Universitas Al-Azhar, Mesir. Sambil kuliah di Al-Azhar beliau kuliah juga di Universitas amerika di Mesir.
Pendidikannya lalu dilanjutkan ke Mc. Gill, Kanada pada tahun 1962. 9

Setiba di tanah air pada tahun 1969 beliau langsung terjun dalam bidang akademisi, yakni menjadi
dosen di IAIN Jakarta, IKIP Jakarta, dan kemudian juga pada Universitas Nasional. Harun Nasution adalah
figur sentral dalam semacam jaringan intelektual yang terbentuk dikawasan IAIN Ciputat semenjak
paruh kedua dasawarsa 70-an. Sentralitas Harun Nasution di dalam jaringan itu tentu saja banyak
ditopang kapasitas intelektualnya, dan kemudian kedudukan formalnya sebagai rektor sekalibus salah
seorang pengajar di IAIN.10

2. Pemikiran Harun Nasution

a. Peranan Akal

Bukanlah secara kebetulan bila Harun Nasution memilih problematika akal dalam system teologi
Muhammad Abduh sebagai bahan kajian disertasinya di Universitas Mogill, Mentreal, Kanada. Besar
kecilnya peranan akal dalam system teologi suatau aliran sangat menentukan dinamis atau tidaknya
pemahaman seseorang tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution menulis
demikian: “Akal melambangkan kekuatan manusia”.

Karena akal manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain
disekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggi pula kesanggupannya untuk
mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah lemah pulalah
kesanggupannya untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut. 11

Dalam sejarah Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam
perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, akan tetapi dalam perkembangan ajaran-ajaran

8
Abdul Halim. Teologi Islam Rasional. (Jakarta: Ciputat Pers, 2001) hlm. 3

9
Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003) hal. 240

10
Ibid., hlm. 241

11
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1983) hlm. 56
keagamaan Islam sendiri. Pemikiran akal dalam Islam diperintahkan Al-Qur’an sendiri. Bukanlah tidak
ada dasarnya apabila ada penulis-penulis, baik di kalangan Islam sendiri maupun di kalangan non-Islam,
yang berpendapat bahwa Islam adalah agama rasional. 12

b. Pembaharuan Teologi

Pembaharuan teologi yang menjadi predikat Harun Nasution. Pada dasarnya dibangun atas asumsi
bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia (juga di mana saja) adalah disebabkan
“ada yang salah” dalam teologi mereka. Pandangan ini serupa dengan pandangan kaum modernis lain
pendahulunya (Muhammad Abduh, Rasyid Ridha Al-Afghani, Sayid Amer Ali, dan lain-lain) yang
memandang perlu untuk kembali kepada teologi Islam yang sejati. Retorika ini mengandung pengertian
bahwa umat Islam dengan teologi fatalistic, irasional, predeterminisme serta penyerahan nasib telah
membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak
mengubah nasib umat Islam. Menurut Harun Nasution, umat Islam hendaklah mengubah teologi yang
berwatak free-will rasional, serta mandiri. Tidak heran jika teori modernisasi ini selanjutnya menemukan
teologi dalam khazanah Islam klasik sendiri yakni teologi Mu’tazilah. 13

c. Hubungan akal dan wahyu

Salah satu focus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa
hubungan akal dan wahyu memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal
mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa
wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan
keagamaan.14

Dalam pemikiran Islam, baik di bidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi di bidang ilmu fiqih, akal tidak
pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar.
Akal dipakai untuk memahami teks wahu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi
interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi.
Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dan wahyu, tetapi
penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan lain dari teks wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan
sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain. 15

D. Penutup

12
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1980) hlm. 101

13
Mansoer Faqih, Mencari Teologi Tertindas (Kidmat Dan Kritik) Untuk Guruku Prof. Harun Nasution, dalam Suminto, hlm.167

14
Anwar, Rosihan dan Abdul Razak, Ilmu Kalam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003) hal. 243

15
Nurcholis Madjid. Teologi Islam Rasional ”Apresiasi Terhadap Wacana Praktis Harun Nasution” (Ciputat: Cetakan, 2005), hal.
234
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa H.M. Rasyidi berpandangan bahwa ilmu kalam sama
sekali berbeda dengan teologi. Beliau tidak sependapat dengan Harun yang sangat mengagungkan akal
yang dapat mengetahui baik dan buruk dilihat dari perkembangan zaman.Tentang iman, Rasyidi
mengatakan bahwa iman bukan sekedar bersatunya manusia dengan Tuhan, tetapi dapat dilihat dalam
dimensi konsekuensial atau hubungan manusia dengan manusia,yakni hidup dalam masyarakat. Jadi,
yang lebih penting dari aspek penyatuan itu adalah kepercayaan, ibadah, dan kemasyarakatan.

Sementara, Harun Nasution adalah seorang tokoh pemikir ilmu kalam/teologi di mana beliau memilki
beberapa pemikiran-pemikiran terkait dengan masalah ini, di antaranya yaitu: beliau pernah menulis
bahwa Akal Melambangkan Kekuatan Manusia, hal ini mengartikan bahwa dengan akal lah manusia
dapat melakukan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan keperluan hidupnya. Dengan akal manusia
dapat mengalahkan makhluk lain, dan bertambah tingginya akal manusia maka bertambah tinggi pula
kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia,
bertambah lemah pulalah kesanggupannya untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihan dan Abdul Razak, Ilmu Kalam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003

Faqih, Mansoer, Mencari Teologi Tertindas (Kidmat Dan Kritik) Untuk Guruku Prof. Harun Nasution,
dalam Suminto Halim. Abdul, Teologi Islam Rasional. Jakarta: Ciputat Pers, 2001

Madjid, Nurcholis, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina, 1997----------------------, Teologi
Islam Rasional ”Apresiasi Terhadap Wacana Praktis Harun Nasution” Ciputat: Cetakan, 2005

Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan Jakarta: UI Press,
1983-----------------, Akal dan Wahyu dalam Islam Jakarta: UI Press, 1980

Rozak, Abdul dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, bandung: Pustaka Setia, 2006

Rasjidi, H.M. Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution, Tentang “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”,
Jakarta: Bulan Bintang, 1977

Rasjidi, H.M. Koreksi Terhadap Dr. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi, Jakarta: Bulang Bintang,
1977

http://syafieh.blogspot.com/2013/05/h-m-rasyidi-dan-harun-nasution-tokoh.html

Anda mungkin juga menyukai