net/publication/330753033
CITATIONS READS
4 12,618
1 author:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Pemberdayaan Ekonomi Perempuan Berbasis Pesantren dan Social Entrepreneurship View project
All content following this page was uploaded by Asep Maulana Rohimat on 31 January 2019.
iii
Buku ini terbagi menjadi menjadi lima bagian
pembahasan, bagian pertama menjelaskan gambaran
umum ilmu metodologi studi Islam, berisi ruang
lingkup, tujuan dan fungsi, kajian filosofis Islam
sebagai disiplin ilmu, Konsep Material dan Spiritual,
dan konsep islam rahmatan lil’alaim.
Di bagian kedua, buku ini membahas perkembangan
Studi Islam, baik dunia global, di dunia barat, dan
spesifik perkembangnnya di Indonesia.
Bagian Ketiga, buku ini membahas berbagai
pendekatan dalam Studi Islam. Bagian ke empat
berisi kajian Orientalisme vis a vis
Oksidentalisme, dan Bagian kelima, membahas
benturan anatara konsep Fundamentalisme Islam vis
avis Radikalisme Islam.
Demikian, semoga isi buku ini menjadi media
pencerahan bagi setiap sivitas akademik. Dan
menjadi kontribusi positif baik bagi institusi,
maupun secara umum.
Surakarta, 20 September 2018
iv
Daftar Isi
Bagian 1
Gambaran Umum
Metodologi Studi Islam
Definisi ......................................................................... 1
Ruang Lingkup ............................................................. 4
Tujuan dan Fungsi Metodologi Studi Islam ................ 7
Islam Sebagai Disiplin Ilmu ......................................... 10
Konsep Material dan Spiritual .....................................15
Islam Rahmatan Lil’alamin .........................................16
Bagian 2
Perkembangan Studi Islam
Studi Islam di Dunia .................................................... 25
Studi Islam di Dunia Barat .......................................... 32
Studi Islam di Indonesia .............................................. 37
v
Bagian 3
Berbagai Pendekatan
Dalam Studi Islam
Pendekatan Sejarah ...................................................... 41
Pendekatan Fiqh .......................................................... 45
Pendekatan Teologi ...................................................... 51
Pedekatan Tasawuf ...................................................... 56
Konsep Akhlak dalam Manajemen .............................. 62
Bagian 4
Orientalisme vis a vis
Oksidentalisme
Definisi ......................................................................... 77
Sejarah Orientalisme .................................................... 81
Motif Orientalisme ....................................................... 85
Motif Oksidentalisme ................................................... 95
vi
Bagian 5
Fundamentalisme Islam vis a
vis Radikalisme Islam
Definisi ......................................................................... 106
Diawali Tuduhan Negatif ............................................. 107
Salah Paham Fundamentalisme dan Radikalisme ... 126
vii
Bagian 1
Gambaran Umum
Metodologi Studi Islam
Definisi
Para Pemikir Islam sudah banyak membuat
definisi tentang Metodologi Studi Islam, paling tidak bisa
kita cermati beberapa definisi berikut.
Metodologi berasal dari dua suku kata, yaitu
metode dan logi. Metode didefinisikan secara bahasa
berasal dari method artinya cara, jalan, arti lainnya
adalah cara yg teratur dan terpikir baik-baik untuk
mencapai suatu maksud, cara kerja yg bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai
tujuan yg ditentukan.(KBBI, 2008) Sedangkan istilah
logi/loghos mempunyai arti ilmu. Jika digabungkan
menjadi metodologi yang mempunyai arti ilmu berupa
cara atau jalan dalam memahami sesuatu. Metodologi
diartikan secara sederhana dengan maksud sebagai ilmu
1
tentang metode atau uraian tentang metode. (KBBI,
2008)
Menurut Abraham Kaflan yang dikutip Abuy
Sodikin (2000:4) menjelaskan bahwa metodologi bisa
dipahami sebagai pengkajian dengan penggambaran
(deskripsi), penjelasan (explanasi) dan pembenaran
(justifikasi). Merujuk definisi tersebut, metodologi
mengandung unsur-unsur:
1. Pengkajian (study)
2. Penggambaran (deskripsi)
3. Penjelasan (ekplanasi)
4. Pembenaran (justifikasi)
Istilah Studi berasal dari bahasa Inggris yaitu
study artinya mempelajari atau mengkaji, sedangkan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah Studi
mempunyai makna penelitian ilmiah, kajian, dan
telaahan. (KBBI, 2008) Dalam hal ini yang dimaksud
studi berarti pengkajian terhadap Islam secara ilmiah
dalam segala aspeknya, mulai dari teori maupun
prakteknya.
Istilah Islam berasal dari bahasa Arab, dari kata
salima dan aslama. Salima mengandung arti selamat,
tunduk dan berserah. Aslama juga mengandung arti
2
kepatuhan, ketundukan, dan berserah. Orang yang
tunduk, patuh dan berserah diri kepada ajaran Islam
disebut muslim, dan akan selamat dunia akhirat. Istilah
Islam merupakan bentuk infinitif dari kata aslama yang
memiliki varian makna yang diafirmasi oleh al-Qur’an
langsung, misalkan dalam ayat-ayat berikut: Islam
berarti damai (Qs. al-Anfâl/8: 61 dan Qs. al-Hujurȃt/49:
9), Islam berarti menyerah (Qs. al-Nisâ/4: 125 dan Qs.
Ali Imrân/3: 83), Islam berarti penyerahan diri secara
totalitas kepada-Nya (Qs. al-Baqarah/2: 208 dan Qs. al-
Shaffât/37: 26), Islam berarti bersih dan suci (Qs. al-
Syu’arâ’/26: 89, Qs. al-Maidah/5: 6 dan Qs. al-
Shaffât/37: 84), selamat dan sejahtera (Qs. Maryam/19:
47)
Secara istilah, Islam adalah nama sebuah agama
samawi yang disampaikan melalui para Rasul Allah,
khususnya Rasulullah Muhammad SAW, untuk menjadi
pedoman hidup manusia. (Supiana, 2012) Islam juga
dimaknai sebagai Agama dengan ajaran yang sangat
luhur dan menyempurnakan ajaran-ajaran agama
samawi sebelumnya yang membawa misi rahmatan
lil’alamin.
3
Dari berbagai definisi tiap istilah tersebut, bisa
ditarik kesimpulan bahwa Metodologi Studi Islam
memiliki makna sebuah ilmu yang berisi cara dan jalan
untuk memahami kajian Islam secara ilmiah dan
terstruktur untuk mendapatkan pemahaman terhadap
ajaran Islam yang holistik dengat tujuan utama sebagai
rahmatan lil’alamin.
Ruang Lingkup
Kajian Metodologi Studi Islam menjadi mata
kuliah wajib di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam,
sehingga sangat penting bagi setiap dosen dan
mahasiswa memahami sejauh mana ruang lingkup kajian
mata kuliah ini. Sebagaimana definisi Metodologi Studi
Islam yang ada, maka ruang lingkupnya sangat luas
dengan mencakup segala aspek kehidupan manusia.
Senada dengan pemahaman terhadap ayat yang
menunjukan bahwa Islam adalah agama rahmatan
lil’alamin, artinya agama Islam adalah agama terakhir
yang diturunkan Tuhan semesta alam untuk mengelola
seluruh alam dunia ini dengan penuh rahmat dan kasih
sayang. Firman Allah dalam QS. Al-Anbiya 107
menyatatakan bahwa Rasulullah sebagai symbol utama
4
ajaran Islam tidaklah diutus ke dunia ini melainkan
sebagai rahmat untuk seluruh alam.
5
saat ini, orang-orang Arab dalam percakapannya sehari-
hari, mengartikan rahmat yang disandarkan kepada Allah
bermakna belas kasih, kebaikan, rezeki dan lainnya.
Sedangkan yang disandarkan kepada manusia bermakna
“belas kasih” saja.(Muhammad Makmun Rasyid, 2016)
Istilah lil-alamin merupakan konsep yang terkait
dengan ruang lingkup Metodologi Studi islam ini, secara
harfiah lil-alamin berarti untuk seluruh alam, maksudnya
seluruh unsure di bumi yang berisi manusia, hewan,
tumbuhan, benda-benda alam, bahkan dunia jin
sekalipun. Sehingga ruang lingkup metodologi studi
islam adalah semua hal yang bisa dikaji dalam Agama
Islam, tentu adalah semua unsur yang ada di muka bumi
ini. Terutama yang terkait dengan kegiatan manusia,
seperti ibadah, sosial, politik, ekonomi, kesenian,
kebudayaan, kesehatan, keamanan, hubungan
internasional, biologi, fisika, kimia, ilmu luar angkasa,
astronomi dan semua hal yang terkait aktivitas manusia.
Sehingga Metodologi Studi Islam bukan hanya mengkaji
tema-tema terkait Islam umum di masyarakat, misal
mengkaji sholat, puasa, zakat, haji, ataupun kajian-kajian
ghaib yang terkadang susah dicerna logika. Namun Studi
6
Islam bisa mengkaji unsure-unsur umum yang dipahami
masyarakat sebagai ilmu dunia.
sangat mungkin terjadi adanya interkoneksi dan
integrasi keilmuan dalam dalam sebuah topic kajian.
Misalkan saja, ketika mengkaji sebuah kasus manajamen,
dibahas menggunakan pendekatan Fikih ataupun akhlak.
Secara teknis, integrasi-interkoneksi ini adalah upaya
memadukan berbagai disiplin imu dengan tinjauan
Islam. sehingga mematahkan teori sekularisme yang
beranggapan bahwa Islam itu hanya untuk kepentingan
ibadah semata.
7
membahas sebuah topik ilmu Islam yang hanya dililhat
dari satu sisi pemahaman saja, misal seorang
ustadz/penceramah mengajarkan fiqh sholat hanya dari
satu sisi madzhab syafii, dengan menafikan fiqh sholat
dari madzhab lain, maka akhirnya jamaah pengajian
tersebut akan merasa fiqh madzhab syafii saja yang
dipahaminya. Ketika melihat atau menemukan praktek
fiqh sholat dengan menggunakan madzhab selain Syafii
akan terasa aneh dan beda. Keanehan itulah yang tidak
jarang menjadi bibit perpecahan umat Islam di kalangan
bawah.
Berbeda dengan pengajian, pengkajian Islam di
perguruan tinggi menggunakan metode yang ilmiah,
maka ketika mengkaji fiqh sholat harus disampaikan dari
seluruh pandangan yang ada. Bukan dari satu tinjauan
madzhab saja. Harus ada komparasi antar madzhab,
sehingga menghasilkan kajian fiqh sholat yang
komprehensif.
Fungsi adanya mata kuliah Metodologi studi Islam
adalah membentuk pemikiran mahasiswa yang lebih
toleran, tidak kaku dan tidak mudah menyalahkan
pendapat orang lain yang berbeda, namun mempunyai
8
keyakinan tersendiri atas pemikiran pribadinya yang
berdasar atas kajian ilmu.
Seorang akademisi yang memahami metodologi
studi islam akan mempunyai penglihatan keilmuan yang
holistic dan moderat. Juga menggunakan akal pikiran
yang sehat yang bersumber dari kekuatan cahaya
kebenaran objektif (bashiroh) bukan hasil dari desakan
hawa nafsu yang pasti akan melahirkan subjektifitas yang
sangat kuat.
Istilah bashiroh ini ditemukan dalam QS. Yusuf:
108 yang menjelaskan tentang perintah Allah kepada
Nabi Yusuf supaya mengajak (berfikir) kaumnya dengan
metodologi yang objektif (bashiroh) seperti tergambar
dalam ayat berikut:
ۖ ﻴﺮﺓٍ ﺃَﻧ َ۠ﺎ َﻭ َﻣ ِﻦ ٱﺗﱠ َﺒ َﻌ ِﻨﻰ
َ ﺼِ ِ ۚ َﻋ َﻠ ٰﻰ َﺑ+ٱﻋ ٓﻮ ۟ﺍ ِﺇ َﻟﻰ ﱠ ُ ﺳ ِﺒﻴ ِﻠ ٓﻰ ﺃَ ْﺩ َ ﻗُ ْﻞ ٰ َﻫ ِﺬ ِﻩۦ
َ َﻭ َﻣﺎ ٓ ﺃَﻧ َ۠ﺎ ِﻣﻦَ ْٱﻟ ُﻤ ْﺸ ِﺮﻛِﻴﻦ+ٱ
ِ ﺳ ْﺒ ٰ َﺤﻦَ ﱠ ُ َﻭ
“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-
orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada
Allah dengan hujah yang nyata, Maha Suci Allah, dan
aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (QS.
Yusuf: 108)
Bashiroh juga merupakan salah satu tanda
kuatnya keimanan seseorang, ketika imannya kuat, maka
9
akan menghasilkan kekuatan bashiroh (objektifitas) yang
pasti kuat juga. Untuk mendapatkannya maka perlu
diasah dah dipertajam dengan berbagai diskusi dan
kekuatan membaca yang sistematis
10
muncul fakultas sosial humaniora, fakultas kedokteran,
fakultas ekonomi dan bisnis Islam, dan lain-lain.
Sebagai sebuah disiplin ilmu, Islam tentunya
menjadi sangat ideal untuk menjadi inspirasi bagi
peminatnya. Orang yang berpasrah diri dengan meyakini
Islam sebagai pedoman hidupnya dan menjalankan
seluruh ajaran Islam disebut sebagai Muslim. Namun
terjadi di tengah tengah masyarakat saat ini, mengaku
Islam tetapi tidak muslim, artinya banyak oknum
masyarakat muslim tidak berpasrah dan menjalankan
ajaran Islamnya. Atau terjadi juga orang mengklaim
muslim tetapi salah paham dengan keyakinannya itu,
sehingga mencerminkan perilaku yang salah dari ajaran
Islamnya.
Islam sesungguhnya adalah agama yang
mengajarkan perdamaian, toleransi, keterbukaan,
kebersamaan, egaliter, kerja keras, semangat, pantang
menyerah, demokratis, jujur, adil, seimbang antara
urusan dunia dan akhirat, berharta, memotivasi umatnya
untuk menjadi orang kaya, memiliki kepekaan terhadap
masalah-masalah sosial kemasyarakatan, mengutamakan
pencegahan dari pada penyembuhan dalam bidang
kesehatan dengan cara memperhatikan segi kebersihan
11
badan, pakaian, makanan, tempat tinggal, lingkungan,
peduli terhadap eksplorasi sumber daya alam, ilmu luar
angkasa, dan lainnya.
Islam juga telah tampil sebagai sebuah disiplin
ilmu keislaman dengan berbagai cabangnya.
Karakteristik Islam yang demikian ideal itu tampak
masih belum seluruhnya dijumpai dalam kenyataan
umat, masih terjadi kesenjangan antara ajaran Islam
yang ideal dan fakta umatnya yang demikian itu.
Sehingga perlu kerja keras dan kerja cerdas
membuktikan kepada seluruh lapisan dunia, bahwa islam
itu sangat ideal dalam semua karakteristik
ajarannya.(Supiana, 2012)
Mengenai karakteristik ajaran Islam, Abuy Sodikin
(2002) menjelaskan Islam memiliki tujuh karakteristik
ajaran yaitu:
1. Islam memiliki ajaran yang sederhana, praktis dan
mengandung corak rasional. Agama Islam ajarannya
tidak mengandung unsur mitologi, Islam
membangkitkan kemampuan berfikir manusia dan
mendorong umatnya untuk menggunakan penalaran.
Bisa dilihat dalam QS. Azumar (39): 9, Allah mencela
orang-orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan
12
dan tidak mau berfikir secara rasional sebagai orang
yang tidak punya akal.
ﻗُ ْﻞ ﻫ َْﻞ َﻳ ْﺴﺘَ ِﻮﻯ ٱﻟﱠﺬِﻳﻦَ َﻳ ْﻌ َﻠ ُﻤﻮﻥَ َﻭ ﱠٱﻟﺬِﻳﻦَ َﻻ َﻳ ْﻌ َﻠ ُﻤﻮﻥَ ۗ ﺇِ ﱠﻧ َﻤﺎ َﻳﺘَﺬَ ﱠﻛ ُﺮ
۟ ُﺃ ُ ۟ﻭﻟ
ِ ﻮﺍ ْٱﻷ َ ْﻟ ٰ َﺒ
ﺐ
“katakanlah: apakah bisa disamakan orang yang
berilmu dan orang yang tidak berilmu,
sesngguhnya orang yang berdzikir (berfikir) yang
mempunyai akal. QS. Azumar (39): 9
13
“Dan Dialah Allah yang menciptakan kalian dari
jiwa yang satu, dari tempat yang tetap dan tempat
simpanan.. sungguh kami telah jelaskan tanda-
tanda itu, bagi kaum yang berlimu pengetahuan”
QS. al-An’am: 98
Dalam QS al- Baqarah: 269 lebih diperjelas lagi
tentang urgensi penalaran ilmu pengetahuan
manusia. Bahwa seorang yang memiliki penalaran
yang baik disebut sebagai penerima Hikmah (ilmu),
dan pemberian hikmah itu merupakan hak
prerogative Allah. Setiap manusia yang mendapat
hikmah (ilmu) dari Allah adalah yang terpilih dan
mendapatkan kebaikan yang banyak. Lebih jelasnya
bisa simak ayat berikut:
ُ
َ ﺸﺎ ٓ ُء ۚ َﻭ َﻣﻦ ﻳُﺆْ ﺕَ ْٱﻟ ِﺤ ْﻜ َﻤ َﺔ ﻓَ َﻘﺪْ ﺃﻭ ِﺗ
ﻰ َﺧﻴ ۭ ًْﺮﺍ َ َﻳُﺆْ ِﺗﻰ ْٱﻟ ِﺤ ْﻜ َﻤ َﺔ َﻣﻦ ﻳ
ﺐ ۟ ُﻻ ﺃ ُ ۟ﻭﻟ
ِ ﻮﺍ ْٱﻷ َ ْﻟ ٰ َﺒ ٓ ﻴﺮﺍ ۗ َﻭ َﻣﺎ َﻳﺬﱠ ﱠﻛ ُﺮ ﺇِ ﱠ
ً ۭ َﻛ ِﺜ
“Allah menganugrahkan al hikmah (kefahaman
yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunah)
kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang
siapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-
benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan
hanya orang-orang yang berakallah yang dapat
14
mengambil pelajaran (dari firman Allah).” QS al-
Baqarah: 269
15
sumber alam yang subur disebut sebagai unsur
material.
