Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

FIQH KONTEMPORER KEWARISAN

KEWARISAN BEDA AGAMA

DALAM PANDANGAN ULAMA KONTEMPORER

“Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Jurusan
Syariah dan Hukum Islam, Prodi Hukum Keluarga Islam ”

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 10

AKBAR

NURALIM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BONE

TAHUN PELAJARAN 2020/2021


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah
Subhana Wataala yang telah melimpahkan rahmat serta hidayahnya sehingga
kami mampu menyelesaikan penulisan makalah “Kewarisan Beda Agama dalam
Pandangan Ulama Kontemporer” ini dan tak lupa kami ucapkan terima kasih
kepada teman-teman yang ikut berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.

Sarana penunjang makalah ini kami susun berdasarkan referensi yang


bermacam-macam. Hal ini dengan tujuan untuk membantu para mahasiswa untuk
mengetahui, memahami, bahkan menerapkannya.

Namun demikian, dalam penulisan makalah ini masih terdapat kelemahan


dan kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik dari berbagai pihak sangat di
harapkan.

Akhirul kalam, semoga yang tersaji ini dapat memberikan bantuan kepada
para mahasiswa dalam menyelenggarakan proses belajar mengajar di kampus.
Aamiin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Bone, 06 April 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1

a) Latar Belakang......................................................................................1
b) Rumusan Masalah.................................................................................2
c) Tujuan Penulisan..................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN................................................................................3

a) Konsep Kewarisan Beda Agama..........................................................3


b) Kewarisan Beda Agama Dalam Pandangan Ulama Kontemporer.......6

BAB III PENUTUP........................................................................................14

a) Kesimpulan...........................................................................................14
b) Saran.....................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum kewarisan Islam diyakini oleh sebagian besar umat Islam sebagai

hukum yang sejalan dengan kemaslahatan. Karena keyakinan tersebut, sangat

sedikit para ulama yang berkenan untuk melakukan pembaharuan hukum

kewarisan Islam terutama dari aspek penafsiran sumber hukumnya. Sehingga

ketika dalam konteks tertentu hukum kewarisan Islam tidak sejalan dengan

kemaslahatan, tidak banyak yang dapat memberikan argumentasi yang rasional

tentang hal ini.1

Meskipun ketentuan hukum waris beda agama ini dalam Islam sebenarnya

telah lama digulirkan, bahkan ketika Nabi Muhammad ‫ﷺ‬. masih

hidup, namun belum ada titik terang mengenai waris beda agama sekarang ini.

Bukti masih ada perbedaan pemikiran terkait masalah waris beda agama disini

yaitu antara Wahbah az-Zuhaili dan Yusuf al-Qaradawi. Wahbah az-Zuhaili

melarang adanya waris beda agama, namun Yusuf al-Qaradawi dengan fiqh

minoritasnya menolak kemutlaqan larangan waris tersebut, melainkan larangan

yang hanya kepada kafir harbi saja. Dan beberapa penjelasan di atas diketahui

bahwa hukum waris beda agama dalam Islam masih diperdebatkan adanya.2

Dimana perbedaan pendapat antara Wahbah az-Zuhaili dan Yusuf al-

Qaradawi inilah yang kemudian membuat penulis tertarik untuk meneliti lebih

jauh mengenai pandangan Fiqh Kontemporer saat ini dalam kewarisan beda

agama. Dan perbedaan pemikiran tentang waris beda agama disini perlu diketahui

lebih lanjut mengenai pendapat secara menyeluruh antara ulama-ulama


1
Chamim Tohari, “Rekonstruksi Hukum Kewarisan Beda Agama Ditinjau dari Al-Uṣūl
Al-Khamsah”, Mazahib, Vol XVI, No. 1, Juni 2017. h. 1.
2
Ahmad Musadat, “Waris Beda Agama dalam Pespektif Hukum Islam: Studi Komparasi
Pemekiran Wahbah az-Zuhaili dan Yusuf al-Qaradawi”, (Skripsi S1, UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 2016), h. ii.

1
2

kontemporer yang ada setelah zaman nabi maupun yang ada saat ini terutama

dalam konteks keindonesiaan.3

Bertolak dari pemikiran ini, penulis menganggap penting untuk mengkaji

ulang penafsiran hukum kewarisan yang telah ada. Di antara masalah penting

untuk dikaji ulang adalah tentang Muslim yang mewarisi harta warisan dari

keluarganya yang non-Muslim, di mana hukum kewarisan yang ada jelas

mengharamkan meskipun keharaman ini tidak disertai dengan terwujudnya

kemaslahatan yang jelas.4

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Konsep Kewarisan Beda Agama?

