Anda di halaman 1dari 10

KOMPONEN CADANGAN DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PERTAHANAN

Richardus Eko Indrajit


Universitas Pertahanan Indonesia

Abstrak
Konstelasi hubungan antar negara dalam era globalisasi sangatlah dinamis dan penuh
dengan pergolakan. Perang bukan lagi dimaknai sebagai konflik fisik antar dua atau lebih
negara, namun maknanya meluas mengikuti beragam fenomena baru yang dipicu oleh
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Suasana yang penuh dengan unsur
VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambigouity) ini memaksa setiap negara untuk
mengkaji kembali strategi pertahanannya. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan
dengan segala keterbatasan sumber daya militernya membutuhkan partisipasi masyarakat
untuk membangun postur pertahanan yang kuat. Dalam konteks inilah konsep komponen
cadangan mengemuka dan menjadi tumpuan bagi pertahanan dan kedaulatan bangsa.
Masalah yang dihadapi adalah pemahaman masyarakat luas akan keberadaan strategi
pertahanan terkait dengan komponen cadangan ini. Walaupun telah dinyatakan dalam
undang-undang dan artefak regulasi lainnya, namun masih cukup banyak diskursus yang
terjadi di kalangan para pihak yang berkepentingan mengenai berbagai isu di seputarnya.
Artikel ini memaparkan secara ringkas bagaimana komponen cadangan perlu dikaji secara
kritis dari perspektif kebijakan pertahanan negara – dari kacamata masyarakat dan publik
secara luas.

Kata kunci: komponen cadangan, perang, pertahanan negara, VUCA

1. PENDAHULUAN: KOMPONEN CADANGAN PERTAHANAN


Komponen cadangan pada dasarnya merupakan kumpulan entitas yang terbentuk
dari pengalokasian sumber daya nasional yaitu warga negara, sumber daya alam,
sumber daya buatan, serta sarana prasarana nasional, untuk dikerahkan melalui
mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat komponen utama. Konsep ini agak
berbeda dengan yang dikenal di luar negeri sebagai “reserve force” atau “kekuatan
cadangan” yang merupakan pasukan atau organisasi militer yang berisi serdadu
warganegara atau “citizen soldiers” – dimana pembentukannya mengkombinasikan
antara peran militer dan karir sipil. Walaupun komponen cadangan meliputi berbagai
jenis sumber daya nasional, namun dalam berbagai diskursus, perhatian lebih
difokuskan pada aspek entitas manusia atau warga negara – terutama kaum sipil
yang dipersiapkan untuk memperkuat militer sebagai komponen utama. Isu-isu
seputar wajib militer, bela negara, masyarakat sipil yang dipersenjatai, dan lain
sebagainya, menjadi fokus pembicaraan di kalangan masyarakat awam (Duffield,
2014). Tugas dan peran komponen cadangan ini adalah bersiap-siap untuk
dikerahkan apabila terjadi situasi dimana militer membutuhkannya, misalnya dalam
kondisi perang total atau usaha mempertahankan diri dari invasi negara asing.
Khusus untuk entitas warga negara, pada dasarnya keberadaan pasukan ini tidak
bersifat permanen, namun siap untuk dimobilisasi kapan saja diperlukan. Alasan
diadopsinya model ini adalah keseimbangan atau optimalisasi antara pengalokasian
dana militer yang terbatas (dalam kondisi damai) dengan kesiapan negara apabila
sewaktu-waktu terjadi perang. Implementasi dari konsep komponen cadangan ini
berbeda-beda antara satu negara dengan lainnya, tergantung dari postur,
karakteristik, dan lingkungan strategisnya. Negara besar seperti Amerika Serikat
memiliki model komponen cadangan yang beragam dan berdiri sendiri, seperti:
Marine Reserve Force, Naval Reserve Force, Air Force Reserve, US Coast Guard
Reserve, US Army Reserve, dan Army National Guard. Sementara Israel yang
memiliki banyak musuh di kawasan Timuer Tengah membentuk Israel Defense
Force semenjak tahun 1948. Contoh lain adalah komponen cadangan Filipina yang.
terdiri atas Auxiliary Reseve Units yang direkrut dari kaum sipil yang bekerja di
sektor publik, dan Citizen Armed Forces Geographic Units (CAFGUs) yang direkrut
dari penduduk sipil biasa. Lain halnya dengan India yang menyerahkan pengaturan
komponen cadangan pada Kementerian Dalam Negeri-nya karena memiliki prinsip
pemanfaatan pasukan tersebut untuk menghadapi pemberontakan yang kerap
terjadi (Ripsman, Norrin & Paul; 2010). Adapun konsep garda nasional atau “home
guard” sebagai komponen cadangan banyak di adopsi negara-negara Skandinavia,
seperti: Swedia, Norwegia, dan Denmark.

2. PERKEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGIS


Postur atau model dari komponen cadangan setiap negara berbeda-beda dan
bersifat dinamis. Adapun faktor yang mempengaruhi pembentukannya adalah
perkembangan lingkungan strategis yang ada di sekitarnya, baik secara nasional
(internal dalam negeri), maupun dalam tataran kawasan sekitar (regional) dan global
(internasional). Adapun kondisi lingkungan strategis termutakhir yang saat ini
berpengaruh terhadap kehidupan global (dunia) antara lain adalah sebagai berikut:
 Terjadinya fenomena perang non-konvensional seperti proxy war, assymetric
war, cyber war, dan irregular war lainnya yang memiliki karakteristik unik,
spesifik, serta kompleks – dimana untuk memicunya tidak diperlukan sumber
daya yang besar maupun biaya yang banyak;
 Berkembang pesatnya teknologi informasi dan komunikasi yang telah
meruntuhkan batasan ruang dan waktu, sehingga data serta informasi dapat
mengalir secara bebas lintas geografis tanpa ada yang dapat
menghambatnya – kondisi ini berpotensi menghasilkan berbagai ancaman
baru seperti perang mindset, hoax, adu domba, dan lain sebagainya;
 Bergesernya kekuatan politik dan ekonomi secara dinamis dari negara-
negara besar di belahan dunia barat seperti Amerika, Inggris, dan Rusia,
menuju ke negara-negara timur seperti China, India, dan Korea Selatan;
 Menghangatnya kembali perlombaan menggelar kekuatan fasilitas senjata
nuklir antar negara, yang dulu telah disepakati untuk dibatasi jumlahnya,
dimana pada saat yang sama terjadi kecurigaan pembuatan dan penggunaan
senjata kimia dan biologis;
 Meningkatnya konflik skala besar dengan non-state actor sebagai pemain
utamanya, terutama yang bermanifestasi dalam berbagai tindakan
radikalisme, terorisme, komunisme, dan lain sebagainya; dan
 Menguatnya peran masyarakat dalam negara-negara demokratis sehingga
menciptakan berbagai kekuatan berpendapat, bergerak, dan bersikap yang
dalam beberapa hal berpotensi menghasilkan konflik horisontal maupun
pemberontakan di dalam sebuah negara.

Menghadapi fenomena global ini, masing-masing pemerintahan negara membuat


kebijakan publiknya masing-masing untuk memastikan tetap terjaganya kedaulatan
negara melalui postur sistem pertahanan yang kokoh, dimana komponen cadangan
menjadi bagian tak terpisahkan darinya. Indonesia pun melakukan hal yang sama,
dimana isu komponen cadangan menghangat kembali dibicarakan lima tahun
terakhir, sebagai strategi tak terpisahkan dari sistem pertahanan negara
sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun
2002 tentang Pertahanan Negara, yang diturunkan ke dalam Buku Putih Pertahanan
Indonesia. Untuk memastikan strategi ini berjalan dengan baik, perlu disusun
kebijakan publik yang efektif, melalui tahapan-tahapan pengembangan yang tepat,
yaitu: (i) identifikasi problem; (ii) penyusunan dan penetapan agenda; (iii) formulasi
kebijakan; (iv) legitimasi kebijakan; (v) implementasi kebijakan; dan (vi) evaluasi
kebijakan. Berikut adalah sejumlah pemikiran per masing-masing tahapan yang
kiranya dapat dipertimbangkan sebagai bahan pembuat kebijakan negara untuk
penyusunan komponen cadangan pertahanan (Fische et al., 2015).