16
Islam juga terbukti memberi petunjuk bagi seluruh
segi kehidupan manusia walaupun sebagian petunjuk
itu bersifat umum. Petunjuk yang dimaksud adalah
perintah Allah kepada semua orang yang beriman
(percaya kepada ajaran Islam) untuk masuk
memahami dan melaksanakan ajaran Islam secara
holistic (kaafah). Artinya berislam dalam semua
sendi kehidupan manusia, tidak ada satupun unsur
kehidupan manusia yang bisa dilepaskan dari ajaran
agama Islam. bentuk lainnya berislam kaafah adalah
tidak sekali-kali mengikuti ajakan negatif dari syetan,
karena sudah ditegaskan bahwa syetan itu adalah
musuh manusia yang nyata. Lebih jelasknya simak
ayat berikut:
17
Islam mengakui keberadaan manusia sebagai
individu dan menganggap setiap orang memiliki
tanggungjawab pribadi kepada Tuhan, bahkan Islam
menjamin hak-hak azasi individu dan tidak
mengizinkan adanya campur tangan orang lain di
dalamnya.
َ ﺴ ِﻦ ِﺇ ﱠﻻ َﻣﺎ
ﺳ َﻌ ٰﻰ َ َﻭﺃَﻥ ﱠﻟﻴ
ِ ْ ْﺲ ِﻟ
َ ٰ ﻺﻧ
“dan bahwasanya seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”
QS, (An-Najm (53):39
18
Segai konsep yang menyeluruh, ajaran Islam
ditujukan untuk mengajarkan dan menegaskan
bahwa Tuhan dalam Islam adalah Tuhan sekalian
alam, bersifat menyeluruh dan universal. Teori ini
sesungguhnya sudah menjadi keyakinan yang kuat
bagi seluruh umat Islam, karena ayat Al-Qur’an yang
menjadi rujukan adalah surat Al-Fatihah. Sedangkan
surat Al-Fatihah merupakan bagian dari rukun sholat
yang harus dibaca ketika sholat, menjadi tidak sah
sholatnya, jika tidak membaca surat Al-Fatihah ini.
Sifat keuniversalan itu bisa dilihat dalam ayat
berikut:
19
ُ ِﺇ َﻟ ْﻴ ُﻜ ْﻢ َﺟ ِﻤﻴ ًﻌﺎ ﱠٱﻟﺬِﻯ َﻟ ۥﻪُ ُﻣ ْﻠﻚ+ٱ ِ ﺳﻮ ُﻝ ﱠ ُ ﺎﺱ ِﺇ ِّﻧﻰ َﺭ ُ ﻗُ ْﻞ ٰ َٓﻳﺄ َ ﱡﻳ َﻬﺎ ٱﻟ ﱠﻨ
ِ ﻮﺍ ِﺑ ﱠ
+ﭑ ِ aﻻ ِﺇ ٰ َﻟ َﻪ ِﺇ ﱠﻻ ﻫ َُﻮ ﻳُ ْﺤ ِﻰۦ َﻭﻳُ ِﻤﻴﺖُ ۖ َﻓـ
۟ ُﺎﻣﻨ َٓ ۖﺽ ِ ﺕ َﻭ ْٱﻷ َ ْﺭ ِ ﺴ ٰ َﻤ ٰ َﻮ
ٱﻟ ﱠ
َﻭ َﻛ ِﻠ ٰ َﻤ ِﺘِۦﻪ َﻭٱﺗﱠ ِﺒﻌُﻮﻩُ َﻟ َﻌ ﱠﻠ ُﻜ ْﻢ+ﭑ
ِ ﻰ ﱠٱﻟﺬِﻯ ﻳُﺆْ ِﻣﻦُ ِﺑ ﱠ ُ
ِّ ﻰ ْٱﻷ ِّﻣ ِّ ﺳﻮ ِﻟ ِﻪ ٱﻟ ﱠﻨ ِﺒُ َﻭ َﺭ
َﺗَ ْﻬﺘَﺪُﻭﻥ
“Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku
adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah
yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak
ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia,
Yang menghidupkan dan mematikan, maka
berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya,
Nabi yang umi yang beriman kepada Allah dan
kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan
ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk". QS,
Al-‘Arof (7):158
Dalam Ayat lainnya, Allah kembali mempertegas
tentang fungsi diutusnya Rasulullah Muhammad
SAW yaitu sebagai rahmat (ajaran Kasih Sayang)
untuk seluruh elemen alam semesta secara universal
tanpa terkecuali. Petunjuk tersebut bisa dilihat
sebagai berikut:
20
Nilai universalitas Islam lainnya bisa dilihat dalam
teori penciptaan manusia oleh Allah SWT,
bahwasannya manusia diciptkan oleh Sang Pencipta
dengan adanya pluralitas (keberagaman) yaitu dari
jenis laki-laki dan perempuan, dari berbagai suku
bangsa, dan tujuannya adalah untuk mereka saling
mengenal diantara mereka. Sifat universal inilah
yang menunjukan bahwa ajaran Islam muncul tidak
hanya untuk satu golongan/suku bangsa tertentu,
akan tetapi untuk untuk semua, namun Allah juga
memperingatkan kepada manusia bahwa yang
mendapat posisi mulia di sisi Allah adalah manusia
yang terbaik takwanya, yaitu orang yang paling baik
dalam bentuk pengabdian hidupnya hanya untuk
Allah dan selalu merasa diawasi oleh Allah dalam
setiap gerak geriknya di dunia ini. Hal ini bisa dilihat
dalam ayat berikut:
ﺷﻌُﻮ ۭ ًﺑﺎُ ﺎﺱ ِﺇ ﱠﻧﺎ َﺧ َﻠ ْﻘ ٰ َﻨ ُﻜﻢ ِّﻣﻦ ﺫَ َﻛ ۢ ٍﺮ َﻭﺃُﻧﺜَ ٰﻰ َﻭ َﺟ َﻌ ْﻠ ٰ َﻨ ُﻜ ْﻢُ ٰ َٓﻳﺄ َ ﱡﻳ َﻬﺎ ٱﻟ ﱠﻨ
َﻋ ِﻠﻴ ٌﻢ+ٱ ِ ﺎﺭﻓُ ٓﻮ ۟ﺍ ۚ ِﺇ ﱠﻥ ﺃَ ْﻛ َﺮ َﻣ ُﻜ ْﻢ ِﻋﻨﺪَ ﱠ
َ ﺃَ ْﺗ َﻘ ٰﯨ ُﻜ ْﻢ ۚ ِﺇ ﱠﻥ ﱠ+ٱ َ َﻭ َﻗ َﺒﺎ ٓ ِﺋ َﻞ ِﻟﺘَ َﻌ
ﻴﺮٌ ۭ َﺧ ِﺒ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
21
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa di antara kamu.”
QS. AL-Hujurat(29): 13
ُ ٱﺧ ِﺘ ٰ َﻠ
ﻒ ﺃَ ْﻟ ِﺴ َﻨ ِﺘ ُﻜ ْﻢ ِ ﺕ َﻭ ْٱﻷ َ ْﺭ
ْ ﺽ َﻭ ِ ﺴ ٰ َﻤ ٰ َﻮَﻭ ِﻣ ْﻦ َءﺍ ٰ َﻳ ِﺘ ِﻪۦ ﺧ َْﻠ ُﻖ ٱﻟ ﱠ
َﺖ ِّﻟ ْﻠ ٰ َﻌﻠِﻤِﻴﻦٍ ۢ َﻭﺃَ ْﻟ ٰ َﻮ ِﻧ ُﻜ ْﻢ ۚ ﺇِ ﱠﻥ ِﻓﻰ ٰﺫَﻟِﻚَ َﻝ َءﺍ ٰ َﻳ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan
bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda bagi orang-orang yang mengetahui.”
22
Bagian 2
Perkembangan
Studi Islam
23
Al-Jami’ah yang paling awal dengan pretensi sebagai
lembaga pendidikan tinggi, tercatat ada nama Al-Azhar di
Kairo, Zaituna di Tunis, dan Qarawiyyin di Fez. Tetapi
beberapa al-jami’ah ini yang diakui sebagai universitas
tertua di muka bumi, hingga dilakukannya pembaharuan
dalam beberapa dasawarsa silam, lebih tepat disebut
“madrasah tinggi” dari pada “universitas”.(Supiana,
2012)
Azyumardi Azra juga mencatat bahwa lembaga-
lembaga pendidikan Islam, baik madrasah (sekalipun
menyelenggarakan pendidikan tingkat tinggi, advanced
education), maupun al-jami’ah, yang memang
dimaksudkan sebagai pendidikan tinggi, tidak pernah
menjadi universitas yang difungsikan semata-mata untuk
mengembangkan tradisi penelitian bebas berdasarkan
nalar, sebagaimana terdapat di Eropa pada masa
modern. Bahkan, universitas di Eropa yang akar-akarnya
dapat dilacak dari al-jami’ah, seperti ditegaskan Stanton
berdasarkan penelitian al-Makdisi (1981 dan 1990)
hingga abad ke-18, juga tidak bebas sepenuhnya.
Universitas abad pertengahan, bahkan pada umumnya
berafiliasi dan terkait kepada gereja.
24
Sepanjang sejarah Islam, baik madrasah maupun
al-jami’ah diabdikan, terutama untuk ilmu-ilmu agama
dengan penekanan pada bidang fikih, tafsir dan hadis.
Ijtihad, walaupun diberikan ruang gerak, tetapi tidak
dimaksudkan berpikir sebebas-bebasnya, kecuali sekedar
memberikan penafsiran “baru” atau pemikiran
“independen” yang tetap berada dalam kerangka doktrin
yang mapan dan disepakati. Dengan demikian, ilmu-ilmu
non agama, terutama yang eksakta yang merupakan akar
pengembangan sains dan teknologi sejak awal telah
termarjinalkan (Khozin, 2001).
Kondisi seperti ini berbeda dengan dasar Islam
yang tidak mendikotomikan antara ilmu agama dan non
agama. Al-Ghazali (1085-1111M) disebut-sebut sebagai
“yang bertanggungjawab” memisahkan ilmu-ilmu agama
dengan ilmu-ilmu non agama. Menuntut ilmu agama
wajib bagi setiap Muslim, sedangkan wajib kifayah untuk
menuntut ilmu-ilmu umum. Sebenarnya, sebelum
kehancuran Mu’tazilah pada masa Makmun (198-
218/813- 833), ilmu umum yang berlandaskan kajian-
kajian empiris telah dipelajari di madrasah. Dengan
kesan mencurigai ilmu-ilmu umum yang berbasiskan
nalar itulah maka ilmu-ilmu tersebut dihapuskan dari
25
madrasah. Para peminat kepada ilmu-ilmu umum
tersebut akhirnya belajar sendiri-sendiri, karena ilmu-
ilmu agama dipandang sebagai yang dapat menggugat
kemapanan doktrin sunni, terutama dalam bidang kalam
dan fikih. Jadi, pada masa sebelum khalifah al-Makmun,
sains mencapai puncaknya, hampir dipastikan bukan
mucul dari madrasah, tetapi hasil kegiatan ilmiah
individu ilmuwan Muslim yang disemangati oleh
scientific inquiry (penyelidikan ilmiah) untuk
membuktikan kebenaran-kebenaran Alquran, terutama
yang bersifat kauniyah (kealaman).
Menurut catatan sejarah, ada empat perguruan
tinggi yang disebut-sebut sebagai kiblat bagi
pengembangan studi Islam di dunia Muslim, yang
selanjutnya diikuti oleh para orientalis dalam studi Islam
di kalangan sarjana Barat. Pertama, Madrasah
Nizhamiyah di Nisyafur. Madrasah ini, menurut Ibnu
Khalikan (w. 681-1282) dibangun oleh Nizham al-Mulk
untuk al-Juwaini, tokoh Asy’ariah, dan sekaligus guru
besar di madrasah ini selama tiga dekade hingga
wafatnya pada 478/1085. (Hasan Asari, 1994)
Secara struktur bangunan, Madrasah ini terdiri
dari tiga bagian inti, gedung madrasah, masjid dan
26
perpustakaan (bayt al-maktab). Dalam kepengurusannya
memiliki beberapa staff, yaitu seorang guru besar
(mudarris) yang bertanggungjawab atas pelaksanaan
pengajaran, seorang ahli Alquran (muqri’), ahli hadis
(muhaddits), dan pengurus perpustakaan, yang
bertanggungjawab terhadap tugasnya masing-masing.
Tercatat nama-nama seperti al-Juwaini, Abu al-Qasim,
al-Kiya al-Harrasi, al-Ghazali dan Abu Sa’id sebagai
mudarris, Abu al-Qasim, al-Hudzali dan Abu Nasyar al-
Ramsyi sebagai muqri’, Abu Muhammad al-Samarqandi
sebagai muhaddits, dan Abu Amir al-Jurjani sebagai
pustakawan. AlGhazali pernah tercatat sebagai asisten al-
Juwaini. (Hasan Asari, 1994)
Kedua, madrasah di Baghdad berdiri tahun
455/1063 yang dibangun oleh khalifah al-Makmun (813-
833 M), yang dilengkapi dengan perpustakaan
termasyur, Bayt alHikmah. Berbeda dengan madrasah
Nizhamiyyah di Nisyafur, di Baghdad tidak memiliki
masjid. Sebagai madrasah terbesar di zamannya,
madrasah ini diajar oleh para guru besar yang memiliki
reputasi tinggi, seperti Abu Ishaq al-Syirazi (w.
476/1083), al-Kiya al-Harasi, dan al-Ghazali (1058-1111
M) yang tercatat sebagai pemikir terbesar dengan
27
sebutan Imam al-Ghazali dan pengaruhnya cukup kuat di
Timur. Namun sayang, Madrasah yang berdiri hampir
dua abad ini akhirnya hancur, sekaligus melambangkan
kehancuran Islam pada masa pemerintahan Abbasiah,
setelah Hulagu Khan (1256-1349 M) melakukan
penyerbuan besar-besaran ke Baghdad.(Hasan Asari,
1994)
Ketiga, Universitas Al-Azhar di Kairo. Universitas
Al-Azhar di Kairo, Mesir ini tidak terlepas dari eksistensi
Abbasiah-Syiah yang pengaruh kekuatan politiknya mulai
melemah. Di sinilah wilayah-wilayah kekuasaan Daulat
Ababsiah seperti Thahiriyah, Safawiyah, Samawiyah,
Thuluniyah, Fathimiyah, Ghaznawiah, dan lain-lain
menuntut otonomisasi. Daulah Fathimiyah (909-1171 M)
misalnya, segera bangkit di Tunis. Ubaidillah al-Mahdi
diangkat sebagai khalifah pertama Fathimiyah yang
beraliran Syiah. Pada masa pemerintahan Muiz li
Dinillah (952-975 M), khalifah IV dari Fathimiyah, Lybia
dan Mesir berhasil ditaklukkan di bawah panglima
besarnya, Jauhar al-Siqili (362 H/972 M) dari Daulah
Abbasiah, yang dikenal sebagai pendiri ibukota baru
Mesir, Kairo (dulu Fustat). Kemudian ibu kota Syria
dipindahkan dari Tunis ke Kairo, Mesir. Al-Siqili pula
28
yang membangun perguruan tinggi Al-Azhar berdasarkan
ajaran sekte Syiah. Selanjutnya, pada masa khalifah al-
Hakim bin Amrillah (996-1020 M), dibangun
perpusatakaan terbesar di Kairo, Bait al-Hikmah, yang
disebut-sebut sebagai corong propaganda kesyiahan.
Konon, al-Hakim mengeluarkan dana 275 dinar untuk
menggandakan manuskrip dan perbaikan buku-buku.
Kurikulum yang dikembangkan lebih banyak ber-
orientasi pada masalah-masalah keislaman, astronomi
dan kedokteran. Ali Ibn Yunus, Ali al-Hasan, dan Ibnu al-
Haitam, tercatat sebagai tokoh yang mengembangkan
ilmu astronomi. Dalam masa ini kurang lebih seratus
karya tentang matematika, astronomi, filsafat dan
kedokteran telah dihasilkan. Bahkan, pada masa al-
Muntasir, terdapat perpustakaan yang di dalamnya berisi
200.000 buku. Pada tahun 567 H/1171 M, Shalahuddin
al-Ayyubi (1171-1193 M) berhasil merebut Daulah
Fathimiyah dan mendirikan Daulat Ayubiyyah (1171-1269
M) dan menyatakan tunduk kembali kepada Abbasiah.
Al-Azhar saat itu beralih kurikulum dan orientasi Syi’ah
ke Sunni, tetapi Al-Azhar tetap berdiri tegak hingga abad
ke-21 ini.(Hitti, 2002)
29
Di Universitas Al-Azhar ini, rektor (syekh Al-
Azhar), selain merupakan jabatan akademis, juga
merupakan kedudukan politis yang berwibawa vis avis
kekuasaan politik. Tetapi, sejak Dinasti Usmaniah (1517-
1798) pamor Al-Azhar mulai menurun, sehingga
Muhammad Ali mengintervensi Al-Azhar dalam
membenahi Al-Azhar sejak paroh abad ke-19. Kenyataan
ini pula yang membawa preseden lenyapnya
“independensi” Al-Azhar sebagai lembaga akademis,
yang pada gilirannya mempengaruhi otoritas dan
pamornya, terutama dalam hubungannya dengan
kekuasaan politik hingga kini. Keempat, Universitas
Cordova, Pemerintahan Abdurrahman I dipandang
sebagai tonggak kemajuan ilmu dan kebudayaan di
Cordova. Sejarah mencatat bahwa Aelhoud dari Bath
(Inggris) belajar di Cordova pada tahun 1120 M yang
mendalami geometri, aljabar dan matematika.(Hasan
Asari, 1994)
30
kemudian menjadi tokoh-tokoh atau pemikir Barat.
Inilah kontrak pertama dunia Barat dengan dunia Islam
(Muslim). Perguruan tinggi terkenal dalam masa
kejayaan antara lain perguruan tinggi yang berpusat di
Irak (dunia Muslim belahan Timur) dan Mesir serta
Cordova (di dunia Muslim belahan Barat). Inilah awal
kebangkitan (renaisance) Barat yang secara perlahan
mencapai kemajuan yang gemilang.
Kegemilangan Kemajuan Barat tersebut tentu
tidak terlepas dari kegiatan penerjemahan manuskrip-
manuskrip berbahasa Arab ke dalam bahasa Latin sejak
abad ke-13 M hingga masa ranaisance di Eropa abad ke-
14 oleh para ilmuan Barat, termasuk tentunya orientalis.
