Anda di halaman 1dari 2

Multiplier Effect Sudah Terasa

Kenaikan harga bahan bakar minyak pada 1 Oktober lalu kini telah menuai dampaknya.
Harga-harga naik begitu tinggi, mulai dari bahan pangan sampai bahan bangunan, mulai dari
angkutan sampai onderdil mobil, mulai dari buku-buku sampai peralatan kantor, dll. Setiap
kenaikan BBM selalu disertai multiplier effect yang begitu merata. Apakah ketika memanen cabai
membutuhkan BBM? Tidak, tetapi harga cabai ikut naik mengikuti kenaikan BBM. Begitu pula,
apakah produksi telur ayam membutuhkan BBM? Juga tidak. Maka biasanya yang menjadi
kambing hitam adalah transportasi.

Kenyataannya ongkos transportasi tak bisa dipisahkan dari harga BBM. Jika harga BBM
naik, ongkos transportasi otomatis naik. Efek selanjutnya, semua bahan kebutuhan diangkut dari
produsen ke konsumen memakai alat transportasi, maka semua bahan itu pun harus mengalami
kenaikan harga. Efek berantai ini seolah tak terputus. Itu semua terbukti dalam beberapa hari
belakangan ini ketika kenaikan harga berbagai bahan kebutuhan meningkat cukup tinggi. Tak
pelak, DPR pun harus menyurati untuk mengingatkan kepada Presiden bahwa kenaikan BBM yang
terlalu tinggi telah menyebabkan harga meroket sehingga beban hidup rakyat makin berat.

Kenaikan BBM yang rata-rata di atas dua kali lipat memang sangat memberatkan. Semula
banyak orang mendukung kenaikan BBM, hanya saja ketika kenaikannya begitu tinggi, dukungan
itu sedikit banyak menyusut. ''Beruntung'' isu kenaikan BBM itu tidak bergulir cepat karena adanya
bom Bali yang secara tak langsung mengalihkan isu BBM. Tapi, menyusutnya isu soal BBM
berikut demo-demonya, tidak menyusutkan harga kebutuhan masyarakat. Harga-harga sudah naik
begitu tinggi, kehidupan masyarakat pun makin susah.

Memang kalau kita melihat di supermarket dan hipermarket, justru terjadi keramaian yang
melebihi hari-hari biasa sebelum BBM naik. Tapi itu terjadi karena memang biasanya setiap
menjelang bulan puasa seperti itu. Dan jangan dilihat itu sebagai representasi kebanyakan
masyarakat Indonesia yang tidak terkena imbas BBM.

Representasi yang sebenarnya adalah keluhan rakyat yang tak mampu membeli kebutuhan
pokok mereka. Begitu sulitnya mereka mengalokasikan uang untuk membeli bahan makanan hanya
untuk sekadar pengganjal perut.

Pemerintah tidak bisa hanya duduk-duduk di meja, para menteri dan jajarannya harus turun
ke lapangan. Apalagi masa-masa menjelang Lebaran seperti ini, spekulan biasanya mulai
memainkan harga. Jika itu tidak diantisipasi, masyarakat akan semakin terbebani untuk
memperoleh kebutuhan pokoknya.

Kita masih ingat ketika harga gas dinaikkan seorang menteri berkomentar, ''Kalau tidak
kuat membeli gas, jangan pakai gas.'' Jangan lagi kalimat seperti itu muncul. Apakah kalau
masyarakat tidak mampu beli telur maka tidak usaha makan telur, kalau tidak mampu beli beras
berarti tidak usaha beli beras? Lantas makan apa mereka?
Harga BBM sudah telanjur dinaikkan, dan sulit rasanya untuk direvisi kembali. Pada posisi
seperti itu, satu-satunya jalan adalah menjaga agar multiplier effect dari kenaikan tersebut tidak
terlalu memberatkan masyarakat. Selalu menjaga agar harga kebutuhan masyarakat masih
terjangkau rakyat banyak.

Anda mungkin juga menyukai