2. Bagaimana Kewarisan Beda Agama Dalam Pandangan Ulama

Kontemporer?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk Mengetahui Konsep Kewarisan Beda Agama

2. Untuk Mengetahui Kewarisan Beda Agama Dalam Pandangan Ulama

Kontemporer

3
Ahmad Musadat, “Waris Beda Agama dalam Pespektif Hukum Islam: Studi Komparasi
Pemekiran Wahbah az-Zuhaili dan Yusuf al-Qaradawi”, h. 3.
4
Chamim Tohari, “Rekonstruksi Hukum Kewarisan Beda Agama Ditinjau dari Al-Uṣūl
Al-Khamsah”, h. 1-2.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Kewarisan Beda Agama

Di beberapa belahan dunia yang mana Islam mulai berkembang disana,

seorang anak Muslim tidak boleh menerima warisan dari orang tuanya sendiri

yang notabene adalah non-Muslim. Hal tersebut didasarkan atas hukum syari’at

yang jelas-jelas melarang seorang Muslim dengan kafir saling mewarisi. Dasar

hukum beda agama sebagai penghalang saling mewarisi adalah hadist riwayat al-

jama’ah: 5

‫ث الْ ُم ْسلِ ُم ال َكا فَِر َو َل اْل َكافُِر الْ ُمسلِ َم‬ ِ


ُ ‫ َل يَِر‬:‫ قَ َال‬.‫م‬.‫ُسا َمةَ ابْ ِن َزيْد َع ِن النيب ص‬
َ ‫َع ْن أ‬
(‫)رواه اجلماعة‬
Terjemahan: Orang Muslim tidak boleh mewarisi harta orang kafir, dan
orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam (Riwayat Jama’ah)

Maksud dari Kewarisan perbedaan agama adalah antara yang beragama Islam

dan yang bukan beragama Islam (non-muslim). Kewarisan beda agama ini terbagi

tiga (3) kategori:

1. Non-muslim mewarisi Muslim

Pendapat ini, tidak diragukan bahwa ijma’ ulama sepakat tentang


larangan orang kafir (non-muslim) yang mewarisi Muslim. Hal ini didasarkan

pada pembahasan sebab sebab kewarisan dan penghalangnya yaitu pada salah

satu pembahasannya harus memiliki hubungan sesama agama islam dengan

sang Pewaris.6

5
Chamim Tohari, “Rekonstruksi Hukum Kewarisan Beda Agama Ditinjau dari Al-Uṣūl
Al-Khamsah”, h. 3.
6
Chamim Tohari, “Rekonstruksi Hukum Kewarisan Beda Agama Ditinjau dari Al-Uṣūl
Al-Khamsah”, h. 4.

3
4

2. Muslim mewarisi Non-muslim

Dalam kategori ini, tejadi perbedaan pendapat antara ulama. Dalam

fikih madzhab empat, para ulama madzab sepakat bahwa ada tiga hal yang

menghalangi warisan, yaitu perbedaan agama, pembunuhan, dan perbudakan.

Sedangkan ulama-ulama lainnya yang sepakat dengan larangan tersebut dari

kalangan salaf di antaranya as-Syāfi‟i, Ibnu Qudamah, dan as-Syaukani.

Sedangkan para ulama kontemporer yang melarang di antaranya Musṭofa as-


Salabiy, Ali as-Shabūni, dan Sayid Sābiq.7

Perbedaan Agama seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun

diwarisi oleh orang non muslim. apa pun agamanya. Hal ini telah ditegaskan

Rasulullah ‫ﷺ‬. Dalam sabdanya: “Tidaklah berhak seorang

muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim.’

(Bukhari dan Muslim).8 Dari redaksi dari apa yang ditetapkan hadist tersebut,

maka hadist ini merupakan bagian dari hukum wad‘i, artinya ketentuan syariat

dalam bentuk menetapkan sesuai sebagai man‘i. Jadi dalam hadist ini

menerangkan bahwa perbedaan agama (non muslim) adalah penghalang untuk

saling mewarisi. Jumhur ulama berpendapat demikian, termaksuk keempat

imam mujtahid.9
Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang mengaku

bersandar pada pendapat Mu’adz bin Jabal Radiyallahuanhu yang mengatakan

bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir. tetapi tidak boleh

mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka adalah bahwa Islam ya‘lu