Kegiatan penerjemahan tersebut mendapat dukungan
Kaisar Dinasti Romawi (1198-1212), Raja Frederick dari
Sicilia. Kegigihan sang raja akhirnya membuahkan hasil
dengan terbangunnya beberapa perguruan tinggi di
Italia, seperti Padua, Florence, Milano, Venezia, disusul
oleh Oxford dan Cambride di Inggris, Sorbone di
Perancis, dan Tubingen di Jerman. Bidang filsafat
merupakan yang paling menonjol dari kegiatan
penerjemahan manuskrip tersebut, sehingga lahirlah
aliran Skolastik, aliran Rasionalisme, aliran Emphirisme,
31
dan lain-lain. Kegiatan penerjemahan ini telah membuka
Barat mengembangkan penelitian mereka dalam bidang
ilmu pengetahuan di Barat. Francirs Bacon (1561-1626)
telah megilhami para sarjana Barat dalam kegiatan
observasi dan eksperimen, terutama karyanya Novu
Organon.(Supiana, 2012)
Tercatat tokoh yang mengembangkan ilmu
pengetahuan dari penerjemahan manuskrip Arab
tersebut Gerbert d’Auvergne (999-1003 M) dalam bidang
kedokteran dan matematika di abad ke-11 M. Pada
pertengahan abad ke-12 M dibentuk semacam
kelompok penerjemah yang diketuai oleh Archdeacon
Dominicues Gundasalvi. Kelompok ini untuk pertama
kalinya menerjemahkan kumpulan komentar Ibnu Sina
dan alGhazali dalam bahasa Latin. Karya Ibnu Sina untuk
pertama kalinya diterjemahkan dalam bidang kedokteran
berjudul Canon of Medicine oleh Cromena (w. 1187 M).
Tetapi usaha penerjemahan baru berlangsung secara
intensif pada masa Raja Frederik II (1212-1250 M) yang
menetap di Palermo, ibukota Sicilia. Di Palermo, Raja
Frederik II mengumpulkan para sarjana Yahudi untuk
pentingan penerjemahan, kemudia sarjana Kristen yang
mendalami bahasa Arab. Bahkan, Frederik II ini
32
memberikan fasilitas khusus kepada Michael Scot (1175-
1234 M) yang menerjemahkan buku karya Averrous
(Ibnu Rusyd) dan Hermanus Allemanus yang
menerjemahkan karya-karya al-Farabes (al-Farabi).
Hermanus Allemanus ini juga menerjemahkan Retorica,
terjemahan karya Aristo (384-322 M) di dalam bahasa
Arab serta menerjemahkan Poetic dan Ethica karya
Avverous yang merupakan terjemahan karya
Aristo.(Supiana, 2012)
Setelah ilmu pengetahuan Islam (Muslim) ‘migran’
ke Barat dan dikembangkan oleh para sarjana mereka,
ternyata banyak ajaran Islam yang menyimpang dari
ajaran sebenarnya, karena telah dirasuki oleh paham
sekuler. Inilah yang menyebabkan para sarjana Muslim
melakukan upaya pemurnian ajaran. Ismail Raji al-
Faruqi, Naquib alAttas, Ali Ashraf, Ziauddin Sardar dan
lain-lain, terpanggil untuk upaya ini. Tokoh-tokoh ini
menawarkan gagasan Islamisasi pengetahuan, yakni
melakukan penulisan ulang terhadap ilmu-ilmu modern
(produk Barat) dan menanggalkan ciri-ciri
sekularismenya. Upaya lainnya mendirikan universitas-
universitas Islam seperti yang terjadi di Pakistan,
International Islamic University, di Washington DC,
33
Islamic of Advanced Studies, atau The International
Institut of Islamic Thought and Civilization (biasa disebut
ISTAC) yang dipelopori oleh Naquib al-Attas.(Supiana,
2012)
Studi Islam di Barat sedikit bervariasi. Di Chicago
University, studi Islam menekankan pada bidang
pemikiran Islam, bahasa Arab, naskah klasik dan bahasa-
bahasa Islam non Arab. Studi Islam tersebut berada di
bawah Pusat Studi Timur Tengah dan Jurusan Bahasa
dan Kebudayaan Timur Dekat, di Amerika, studi Islam
pada umumnya menekankan pada studi sejarah Islam,
bahasa-bahasa Islam selain bahasa Arab, sastra dan
ilmu-ilmu sosial, yang berada di bawah Pusat Studi
Timur Tengah atau Timur Dekat. Di UCLA, studi Islam
dibagi empat komponen. Pertama, mengenai doktrin dan
sejarah Islam, termasuk pemikiran Islam. Kedua, bahasa
Arab dan teks-teks klasik mengenai sejarah, hukum dan
lain-lain. Ketiga, bahasa-bahasa non Arab yang muslim,
seperti Urdu, Persia, Turki, bahasa yang telah
menghantarkan kebudayaan. Keempat, ilmu-ilmu sosial,
sejarah bahasa Arab, bahasa-bahasa Islam, sosiologi dan
lain-lain.(Supiana, 2012)
34
Gambaran studi Islam Di London, terdapat di
School of Oriental and African Studies, fakultas mengenai
studi Ketimuran dan Afrika, yang memiliki berbagai
jurusan Bahasa dan Kebudayaan Asia dan Afrika. Salah
satu program studi di dalamnya program MA tentang
masyarakat dan budaya Islam yang dapat dilanjutkan ke
jenjang doktor. Di Kanada studi Islam menekuni kajian
budaya dan peradaban Islam di zaman Nabi Muhammad
hingga masa kontemporer, memahami ajaran Islam dan
masyarakat Muslim di seluruh dunia, dan mempelajari
bebagai bahasa Muslim, seperti bahasa Persia, Urdu, dan
Turki. Sedangkan di Belanda, yang dulunya menganggap
tabu mempelajari Islam ternyata masih menyisakan
kajian Islam di Indonesia, walaupun tidak menekankan
pada aspek sejarah Islam itu sendiri.(Supiana, 2012)
35
madrasah sangat menonjol dalam studi Islam di
Indonesia.(Zamakhsyari Dhofier, 1990)
Di samping pesantren, perguruan tinggi Islam
tentu menjadi sebuah lembaga paling diminati untuk
studi Islam secara komprehensif. Perguruan Tinggi Islam
di Indonesia, seperti STAIN, IAIN,dan UIN, dapat
dijadikan rujukan bagi pengembangan studi Islam.
Munculnya gagasan pendirian perguruan tinggi Islam
seperti UIN/IAIN/STAIN tidak terlepas dari kesadaran
kaum Muslim yang dilatarbelakangi berbagai faktor.
Pertama, untuk mengakomodasi kalangan yang tidak
memiliki kesempatan melanjutkan ke Timur Tengah.
Kedua, keingingan untuk mewujudkan lembaga
pendidikan Islam sebagai kelanjutan pesantren dan
madrasah. Keingingan untuk menyeimbangkan jumlah
kaum terpelajar tamatan sekolah “sekuler” dengan
tamatan sekolah agama. Gagasan ini datang dari
kalangan agamawan, juga muncul dari kalangan
terpelajar Muslim tamatan sekolah “sekuler” (Husni
Rahim, 2001). Dr. Satiman termasuk yang mengusulkan
gagasan perguruan tinggi Islam ini. Ia sempat
mendirikan Yayasan Pesantren Luhur tahun 1938, yang
kandas karena ada intervensi pihak penjajah. Di
36
Sumatera Barat, pada tahun 1940, sejumlah guru Muslim
mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) walaupun hanya
bertahan dua tahun karena pendudukan Jepang. Upaya
yang sama dilakukan oleh tokoh-tokoh nasional seperti
Muhammad Hatta, Muhammad Natsir, KH. Wahid
Hasyim, dan KH. Mas Mansyur. Pada 8 Juli 1945 tokoh-
tokoh tersebut mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) di
Yogyakarta di bawah pimpinan Kahar Mudzakir. Ketika
revolusi kemerdekaan, STI berganti nama menjadi
Universitas Islam Indonesia (UII) dengan
mengembangkan empat fakultas, yaitu Fakultas Agama,
Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, dan Fakultas
Pendidikan. Lembaga pendidikan tinggi Islam tersebut,
secara formal, baru direalisasikan oleh pemerintah pada
tahun 1950 di Yogyakarta. (Supiana, 2012)
Bersamaan dengan itu, pemerintah mengubah
status Universitas Gadjah Mada menjadi universitas
negeri sesuai dengan PP No. 37/1950 yang dibentuk bagi
golongan nasionalis. Pada saat yang sama, kepada
kelompok Islam diberikan perguruan tinggi agama Islam
(PTAIN) dengan mengubah status Fakultas Agama UII.
Tidak lama kemudian Departemen Agama pada waktu itu
mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (AIDA) di
37
Jakarta pada 1 Juli 1957, sebagai lembaga yang
dipersiapkan untuk mendidik pegawai negeri dengan
kemampuan akademik dan semi akademik tingkat
diploma sebagai guru agama di SLTP (Husni Rahim,
2001). Jumlah mahasiswa PTAIN dalam satu dekade
semakin banyak, termasuk yang dating dari negeri
tetangga, Malaysia. Berdasarkan perkembangan-
perkembangan itulah dan pertimbangan-pertimbangan
lain yang bersifat akademis, pada 24 Agustus 1960,
presiden mengeluarkan PP No. 11 yang menggabungkan
PTAIN dan AIDA menjadi Institut Agama Islam Negeri
(IAIN). Sejak itulah secara berturut-turut di beberapa
wilayah propinsi Indonesia berdiri IAIN sebagai sarana
bagi masyarakat Muslim untuk mendapatkan pendidikan
tinggi. Seiring dengan tuntutan perkembangan zaman,
orientasi kelembagaan dan kurikulum perguruan tinggi
Islam tersebut mengalami berbagai inovasi. Tetapi,
inovasi tersebut belum diimbangi oleh ketersediaan
dosen ahli (expert) dalam bidang ilmunya.(Supiana,
2012)
38
Bagian 3
Berbagai Pendekatan
Dalam Studi Islam
Pendekatan Sejarah
Metode paling klasik dalam sebuah studi ilmiah
adalah melalui pendekatan sejarah (Historical
Approach), pendekatan ini muncul sejak peradaban
manusia, mulai diteliti oleh para akademisi secara serius.
Sebagai bukti, bahwa manusia yang hidup pada jaman
sekarang merupakan keberlanjutan dari manusia
sebelumnya. Sejarah masa lalu merupakan awal dari
terbentuknya kehidupan masa kini.
Definisi Sejarah secara etimologi adalah merujuk
pada kata tarikh (ketentuan waktu) dan History (the past
experience of mankind) dengan arti pengalaman masa
lalu. Dalam definisi terminologi sejarah diartikan sebagai
kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada
39
masa lampau; pengetahuan atau uraian tentang peristiwa
dan kejadian yang benar-benar terjadi pada masa
lampau.(KBBI, 2008) Definisi ini menegaskan bahwa
sejarah itu haruslah fakta, bukan rekayasa ataupun fiksi.
Ketika ditemukan sejarah dengan data dan fakta
rekayasa, maka sejarah tersebut harus diluruskan dan
direvisi, sehingga tidak terjadi pembodohan sejarah atau
bahkan pemutarbalikan sejarah.
40
secara akademik, sehingga bisa menjadi petunjuk dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman. Selain itu
pelarajan sejarah yang bersumber dari al-Qur’an juga
merupakan sebuah pembuktian bahwa Al-Qur’an
bukanlah sebuah cerita bohong, akan tetapi merupakan
sebenar-benarnya mukjizat untuk menyempurnakan
kitab-kitab agama sebelum Islam, bahkan sejarah dalam
Al-Qur’an bisa digunakan sebagai petunjuk dan rahmat
bagi orang-orang yang mempercayainya. Penjelasan
tersebut bisa dibaca dalam ayat berikut:
41
sejarah, berupa pelacakan sejarah masa awal munculnya
judul atau tema yang dibahas. Kemudian tentukan
keterkaitan antara judul dengan konsep sejarah Islam,
apakah sejarahnya itu adalah fakta atau rekayasa semata.
Setelah menemukan sejarah munculnya objek penelitian,
maka selanjutnya dicari sejarah perkembangan dari masa
ke masa. Dalam bagian ini biasanya peneliti menemukan
fakta dan suasana baru dalam sejarah. Bagian yang
sangat penting juga dalam pendekatan sejarah adalah
mengkaji kondisi masa kini sebagai fakta kontinyuitas
dari sejarah sebelumnya.
42
merupakan suatu realitas dari hari lampau yang
utuh.(Supiana, 2012) Namun hasil penelitian sejarah bisa
jadi akan mendapatkan warna pemikiran dari
penelitinya.
Catatan penting dalam pendekatan sejarah ini
adalah pentingnya seorang peneliti menelusuri apakah
data sejarah yang disajikan saat ini, merupakan fakta
nyata yang terjadi, jangan sampai data sejarah yang
digunakan merupakan data palsu/hoax. Kejelian peneliti
dalam merujuk referensi data sejrah menjadi sangat
diperlukan, agar tidak terjerumus dalam penulisan
sejarah palsu. Terlebih data sejarah sangat riskan untuk
disalahgunakan sebagai propaganda dari penguasa. Para
oknum penguasa politik biasanya menggunakan data
sejarah untuk meligitimasi kekuasaanya, supaya lebih
kuat dan mendapat respon dukungan dari
masyarakatnya. Bisa juga digunakan oleh oknum
penguasa untuk menyerang dan melemahkan lawan
politiknya menggunakan data sejarah palsu.
Pendekatan Fiqh
Fiqh merupakan ilmu penting dalam Islam,
bahkan menjadi salah satu bagian dari rukun agama
43
(Iman, Islam, Ihsan) yaitu bagian keilmuan dari turunan
konsep Islam. Bila dikaji dari definisi secara etimologi
Fiqh memiliki arti .
Secara terminologi banyak sekali definisi yang
telah dituliskan oleh para pakar, diantaranya adalah
definisi fiqh yang mengartikan seabgai Disiplin ilmu
Islam yang banyak berhubungan dengan dimensi
eksoterik atau dzahir. Sering disebut juga hukum
Islam.(Supiana, 2012)
Gambar …
Peta Konsep Pendekatan Fikih
44
pendapat yang berbeda satu sama lain, itulah konsep
madzhab yang kemudian berkembang sampai akhir
zaman nanti. Dalam alur pendekatan fikih, objek studi
Islam langsung dibahas dalam madzhab fikih yang
sebelumnya dikaji menggunakan ushul fikih yang
bersumber dari Fikih secara global. Lihat pada gambar
berikut:
Pendekatan Fiqh
45
menggunakan pendekatan ini, menghasilkan sebuah
keilmuan baru berupa ekonomi Islam atau populer di
Indonesia dengan sebutan ekonomi Syari’ah.
Salah satu contoh pendekatan fikih ini adalah
penelitian terhadap perbankan di Indonesia. Pertama kali
peneliti menentukan topik perbankan yang akan dikaji,
kemudian dicarilah berbagai teori fikih yang membahas
perbankan. Dicari dalil normative dalam Al-Qur’an yang
terkait dengan perbankan, misalnya kita temukan ayat
tentang perbankan dalam QS. Al-Baqarah: 275, QS. An-
Nisa: 161, QS. Ali ‘Imran: 130, dan QS. Ar-Rum: 39.
Kemudian dicari dalil normatif dari As-Sunnah
(hadis) misal ditemukan berbagai hadis terkait ekonomi
perbankan, misalkan merujuk sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh ibnu Majah dari Shuhaib, menjelaskan
bahwasannya Rasulullah SAW bersabda ada tiga hal yang
memiliki barokah, yaitu jual beli yang ditangguhkan
pembayarannya, Muqaradhah (Mudharabah) dan
mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan
rumah tangga, bukan untuk dijual.(Dewan Syariah
Nasional, 2000)
46
ُﺿﺔ َ َﻭ ْﺍﻟ ُﻤ َﻘ, ﺍَ ْﻟ َﺒ ْﻴ ُﻊ ِﺇ َﻟﻰ ﺃَ َﺟ ِﻞ:ُﺙ ِﻓ ْﻴ ِﻬ ﱠﻦ ْﺍﻟ َﺒ َﺮ َﻛﺔ
َ ﺎﺭ ٌ ﺛَ َﻼ:َﱠَ َﻗﺎﻝq َﺃَ ﱠﻥ ﺍﻟ ﱠﻨ ِﺒُ ْﱠ
ِ ﻲ
ﺖ ﻻَ ِﻟ ْﻠ َﺒﻴ ِْﻊ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ ﻋﻦ
ِ ﺸ ِﻌﻴ ِْﺮ ِﻟ ْﻠ َﺒ ْﻴ
ﻂ ْﺍﻟﺒُ ِ ّﺮ ِﺑﺎﻟ ﱠُ َﻭﺧ َْﻠ
(ﺻﻬﻴﺐ
Juga ditemukan sebuah hadis tentang landasan
syari'ah bagi produk mudharabah dan bai' salam (in-
front payment sale) yang menyebutkan bahwa jika ada
pihak yang melakukan jual beli dengan metode salaf
(salam), haruslah menggunakan takaran/ukuran yang
jelas dan timbangan yang tepat, dan juga menggunakan
jangka waktu yang diketahui oleh kedua belah pihak.
47
ﺎﺭ َﺑ ًﺔ
َ ﻀ َ ﺐ ِﺇﺫَﺍ ﺩَ َﻓ َﻊ ْﺍﻟ َﻤﺎ َﻝ ُﻣ ِ ﻄ ِّﻠ
َ ﱠﺎﺱ ْﺑﻦُ َﻋ ْﺒ ِﺪ ْﺍﻟ ُﻤُ ﺳ ِّﻴﺪُﻧَﺎ ْﺍﻟ َﻌﺒ
َ ََﻛﺎﻥ
, َﻭﻻَ َﻳ ْﻨ ِﺰ َﻝ ِﺑ ِﻪ َﻭﺍ ِﺩ ًﻳﺎ,ﺎﺣ ِﺒ ِﻪ ﺃَ ْﻥ ﻻَ َﻳ ْﺴﻠُﻚَ ِﺑ ِﻪ َﺑ ْﺤ ًﺮﺍ
ِ ﺻَ ﻁ َﻋ َﻠﻰ َ ﺍِ ْﺷﺘَ َﺮ
َﻓ َﺒ َﻠ َﻎ, َﺿ ِﻤﻦ ْ ﻱ ِﺑ ِﻪ ﺩَﺍ ﱠﺑ ًﺔ ﺫَﺍﺕَ َﻛ ِﺒ ٍﺪ َﺭ
َ َ َﻓﺈِ ْﻥ َﻓ َﻌ َﻞ ﺫَﻟِﻚ,ٍﻁ َﺒﺔ َ َﻭﻻَ َﻳ ْﺸﺘَ ِﺮ
ﺍﻟﻄﺒﺮﺍﻧﻲ ﻓﻲ ﺍﻷﻭﺳﻂ ﻋﻦ ّ ِﱠَ َﻓﺄ َ َﺟﺎﺯَ ﻩُ )ﺭﻭﺍﻩq َِْﷲ َ ُ ﺳ ْﻮ َﻝُ ﻁﻪُ َﺭ ُ ﺷ َْﺮ
(ﺍﺑﻦ ﻋﺒّﺎﺱ
“Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta
sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada
mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak
menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak.
Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus
menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang
ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau
membenarkannya” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).