3. IDENTIFIKASI PROBLEM
Analisa strategis global sebagaimana disampaikan di atas berpengaruh pula
terhadap kondisi dalam negeri Indonesia, terutama dalam 10-15 tahun belakangan
ini, dimana terjadi sejumlah peristiwa yang membutuhkan perhatian utama karena
dapat menjadi problem atau masalah yang nengncam keutuhan dan kedaulatan
negara, seperti:
 Munculnya kembali isu-isu komunisme, radikalisme, intoleransi, dan
primordialisma di kalangan masyarakat, yang sebelumnya telah terkubur
habis di dalam kekuatan kebhinnekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
 Terpecah dan terbelahnya masyarakat menjadi dua kutub ekstrim yang
hingga sekarang masih merasuki sendi-sendi kehidupan akibat kerasnya
persaingan dalam pemilihan presiden dua kali belakangan ini;
 Konflik-konflik pemberontakan secara ide maupun gerakan di sejumlah
wilayah provinsi di Indonesia yang ingin melepaskan diri dari NKRI maupun
menggugat keberadaan maupun peran pemerintah pusat;
 Fenomena hoax dan ujian kebencian yang masif diutarakan melalui berbagai
media sosial dengan tujuan mengadu domba antar anak bangsa dengan
memanfaatkan beragam isu yang sensitif (SARA);
 Agresifnya negara lain seperti kasus China di Kepulauan Natuna yang
memperlihatkan gestur untuk merebut teritori resmi milik NKRI karena potensi
ekonomi dan lokasi strategis yang melekat padanya; maupun
 Masih maraknya terjadi kasus masuknya pihak asing tanpa ijin ke dalam
wilayah Indonesia via laut, darat, maupun udara dalam berbagai modus
seperti pencurian ikan, pelanggaran wilayah udara, penyelundupan lewat
perbatasan, dan lain sebagainya.

Fakta memperlihatkan semakin meningkatnya intensitas kejadian di atas yang


berpotensi mengganggu keutuhan dan kedaulatan NKRI. Di satu pihak intrusi luar
negeri secara fisik seperti China di perairan Indonesia dan negara-negara maju di
sektor ekonomi nampak terasa menekan Indonesia, sementara pada saat yang
sama ancaman nir-militer dari dalam negeri tidak dapat diremehkan keberadaanya
karena meningkatnya eskalasi dari masa ke masa. Indonesia harus bersiap-siap
memobilisasi berbagai sumber daya yang dimiliki apabila terjadi peristiwa yang tidak
diinginkan bersama seperti: peperangan atau intrusi fisik dari negara lain,
pemberontakan dari dalam negeri, konflik horisontal berskala besar, atau kejadian
lainnya yang memaksa komponen utama pertahanan yaitu TNI (militer) harus turun
dan membutuhkan bantuan tambahan.

