Abstrak
Konstelasi hubungan antar negara dalam era globalisasi sangatlah dinamis dan penuh
dengan pergolakan. Perang bukan lagi dimaknai sebagai konflik fisik antar dua atau lebih
negara, namun maknanya meluas mengikuti beragam fenomena baru yang dipicu oleh
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Suasana yang penuh dengan unsur
VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambigouity) ini memaksa setiap negara untuk
mengkaji kembali strategi pertahanannya. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan
dengan segala keterbatasan sumber daya militernya membutuhkan partisipasi masyarakat
untuk membangun postur pertahanan yang kuat. Dalam konteks inilah konsep komponen
cadangan mengemuka dan menjadi tumpuan bagi pertahanan dan kedaulatan bangsa.
Masalah yang dihadapi adalah pemahaman masyarakat luas akan keberadaan strategi
pertahanan terkait dengan komponen cadangan ini. Walaupun telah dinyatakan dalam
undang-undang dan artefak regulasi lainnya, namun masih cukup banyak diskursus yang
terjadi di kalangan para pihak yang berkepentingan mengenai berbagai isu di seputarnya.
Artikel ini memaparkan secara ringkas bagaimana komponen cadangan perlu dikaji secara
kritis dari perspektif kebijakan pertahanan negara – dari kacamata masyarakat dan publik
secara luas.
3. IDENTIFIKASI PROBLEM
Analisa strategis global sebagaimana disampaikan di atas berpengaruh pula
terhadap kondisi dalam negeri Indonesia, terutama dalam 10-15 tahun belakangan
ini, dimana terjadi sejumlah peristiwa yang membutuhkan perhatian utama karena
dapat menjadi problem atau masalah yang nengncam keutuhan dan kedaulatan
negara, seperti:
Munculnya kembali isu-isu komunisme, radikalisme, intoleransi, dan
primordialisma di kalangan masyarakat, yang sebelumnya telah terkubur
habis di dalam kekuatan kebhinnekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Terpecah dan terbelahnya masyarakat menjadi dua kutub ekstrim yang
hingga sekarang masih merasuki sendi-sendi kehidupan akibat kerasnya
persaingan dalam pemilihan presiden dua kali belakangan ini;
Konflik-konflik pemberontakan secara ide maupun gerakan di sejumlah
wilayah provinsi di Indonesia yang ingin melepaskan diri dari NKRI maupun
menggugat keberadaan maupun peran pemerintah pusat;
Fenomena hoax dan ujian kebencian yang masif diutarakan melalui berbagai
media sosial dengan tujuan mengadu domba antar anak bangsa dengan
memanfaatkan beragam isu yang sensitif (SARA);
Agresifnya negara lain seperti kasus China di Kepulauan Natuna yang
memperlihatkan gestur untuk merebut teritori resmi milik NKRI karena potensi
ekonomi dan lokasi strategis yang melekat padanya; maupun
Masih maraknya terjadi kasus masuknya pihak asing tanpa ijin ke dalam
wilayah Indonesia via laut, darat, maupun udara dalam berbagai modus
seperti pencurian ikan, pelanggaran wilayah udara, penyelundupan lewat
perbatasan, dan lain sebagainya.
5. FORMULASI KEBIJAKAN
Sebelum kebijakan diformulasikan, berbagai kemungkinan skenario atau alternatif
yang telah dikembangkan terdahulu perlu dipilih yang terbaik (paling relevan dan
berdaya guna). Instrumen seperti Balanced-Scorecard (Kaplan & Norton,
1996) dapat dijadikan sebagai awal untuk memetakan indikator kinerja yang
diharapkan dari komponen cadangan terkait, dimana indikator kinerja ini selanjutnya
akan menjadi bobot terhadap variabel kriteria pada AHP (Analytic Hierarchical
Process) – sebuah tool yang dapat dipergunakan untuk pengambilan keputusan
dalam memilih skenario terbaik (Collgate, 1992). Dalam menetapkan obyektif,
kriteria, sub-kriteria, bobot, maupun nilai yang diberikan pada matriks AHP, perlu
pendapatkan masukan dari banyak pakar. Memperhatikan bahwa komponen
cadangan dalam konteks Indonesia meliputi warga negara, sumber daya alam,
sumber daya buatan, serta sarana prasarana nasional, maka akan ada empat sub-
sistem yang harus diukur efektivitas penyiapan dan mobilisasinya. Sehingga pakar
maupun pihak yang harus dilibatkan dalam memilih dan menyusun kebijakan
publik/negara haruslah berasal dari berbagai disiplin ilmu (inter-disiplin). Seluruh
rangkaian dan proses yang telah dipaparkan di atas harus dapat dituangkan dalam
sebuah naskah akademik yang kuat (feasible dan defensible). Perlu diingat bahwa
pemangku kepentingan yang akan terdampak secara langsung sebagai bagian dari
komponen cadangan harus didengarkan suaranya. Masyarakat pun perlu
didengarkan suaranya melalui aktivitas semacam uji publik. Karena merekalah yang
akan menjadi subyek aktif seandainya kebijakan dimaksud diberlakukan. Dengan
mengacu pada naskah akademik yang solid inilah maka kebijakan negara dalam hal
komponen cadangan pertahanan dirumuskan draf awalnya.