48
ّ ِ ﺳ ﱠﻠ َﻢ ﺁ ِﻛ َﻞ
ﺍﻟﺮ َﺑﺎ ﺻ ﱠﻠﻰ ﱠ
َ ُ َﻋ َﻠ ْﻴ ِﻪ َﻭ+ﺍ َ +ﺍ ِ ﺳﻮ ُﻝ ﱠ ُ َﻟ َﻌﻦَ َﺭ:ََﻋ ْﻦ َﺟﺎ ِﺑ ٍﺮ َﻗﺎﻝ
َ َﻭ ُﻣ ْﻮ ِﻛ َﻠﻪُ َﻭ َﻛﺎ ِﺗ َﺒﻪُ َﻭﺷَﺎ ِﻫﺪَ ْﻳ ِﻪ َﻭ َﻗﺎ َﻝ ُﻫ ْﻢ
ﺳ َﻮﺍ ٌء
Dari Jabir berkata: “Rasulullah SAW melaknat
orang yang memakan riba, mengusahakannya,
penulisnya, dan kedua saksinya, lalu Rasul berkata
mereka adalah sama (berdosa)”
Pendekatan Teologi
Pendekatan ini menggunakan metode yang sangat
mendasar dan penting dalam kajian Islam, yaitu mencari
asal muasal pemikiran tokoh melalui kajian mendalam
terkait latar belakang Aqidahnya, para peneliti Islamic
Studies harus jeli dan waspada terhadap pemikiran
49
Aqidah yang sesat. Sudah sangat jelas, bagian Aqidah
bersifat paten dan tidak bisa dikompromikan lagi.
Berdasarkan hadis shahih terkait pembagian
firqoh dalam peradaban manusia, bahwa Yahudi akan
terbagi menjadi 71 golongan, Nasrani menjadi 72
golongan, dan Islam terbagi menjadi 73 golongan. Dari
berbagai golongan tersebut disepakati oleh para ulama
salaf bahwa hanya satu kelompok yang diridhai Allah.
Kelompok itulah agama Islam dengan berpegang teguh
kepada Sunnah dan jama’ah. Di kelompok lain, diyakini
juga bahwa kelompok yang selamat itulah yang disebut
dengan ahlu sunnah wal jama’ah. Sehingga diyakini
selain kelompok ahlu sunnah waljama’ah adalah
termasuk golongan yang sesat dan tidak diridhoi Allah
SWT, dalam arti di akhirat nanti akan masuk neraka.
50
ِ َﺍﺣﺪَﺓ ٌ ِﻓ ْﻲ ْﺍﻟ َﺠ ﱠﻨ ِﺔ َﻭ ِﺛ ْﻨﺘ
ﺎﻥ ِ ﺳ ْﺒ ِﻌﻴْﻦَ ِﻓ ْﺮ َﻗ ًﺔ َﻭ ٍ ََﻟﺘَ ْﻔﺘَ ِﺮ َﻗ ﱠﻦ ﺃ ُ ﱠﻣ ِﺘ ْﻲ َﻋ َﻠﻰ ﺛَﻼ
َ ﺙ َﻭ
ُ ْﺍﻟ َﺠ َﻤﺎ َﻋﺔ:َﷲ َﻣ ْﻦ ﻫُ ْﻢ؟ َﻗﺎﻝ ِ ﺳ ْﻮ َﻝ ِ ﺳ ْﺒﻌُ ْﻮﻥَ ِﻓ ْﻲ ﺍﻟ ﱠﻨ
ُ َﻳﺎ َﺭ:َ ِﻗ ْﻴﻞ،ﺎﺭ َ َﻭ
51
terhadap pemikiran sesat yang disebarkan melalui aqidah
harus benar-benar dilakukan, agar tidak salah arah
dalam memahami Islam.
Jika disandingkan dengan teori Rukun Agama,
maka pendekatan teologi ini berada dalam bagian
keilmuan aqidah dengan prosesnya disebut ushuluddin
dan lembaga teknisnya disebut dengan Firqoh. Lihat
gambar berikut:
Pendekatan Teologi
52
banyak muncul seiring perkembangan zaman. Sesuai
dengan sifatnya bahwa keimanan itu adalah sudah paten,
tidak boleh diubah sekehendak hawa nafsu manusia.
Sekali bertauhid kepada Allah SWT. maka tidak boleh
berubah menjadi menyekutukan Allah di waktu
kemudian.
Dalam pengertian lainnya, pendekatan teologi ini
disebut dengan ilmu kalam karena membahas masalah-
masalah ketuhanan dengan menggunakan argumentasi
logika atau filsafat untuk menemukan kebenaran hakiki
tentang Tuhan.(Anwar, 2016) sehingga pendekatan ini
berperan menemukan kebenaran dalam studi Islam yang
dinaungi oleh sifat-sifat Ilahiah.
Pedekatan Tasawuf
Dalam teori rukun agama, tasawuf merupakan
bagian tak terpisahkan dari Ihsan. Tasawuf dalam
konteks ini mempunyai definisi ilmu yang isinya adalah
kajian-kajian serta praktek ihsan yang hasil akhirnya
adalah akhlak/etika luhur manusia. Ilmu tasawuf adalah
Ilmu yang menggunakan rasa dan pikiran untuk
menemukan hakikat kebenaran Tuhan dengan cara
53
mempraktekan amalan-amalan ibadah penyucian jiwa
dan ruh dari sifat-sifat yang madzmumah.(Anwar, 2016)
Pendekatan Tasawuf
54
ini, banyak diantara para dosen ilmu tasawuf yang hanya
bergulat dalam kajian teori saja, sedangkan dalam
pengamalan tasawuf masih minim dan bahkan
ditinggalkan. Hasilnya adalah kurang pahamnya para
mahasiswa terkait ilmu tasawuf yang dipelajarinya di
bangku kuliah.
Dengan demikian, perlu kiranya dibahas definisi
dari terminologi tasawuf ini. Harun Nasution
mengatakan bahwa teori yang banyak diterima adalah
kata suf yang berarti wol. Orang-orang sufi ingin hidup
sederhana dan menjauhi kemewahan dunia untuk itu
mereka memakai wol kasar dan hidup sebagai orang-
orang miskin. Adapula secara etimologis, tasawuf berasal
dari bahasa arab yaitu Tasawwafa, ada yang mengatakan
bahwa tasawuf berasal dari kata, saff (barisan), safy atau
safa (jernih) dan juga dari istilah suffah yaitu salah satu
sudut masjid Nabawi yang ditempati oleh sebagian
sahabat Nabi yang ikut berhijrah dari Mekkah ke
Madinah, mereka menyederhanakan diri dengan tinggal
di serambi Masjid Nabawi.(Abuddin Nata, 2004)
Secara istilah definisi tasawuf menerut Ibnu
Khaldun mengatakan “Tasawuf adalah ilmu syari’at yang
timbul kemudian di dalam agama, bertekun dalam
55
ibadah, hanya menghadap Allah SWT, dan menolak
kenikmatan harta benda di dunia.” Kemudian Imam al-
Junaid juga berkata “Tasawuf adalah keluar dari budi
yang tercela, kemudian masuk ke dalam budi yang
terpuji.”(Siti Halimah, 2017)
56
dibahas bagaimana mencari atau merumuskan etika
ekonomi, baik secara teoritis ataupun praktis, salah
satu hasil dari pendekatan ini adalah Etika Bisnis
Islam.
Etika bisnis Islam adalah perilaku seorang pebisnis
yang harus sesuai dengan aturan-aturan syariat Islam
saat melakukan kegiatan bisnisnya. Sehingga hasil
dari bisnis yang dilakukannya adalah harta/materi
yang halal dan thoyyib. Ketika terjadi perilaku bisnis
yang haram, maka akan sangat merugikan pelaku
bisnis tersebut.
Perilaku bisnis yang halal dan haram sudah jelas
jenis dan aturannya, merujuk kepada QS. Al-
Baqarah: 275 bahwa jual beli itu hukum asalnya
adalah halal kecuali ada unsur yang mengharamkan.
Sedangkan praktek riba sudah sangat jelas
hukumnya haram.
ٱﻟﺮ َﺑ ٰﻮ ۟ﺍ
ّ ِ ُ ْٱﻟ َﺒ ْﻴ َﻊ َﻭ َﺣ ﱠﺮ َﻡ+ٱ
َﻭﺃَ َﺣ ﱠﻞ ﱠ
Perintah Allah untuk manusia agar memakan
makanan halal dan Thoyib juga ditemui dalam QS.
Al-Baqarah 168, dalam ayat ini juga diperintahkan
agar manusia tidak mengikuti ajakan jelek dari
57
syetan, karena syetan merupakan musuh nyata
manusia.
ﻮﺍ َ ﺽ َﺣ ٰ َﻠ ۭ ًﻼ
۟ ُﻁ ِّﻴ ۭ ًﺒﺎ َﻭ َﻻ ﺗَﺘﱠ ِﺒﻌ ِ ﻮﺍ ِﻣ ﱠﻤﺎ ِﻓﻰ ْٱﻷ َ ْﺭ ۟ ُﺎﺱ ُﻛﻠ ُ ٰ َٓﻳﺄ َ ﱡﻳ َﻬﺎ ٱﻟ ﱠﻨ
ٌ ﻄ ِﻦ ۚ ِﺇ ﱠﻧ ۥﻪُ َﻟ ُﻜ ْﻢ َﻋﺪ ۭﱞُﻭ ﱡﻣ ِﺒ
ﻴﻦ َ ٰ ﺸ ْﻴ
ﺕ ٱﻟ ﱠ ُ ُﺧ
ِ ﻄ ٰ َﻮ
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi
baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah
kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena
sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata
bagimu.” QS. Al-Baqarah (2): 168
58
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru
untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat,
maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah
dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih
baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-
Jumu’ah: 9)
59
langkah awal untuk menjalankan manajemen
sebuah pekerjaan, akan sangat berpengaruh
terhadap konsep manajemen lainnya, seperti
pengorganisasian dan pengawasan.(Sinn, 2012)
Inspirasi dari Al-Qur’an terhadap konsep planning
ini bisa dilihat dalam QS. Al-Insyiroh : 6-8 yang
menyebutkan bahwa di setiap kesulitan pasti ada
kemudahan, yaitu dengan cara menyelesaikan
kesulitan /pekerjaan secara sungguh-sungguh, lalu
kerjakan pekerjaan lainnya, dan semua pekerjaan
dengan perencanaan yang baik dibarengi dengan
berharap kepada Allah SWT.
َﻋ ﱠﺰ َﻭ َﺟ ﱠﻞ+ﺍ
َ ﺇﻥ ﱠ:َﷺَ َﻗﺎﻝ َ َْ ِﱠ+ﺍ ُ ﺃَ ﱠﻥ َﺭ،ﺸ َﺔ
ِ َُ ﺳﻮ َﻝ ﱠ َ َﻋ ْﻦ َﻋﺎ ِﺋ
.ُ ﻥ ﻳُ ْﺘ ِﻘ َﻨﻪْ َﻳُ ِﺤﺐﱡ ﺇِﺫَﺍ َﻋ ِﻤ َﻞ ﺃَ َﺣﺪُ ُﻛ ْﻢ َﻋ َﻤ ًﻼ ﺃ
Dari Aisyah RA, bersabda Rasulullah: “Allah
‘azza wa jalla menyukai jika salah seorang di
60
antara kalian melakukan suatu amal secara
itqan.” (HR. Thabrani dan Imam Baihaqi)
61
(strategic planning).(Sinn, 2012) Misalkan saja
dalam strategi dakwah secara sembunyi-sembunyi
pada awal mula Islam muncul dan personal
pendukung Nabi Muhammad masih sangat
sedikit. Namun setelah beberapa saat sudah
banyak terekrut para pendukung dakwah Islam,
maka Rasulullah sudah bisa melakukan ajakan dan
penyebaran ajaran Islam secara terang-terangan.
Contoh strategic Planning lainnya adalah tentang
kesepakatan-kesepakatan antara umat Islam
dengan suku-suku yahudi dalam piagam
Madinah.(Al-Buthy, 1999)
b. Organizing/pengorganisasian
Istilah Organizing diartikan sebagai proses
penetapan struktur peran melalui penentuan
aktivitas-aktivitas yang dibutuhkan untuk
mencapai tujuan-tujuan organisasi dan bagian-
bagiannya, pengelompokan aktivitas-aktivitas
yang dilanjutkan dengan penugasan kelompok
aktivitas kepada struktur dibawahnya,
pendelegasian wewenang untuk melaksanakannya,
62
pengorganisasian hubungan-hubungan wewenang
dan informasi, baik horizontal maupun vertikal.
Pengorganisasian ini juga dimungkinkan untuk
seorang pemimpin dapat mengatur kemampuan
sumber daya manusia guna mencapai tujuan yang
telah direncakanan dengan segala potensi secara
efektif dan efisien.(Sinn, 2012)
Dalam pengorganisasian ini, penting adanya sosok
pemimpin yang cakap, berwibawa, berakhlak
mulia, menjunjung tinggi nilai-nilai etika, dan bisa
menjadi panutan. Adanya pemimpin dalam
sebuah organisasi merupakan manajemen terbaik
agar organisasi bisa berjalan sesuai planningnya.
Merujuk kepada sebuah hadis Nabi Muhammad
yang menyebutkan bahwa: “Ada tiga perkara
dihalalkan bagi tiga orang yang berkelompok di
muka bumi, kecuali salah satu dari meraka
dijadikan sebagai pemimpin.” Dan beliau
bersabda: “Ketika tiga orang keluar melakukan
perjalanan maka salah satu diantara mereka
harus dijadikan pemimpin.” (HR. HR Abu Dawud
dari Abu Hurairah)
63
Pemikiran manajemen modern mengharuskan
adanya pembentukan seorang pemimpin dan
struktur organisasi resmi untuk mengatur atau
pengorganisasian sebuah organisasi, sehingga bisa
tercapai maksud dan tujuannya secara maksimal.
Ditambah dengan konsep manajemen selanjutnya
yaitu seperti pembagian wewenang dan tanggung
jawab, konsep musyawarah, dan pendelegasian
wewenang.(Sinn, 2012)
Penting juga di dalam pengorganisasian ini adalah
adanya soliditas antara pimpinan dan seluruh
anggotanya. Semua pihak yang terlibat dalam
organisasi harus bisa kompak dan berpegang
teguh terhadap aturan yang telah disepakati, dan
tentunya tidak bercerai berai. Jikalau ada
perselisihan/konflik diantara komponen
organisasi, maka solusinya adalah perdamaian dan
komunikasi yang baik untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut. Konsep ini bisa kita
dapatkan dalam ayat berikut ini:
۟ ﻮﺍ ۚ َﻭٱ ْﺫ ُﻛ ُﺮ
َﻭﺍ ﻧِ ْﻌ َﻤﺖ ۟ ُ َﺟ ِﻤﻴ ۭ ًﻌﺎ َﻭ َﻻ ﺗَﻔَ ﱠﺮﻗ+ٱ ۟ ﺼ ُﻤ
ِ ﻮﺍ ِﺑ َﺤ ْﺒ ِﻞ ﱠ ِ ََﻭٱ ْﻋﺘ
ْ َ ﻒ َﺑﻴْﻦَ ﻗُﻠُﻮ ِﺑ ُﻜ ْﻢ َﻓﺄ
ﺻ َﺒ ْﺤﺘُﻢ َ َﻋ َﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ِﺇﺫْ ُﻛﻨﺘ ُ ْﻢ ﺃَ ْﻋﺪَﺍٓ ًۭء َﻓﺄ َ ﱠﻟ+ٱ ِﱠ
64
ﺎﺭ َﻓﺄَﻧ َﻘﺬَ ُﻛﻢ
ِ ﺷ َﻔﺎ ُﺣ ْﻔ َﺮ ۢ ٍﺓ ِّﻣﻦَ ٱﻟ ﱠﻨ َ ِﺑ ِﻨ ْﻌ َﻤ ِﺘ ِٓۦﻪ ِﺇ ْﺧ ٰ َﻮ ۭ ًﻧﺎ َﻭ ُﻛﻨﺘ ُ ْﻢ َﻋ َﻠ ٰﻰ
ِّﻣ ْﻨ َﻬﺎ ۗ َﻛ ٰﺬَﻟِﻚَ ﻳُ َﺒ ِّﻴﻦُ ﱠ
َُ َﻟ ُﻜ ْﻢ َءﺍ ٰ َﻳ ِﺘ ِﻪۦ َﻟ َﻌ ﱠﻠ ُﻜ ْﻢ ﺗَ ْﻬﺘَﺪُﻭﻥ+ٱ
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali
(agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai
berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu
ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh
musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu,
lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah
orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah
berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu daripadanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS.
Ali-Imron: 103)
c. Leading/ kepemimpinan
Kepemimpinan dalam Islam adalah posisi
seseorang yang menjadi panutan dan contoh yang
ketika ada arahan atau perintah akan ditaati oleh
anggotanya. Maka syarat utama menjadi
pemimpin adalah contoh teladan yang terbaik di
sekitar anggotanya. Rasulullah Muhammad SAW
adalah contoh pemimpin terbaik sepanjang masa.
Banyak perilaku Rasulullah yang kemudian
menjadi rujukan contoh kepemimpinan dalam
manajemen.
65
Terkait akhlak dalam manajemen, kepemimpinan
ini tentunya menjadi penting untuk
memaksimalkan sebuah system, tidak mungkin
bisa berjalan baiknya suatu system ketika
pemimpin yang ada malah tidak dipatuhi oleh para
anggotanya. Dalam Islam, konsep ketaatan
terhadap pemimpin ini sangatlah banyak,
diantaranya hujjah yang paling kuat tersirat dalam
AlQur’an Surah An-Nisa : 59
66
Dalam hadis Nabi juga ditemukan banyak hadis
terkait, diantaranya adalah Hadis riwayat Abu
Hurairah ra.: Dari Nabi saw. beliau bersabda:
Barang siapa yang mentaatiku berarti ia telah
mentaati Allah, dan barang siapa yang
mendurhakai perintahku, maka berarti ia telah
mendurhakai Allah. Barang siapa yang
mematuhi pemimpin berarti ia telah mematuhiku
dan barang siapa yang mendurhakai pemimpin
berarti ia telah mendurhakaiku. (Shahih Muslim
No.3417)
d. Controlling/pengawasan
Ar-Riqaabah atau pengendalian adalah
pengamatan dan penelitian terhadap jalannya
planning. Dalam pandangan Islam menjadi syarat
mutlak bagi pimpinan harus lebih baik dari
anggotanya, sehingga kontrol yang ia lakukan akan
efektif. Firman Allah SWT dalam surat At Tahrim
(66:6)
67
ً ﺴ ُﻜﻢ َﻭﺃَﻫﻠﻴ ُﻜﻢ
ﻧﺎﺭﺍ َﻭﻗﻮﺩُﻫَﺎ َ ُﻳﺎ ﺃَ ﱡﻳ َﻬﺎ ﱠﺍﻟﺬﻳﻦَ ﺁ َﻣﻨﻮﺍ ﻗﻮﺍ ﺃَﻧﻔ
َﻅ ِﺷﺪﺍﺩٌ ﻻ َﻳﻌﺼﻮﻥ ٌ ﺠﺎﺭﺓ ُ َﻋ َﻠﻴﻬﺎ َﻣﻼ ِﺋ َﻜﺔٌ ِﻏﻼ
َ ﺍﻟﺤ
ِ ﺎﺱ َﻭ ُ ﺍﻟ ّﻨ
َ ﻣﺎ ﺃَ َﻣ َﺮﻫُﻢ َﻭ َﻳﻔ َﻌﻠﻮﻥَ ﻣﺎ ﻳُﺆ َﻣﺮﻭﻥ+ﺍ
َﱠ
Hai orang-orang yang beriman, pelijharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yang
bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya adalah malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Alah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.