4. PENYUSUNAN DAN PENETAPAN AGENDA


Melihat potensi ancaman yang bersifat multi-dimensi di atas, pemerintah harus
melakukan kajian empiris yang mendalam terhadap keberadaannya. Keterbatasan
sumber daya militer yang dihadapi memaksa negara untuk fokus sistem
pertahanannya dalam menghadapi sesuatu yang penting dan genting. Pendekatan
manajemen risiko dapat diadopsi pada titik awal dalam penetapan agenda. Yaitu
dengan melakukan pemetaan terhadap masing-masing ancaman yang terdeteksi
dan teridentifikasi melalui dua kacamata atau perspektif. Pertama adalah mengukur
tingkat probabilitas terjadinya peristiwa ancaman yang tak diinginkan. Dan kedua
mengukur dampak kerusakan maupun kehancuran yang menimpa negara
seandainya yang tak diinginkan terjadi. Strategi pertahanan berbasis komponen
cadangan diarahkan untuk memitigasi peristiwa yang berada dalam kuadran
probabilitas tinggi dan dampak signifikan. Setelah kajian pemetaan postur risiko ini
dilaksanakan, analisa berikutnya adalah menggunakan teori Iceberg dari Cavani,
untuk mencari akar permasalahan dari kejadian yang menjadi prioritas perhatian
dimaksud. Analisa ini penting mengingat apa yang terjadi pada dasarnya hanya
merupakan simpton atau akibat dari sebab yang lebih mendasar, seperti misalnya:
rendahnya kepuasan masyarakat, melebarnya ketidakadilan ekonomi, kesalahan
memahami ideologi bangsa, ketakutan akan tersisihkan, dan lain sebagainya. Untuk
berbagai fenomena yang kompleks, dapat dipergunakan teori System Thinking dari
MIT maupun menggunakan pendekatan Social Network Analysis (Cox & Raja,
2011). Setelah akar permasalahan ditemukan, maka dapat disusun strategi mitigasi
untuk memperkecil atau mengantisipasi kejadian tersebut terjadi. Seandainya
peristiwa tersebut terjadi, ada banyak pilihan untuk mengatasinya. Dalam konteks
inilah maka pilihan-pilihan skenario akan manajemen tata kelola komponen
cadangan yang akan dirumuskan dalam kebijakan negara dikembangkan. Sejumlah
skenario dimaksud akan melibatkan sejumlah aspek dan kriteria, seperti:
kemudahan pembentukan komponen cadangan, biaya yang dibutuhkan, efektivitas
pengerahannya di lapangan, kecepatan deployment-nya, tingkat penambahan
kekuatan yang diberikan, penerimaan konsep di masyarakat, dukungan beragam
sektor industri, dan lain sebagainya.

5. FORMULASI KEBIJAKAN
Sebelum kebijakan diformulasikan, berbagai kemungkinan skenario atau alternatif
yang telah dikembangkan terdahulu perlu dipilih yang terbaik (paling relevan dan
berdaya guna). Instrumen seperti Balanced-Scorecard (Kaplan & Norton,
1996) dapat dijadikan sebagai awal untuk memetakan indikator kinerja yang
diharapkan dari komponen cadangan terkait, dimana indikator kinerja ini selanjutnya
akan menjadi bobot terhadap variabel kriteria pada AHP (Analytic Hierarchical
Process) – sebuah tool yang dapat dipergunakan untuk pengambilan keputusan
dalam memilih skenario terbaik (Collgate, 1992). Dalam menetapkan obyektif,
kriteria, sub-kriteria, bobot, maupun nilai yang diberikan pada matriks AHP, perlu
pendapatkan masukan dari banyak pakar. Memperhatikan bahwa komponen
cadangan dalam konteks Indonesia meliputi warga negara, sumber daya alam,
sumber daya buatan, serta sarana prasarana nasional, maka akan ada empat sub-
sistem yang harus diukur efektivitas penyiapan dan mobilisasinya. Sehingga pakar
maupun pihak yang harus dilibatkan dalam memilih dan menyusun kebijakan
publik/negara haruslah berasal dari berbagai disiplin ilmu (inter-disiplin). Seluruh
rangkaian dan proses yang telah dipaparkan di atas harus dapat dituangkan dalam
sebuah naskah akademik yang kuat (feasible dan defensible). Perlu diingat bahwa
pemangku kepentingan yang akan terdampak secara langsung sebagai bagian dari
komponen cadangan harus didengarkan suaranya. Masyarakat pun perlu
didengarkan suaranya melalui aktivitas semacam uji publik. Karena merekalah yang
akan menjadi subyek aktif seandainya kebijakan dimaksud diberlakukan. Dengan
mengacu pada naskah akademik yang solid inilah maka kebijakan negara dalam hal
komponen cadangan pertahanan dirumuskan draf awalnya.