7
Chamim Tohari, “Rekonstruksi Hukum Kewarisan Beda Agama Ditinjau dari Al-Uṣūl
Al-Khamsah”, h. 4.
8
Fabian Hutamaswara Susilo, “Pembagian Warisan Pada Keluarga Beda Agama di
Jakarta”, (Skripsi S1, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2018), h. 27.
9
Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, (Cet; 2 Jakarta: Kencana, 2008), h. 61.
5

walaayu ‘la ‘alaihi (unggul. tidak ada yang mengunggulinya).10 Pendapat ini

sejalan dengan Konsep memberikan maslahat, ketika si anak Muslim tidak

dapat menerima warisan dari orang tua atau keluarganya yang non-muslim,

maka harta tersebut akan jatuh ke tangan negara atau setidak-tidaknya ke

tangan orang yang non-Muslim. Sedangkan pada hakekatnya keluarga Muslim

tersebut sangatlah membutuhkan harta warisan tersebut ataupun untuk

membantu proyek-proyek Islam.11


Meskipun Jumhur ulama mengharamkan seorang Muslim menerima

warisan dari orang non-Muslim, ada pula madzhab yang membolehkan,

diantaranya adalah madzab Imamiyah. Adapun ulama yang membolehkan

adalah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauzi. Sedangkan golongan ulama

kontemporer, adalah Yusuf al-Al-Qaradhawi.12


3. Murtad mewarisi Muslim
Mengenai orang murtad orang yang keluar dari agama Islam, para
Ulama memandang bahwa telah memutuskan tali (shilah) syari'ah dan
melakukan kejahatan agama.13 Karena itu, meskipun dalam isyarat al-Qur'an
bahwa mereka dikatagorikan sebagai orang kafir, para Ulama menyatakan
bahwa harta warisan orang murtad tidak diwarisi oleh siapa pun, termasuk ahli
warisnya yang sama-sama murtad. Harta peninggalannya dimasukkan ke
baitul-mal sebagai harta fai' atau rampasan, dan digunakan untuk kepentingan
umum.14

10
Fabian Hutamaswara Susilo, “Pembagian Warisan Pada Keluarga Beda Agama di
Jakarta”, h. 28.
11
Chamim Tohari, “Rekonstruksi Hukum Kewarisan Beda Agama Ditinjau dari Al-Uṣūl
Al-Khamsah”, h. 3.
12
Chamim Tohari, “Rekonstruksi Hukum Kewarisan Beda Agama Ditinjau dari Al-Uṣūl
Al-Khamsah”, h. 4.
13
Muslich Maruzi, Pokok-pokok Ilmu Waris, Semarang: Pustaka Amani, 1981, h. 16.
14
Riana Kesuma Ayu, “Penghalang Mewarisi”, dalam http://rianan-kesuma-ayu.com/
penghalang-mewarisi, 27 Agustus 2018.
6

B. Kewarisan Beda Agama Dalam Pandangan Ulama Kontemporer

Menegenai masalah Non-muslim mewarisi Muslim telah dilarang

berdasarkan Ijma’ ulama. Maka pembahasan selanjutnya lebih fokus mengenai

Muslim mewarisi Non-Muslim dan Muslim mewarisi orang Murtad, karna

terdapat perbedaan pendapat ulama. Pendapat mengenai Muslim mewarisi non-

Muslim, tampak tidak popular dan jarang dicantumkan dalam kitab-kitab hukum

kewarisan, terutama kitab-kitab kontemporer, karenanya sangat sedikit ulama


kontemporer yang membahasanya salah satunya adalah Yusuf Al-Qaradhawi yang

setuju dan Sayid Sābiq yang menolaknya, berikut penjelasan lebih detailnya:

1. Yusuf Al-Qaradhawi

Menurut Yusuf Al-Qaradhawi, Karena kita (umat Islam) diperkenan-

kan menikahi wanita-wanita mereka (orang-orang kafir), sedang mereka tidak

boleh menikahi wanita muslimah. Karena itu pula, kita dapat mewarisi dari

mereka, sedang mereka tidak dapat mewarisi dari kita. Beliau membenarkan

dan setuju dengan pendapat ini. Meskipun jumhur ulama tidak menyetujuinya.

Beliau menganggap Islam tidak menghalangi, menolak jalan kebaikan yang

bermanfaat bagi kepentingan umatnya. Apalagi, dengan harta peninggalan

atau warisan itu dapat membantu untuk mentauhidkan Allah ‫ﷻ‬, untuk
taat kepada-Nya, dan menolong menegakkan agama-Nya yang benar ini.