68
kondisi politik saat ini. Bisa dilihat sehari-hari
bagaimana para politisi mempertontonkan perilkau
yang tidak etis, amoral dan korup.
Padahal politik sejatinya merupakan sebuah perilaku
alami setiap manusia dalam hal memperjuangkan
keinginannya menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Politik secara umum bukan hanya untuk system
pemerintahan baik pusat maupun daerah, namun
biasa digunakan oleh manusia dalam kehidupan
sehari-hari, seperti mengatur tata kelola rumah
tangganya.
Dalam bingkai politik praktis, fenomena bobroknya
politik menjadi kajian menarik ketika menggunakan
pendekatan tasawuf. Politik yang terlanjur dicap oleh
masyarakat sebagai “dunia kelam” harusnya segera
dan secepatnya dijernihkan, sehingga politik menjadi
“dunia terang”. Salah satu solusi yang bisa digunakan
untuk menjernihkan dunia politik itu adalah system
etika, sedangkan etika sangat mungkin bisa
dihasilkan dalam ilmu tasawuf, terutama tasawuf
akhlaki.
69
Bagi seorang muslim yang telah mengamalkan
tasawuf dengan benar, pasti akan menampilkan
kepribadian yang mulia di tengah-tengah dunia
sosialnya. Lebih memberikan manfaat bagi manusia
lainnya.(Sudrajat, 2000) Maka tasawuf akan sangat
mewujudkan kehidupan sosial yang yang
mendamaikan suasana, akan mewujudkan persatuan
dan kesatuan bangsa.
Dalam dunia sosial, ketika ada seorang anggota
masyarakat yang ternyata selalu memnbuat gaduh
dalam stabilisasi masyrakat. Maka dipastikan orang
tersbut belum memahami dan mengamalkan ajaran
tasawuf. Meskipun seorang yang dianggap paham
agama Islam dan mengklaim dirinya belajar Islam
sepenuh hati. Terutama bagi oknum muslim yang
mudah mengkafirkan muslim lainnya dengan alasan
subjektifnya, atau membid’ahkan ajaran saudara
muslim lainnya.
70
Bagian 4
Orientalisme vis a vis
Oksidentalisme
71
Demikian juga muncul semangat dari peneliti
muslim untuk meneliti lebih jauh tentang ajaran-ajaran
agama selain islam (agama barat) sebagai upaya untuk
memberikan perbandingan yang relevan terhadap hasil
kajian para orientalis.
Definisi
Istilah orientalisme merupakan padanan dua kata
orient dan isme. Kata Orient adalah kata serapan dari
bahasa Perancis yang asal katanya adalah orient yang
berarti “Timur”. Secara gegorafis, kata ini dapat diartikan
“dunia Timur” dan secara etnologis berarti bangsa-
bangsa di timur.(Shihab, 1999) Begitu juga Wahyudin
Darmalaksana (2004) menuliskan arti kata orient adalah
berasal dari bahasa latin oriri yang berarti terbit. Dalam
bahasa Prancis dan Inggris frasa orient mempunyai arti
direction of rising sun (arah terbitnya matahari dari
bumi belahan timur). secara geografis kata orient berarti
dunia belahan timur dan bangsa-bangsa timur.(Supiana,
2012)
Jika dilihat saat ini istilah orient juga berarti
wilayah yang membentang luas di wilayah timur dekat
(Turki dan sekitarnya) hingga Timur Jauh (Jepang,
72
Korea, Cina), dan Asia Selatan hingga negara-negara
muslim bekas Uni Soviet, serta kawasan Timur Tengah
hingga Afrika Utara. Termasuk Indonesia yang berada di
wilayah asia tenggara dengan muslim sebagai penduduk
mayoritasnya.
Sedangkan istilah isme adalah menunjukan sifat
berfikir, pemahaman, dan terkait dengan ilmu. Maka
Secara bahasa orientalisme adalah ilmu tentang
ketimuran atau studi tentang dunia timur (Islam).
Adapun secara terminologis memiliki makna suatu cara
atau metodologi yang memiliki kecenderungan untuk
menguasai, memanipulasi bahkan mendominasi dunia
timur. Sebagai kajian keilmuan, orientalisme
sebagaimana dikatakan oleh Abdul Haq Ediver adalah
suatu pengertian menyeluruh yang terkumpul dari
sumber pengetahuan mengenai bahasa, agama, budaya,
geografi, sejarah, kesusasteraan dan seni-seni bangsa
timur. Sedangkan menurut Edwar W. Said, orientalisme
adalah sebuah gaya barat untuk mendominasi,
membangun kembali dan mempunyai kekuasaan
terhadap dunia Timur.(Supiana, 2012)
Orientalis adalah kata nama pelaku yang
menunjukkan seorang yang ahli tentang hal-hal yang
73
berkaitan dengan “timur”. Sedangkan kata orientalisme
(Belanda) ataupun orientalism (Inggris) menunjukkan
pengertian tentang suatu paham. Jadi orientalisme
berarti sesuatu paham, atau aliran, yang berkeinginan
menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-
bangsa di Timur beserta lingkungannya. Dengan kata lain
orientalisme adalah suatu gaya berpikir yang
berdasarkan pada pembedaan ontologis dan
epistemologis yang dibuat antara “Timur” (the Orient)
dan (hampir selalu) Barat (the Occident).(Fudholi, 2002)
74
Lawan dari kata orient adalah occident (oksident)
yang berarti direction of setting sun (arah tenggelamnya
matahari atau belahan bumi bagian barat). Istilah
Oksidentalisme mempunyai arti suatu paham atau aliran
yang focus mempelajari dan mendalami ajaran-ajaran
barat, sebagai tandingan dari berkembangnya upaya-
upaya orientalisme yang dilakukan oleh bangsa barat.
Pelaku upaya oksidentalime ini sering disebut dengan
Oksidentalis.
Seperti dijelaskan Hasan Hanafi, oksdentalisme
adalah wajah lain dan tandingan bahkan berlawanan
dengan orientalisme. Orientalisme melihat Timur sebagai
the other, maka oksidentalisme bertujuan mengurai
simpul sejarah yang mendua antara ego dengan the
other, dan dialektika antara kompleksitas inferioritas
pada ego dengan kompleksitas superioritas pada pihak
the other. Orientalisme lama adalah pandangan ego
Eropa terhadap the other non Eropa, subjek pengkaji
terhadap objek yang dikaji. Di sini terjadi kesan
superioritas Barat dalam melihat Timur. (Fudholi, 2002)
Hal demikian berbanding terbalik dengan
oksidentalisme, yang tugasnya yaitu mengurai
inferioritas sejarah hubungan ego dengan the other,
75
menumbangkan superioritas the other Barat dengan
menjadikannya sebagai objek yang dikaji pula oleh
penelitinya, dan melenyapkan infererioritas kompleks
ego dengan menjadikannya sebagai subjek pengkaji.
Hanya saja oksidentalisme kali ini dibangun di atas ego
yang netral dan tidak berambisi merebut kekuasaan, dan
hanya menginginkan pembebasan. Ia juga tidak ingin
mendiskreditkan kebudayaan lain, dan hanya ingin
mengetahui keterbentukan dan struktur peradaban Barat
secara lebih bersih, objektif, dan netral dibandingkan ego
orientalisme. (Fudholi, 2002)
Oksidentalisme saat ini masih lemah, bahkan
masih dalam tataran gaungan ide, dan belum
diaplikasikan dalam sebuah bentuk ilmu yang mapan,
seperti kenyataananya saat ini oksidentalisme berbeda
dengan orientalisme yang lahir dari kekuatan dan
kekuasaan sehingga kemudian terbentuk dengan mulus,
oksidentalisme diciptakan oleh Timur yang sedang lemah
dan kalah, yang sementara hanya mempunyai obsesi
besar.
76
Sejarah Orientalisme
Di saat dunia Islam sedang ada dalam masa
keemasan, terjadi sebuah pusat peradaban Islam dan
ilmu pengetahuan yang sangat tinggi berada di kota
Baghdad dan Andalusia (Spanyol). Orang-orang Eropa
yang menjadi penduduk asli Andalusia meggunakan
bahasa Arab sebagai bahasa keseharian mereka. Berbagai
adat istiadat Arab dilestarikan pada kehidupan sehari-
hari. Bahkan mereka belajar ilmu pengetahuan di
perguran-perguruan Tinggi Arab. Sejarah pernah
mencatat bahwa di antara raja-raja Spanyol yang non-
Muslim ada yang hanya mengenal huruf Arab (misalnya,
Peter I (w. 1140, raja Aragon). Raja Alfonso IV mencetak
uang dengan huruf Arab. Hal ini sama dengan di Sicilia,
Raja Normandia, Ronger I menjadikan istananya
sebagai tempat para filsuf, dokter-dokter, dan ahli Islam
lainnya dalam berbagai ilmu pengetahuan. Keadaan ini
berlanjut sampai Ronger II, di mana pakaian
kebesarannya digunakan pakaian Arab, bahkan gerejanya
dihiasi dengan ukiran Arab. Wanita kristen Sicilia meniru
wanita Islam dalam berbusana. (Hitti, 2002)
Kondisi Peradaban Islam pada masa itu tidak
hanya berpengaruh bagi bangsa Eropa yang berada di
77
bawah atau bekas kekuasaan Islam, tetapi juga bagi
orang Eropa di luar daerah itu. Misalnya saja penuntut
ilmu dari Prancis, Inggris, Jerman dan Italia datang
belajar ke perguruan Tinggi dan Universitas yang ada di
Andalusia dan Sicilia. Di antara mereka itu adalah
pemuka-pemuka Kristen, misalnya Gerbert d’Aurillac
yang belajar di Andalusia dan Adelard dari Bath (1107-
1135) yang belajar di Andalusia dan Sicilia. Gerbert
d’Aurillac kemudian menjadi Paus di Roma dari tahun
999- 1003 dengan nama Sylverster II. Adapun Adelard
setelah kembali ke Inggris di angkat menjadi guru
Pangeran Henry yang kelak menjadi raja. Ia menjadi
salah satu penerjemah buku-buku Arab ke dalam bahasa
Latin.(Fudholi, 2002)
Jika merunut kepada periodesasi sejarahnya,
Orientalisme ini terbagi ke dalam empat bagian sejarah.
Seperti yang dituliskan oleh Arina Haqan sebagai berikut:
Pertama, periode benci. Bagian sejarah pada
periode ini dimulai sejak kaum orientalis melaksanakan
penelitian terhadap Islam sampai datang periode
sesudahnya. Mayoritas Kaum orientalis memandang
bahwa agama Islam dalam segala aspeknya dipandang
sebagai sebuah kebencian dan permusuhan. Sebabnya
78
adalah komposisi kaum orientalis generasi awal terdiri
dari kaum gereja Katolik. Sebagai contoh dapat dijumpai
dalam karangan Dante (1265-1321) bernama Divina
Commedia. Dalam karangannya ini ia menjelaskan
perjalanannya ke surga dan neraka. Ia mengatakan
bahwa surga itu ditempati orang-orang yang berbuat
baik semasa hidupnya. Sedangkan di neraka ditempati
orang yang mempunyai dosa besar. Di antaranya banyak
pemuka agama Katolik yang berada di neraka paling
rendah, karena semasa hidupnya berani menjual harta
kekayaan gereja demi kepentingan pribadi. Nabi
Muhammad (sebagai simbol Islam) dianggap juga
sebagai penghuni salah satu tingkat neraka terendah,
karena dianggap sebagai penyebar suatu aliran agama
Kristen yang sesat.(Haqan, 2011) Kebencian itu
dimunculkan pada periode ini secara nyata oleh para
aktifis orientalis dari kalangan Katolik.
Kedua, periode sangsi (bimbang). Periode ini
kaum orientalis memandang Islam dengan bimbang
mengenai kebenaran yang terkandung di dalamnya.
Sebagai contoh, dapat dilihat pada apa yang dikatakan
Prof. D.B. Macdonald (1863-1943), bahwa salah satu
aspek yang masih harus diselidiki adalah pandangan
79
subjektif tentang jiwa Nabi Muhammad apakah ia waras
atau tidak. Seperti banyak dituduhkan oleh para
musyrikin Quraisy yang menjadi musuh Nabi
Muhammad pada periode Makkah.
Ketiga, periode mendekati. Periode ini dapat juga
dinamakan dengan periode tidak menampakkan diri,
bagaimana sebenarnya hati mereka (orientalis) terhadap
Islam. Mereka meneliti agama Islam dan umatnya
dengan pendekatan ilmiah. Sejak periode mendekati ini,
seringkali ada penghargaan terhadap agama Islam
walaupun secara tidak ikhlas. Atau mereka
menggambarkan hal yang yang simpatik kepada Islam,
lalu menyisipkannya hal yang negatif yang sering tidak
disadari oleh para pembaca meskipun orang Islam
sendiri.(Haqan, 2011)
Keempat, Periode Toleransi. Dalam masa yang
disebut dengan toleransi ini adalah lebih menekankan
pada penelitian yang menghasilkan sesuatu yang lebih
obyektif dan demi kesejahteraan umat manusia secara
umum. Tidak lagi terikat oleh kelompok atau daerah
tertentu secara geografis.
80
Motif Orientalisme
Terjadinya orientalisme di dunia ini berasal dari berbagai
motif atau tujuan adanya gerakan ini. Semakin tajam
motif yang muncul, akan semakin jelas gerakan apa saja
yang akan dilakukan oleh para orientalis. Dalam buku ini,
akan dibahas tiga motif orientalisme yang banyak
ditemukan di lapangan.
Motif Ilmiah
Dalam Ensiklopedi Islam, Vol. IV yang
diterbitkan oleh Ichtiar Baru Van Hoeve, diketahui
81
beberapa orang barat tercatat melakukan penelitian
dan penulisan terhadap ajaran islam sebagai riset
untuk kepentingan akademisnya. Misalkan saja pada
awal abad ke-20 ditandai dengan munculnya para
orientalis yang berusaha menulis dunia Islam secara
ilmiah dan objektif.. Dalam tradisi ilmiah yang baru
ini, bahasa Arab dan pengenalan teks-teks klasik
mendapat kedudukan utama. Di antara mereka itu
adalah Sir Hamilton A.R. Gibb, Louis Massignon,
William Cantwel Smith, dan Frithjof Schuon. Bahkan
Sir H. A. R. Gibb (yang terkenal dengan HAR. Gibb)
sangat mengusai bahasa Arab dan dapat berceramah
dengan bahasa Arab, sehingga ia diangkat menjadi
anggota Majma‘ al-‘Ilm al-‘Arabî (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Arab) di Damaskus dan Majma‘ al-
Lughah al-Arabîyah (Lembaga Bahasa Arab) di Kairo,
Mesir.(Redaksi, 1999)
Dalam kajian akademiknya tersebut HAR Gibb
memandang Islam sebagai agama yang dinamis dan
Nabi Muhammad SAW mempunyai akhlak yang baik
dan benar. Gibb menulis buku tentang Islam dalam
berbagai aspeknya sehingga mencapai lebih dari 20
buah, sehingga oleh orientalis lain ia dipandang
82
sebagai Imam mereka tentang Islam. selanjutnya
diketahui juga Louis Massignon adalah mahir
berbahasa Arab dan menjadi anggota Majma‘ al-‘Ilm
al-‘Arabî serta al-Majma‘ alLughawî. Ia pernah
menjadi dosen filsafat Islam di Universitas Kairo. Dari
kajian mendalamnnya terhadap Islam, ia berpendapat
bahwa berkat adanya tasawuf, Islam menjadi agama
internasional yang pengikutnya ada di seluruh
dunia.(Redaksi, 1999)
Selain itu, diketahui W.C. Smith cukup berhasil
menjadi orientalis yang menadalami agama Islam. Ia
adalah pendiri Institut pengkajian Islam di Universitas
McGill di Montreal, Canada. Ia mengatakan bahwa
Tuhan ingin menyampaikan risalah kepada manusia.
Untuk itu Tuhan mengirim rasul-rasul dan salah satu
di antara rasul itu ialah Nabi Muhammad saw. Di
bagian laiinya seorang orientalis bernama Frithof
Schuon menulis buku dengan judul Understanding
Islam yang mendapat sambutan baik di dunia Islam.
bahkan seorang ahli ilmu sejarah dan filsafat bernama
Sayyed Hossein Nasr menyebut buku tersebut sebagai
buku terbaik tentang Islam sebagai agama dan
tuntutan hidup. Meskipun demikian, tidak semua
83
pendapat yang ditulis oleh para orientalis modern
tentang Islam dapat diterima oleh rasa keagamaan
umat Islam, meskipun secara rasional pendapat
tersebut benar. Beberapa di antara mereka tidak luput
dari kesalahan dalam memberikan interpretasi
terhadap ajaran-ajaran Islam, di samping juga banyak
yang benar. Kegiatan-kegiatan para orientalis
meliputi: (1) mengadakan kongres-kongres secara
teratur yang dimulai di Paris (1873) dan di kota-kota
lain di dunia secara bergantian.
Kongres-kongres pada mulanya bernama
Orientalits Congres. Sejak tahun 1870 dan telah
berganti nama menjadi internasional Congress on
Asia and North Africa; (2) mendirikan lembaga-
lembaga kajian ketimuran, di antaranya Ecole des
Langues Orientalis Vivantes (1975) di Prancis, the
Schooll of Ariental and African Studies, Universitas
London, (1917) di Inggris, Oosters Institut (1971) di
Universitas Leiden, dan Institut Voor het Moderne
Nabije Oosten (1956) di Universitas Amsterdam; (3)
mendirikan organisasi-organisasi ketimuran, misalnya
Societe Asiatique (1822) di Paris, American Oriental
Society (1842) di Amerika Serikat, Royal Asiatic
84
Society di Inggris, dan Oosters Genootschap in
Nederland (1929) di Leiden; dan (4) menerbitkan
majalah-majalah, di antaranya Journal Asiatique
(1822) di Paris, Journal of the Royal Asitic
Society (1899) di London, Journal of the American
Oriental Society (1849) di Amerika Serikat, Revaue du
Monde Musulman (1907) di Prancis, Der Islam
Zeustschrift fur Gesehichte und Kultur des Islamiscen
(1919) di Jerman, The Muslim World (1917) di
Amerika Serikat, dan Bulletin of the School of Oriental
an African (1917) di London.(Redaksi, 1999)
Motif Kristenisasi
Istilah lain dari motif kristenisasi adalah Gospel,
yaitu sebuah desain besar dari sekelompok aktifis
keagamaan Kristen dalam menyebarkan paham
keagamaannya kepada seluruh elemen masyarakat.