6. LEGITIMASI KEBIJAKAN
Berbasis pada draf kebijakan yang telah disusun, masuklah pada tahap legitimasi
formal yang dinamis. Karena sifatnya yang sangat strategis, dan melibatkan sumber
daya nasional, maka proses pembahasannya di parlemen akan sangat hangat,
politis, dan keras. Hal-hal prinsip yang kiranya akan menjadi diskusi hangat terkait
dengan mobilikasi komponen cadangan diperkirakan bertumpu pada isu-isu seperti:
 Pemberlakukan hukum militer karena kondisi negara yang sedang berada
dalam situasi perang atau kombatan;
 Kriteria sumber daya nasional seperti apa saja yang boleh dan dapat
dijadikan sebagai komponen cadangan;
 Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memobilisasi keseluruhan
komponen cadangan tersebut agar tidak justru menjadi masalah baru bagi
bangsa;
 Protokol mobilisasi dalam tataran strategis dan operasional ketika komponen
cadangan dipergunakan;
 Pihak-pihak non-militer yang harus terlibat secara aktif karena merupakan
bagian tak terpisahkan dari tata kelola komponen cadangan dimaksud;
 Insentif maupun hukuman/sanksi yang diberikan kepada komponen
cadangan yang menolak dimobilisasi ketika dibutuhkan; dan
 Mata anggaran dan besarnya sumber daya keuangan yang harus
dialokasikan untuk kebutuhan pengelolaan komponen cadangan ini.

Dalam perdebatan akan terlihat beradunya dua aliran besar dalam model kebijakan,
yaitu para elitist melawan pluralist, sebagaimana dapat dianalogikan dengan politik
Amerika Serikat yang mengerucut pada dua aliran republikan dan demokrat
(Grindle, 1980). Pada akhirnya, terlepas adanya pertentangan pendapat dan konflik
kepentingan yang wajar adanya dalam negara demokrasi, keputusan harus dibuat.
Regulasi yang disusun bersama oleh eksekutif dan legislatif akan menjadi kebijakan
publik yang bersifat mengikat. Hasil akhirnya adalah regulasi, peraturan, atau
perundang-undangan yang disetujui bersama setelah melalui berbagai proses
perdebatan, pendalaman, negosiasi, dan kompromi.

7. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Berbedanya kebijakan komponen cadangan ini dibandingkan dengan peraturan
lainnya adalah implementasinya yang hanya dapat dilakukan apabila negara dalam
keadaan bahaya (perang). Namun demikian, usaha mempersiapkan komponen
cadangan dapat mulai dilakukan sebagaimana termaktub dalam regulasi yang
disusun. Grindle menyebutkan dua faktor penentu efektivitas tidaknya implementasi
sebuah kebijakan, yaitu: konten dan konteks kebijakan. Konten kebijakan terdiri dari
berbagai aspek seperti pihak yang terlibat, manfaat yang diperoleh, kriteria
pengambilan keputusan, sumber daya yang dibutuhkan, perubahan yang harus
dilakukan, dan lain sebagainya (Simmons, Beth, Steinberg, & Richard; 2014).
Sementara konteks kebijakan menyangkut beragam kepentingan stakeholder, aktor
utama penentu pelaksanaan, dukungan rezim dan institusi terkait, tingkat kepatuhan,
dukungan publik, dan lain sebagainya. Dalam kondisi normal (damai), implementasi
kebijakan dapat dilihat dari aktivitas sebagai berikut:
 Aktivitas atau kegiatan wajib yang dilakukan sesuai dengan amanat kebijakan
yang ditulis;
 Keterlibatan dan dukungan pihak-pihak sebagaimana tertulis dalam peraturan
dalam menjalankan peran, tugas, dan fungsinya sebagaimana termaktub di
dalam regulasi;
 Kinerja warga negara yang dipersiapkan sebagai bagian dari komponen
cadangan dilihat dari berbagai kriteria yang telah ditetapkan komponen
utama;
 Serapan anggaran yang telah dialokasikan untuk menjalankan berbagai
program terkait dengan penyiapan komponen cadangan; dan lain sebagainya.

Sementara itu, dalam situasi perang atau adanya konflik sehingga dibutuhkan
mobiliasi komponen cadangan, efektivitasnya kebijakan dapat diukur melalui:
 Tingkat kecepatan dan kelancaran mobilisasi komponen cadangan yang telah
ditetapkan;
 Kesiapan seketika alokasi anggaran yang dibutuhkan;
 Kemudahan akses dan distribusi terhadap sumber daya nasiona yang
dikelola oleh berbagai organisasi dan institusi;
 Dukungan segenap pihak yang secara langsung maupun tidak langsung
terhadap mobilisasi komponen cadangan; dan lain sebagainya.