6. LEGITIMASI KEBIJAKAN
Berbasis pada draf kebijakan yang telah disusun, masuklah pada tahap legitimasi
formal yang dinamis. Karena sifatnya yang sangat strategis, dan melibatkan sumber
daya nasional, maka proses pembahasannya di parlemen akan sangat hangat,
politis, dan keras. Hal-hal prinsip yang kiranya akan menjadi diskusi hangat terkait
dengan mobilikasi komponen cadangan diperkirakan bertumpu pada isu-isu seperti:
Pemberlakukan hukum militer karena kondisi negara yang sedang berada
dalam situasi perang atau kombatan;
Kriteria sumber daya nasional seperti apa saja yang boleh dan dapat
dijadikan sebagai komponen cadangan;
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memobilisasi keseluruhan
komponen cadangan tersebut agar tidak justru menjadi masalah baru bagi
bangsa;
Protokol mobilisasi dalam tataran strategis dan operasional ketika komponen
cadangan dipergunakan;
Pihak-pihak non-militer yang harus terlibat secara aktif karena merupakan
bagian tak terpisahkan dari tata kelola komponen cadangan dimaksud;
Insentif maupun hukuman/sanksi yang diberikan kepada komponen
cadangan yang menolak dimobilisasi ketika dibutuhkan; dan
Mata anggaran dan besarnya sumber daya keuangan yang harus
dialokasikan untuk kebutuhan pengelolaan komponen cadangan ini.
Dalam perdebatan akan terlihat beradunya dua aliran besar dalam model kebijakan,
yaitu para elitist melawan pluralist, sebagaimana dapat dianalogikan dengan politik
Amerika Serikat yang mengerucut pada dua aliran republikan dan demokrat
(Grindle, 1980). Pada akhirnya, terlepas adanya pertentangan pendapat dan konflik
kepentingan yang wajar adanya dalam negara demokrasi, keputusan harus dibuat.
Regulasi yang disusun bersama oleh eksekutif dan legislatif akan menjadi kebijakan
publik yang bersifat mengikat. Hasil akhirnya adalah regulasi, peraturan, atau
perundang-undangan yang disetujui bersama setelah melalui berbagai proses
perdebatan, pendalaman, negosiasi, dan kompromi.
7. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Berbedanya kebijakan komponen cadangan ini dibandingkan dengan peraturan
lainnya adalah implementasinya yang hanya dapat dilakukan apabila negara dalam
keadaan bahaya (perang). Namun demikian, usaha mempersiapkan komponen
cadangan dapat mulai dilakukan sebagaimana termaktub dalam regulasi yang
disusun. Grindle menyebutkan dua faktor penentu efektivitas tidaknya implementasi
sebuah kebijakan, yaitu: konten dan konteks kebijakan. Konten kebijakan terdiri dari
berbagai aspek seperti pihak yang terlibat, manfaat yang diperoleh, kriteria
pengambilan keputusan, sumber daya yang dibutuhkan, perubahan yang harus
dilakukan, dan lain sebagainya (Simmons, Beth, Steinberg, & Richard; 2014).
Sementara konteks kebijakan menyangkut beragam kepentingan stakeholder, aktor
utama penentu pelaksanaan, dukungan rezim dan institusi terkait, tingkat kepatuhan,
dukungan publik, dan lain sebagainya. Dalam kondisi normal (damai), implementasi
kebijakan dapat dilihat dari aktivitas sebagai berikut:
Aktivitas atau kegiatan wajib yang dilakukan sesuai dengan amanat kebijakan
yang ditulis;
Keterlibatan dan dukungan pihak-pihak sebagaimana tertulis dalam peraturan
dalam menjalankan peran, tugas, dan fungsinya sebagaimana termaktub di
dalam regulasi;
Kinerja warga negara yang dipersiapkan sebagai bagian dari komponen
cadangan dilihat dari berbagai kriteria yang telah ditetapkan komponen
utama;
Serapan anggaran yang telah dialokasikan untuk menjalankan berbagai
program terkait dengan penyiapan komponen cadangan; dan lain sebagainya.