Untuk melancarkan misi kristenisasinya tersebut,
maka dilakukanlah program orientalisme untuk
mengambil data-data Islam terutama di daerah yang
dituju misi kristenisasi. Misal saja misi Kristenisasi di
Indonesia, maka diutuslah seorang Snouck
Hourgronje untuk meneliti Agama Islam di Indonesia.
85
Motif kristenisasi dalam orientalisme juga
ditemukan dalam catatan sejarah. Misal saja dalam
kejadian Perang salib antara umat Islam (disimbolkan
bangsa Timur) dan Kristen (disimbolkan bangsa
Barat) yang menghabiskan tenggang waktu antara
tahun 1096-1291 membawa kekalahan bagi Kristen.
Namun demikian, menurut Harun Nasution(1995)
bukan berarti umat Islam tidak menderita. Akibat
perang salib putra-putra terbaik Islam gugur di medan
tempur. Aset-aset dan kekayaan negara berupa sarana
dan prasarana pada saat itu, banyak mengalami
kehancuran. Kemiskinan, dekadensi moral dan
kebodohan terjadi akibat perhatian para pemimpin
terpokus kepada pertahanan kekuasaan dari serangan
tentara Salib. Oleh karena itu, umat Islam tidak
mendapatkan keuntungan apapun dari perang salib,
selain dari kehancuran. Sebaliknya, meskipun umat
Kristen dinyatakan kalah, tetapi Kontak Islam-Kristen
ini mempunyai sumbangsih yang sangat besar
terhadap lahirnya rennaisance berupa kemajuan
peradaban dan ilmu pengetahuan di Eropa setelah
bangsa Eropa tenggelam dalam lautan kegelapan.
86
Pada periode awal perang salib ini, dibentuklah
program-program studi Islam untuk tujuan misi
kristenisasi pada abad ke 12, yaitu pada masa Peter
Agung yang berkuasa sekitar tahun 1094-1156 M. Pada
tahun 1142 Peter sebagai kepala lembaga mengadakan
perjalanan ke Spanyol untuk mengunjungi biara-biara
Clunic. Pada saat inilah ia memutuskan untuk
melakukan sebuah proyek besar berupa studi islam
tersebut dengan melibatkan beberapa penerjemah dan
sarjana. Ketika Peter memberikan otoritas besar
kepada para pembantunya itu untuk penerjemahan
dan penafsiran teks-teks Islam yang berbahasa Arab,
terjadilah cerita-cerita “cabul” tentang Nabi
Muhammad. Cerita itu melukiskan Muhammad
sebagai Tuhan, pendusta, penggemar wanita, tukang
sihir, bahkan dianggap sebagai orang Kristen yang
murtad, dan cerita-cerita aneh lainnya. (Esposito,
2001)
Di kemudian hari, kumpulan naskah (Korpus)
Cluniac yang terkenal sebagai usaha Peter ini, menjadi
rujukan standar pengetahuan kesarjanaan Barat yang
membahas Islam. kemudian telah banyak juga
literature teks Islam yang berbahasa Arab yang
87
diterjemahkan termasuk di dalamnya penerjemahan
al-Qur’ân, hadîs, biografi Nabi (sîrah) dan teks
opologetik “Opologi al-Kindî” yang isinya adalah
perdebatan antara Kristen dan Muslim yang terjadi
pada khalifah al-Ma’mûn (813-833). Karya al-Kindî ini
sangat populer di kalangan sarjana Kristen pada abad
pertengahan karena memberikan model argumentasi
tentang Islam. Fokus serangan-serangan ini
khususnya adalah Al-Qur’ân, kenabian Muhammad,
dan penyebaran agama melalui penaklukan (jihâd).
Tiga topik ini merupakan fokus utama dalam telaah
para sarjana Kristen tentang Islam pada abad
pertengahan. Dalam situasi sosial politik ini, ternyata
aktivitas penerjemahan jauh lebih menarik di Eropa
Kristen. Pada akhir abad ke 12 muncul sekumpulan
karya peripatetik Muslim Ibn Sînâ (w. 1037) dan
beredar di Eropa. Semakin banyaknya karya filosofis
dan ilmiah diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa
Latin, para sarjana Eropa akhir abad pertengahan
memandang dunia Muslim kontemporer sebagai
peradaban sarjana dan filosofis, yang sangat kontras
dengan popularitas pandangan menghina Muhammad
dan praktik religius Islam.(Esposito, 2001)
88
Motif Kolonialisme
Jikalau saat ini sudah tidak ada lagi istilah
imprealisme yang dimunculkan, namun upaya
penaklukan dan penguasaan terhadap suatu wilayah
oleh wilayah/kelompok lain adalah niscaya dan akan
bertahan sampai akhir dunia. Biasanya hanya berganti
nama istilah, namun esensinya adalah sama, yaitu
penjajahan (kolonialisme). Namun untuk catatan
sejarah yang pernah ada, salah satu bentuk
imprealisme yang kemudian menjadi salah satu motif
utama dari adanya kegiatan orientalis.
Pada awalnya, Orang Barat datang ke dunia Islam
adalah dengan memunculkan maksud dan tujuannya
untuk berdagang, setelah beberapa lama dan
kemudian memahami kelemahan calon jajahannya,
maka terjadilah penundukan bangsa-bangsa Timur.
Supaya niat jahat penjajahan itu terlaksana dengan
sukses, maka perlu dilakukan sebuah kajian yang
mendalam terhadap kondisi umat Islam di wilayah
tertentu,
termasuk agama dan kultur mereka, karena dengan itu
hubungan menjadi lancar dan mereka lebih mudah
89
ditundukkan. Pada masa ini muncullah karya-karya
yang mencoba memberikan gambaran tentang Islam
yang sebenarnya.(Redaksi, 1999)
Misalnya, tentang agama dan adat istiadat
Indonesia, muncul tulisan-tulisan Marsden, Affles,
Wilken, Keyser, Snounk Hurgrunje, Vollenhoven dan
sebagainya. Bahkan pada saat Napoleon datang ke
Mesir pada tahun 1789, ia membawa sejumlah
orientalis untuk mempelajari adat-istiadat, ekonomi,
pada petanian Mesir. Di antara orientalis itu adalah
Langles (ahli bahasa Arab), Villteau (mempelajari
musik Arab), dan Marcel (mepelajari sejarah Mesir).
Pada periode ini tulisan-tulisan orientalis ditujukan
untuk mempelajari Islam seobjektif mungkin, agar
dunia Islam diketahui dan dipahami lebih mendalam.
Hal ini perlu karena orientalisme tidak bisa begitu saja
terlepas dari kolonialisme, bahkan juga usaha
kristenisasi.(Redaksi, 1999)
Motif Oksidentalisme
Tema Oksidentalisme saat ini masih merujuk
kepada konsep yang digagas Hasan Hanafi, dalam
konsepnya tersebut Hanafi berpijak dari tiga pilar
90
pembaharuan yang diusungnya dalam proyek Tradisi
dan Pembaharuannnya (at-Turats wa at-Tajdid),
yaitu: pertama, sikap kritis terhadap tradisi lama.
Kedua, sikap kritis terhadap barat, ketiga, sikap kritis
terhadap realitas. Jika pilar pertama berinteraksi
dengan kebudayaan warisan, maka pilar kedua
berinteraksi dengan kebudayaan pendatang. Kedua-
duanya tertuang dalam realitas di mana kita hidup.
Pilar pertama, sikap kritis terhadap tradisi lama.
Menurut Hanafi, pilar pertama ini dapat membantu
menghentikan westernisasi sebagai permulaan dari
upaya rekonstruksi terhadap ego ketimuran. Sehingga
mereka dapat menghindari penetrasi pemikiran Barat
ke dalam tradisi umat yang mengakibatkan terjadinya
pertikaian antara pendukung kelompok pembela
ortodoks (al-Anshar al-qadim) dan kelompok pembela
modern (al-Anshar al-jadid), serta menghapuskan
keterpecahan kepribadian bangsa.(Hasan Hanafi,
1999)
Pemikiran Islam dengan metode oksidentalisme
dapat memberikan keteladanan dalam
mempertahankan identitas dan memerangi
westernisasi seperti hal-hal berikut:
91
1. Larangan al-Qur’an untuk tidak berpihak pada
orang lain, menjalin keakraban dengan musuh,
mencintainya dan melakukan konsiliasi
dengannya. Sebab, tujuan musuh adalah
menghancurkan identitas ego, menjatuhkannya ke
jurang taqlid, dan melenyapkannya hingga tidak
ada yang eksis kecuali pihak lain tersebut (the
other). Berpegang pada al-Qur’an sejatinya sama
dengan berpegang pada tradisi rakyat, sumber
kekuasaan, dan sumber kontrol bagi kesadaran
manusia.
2. Menolak taqlid baik dalam aqidah maupun akhlak,
karena sikap taqlid ini dicela dalam agama.
3. Keteladanan pemikiran Islam lama yang mampu
mempresentasikan peradaban pendahulu tanpa
menafikan identitasnya, bahkan mengkritiknya,
kemudian mengembangkannya serta
menyempurnakan keberhasilan- keberhasilannya.
Upaya ini dilakukan agar pemikiran Islam tetap
sesuai dengan zaman serta menjadi dirinya sendiri
dan mampu berinteraksi dengan pihak lain (the
other) dan pada akhirnya Islam mampu mewakili
peradaban umat manusia seluruhnya.
92
4. Pemikiran Islam modern memiliki kemandirian
atau semi kemandirian supaya tidak kehilangan
karakteristiknya ketika berinteraksi dengan Barat.
Maksudnya, meskipun pemikiran Islam modern
mengagumi Barat dan menganggapnya sebagai
tipe modernisasi dalam aspek industri,
pendidikan, sistem parlemen,
perundangundangan dan pembangunan, namun ia
juga mengkritik Barat sebagai peradaban duniawi
yang tidak lepas dari dimensi waktu dan tidak
harus selalui diadopsi bangsa lain.
5. Berpijak dari sikap gerakan Islam sekarang
terhadap Barat yang membedakan ego dengan the
other, lalu merasionalisasikan hubungan tersebut
kepada kritik yang cerdas, dan mengubah
hubungan antagonistis antara ego dengan the
other menjadi hubungan seorang pakar dengan
ilmu pengetahuan, subyek dengan obyek, pengkaji
dengan yang dikaji.(Hasan Hanafi, 1999)
93
lahirnya perspektif Barat terhadap Timur dari
kacamata superior, sehingga Timur (Islam) seolah-
olah adalah dunia peperangan, ekstrim, pelanggar
HAM, dan tuduhan lainnya. Padahal, tentu saja
perspektif Barat sebagai komunitas lain (the other)
terhadap Timur itu niscaya akan berbeda jika didekati
dari kacamata Timur itu sendiri. Apabila orientalisme
melihat ego (Timur) melalui the other, maka
oksidentalisme bertujuan mengurai simpul sejarah
yang mendua antara ego dengan the other itu, dan
dialektika antara kompleksitas inferioritas pada ego
dengan kompleksitas superioritas pada pihak the
other.
Oksidentalisme yang kini mulai berkembanga di
dunia akademik, terutama dunia kampus,
sesungguhnya bertujuan untuk mengambil peran yang
lebih berimbang, jika dahulu ego Barat berperan
sebagai pengkaji, kini menjadi obyek yang dikaji,
sedangkan the other Timur (Muslim) yang kemarin
menjadi obyek yang dikaji, kini berperan sebagai
subyek pengkaji. Dengan demikian, secara otomatis
akan terbangun perubahan dialektika ego dengan the
94
other, dari dialektika Barat dan Timur menjadi
dialektika Timur dan Barat.
95
mengembalikan emosi Timur ke tempat asalnya,
menghilangkan keterasingannya, berusaha
melenyapkan inferioritasnya, mengaitkan kembali
dengan akartradisinya sendiri, menempatkannya ke
posisi realistisnya untuk selanjutnya menganalisanya
menggunakan metode ilmiah, lalu menyikapi
peradaban Barat secara tepat tanpa mengagungkannya
secara berlebihan.(Hasan Hanafi, 1999)
Hasan Hanafi juga menegaskan bahwa
oksidentalisme tidak bertujuan untuk
mendiskreditkan kebudayaan lain selain kebudayan
timur, akan tetapi hanya ingin mengetahui secara
mendalam keterbentukan dan strukturnya. Ego
oksidentalisme pada dasarnya harus lebih bersih,
obyektif dan netral dibandingkan dengan ego
orientalisme. Bahkan faktanya meskipun Barat
seringkali menyerukan pentingnya obyektivitas dan
netralitas namun mereka justru menyembunyikan
egosentrisme dan keberpihakan Barat dalam proyek
orientalismenya.(Hasan Hanafi, 1999)
Masih merujuk kepada gagasan Hanafi yang
spektakuler terkait oksidentalisme, yang menyebutkan
bahwa tugas oksidentalisme saat ini adalah
96
menghapus eurosentrisme, mengembalikan
kebudayaan Barat ke batas alaminya setelah selama
kejayaan imperialisme menyebar keluar melalui
penguasaan dalam berbagai bidang, misalnya bidang
media informasi, budaya, penelitian, penerbitan,
pengaturan ekonomi dan pertahanan negara, bahkan
spionase. Oksidentalisme seharusnya juga mampu
mematahkan mitos bahwa peradaban Baratlah yang
maju, sehingga harus diadopsi oleh bangsa-bangsa
lainnya. Padahal sejatinya peradaban Barat bukanlah
peradaban universal yang mencakup seluruh model-
model aksperimentasi manusia. Peradaban barat juga
bukan peninggalan pengalaman panjang
eksperimentasi manusia yang berhasil
mengakumulasikan pengetahuan mulai dari Timur
sampai ke Barat, melainkan sebuah pemikiran yang
lahir dalam lingkungan dan situasi tertentu, yaitu
sejarah Eropa, yang belum tentu sesuai jika diterapkan
dalam lingkungan dan situasi bangsa lainnya. Pada
proses selanjutnya, oksidentalisme diharapkan
mampu mengembalikan keseimbangan kebudayaan
umat manusia, yang tidak hanya menguntungkan
kesadaran Eropa dan merugikan kesadaran non-
97
Eropa. Atau dengan kata lain, oksidentalisme dituntut
untuk mampu menghapuskan dikotomi sentrisme dan
ekstrimisme pada tingkat kebudayaan dan peradaban,
karena selama kebudayaan Barat menjadi sentries dan
kebudayaan Timur menjadi ekstremis maka hubungan
keduanya akan tetap merupakan hubungan monolitik.
(Hasan Hanafi, 1999)
Pilar ketiga, dalam rangkaian gagasan Hasan
Hanafi dalam oksidentalisme adalah sikap terhadap
realitas. Jika pilar pertama, meletakkan ego pada
sejarah masa lalu dan warisan kebudayaannya, dan
pilar kedua, meletakkan ego pada posisi yang
berhadapan dengan the other kontemporer, terutama
kebudayaan Barat pendatang, maka pilar ketiga ini
meletakkan ego pada suatu tempat dimana ia
mengadakan observasi langsung terhadap realitasnya
yang lalu untuk menemukan teks sebagai bagian dari
elemen realitas tersebut, baik teks agama yang
terkodifikasikan dalam kitab-kitab suci maupun teks
oral tradisional yang terdiri dari kata-kata mutiara dan
pepatah.(Hasan Hanafi, 1999)
Selanjutnya, Hanafi dalam gagasannya itu
menjelaskan bahwa pilar ketiga ini menghadapi tujuh
98
tantangan, yaitu: Pertama, membebaskan tanah air
dari serangan eksternal kolonialisme dan zionisme.
Kedua, kebebasan universal melawan penindasan,
dominasi dan kediktatoran dari dalam. Ketiga,
keadilan sosial menghadapi kesenjangan lebar antara
kaum miskin dan kaya. Keempat, persatuan
menghadapi keterpecahbelahan dan diaspora. Kelima,
pertumbuhan melawan keterbelakangan sosial,
ekonomi, politik, dan budaya. Keenam, identitas diri
menghadapi westernisasi dan kepengikutan. Ketujuh,
mobilisasi kekuatan massa melawan apatisme.(Hasan
Hanafi, 1999)
Melalui pilar ketiga ini, Hanafi merekomendasikan
sikap kritis terhadap realitas (kekinian). Ini
dimaksudkan sebagai upaya rehabilitasi psikologis
yang masih diderita dunia Timur akibat gelombang
imperialisme dan modernitas Barat.
Gelombang ilmiah sekuler begitu gencar menstimulasi
kita untuk mengadopsi Barat sebagai tipe modernisasi
ideal dalam rangka mencapai kemajuan hidup.
Akibatnya, paham selain Barat, tidak diandaikan
sebagai potensi yang sama kualitatifnya dengan Barat,
sehingga modernitas yang dikembangkan dunia Timur
99
justru mengukuhkan erosentrisme. Inilah pemicu
kemunduran peradaban Timur yang terlanjur
terkesima kepada Barat yang dipersepsikan sebagai
“peradaban yang modern dan rasional”, kendati
sejatinya secara historis-dogmatis Timur banyak
memiliki kekhasan dan keunikan yang tak kalah
agungnya dengan Barat.(Hasan Hanafi, 1999)
100
Bagian 4
Fundamentalisme Islam vis a
vis Radikalisme Islam
Pendahuluan
101
namun dilakukan oleh oknum muslim. Banyak faktor
yang menyebabkan seorang muslim mempunyai
pemikiran radikal dan berprilaku radikal dalam berIslam.
Tulisan ini ingin mengungkapkan bahwa, tuduhan
terhadap pemikiran fundamentalisme Islam yang akan
menyebabkan terjadinya radikalisme Islam, merupakan
tuduhan yang keliru dan harus dijawab dengan
argumentasi yang tepat dan positif. Sehingga tidak ada
lagi anggapan bahwa setiap orang yang ingin melakukan
nilai-nilai agama Islam secara fundamental pasti akan
terjerumus dalam radikalisme Islam. justru dengan sikap
dan perilaku fundamental, seorang muslim akan taat dan
patuh terhadap seluruh ajaran agamanya, yaitu Islam.
sedangkan Islam adalah agama yang rahmatan
lilaalamin, sehingga tidak mungkin seorang muslim yang
taat akan melakukan kekerasan terhadap orang lain.
Dimanakah letak kekeliruannya? Akan dibahas dalam
uraian berikut.