8. EVALUASI KEBIJAKAN
Kebijakan disusun dan dikembangkan untuk mengatasi permasalahan yang
dihadapi, dalam hal ini adalah kebutuhan akan komponen cadangan dalam keadaan
perang atau krisis tertentu. Oleh karena itu proses evaluasi terhadap kebijakan yang
disusun harus bersifat komprehensif, yaitu mulai dari tahapan identifikasi masalah,
penetapan agenda, penyusunan kebijakan, legitimasi kebijakan, hingga
implementasinya (Nugroho, 2012). Tujuan evaluasi ini adalah untuk melakukan
revisi, penyempurnaan, perbaikan, dan pemutakhiran kebijakan agar
implementasinya benar-benar menyelesaikan masalah yang dihadapi. Khusus untuk
kebijakan komponen cadangan ini, jika tidak terjadi peristiwa darurat dalam situasi
kombatan, maka evaluasi dapat dilakukan dengan pendekatan simulasi.

9. PENUTUP: REKOMENDASI
Tahapan penyusunan kebijakan publik pada dasarnya merupakan proses yang
berkesinambungan, dan bersifat iteratif. Kecepatan dinamis perubahan dalam
lingkungan strategis membutuhkan pemutakhiran yang terus menerus terhadap
kebijakan yang dibuat. Dalam konteks pengembangan kebijakan negara terkait
dengan komponen cadangan, harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
 Karena komponen cadangan terdiri dari keterlibatan warga negara, sumber
daya alam, sumber daya buatan, serta sarana prasarana nasional, maka
keterlibatan dari keempat domain entitas ini sangatlah penting – agar
mendapatkan dukungan penuh dari yang berkepentingan;
 Tingkat kegentingan dan kepentingan terhadap adanya kebijakan ini harus
dapat dikomunikasi secara efektif ke seluruh komponen masyarakat,
mengingat mayoritas dari mereka menganggap bahwa tidak ada ancaman
yang memaksa dalam situasi damai seperti saat ini; dan
 Khusus untuk warga negara, perbedaan pandangan bahwa berpartisipasi
menjadi komponen cadangan adalah merupakan hak dan/atau kewajiban
harus dapat dibahas secara tuntas – agar segenap masyarakat Indonesia
memahami secara utuh konten dan konteks keberadaan kebijakan negara ini
demi keutuhan dan kedaulatan NKRI tercinta.

REFERENSI
Collgate, U. of M. at. (1992). Making complex decisions: the analytical hierarchy
process. MEXICO, D.F.
Cox, M. T., & Raja, A. (2011). Metareasoning: thinking about thinking. Cambridge,
MA: MIT Press.
Duffield, M. (2014). “Global Governance and the New Wars: The Merging of
Development and Security”, Zed Books, London & New York.
Fischer, Frank, Miller, Gerald J, Sidney, Mara S. (2015). “Handbook of Public Policy:
Theory Politics, and Methods, edisi bahasa Indonesia, Nusa Media, Bandung.
Grindle, M. S. (1980). Politics and policy implementation in the Third World.
Princeton, NJ: Princeton University Press.
Kaplan, R. S., & Norton, D. P. (1996). The Balanced Scorecard Translating Strategy
into Action. Boston: Harvard Business Review Press.
Nugroho, R. (2012). “Public Policy: Dinamika Kebijakan - Realitas Kebijakan -
Manajemen Kebijakan”, PT Elex Media Komputindo, Kompas Gramedia,
Jakarta.
Ripsman, Norrin M, and Paul, T.V. (2010). “Globalisation and the National Security
State”, Oxford University Press, London.
Simmons, Beth A and Steinberg, Richard H. (2014), “The Globalisation of World
Politics: An Introduction to International Relations”, Oxford University Press,
ambridge University Press, London.

Anda mungkin juga menyukai