Sementara itu, dalam situasi perang atau adanya konflik sehingga dibutuhkan
mobiliasi komponen cadangan, efektivitasnya kebijakan dapat diukur melalui:
Tingkat kecepatan dan kelancaran mobilisasi komponen cadangan yang telah
ditetapkan;
Kesiapan seketika alokasi anggaran yang dibutuhkan;
Kemudahan akses dan distribusi terhadap sumber daya nasiona yang
dikelola oleh berbagai organisasi dan institusi;
Dukungan segenap pihak yang secara langsung maupun tidak langsung
terhadap mobilisasi komponen cadangan; dan lain sebagainya.
8. EVALUASI KEBIJAKAN
Kebijakan disusun dan dikembangkan untuk mengatasi permasalahan yang
dihadapi, dalam hal ini adalah kebutuhan akan komponen cadangan dalam keadaan
perang atau krisis tertentu. Oleh karena itu proses evaluasi terhadap kebijakan yang
disusun harus bersifat komprehensif, yaitu mulai dari tahapan identifikasi masalah,
penetapan agenda, penyusunan kebijakan, legitimasi kebijakan, hingga
implementasinya (Nugroho, 2012). Tujuan evaluasi ini adalah untuk melakukan
revisi, penyempurnaan, perbaikan, dan pemutakhiran kebijakan agar
implementasinya benar-benar menyelesaikan masalah yang dihadapi. Khusus untuk
kebijakan komponen cadangan ini, jika tidak terjadi peristiwa darurat dalam situasi
kombatan, maka evaluasi dapat dilakukan dengan pendekatan simulasi.
9. PENUTUP: REKOMENDASI
Tahapan penyusunan kebijakan publik pada dasarnya merupakan proses yang
berkesinambungan, dan bersifat iteratif. Kecepatan dinamis perubahan dalam
lingkungan strategis membutuhkan pemutakhiran yang terus menerus terhadap
kebijakan yang dibuat. Dalam konteks pengembangan kebijakan negara terkait
dengan komponen cadangan, harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Karena komponen cadangan terdiri dari keterlibatan warga negara, sumber
daya alam, sumber daya buatan, serta sarana prasarana nasional, maka
keterlibatan dari keempat domain entitas ini sangatlah penting – agar
mendapatkan dukungan penuh dari yang berkepentingan;
Tingkat kegentingan dan kepentingan terhadap adanya kebijakan ini harus
dapat dikomunikasi secara efektif ke seluruh komponen masyarakat,
mengingat mayoritas dari mereka menganggap bahwa tidak ada ancaman
yang memaksa dalam situasi damai seperti saat ini; dan
Khusus untuk warga negara, perbedaan pandangan bahwa berpartisipasi
menjadi komponen cadangan adalah merupakan hak dan/atau kewajiban
harus dapat dibahas secara tuntas – agar segenap masyarakat Indonesia
memahami secara utuh konten dan konteks keberadaan kebijakan negara ini
demi keutuhan dan kedaulatan NKRI tercinta.
REFERENSI
Collgate, U. of M. at. (1992). Making complex decisions: the analytical hierarchy
process. MEXICO, D.F.
Cox, M. T., & Raja, A. (2011). Metareasoning: thinking about thinking. Cambridge,
MA: MIT Press.
Duffield, M. (2014). “Global Governance and the New Wars: The Merging of
Development and Security”, Zed Books, London & New York.
Fischer, Frank, Miller, Gerald J, Sidney, Mara S. (2015). “Handbook of Public Policy:
Theory Politics, and Methods, edisi bahasa Indonesia, Nusa Media, Bandung.
Grindle, M. S. (1980). Politics and policy implementation in the Third World.
Princeton, NJ: Princeton University Press.
Kaplan, R. S., & Norton, D. P. (1996). The Balanced Scorecard Translating Strategy
into Action. Boston: Harvard Business Review Press.
Nugroho, R. (2012). “Public Policy: Dinamika Kebijakan - Realitas Kebijakan -
Manajemen Kebijakan”, PT Elex Media Komputindo, Kompas Gramedia,
Jakarta.
Ripsman, Norrin M, and Paul, T.V. (2010). “Globalisation and the National Security
State”, Oxford University Press, London.
Simmons, Beth A and Steinberg, Richard H. (2014), “The Globalisation of World
Politics: An Introduction to International Relations”, Oxford University Press,
ambridge University Press, London.