102
sebagai akar radikalisme disebabkan hanya melihat fakta
yang sepotong-sepotong, dalam artian tidak utuh dan
menyeluruh dalam pengkajiaannya. Yang kemudian
Tanpa dilanjutkan dengan sebuah diskusi lanjutan dan
kekinian terhadapnya secara empirik.
Misal saja tuduhan fundamentalis terhadap
seorang muslim yang meyakini akan nilai-nilai syariat
Islam yang ia coba terapkan dalam kehidupan sehari-
hari. Ia ingin menjadi seorang muslim jujur yang tidak
mau mencuri karena takut akan sanksi Allah terhadap
pencuri dalam syariat islam, yaitu potong tangan. Orang
tersebut sekali-kali tidak akan mencuri karena
kepatuhann ya terhadap hukum syariat islam yang jelas
tersebut aturannya di dalam Al-Qur’an (hudud). Namun
hal tersebut pastinya akan banyak ditentang oleh
kelompok orang yang berbeda pendapat tentang
penerapan syariat Islam di Indonesia. Karena merasa
syariat potong tangan bagi pencuri adalah melanggar
Hak Asasi Manusia (HAM).
Kasus penerapan syariat islam dalam kehidupan
berbangsa tentu harus tunduk dan patuh terhadap
perturan perundangan yang telah disepakati bersama.
Dalam hal Negara Indonesia, kesepakatan itu tertuang
103
dalam peraturan perundangan, yaitu tertuang dalam
Pancasila, UUD 1945, dan peraturan perundangan
lainnya yang sah di Negara ini. Semua warga yang hidup
di Indonesia harus menyepakatinya. Bilapun ada yang
tidak setuju dan ingin mengubahnya, maka hendaklah
melalui jalur konstitusional. Misal saja dengan
menempuh jalur Judicial Review melalui Mahkamah
Konstitusi jika yang dirasa merugikan adalah Undang-
undang. Ataupun melalui jalur Mahkamah Agung jika
yang merasa tidak sesuai adalah Peraturan Daerah.
Cara tempuh lainnya adalah melalui aktif dan
kontributif dalam jalur konstitusi ketatanegaraan di
Indonesia, yaitu melalui jalur eksekutif, legislatif maupun
yudikatif, dan satu yang penting lagi adalah civil society
(kekuatan masyarakat). Jika ingin menjadi eksekutif
maka aktiflah menjadi calon presiden dan kepala daerah,
maka nanti bisa berwenang membuat dan mengusulkan
kebijakan dalam peraturan perundangan. Jika ingin
melalui legislatif, aktiflah menjadi anggota dewan, baik
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), maupun Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Provinsi maupun kabupaten/kota. Juga
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Khusus di
104
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, maka nanti
berwenang dan berhak menetapkan perundangan. Jika
ingin melalui Yudikatif, maka jadilah professional dalam
bidang hukum dan menjadi hakim, sehingga bisa
mewarnai dalam segala putusan hukum, termasuk
hukum yang ingin diresepsi dari syariat Islam.
Sehingga sangat perlu kajian ulang terhadap
tuduhan-tuduhan fundamentalisme Islam yang
melahirkan gerakan radikalisme Islam. supaya tidak
terjadi kekeliruan labeling terhadap kelompok umat
Islam yang justru ingin melakukan ritual keagamaannya
secara kafah.
Maksud kafah adalah melakukan ajaran agama
Islam secara menyeluruh dalam setiap sendi
kehidupannya. Dalam hal apapun manusia beraktifitas,
mulai bangun tidur sampai tidur lagi, seorang muslim
harus menggunakan ajaran Islam. jangan sampai ada
keyakinan bahwa melakukan ajaran Islam hanya di
masjid saja, atau di pengajian saja. Akan tetapi di
manapun berada, seorang muslim harus berislam.
105
Fundamental secara bahasa adalah bersifat dasar
(pokok) dan mendasar.(KBBI, 2008) sedangkan
fundamentalis didefinisikan dalam KBBI dengan arti
penganut gerakan keagamaan yg bersifat kolot
danreaksioner yg merasa terancam oleh ajaran agama
yang modern dan liberal sehingga merasa perlu kembali
ke ajaran agama yang asli seperti tersurat dalam kitab
suci.(KBBI, hal. 420)
Dalam sejarah global istilah Fundamentalisme
banyak ditemukan dalam literature agama Kristen,
kondisi umat Kristen pada waktu itu sedang dalam
keadaan yang sangat liberal, jauh dari ajaran-ajaran injil
yang menjadi sumber keagamaan mereka. Dari kondisi
tersebut, munculah beberapa kelompok yang mempunyai
semangat untuk kembali terhadap ajaran agama Kristen
mereka terutama terhadap kita-kitab suci yang menjadi
dasarnya. Para ilmuan menyebut kelompok tersebut
dengan sebutan fundamental.
Lebih khusus lagi Fundamentalisme muncul pada
tahun 1920 di Amerika sebagai gerakan yang banyak
mengkritik terhadap teori evolusi dan studi kritik Bible,
sehingga gerakan ini berdampak luas terhadap suatu
upaya sekelompok orang yang ingin melawan realitas
106
kehidupan modern di Amerika, seperti materialisme,
hedonisme, konsumerisme, sekularisme, liberalisme,
pluralisme, dan penekanan pada kesetaraan gender.
Bersamaan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan di dunia, maka muncul juga sejumlah
masalah yang mejadi polemik pada saat itu, gerakan
kaum fundamentalis mengambil bentuk berbeda dari
satu daerah lingkungan ke lingkungan lain.
Fundamentalisme pada masa ini dimaksudkan sebagai
oposisi Gerejawan ortodok terhadap perkembangan sains
modern, karena mereka memandang bahwa sains
modern adalah berlawanan dengan cerita yang dibawa
oleh Bible. Dalam artian bahwa kaum fundamentalis
Kristen Ortodok memandang bahwa agama hanyalah
sebatas paham kepercayaan manusia berupa nilai dan
motivasi kehidupan, sangat berbeda dengan
perkembangan ilmu pengetahuan saat itu yang mulai
mengkaji seluruh bidang kehidupan.(Faizin,
2013)(Basyir, 2014)
Lebih lanjut fenomena ini menjalar ke dalam
masalah agama dan politik yang memunculkan masalah
dan pertanyaan penting bagi meraka yaitu apakah negara
melalui legislasinya dapat membatasi perkembangan
107
ilmiah, bila sains itu bertentangan dengan kepercayaan
agama. Dalam hal ini kaum fundamentalis menuduh
kaum modernis sebagai perusak agama Kristen dan
mengorbankan kitab suci demi kepentingan sains. Kaum
modernis mempunyai pandangan lain bahwa tanpa
modernisme tidak ada harapan keselamatan bagi gereja
yang terus bodoh dengan pemikiran modern.(Effendy,
1998)
Pemikir lain seperti James Barr mengatakan
bahwa fundamentalisme yang muncul di Amerika
dikategorikan teologi eksklusif, yaitu kepercayaan mutlak
terhadap wahyu, ketuhanan al-Masih, mukjizat Maryam
yang melahirkan ketika masih perawan, serta
kepercayaan lain yang masih diyakini oleh golongan
fundamentalis Kristen sampai sekarang. Tema
fundamentalisme itu mulai terjadi perkembangan makna
ketika golongan Protestan dan golongan Karzemy yang
tumbuh pesat sebagai suatu sekte dalam agama Kristen,
sekte itu berasal dari desa atau sekelompok masyarakat
terpencil yang tinggal di kota kecil dan sebagian
penduduknya beragama Kristen Protestan. Kemudian
gerakan fundamentalisme menjadi gerakan militan
agama dengan menggunakan kekuatan politik sebagai
108
alat untuk memerangi apa yang dianggap sebagai
gerakan liberalisme dan akan mengancam stabilitas
negara, keluarga, dan gereja. Ide-ide liar semacam ini
mulai bersemi. (Basyir, 2014)
Tuduhan lainnya adalah seperti yang disebutkan
oleh Peter Huff dan dikutip oleh Kunawi Basyir(2014), ia
mencatat empat karakteristik penting fundamentalisme:
Pertama, secara sosiologis fundamentalisme sering
dikaitkan dengan nilai-nilai yang telah ketinggalan
zaman atau tidak relevan lagi dengan perubahan dan
perkembangan zaman, secara kultural, fundamentalisme
menunjukkan kecenderungan kepada sesuatu yang
vulgar dan tidak tertarik pada hal-hal yang
bersifat intelektual. Kedua, secara psikologis bahwa
fundamentalisme ditandai dengan otoritarianisme,
organisasi, dan lebih cenderung kepada teori konspirasi.
Ketiga, secara intelektual bahwa fundamentalisme
dicirikan oleh tiadanya kesadaran sejarah dan
ketidakmampuan terlibat dalam pemikiran kritis.
Keempat, secara teologis, bahwa fundamentalisme
diidentikan dengan literalisme, primitivisme, legalisme,
dan tribalisme. Sedangkan secara politis bahwa
109
fundamentalisme dikaitkan dengan populisme
reaksioner.
Melihat akar sejarah munculnya fundamentalisme
di dunia barat, istilah tersebut pertama kali muncul
adalah di dunia Kristen yang merupakan gerakan
keagamaan, sehingga istilah ini pada gilirannya
digunakan untuk menunjuk fenomena keagamaan yang
memiliki kemiripan dengan karakter dasar
fundamentalisme Protestan tersebut. Sehingga
fundamentalisme dalam bentuk apapun termasuk
fundamentalisme Islam akan muncul di mana saja ketika
orang-orang melihat adanya kebutuhan untuk melawan
budaya sekuler (godless), bahkan ketika mereka harus
menyimpang dari ortodoksi tradisi mereka untuk
melakukan perlawanan perubahan yang tidak sesuai lagi
dengan keyakinannya. Dengan mempertimbangkan
karakteristik dasar itu, fundamentalisme Islam
sebenarnya bukanlah sepenuhnya wajah baru.
Sebagaimana gerakan Muhammad bin ‘Abdul Wahab
dengan sebutan kaum Wahabiyahnya bisa dikatakan
sebagai gerakan fundamentalisme Islam pertama yang
berdampak panjang dan luas. Gerakan ini muncul
sebagai reaksi terhadap kondisi internal umat Islam
110
sendiri yang dianggap sudah menyimpang dari koridor
fundamentalnya, secara pokok tidak disebabkan faktor-
faktor luar seperti penetrasi Barat. Gelombang gerakan
fundamentalisme Islam seperti ini berdampak luas
terhadap gerakan pembaharuan Islam di dunia Islam,
seperti di Nigeria utara dengan tokok Syeikh ‘Uthman
dan Fodio (1754 M-1817 M), di Afrika Barat di bawah
impinan al-Hajj ‘Umar Tal (1794 M-1865 M), gerakan
‘Umar Tal ini menyebar di wilayah-wilayah yang
sekarang termasuk Guinea, Senegal, dan Mali. Sedang di
India muncul nama Syah Waliyullah (1754-1817 M) dan
Syekh Ahmad Syahid (1786-1831) hingga gerakan
gerakan Padri yang dilancarkan Tuanku Nan Tuo dan
murid-muridnya di Indonesia.(Basyir, 2014)
Termasuk di Indonesia, Gerakan-gerakan tersebut
pada umumnya muncul secara orisinal dari dunia Islam,
sehingga secara terminologis bahwa fundamentalisme
selalu diidentikan sebagai kelompok Islam tradisionalis
yang secara historis juga disebut sebagai kelompok
konservatif. Namun pada perkembangan selanjutnya
istilah fundamentalisme itu terjadi pergeseran makna
dan pergeseran nilai, karena doktrin terpenting yang
memunculkan fundamentalisme sebagai fenomena
111
keagamaan adalah konsep dan aplikasi jihad yang
seringkali salah dipahami, sehingga menimbulkan
labeling pejorative terhadap gerakan Islam tersebut,
karena kekeliruan makna jihad yang menjadi identik
dengan kekerasan dan terorisme.
Seperti contoh memaknai gerakan Ikhwanul
Muslimin (IM) yang dimotori Hassan al-Banna yang
kemudian menjadi rujukan kalangan akademisi barat
bahkan Indonesia untuk memberikan labeling
fundamentalisme Islam terhadapnya, yang selanjutnya
disebut gerakan Islam radikal di zaman modern ini.
Padahal dalam faktnya Gerakan Ikhwanul Muslimin
muncul karena latar belakang sosio-kultural di Mesir
ketika di dalam tubuh umat Islam nampak terjadi
kebodohan, khurafat, takhayyul dan taklid. Hal ini
mendorong al-Banna untuk menyadarkan bangsa Mesir
dari penjajahan Inggris, sehingga al-Banna menyerukan
umat Islam kembali pada al- Qur’an dalam semua aspek
kehidupannya, serta mereformasi moral dan sosial dan
menghidupkan kembali Islam yang lebih murni.
Semangat agamanya menjadi lebih mendalam ketika ia
menjadi seorang sufi dan lebih kritis terhadap kaum elit
112
dan kelas menengah yang berbau Barat yang
sekuler.(Basyir, 2014)
Masih mengenai Ikhwanul Muslimin (IM) yang
dianggap gerakan radikal(Faizin, 2013), menurut Kunawi
Basyir (2014) bahwa stigma itu nampaknya tidak
selamanya benar apabila dilabelkan pada gerakan IM
saat ini, karena di dalam tubuh IM sendiri terdapat
perubahan format gerakan, ia mulai membangun kembali
organisasinya, dan secara sangat sadar berupaya untuk
menggabungkan kebijakan reformis yang moderat. Di
bawah pimpinan IM yang ketiga (Umar Tilmassani), visi
gerakan IM ini tidak lagi konfrontatif sporadis seperti
pada tahun 1945 M-1965 M. Proses transformasi yang
diperjuangkan direalisasikan melalui kebijakan moderat
yang bertahap sebagai konsekwensinya harus menerima
pluralisme politik dan demokrasi parlementer, mereka
mulai masuk dalam aliansialiansi politis dengan partai-
partai dan organisasi-organisasi sekuler dan mengakui
hak-hak Kristen Keptik.
Mencermati sejarah fundamentalisme yang begitu
beragam baik di dunia Kristen maupun di dunia Islam
tentu menghasilkan pendapat yang beragam dalam
penggunaan istilah tersebut, karena sebagaian besar
113
referensi Barat berpersepsi tentang Islam yang mengarah
pada gerakan politik, Islam disebut sebagai gerakan
fundamentalisme yang dianggap melahirkan radikalisme
sebagai ciri khas gerakannya. Istilah fundamentalisme
Islam itu sendiri sesungguhnya berbeda dengan
fundamentalisme yang muncul di dunia Kristen. Dari sisi
semangat pemurnian ajaranya mungkin sama, tetapi
dalam prakteknya tentu berbeda. Karena dalam dunia
Kristen, agama mengharamkan ijtihad (kebaruan) dan
mempertahankan tradisi, sedangkan semangat
fundamentalisme dalam Islam justru menjunjung tinggi
ijtihad.
Pendapat demikian ditemukan juga dalam
pemikiran Fazlur Rahman maupun Nurcholis Madjid
bahwa penggunaaan fundamentalisme dalam Islam
kurang tepat bila disejajarkan dengan fundamentalisme
dalam dunia Kristen yang hakikatnya menolak sains
dengan ciri-ciri menolak intelektual dan menolak
kebenaran ilmiah. Perbedaan tersebut adalah terletak
bagaimana menyikapi perkembangan modernisme itu
sendiri, dimana fundamentalisme yang berkembang di
dunia Islam bukan hanya kembali kepada teks sumber-
sumber ajaran Islam itu sendiri, akan tetapi
114
fundamentalisme adalah cara khas dalam mendefinisikan
dan mengimplementasikan pandangan dunia tertentu,
dan hal ini sangat sering digambarkan sebagai gaya
pengamalan religius di dalam tradisi religius yang lebih
luas. Dari sini juga terlihat bahwa yang menyebabkan
istilah itu dapat diterima di dunia Islam, tak lain karena
sepanjang sejarah Islam selalu muncul gerakan aktivis
yang menyerukan kembali ke asas dasar (fundamental)
agama.(Basyir, 2014) Bahkan dalam sebuah hadis Nabi
yang derajatnya Shahih banyak diyakini akan muncul
penggerak pembaharu pada setiap kurun 100 tahun.
Sehingga banyak juga kelompok Islam yang menentang
penggunaan istilah Fundamentalisme Islam ini seprti
yang terjadi di Timur Tengah yang lebih senang
menggunakan istilah al-Ushuliyyah al-Islamiyah
(fundamentalisme Islam), al-Ba’th al-Islami
(kebangkitan Islam), dan al-Harakah al-Islamiyah
(Gerakan Islam).
Dalam mendefinisikan fundamentalisme Islam
saat ini terjadi keragaman pendapat, seperti Dilip Hiro
memberikan abstraksi bahwa salah satu term yang
digunakan untuk usaha-usaha menjelaskan hal-hal yang
fundamentalis dari sistem agama dan menuntut ketaatan
115
terhadapnya, sehingga fundamentalisme Islam
digunakan untuk melindungi kemurnian ajaran Islam
dari penyimpangan pelaksanaan agama secara spekulatif,
sehingga gerakan fundamentalisme dalam Islam kembali
pada dua kategori, yaitu Islamic revival dan
fundamentalisme reformis. Gerakan Islamic Revivalis
adalah suatu gerakan untuk kembali kepada kepercayaan
teks yang fundamental (al-Qur’an dan hadis). Sedangkan
fundamentalis reformis adalah sebuah gerakan Islam
yang fundamental pada syari’ah. Yaitu penafsiran yang
cukup cerdas terhadap teks suci pada situasi yang
berbeda dan penolakan terhadap budaya non muslim.
Masih berkutatnya definisi ini pengembalian terhadap
sumber ajaran Islam yang hanya pada Al-Qur’an dan
Hadis saja, seolah meninggalkan dan melupakan Ijtihad
para ulama salaf (terdahulu) maupun ulama khalaf
(kontemporer). Bahkan menafikan bagian rukun Iman
yang ketiga, yaitu Ihsan. Padahal terdapat tiga bagian
rukun agama yang tidak boleh dipisahkan, yaitu Iman,
Islam, dan Ihsan.
Pemikiran terlalu sempit ini juga disampaikan
oleh Henry Munson maupun RM. Burrel yang
memberikan batasan bahwa kata fundamentalis
116
digunakan untuk merujuk pada setiap orang yang
menyatakan bahwa seluruh aspek kehidupan baik secara
sosial maupun politik harus dihadapkan pada
seperangkat aturan yang terdapat dalam al-Qur’an dan
Hadis yang dipercaya sebagai suatu yang instant dan
tidak berubah.(Basyir, 2014) istilah instant yang akhirnya
mempersempit gerak umat islam yang terkesan kaku,
padahal Islam agama yang progresif terutama dalam hal
aturan sosial, ekonomi, pendidikan, selain permalasahan
Aqidah/tauhid/keimanan.
Azyumardi Azra bahkan memberikan batasan yang
lebih rigit bahwa fundamentalisme Islam merupakan
bentuk ekstrem dari gejala “revivalisme”. Jika
revivalisme dalam bentuk intensifikasi Keislaman lebih
berorientasi “kedalam” (inward oriented) karena sering
bersifat individual, maka pada fundamentalisme
intensifikasi itu juga diarahkan ke luar (outward
oriented). Tegasnya bahwa intensifikasi itu bisa berupa
sekedar peningkatan attachment pribadi terhadap Islam
dan mengandung dimensi esoteris, fundamentalisme
menjelma dalam komitmen yang tinggi tidak hanya
untuk menstransformasi kehidupan individual, tetapi
sekaligus kehidupan komunal dan sosial. Oleh karena itu,
117
fundamentalisme Islam juga sering bersifat eksoteris
yang sangat menekankan batas-batas kebolehan dan
keharaman berdasarkan fiqh (halal-haram
complex).(Azra, 1999) Padahal sesungguhnya selain Fiqh,
juga ada Akidah dan juga Ihsan (tasawuf) yang menjadi
bagian utuh dari rukun agama.
Melihat definisi dan indikator yang dipaparkan
oleh beberapa ahli sebagaimana tersebut di atas, dapat
dikatakan bahwa label fundamentalisme tersebut tidak
bisa diberikan pada kelompok tertentu yang selama ini
populer baik di dunia Barat maupun di dunia Islam.
Artinya bahwa label tersebut bukan hanya pada
kelompok-kelompok Islam Militan ataupun Islam
Tradisional saja. Akan tetapi label tersebut kemungkinan
besar bisa diberikan pada kelompok Islam Modernis,
bahkan bisa diberikan pada Islam liberalis juga, karena
kelompok-kelompok Islam tersebut (Militan, Puritan,
Tradisional, Modernis, maupun Islam Liberal)
gerakannya mempunyai ciri khas yang sama sesuai
indikator-indikator sebagaimana yang tersebut di atas.
Karena ternyata karakter fundamental itu adalah jadi
naluri dasar setiap umat Islam yang ingin melaksanakan
ajaran agama yang diyakininya sesuai kitab suci
118
ajarannya. Adalah suatu hal yang sudah seharusnya
setiap umat beragama melakukan sikap seperti itu.
Selanjutnya kita bandingkan dengan definisi
radikalisme menurut Yusuf al-Qaradhawi, ia memberikan
istilah radikalisme dengan istilah al-Tatarruf ad-Din.
Atau bahasa lugasnya adalah untuk mempraktikkan
ajaran agama dengan tidak semestinya, atau
mempraktikkan ajaran agama dengan mengambil posisi
tarf atau pinggir. Jadi jauh dari substansi ajaran agama
Islam yang esensi berupa ajaran moderat (tengah-
tengah). Biasanya posisi pinggir ini adalah sisi yang berat
atau memberatkan dan berlebihan, yang tidak
sewajarnya. Lanjut al-Qaradhawi, posisi praktik agama
seperti ini setidaknya mengandung tiga kelemahan, yaitu:
pertama, tidak disukai oleh tabiat kewajaran manusia;
kedua, tidak bisa berumur panjang, dan yang ketiga, ialah
sangat rentan mendatangkan pelanggaran atas hak orang
lain.(Al-Qardhawi, 2001)
Sedangkan menurut KBBI definisi dari
radikalisme adalah paham yang menganut cara radikal
dalam politik.(KBBI, 2008) definisi yang paling relevan
untuk raelitas radikalisme saat ini adalah Paham Islam
yang bebas tanpa batas, bahkan cenderung kasar,
119
merusak, teror, yang dilakukan oleh oknum muslim yang
jauh dari sifat Islam yang damai, indah, sejuk dan penuh
cinta kasih sayang.
Kesimpulan awal dari pembahasan definisi
fundamentalisme dan radikalisme nampaknya terdapat
bertentangan satu sama lain, fundamentalisme Islam
yang mencerminkan sikap seorang muslim yang ingin
melaksanakan ajaran agamanya dengan kesungguhan
berdasarkan dasar fundamental agamanya (Al-Qur’an,
Hadis, dan Ijtihad) dalam hidupnya adalah sebuah
keniscayaan dalam keberagamaan. Sedangkan
radikalisme islam merupakan sebuah sikap yang
dilakukan oleh oknum muslim ketika ingin melakukan
sikap fundamentalisme islam yang salah jalan, biasanya
ada yang tidak lengkap atau tidak utuh dalam
pemahaman terhadap ajaran Islamnya. Dengan
demikian, yang membedakan antara Fundamentalisme
Islam dan radikalisme islam adalah cara melakukan
sikapnya tersebut.
120
Salah Paham Fundamentalisme dan Radikalisme
Sebagaimana definisi yang telah dibahas, terdapat
kesalahpahaman banyak orang terhadap
fundamentalisme dan radikalisme. Termasuk para
akademisi pun selalu memukul rata terhadap
pemaknaannya. Bisa kita lihat dari ciri-ciri yang
dituliskan oleh Nurkholis Madjid yaitu:
Pertama, pemahaman dan interpretasi terhadap
doktrin/ajaran Islam cenderung bersifat rigid (kaku) dan
literalis (tekstual). Kecenderungan memahami doktrin
secara rigid dan literalis ini, memang niscaya diperlukan
untuk menjaga kemurnian ajaran Islam secara utuh
(kaffah) dan langsung dari sumbernya yaitu Al-Qur’an,
Hadis, dan Ijtihad. Pemahaman seperti ini memang perlu
diperbaiki dalam konsep dan teknisnya. Secara konsep
pemahaman rigid dan literalis sangat diperlukan dalam
121
hal ajaran Aqidah/keyakinan, misalkan seperti
pemahaman terhadap keEsaan Allah dalam surat Al-
Ikhlash, maka terjemah Ahad itu harus Esa/tunggal,
tidak boleh lagi ditafsirkan dengan pemahaman lainnya.
Pemaknaan tentang Nabi Muhammad sebagai Nabi
terakhir, merupakan salah satu pemahaman yang harus
rigid (kaku) dan literal.
Dalam hal fiqhpun ada beberapa bagian yang
harus rigid dan literal, akan tetapi di bagian lain lebih
banyak yang ijtihadi (fleksibel). Misalkan dalam hal
rukun Sholat (fiqh Ibadah) adalah membaca surat Al-
Fatihah, maka membaca Al-fatihah ini harus rigid (kaku)
dan literal (merujuk pada dalil hadis tentang rukun
sholat), tidak boleh diganti dengan bacaan Surah lainya.
Namun dalam bagian fiqh lainnya, pintu ijtihad sangat
terbuka dan hendaknya pemikiran umat Islam lebih
moderat, dengan mengikuti perkembangan jaman
berdasarkan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi.
Apalagi dalam hal bagian ajaran Ihsan yaitu berupa
perliku hati dan perasaan yang selalu merasa diawasi
oleh Allah SWT, yang selanjutnya dimaknai dan dibahas
dalam ilmu tasawuf. Ilmu ini merupakan bagian
doktrin/ajaran yang sangat fleksibel, tidak kaku dan terus
122
berkembang mengikuti jaman. Karena tentunya perilaku
akhlak akan terus membentengi perkembangan jaman
yang ada sampai kiamat akan datang kelak.
123
dalam dunia agama. Karena tentunya agama itu bersifat
suci dan harus jauh dari unsur-unsur jahat politik.
Padahal politik amatlah penting untuk di kuasai
oleh umat Islam, politik sebagai jalan sah untuk
mendapatkan peran dan posisi dalam sebuah organisasi
ketatanegaraan. Melalui politiklah sesungguhnya umat
Islam bisa memberikan perannya menjadi pemimpin
Negara (eksekutif), bisa menjadi pembuat kebijakan
peraturan perundangan (legislative) yang bisa mengatur
kehidupan berbangsa bahkan beragama sebuah
kelompok masyarakat. Jikapun ingin melihat sejarahnya,
Nabi Muhammad sebagai pimpinan Islam saat itu
bersama-sama para sahabatnya menggunakan politik dan
menggalang kekuatan politik untuk menyebarkan agama
Islam kepada suku arab dan kepada dunia luar arab.
Yang kemudian dilanjutkan oleh generasi kholifah
selanjutnya yang bisa menguasai sepertiga lebih dunia
ini, dengan menggunakan konsep tata Negara Islam dan
syariat Islam dalam tata hukumnya dan terbukti bisa
membangun peradaban manusia yang amat luhur, dan
tentunya kesejateraan manusia.(Hitti, 2002)
Maka tidak berlebihan jika dalam keyakinan setiap
umat muslim memiliki mimpi kembali mengulang
124
sejarah kejayaan Islam dalam mengatur dunia dengan
konsep rahmatan lilamin yaitu Islam sebagai rahmat,
kasih sayang, nilai-nilai positif yang bisa dinikmati oleh
segenap penghuni alam ini. Dalam hal ini tentu Islam
sangat jauh dari praktek-praktek radikalisme yang
selama ini dituduhkan. Bahkan dalam fakta historisnya
praktek ketatanegaraan Islam (politik Islam) sangat
menjunjung tinggi nilai keadilan dan kemanusiaan.
125
Politisasi islam kerap dilakukan oleh para oknum politisi
saat mendekati pemilu, banyak sekali diantara mereka
rajin menggunakan symbol islam untuk meraih simpati
umat islam yang diharapkan nanti memilih dirinya.
Padahal dalam keseharian mereka oknum politisi ini jauh
sekali dari ajaran islam, bahkan bisa jadi kerap
merugikan kepentingan umat dan tidak peduli terhadap
umat Islam. akan sangat berbeda dengan seorang muslim
taat yang kemudian punya keyakinan terhadap tindakan
politik yang diperjuangkannya sebagai pemimpin daerah
ataupun legislator. Keyakinan bahwa politik adalah
bagian komprehensif dari ajaran Islam, bahwa politik
islam yang sesungguhnya benar-benar ada dan
bersumber dari ajaran fundamental Islam yaitu Al-
Qur’an, hadis dan Ijtihad ulama. Sikap seperti ini adalah
niscaya dan akan melahirkan perilaku politik yang
santun, adil, penuh kasih sayang, jujur, jauh dari korupsi,
dan tentunya membela kepentingan seluruh masyarakat.
Maka munculah politik yang penuh etika dan sangat jauh
dari aktifitas radikalisme yang merugikan banyak pihak.
Ciri Keempat, menurut NUrkholis Madjid
bahwasannya kaum fundamentalis meyakini, Islam
bukan hanya sekedar nama, melainkan juga sebagai
126
sistem hukum yang lengkap, ideologi universal, dan
sistem paling sempurna, yang mampu mengatasi semua
masalah kehidupan manusia. Kaum fundamentalis
umumnya sangat meyakini bahwa Islam adalah totalitas
sistem dari tiga pilar kehidupan manusia, agama, dunia
dan Negara (daulah).
Keyakinan seperti ini muncul dari kekuatan Iman
yang kuat, kejernihan Fiqh yang lengkap dan kemuliaan
akhlak (ihsan) yang terpancar dari seorang muslim
hakiki. Keyakinan ini juga yang menjadi solusi dari
sekularisasi yang disetting demikian massif oleh
kelompok anti Islam. keyakinan akan totalitasnya system
Islam dalam seluruh aspek kehidupan termasuk
didalamnya adalah Negara merupakan konsep yang
sangat dasar dan fundamental. Islam tidak membeda-
bedakan segmen mana yang harus diatur agama dan
tidak ada sedikitpun bagian di dunia ini yang luput dari
aturan agama. Andaipun aturan tersebut tidak
ditemukan secara normative dalam kitab suci Al-Qur’an
dan tidak ditemukan juga dalam Hadis Nabi, bahkan
tidak ditemukan juga dalam sejarah umat Islam
sebelumnya, maka itulah pentingnya konsep ijtihad.
Sehingga hal ini memahamkan kepada umat islam di
127
jaman modern sekarang ini, bahkan ijtihad ulamat
kontemporer sangat diperlukan untuk menjawab
permasalah umat masa kini.
Umat islam tidak mungkin menutup mata dan
menjauh dari peradaban modern dengan teknologi
informasi yang semakin canggih ini. Namun justru
bagaimana caranya nilai ajaran islam bisa mewarnai dan
membentuk teknologi tersebut supaya tidak merugikan
umat islam, bagaimana caranya membentengi generasi
umat Islam dari konten negative media sosial misalnya,
yaitu dengan ajaran etika dan moral yang kuat harus
ditanamkan. Juga adanya regulasi/peraturan yang tegas
dari pihak berwenang supaya dijaga dari konten negative
ataupun konten sia-sia tidak bermanfaat.
Banyak nilai-nilai aplikasi moral dan etika yang
jika merujuk kepada Kitab suci Al-Qur’an sebagai dasar
fundamental islam. misal perintah manusia supaya
menjauhi hal yang tidak berguna sebgai pertanda orang
tersebut mendapat kesuksesan:
QS. Al-Mukminun : 3
128
Apakah seorang muslim yang selalu menjauhi hal
yang sia-sia dan berusaha berkontribusi positif untuk
sekitarnya akhirnya dianggap radikal, tentu itu adalah
anggapan yang keliru.
129
2. Umat Islam haram mengikuti paham Pluralisme,
Sekularisme dan Liberalisme Agama.
3. Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam
wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram
mencampur-adukkan aqidah dan ibadah umat
Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama
lain.
4. Bagi masyarakat Muslim yang tinggal bersama
pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam
masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah
dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam
arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan
pemeluk agama lain sepanjang tidak saling
merugikan.
130
pluralisme agama, semua agama adalah sama.
Relativisme agama semacam ini jelas dapat
mendangkalkan keyakinan akidah. Misal saja kalo kita
mengingat hasil dialog antar umat beragama di Indonesia
yang dipelopori oleh Prof. Dr. H. A. Mukti Ali, tahun
1970-an, paham pluralisme dengan pengertian setuju
untuk berbeda (agree in disagreement) serta adanya
klaim kebenaran masing-masing agama saat ini telah
dibelokkan kepada paham sinkretisme
(penyampuradukan ajaran agama), bahwa semua agama
sama benar dan baik, dan hidup beragama dinisbatkan
seperti memakai baju dan boleh berganti-ganti. Paham
pluralisme agama seperti ini tanpa banyak mendapat
perhatian dari para ulama dan tokoh umat telah
disebarkan secara aktif ke tengah umat dan dipahami
oleh masyarakat sebagaimana maksud para
penganjurnya. Paham ini juga menyelusup jauh ke pusat-
pusat/lembaga pendidikan umat. Itulah sebabnya Munas
VII Majelis Ulama Indonesia merasa perlu merespon usul
para ulama dari berbagai daerah agar MUI
mengeluarkan fatwa tentang Pluralisme, Liberalisme dan
Sekularisme agama sebagai tuntunan dan bimbingan
kepada umat untuk tidak mengikuti paham-paham
131
tersebut. Lebih lanjut tentang pluralisme ini akan di
bahas dalam bab tersendiri.
Dari penjelasan tentang pluralisme ini bisa
dipahami bahwa keyakinan terhadap aqidah yang lurus
adalah mutlak bagi seorang muslim, tidak ada kompromi
di dalam masalah keyakinan Aqidah, sama halnya tidak
bisa dicampuradukan masalah tauhid, misal saja hari ini
Islam, besok agama lainnya. Hal ini sama saja keyakinan
yang ada dalam dirinya tidak sempurna. Dalam konteks
keyakinan ini, maka jelas seorang muslim harus memiliki
sikap fundamentalisme yang kuat.
Berbeda dengan sikap pluralitas, yaitu
menganggap bahwa sudah menjadi takdir manusia di
dunia ini adalah berbagai macam ragam, baik suku,
bahasa, pikiran, bahkan keyakinan beragama. Sehingga
tidak ada sikap memaksakan keyakinan agama terhadap
orang lain yang sudah memilki keyakinan agamanya.
Karena sesungguhnya telah jelas agama Islam yang benar
dan selainnya adalah sesat. Konsep ini sudah jelas
tertulis dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 256
132
Daftar Pustaka
133
Radikalisme di Indonesia.
Esposito, J. L. (2001). The Oxford Ensyclopedia of the
Modern Islamic World (Vol. I). Bandung: Mizan.
Faizin, K. (2013). FUNDAMENTALISME DAN
GERAKAN RADIKAL ISLAM KONTEMPORER DI
INDONESIA. Edu Islamika, 5(2), 345–367.
Retrieved from ejournal.iain-
jember.ac.id/index.php/eduislamika/article/downlo
ad/40/33
Fudholi, M. (2002). ORIENTALISME VIS A VIS
OKSIDENTALISME. Teosofi: Jurnal Tasawuf Dan
Pemikiran Islam, 2(2), 390–406. Retrieved from
teosofi.uinsby.ac.id/index.php/teosofi/article/downl
oad/79/73
Haqan, A. (2011). Orientalisme dan Islam dalam
Pergulatan Sejarah. Mutawâtir: Jurnal Keilmuan
Tafsir Hadis, 1(2).
Hasan Hanafi. (1999). Oksidentalisme: sikap kita
terhadap tradisi Barat. Jakarta: Paramadina.
Hitti, P. K. (2002). History of The Arabs. Jakarta:
Serambi.
KBBI. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia.
departemen Pendidikan nasional.
134
Mandzur, I. (1999). Lisânul Arab (5th ed., Vol. 5). Beirut:
Dâr Ihyâ al-Turâts al-Arabi.
Muhammad Makmun Rasyid. (2016). ISLAM
RAHMATAN LIL ALAMIN PERSPEKTIF KH.
HASYIM MUZADI. Epistemé, 11(1), 93–116.
https://doi.org/10.21274/epis.2016.11.1.93-116
Nasution, H. (1995). Islam rasional: gagasan dan
pemikiran (2nd ed.). Bandung: Mizan.
Redaksi. (1999). Ensiklopedi Islam (Vol. IV). Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve.
Robbin and Coulter. (2012). Management. In
Management (11th ed.). New Jersey: Upper Saddle
River.
Shihab, A. (1999). Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka
dalam Beragama (4th ed.). Bandung: Mizan.
Sinn, A. I. A. (2012). Manajemen Syariah Sebuah Kajian
HIstoris dan Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Siti Halimah. (2017). TASAWUF UNTUK MASYARAKAT
MODERN. Al-Makrifat, 2(1), 85–98.
Sudrajat, A. S. (2000). Tasawuf dan Politik:
Menerjemahkan REligiusitas dalam Kehidupan
Sehari- hari. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
135
Supiana. (2012). Metodologi studi islam. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian
Agama RI.
Zamakhsyari Dhofier. (1990). Tradisi Pesantren: Studi
tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.
136
Biografi Penulis
137