Bahkan, sebenarnya harta ditujukan sebagai sarana untuk taat kepada-Nya,

bukan untuk bermaksiat kepada-Nya.15

15
Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 3, terjemah Hadyu al-Islam Fatawi
Mu’asirah, (Jakarta: GEMA INSANI, 2002), h. 850.
7

Yusuf Al-Qaradhawi juga menjelaskan “Tentu orang yang paling

utama memilikinya adalah orang-orang yang beriman pada-Nya. Maka, ketika

undang-undang negara membolehkannya untuk mendapatkan warisan atau

peninggalan, seharusnyalah kita tidak boleh menghalanginya dan membiarkan

orang-orang kafir memanfaatkannya. Pasalnya, dalam berbagai segi bisa

menjadi haram. Bahkan, menjadi bahaya dan ancaman bagi kita sendiri (umat

Islam).”16
Adapun bunyi hadits,”Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir

dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim”, kita menafsirkannya

sebagaimana ketika madzhab Hanafi mentakwilkan bunyi hadits, “Seorang

muslim tidak membunuh orang kafir.” (al-Hadits)

Maksud kafir dalam hadits diatas adalah bukan kafir harbi yaitu kafir

yang memerangi umat Islam. Artinya orang muslim hanya tidak mewarisi dari

kafir harbi dikarenakan terputusnya hubungan antara keduanya. Tetapi orang

muslim hanya boleh mewarisi dari yang bukan kafir harbi saja.

Imam Ibnul Qayyim menuturkan masalah orang muslim yang

mewarisi dari orang kafir dalam kitabnya, Ahkam Ahlidz-Dzimah, ia

menyebutkan beberapa pendapat dan kemudian membenarkan pendapat


bahwa seorang muslim dapat mewarisi dari orang kafir. Pendapat tersebut Ia

mengambil dari gurunya, Ibn Taimiyah. Dalam kitabnya itu, ia mengatakan

sebagai berikut: “mengenai kewarisan untuk orang muslim dari orang kafir,

para ulama salaf (klasik) berbeda pendapat. Namun, kebanyakan mereka

berpendapat bahwa orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir,

16
Ulin Khoiriyah, “Analisis Maslahah Terhadap Fatwa Yusuf Al-Qaradhawi Tentang
Waris Beda Agama”, (Skripsi S1, Program Ahwal Syakhsiyah IAIN Ponorogo, Jatim, 2018), h.
51.
8

sebagaimana orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim. Pendapat ini juga

yang diambil para imam empat mazhab dan para pengikutnya. Namun, ada

juga yang berpendapat bahwa seorang muslim dapat mewarisi dari orang

kafir, dan orang kafir tidak dapat mewarisi dari orang muslim. Pendapat

terakhir ini adalah pendapat Mu’adz bin Jabal, Mu’awiyah bin Abu Shufyan,

dll.17

Selain Yusuf al-Qaradawi, Imam Ibn Taimiyah juga sepakat bahwa


orang muslim dapat mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi

dari orang muslim. Akan tetapi, Imam Ibn Taimiyah juga berpendapat bahwa

orang muslim dapat mewarisi dari orang kafir dan orang munafik. Hal ini juga

terjadi pada masa Rasulullah ‫ﷺ‬, yaitu orang munafik yang

meninggal dunia telah mewariskan hartanya kepada putranya yang beragama

Islam.18

Adapun Ahluz Dhimmah ‘orang-orang kafir yang menyerahkan diri

dan berlindung kepada orang-orang muslim’, ketentuannya telah dijelaskan

Mu’adz bin Jabal dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Menurut mereka, sabda

Nabi bahwa orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, yang dimaksud

“kafir” dalam hadits itu adalah kafir harbi. Jadi, bukan orang munafik, orang
murtad, atau orang kafir adh-dhimmi. Karena lafaz “kafir” walaupun

berkonotasi makna umum seluruh orang kafir, tetapi terkadang mengandung

makna bagian dari orang ”kafir”. Seperti firman Allah, “Sesungguhnya Allah

17
Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, h. 852.
18
Ulin Khoiriyah, “Analisis Maslahah Terhadap Fatwa Yusuf Al-Qaradhawi Tentang
Waris Beda Agama”, h. 53.
9

akan mengumpulkan semua orang munafik dan orang kafir di dalam

Jahannam.” (QS. An-Nisa’: 140)19

Dalam ayat ini, orang-orang munafik tidak dimasukkan dalam kata

orang-orang kafir, tetapi dibedakan. Maksudnya, orang-orang munafik

berbeda dengan orang-orang kafir. Demikian pula dengan orang murtad, para

fuqaha tidak pernah memasukkannya dalam makna lafaz “kafir”. Menurut

Qaradawi, ia telah mendengar tak sedikit orang kafir yang menyatakan bahwa
jika keislaman tidak menghalanginya mendapatkan warisan dari orang kafir,

keengganan masuk Islam jadi berkurang dan dorongan keinginan masuk Islam

semakin kuat. Maka, dengan ketentuan ini terlihatlah kemaslahatan yang besar

bagi Islam dan umat lain yang tertarik masuk Islam. Bahkan kemaslahatannya

lebih besar dibanding dengan diperbolehkannya umat Islam menikahi wanita-

wanita kafir. Ketentuan ini pun tidak menyelisihi dasar-dasar Islam. Karena

sebenarnya kita (umat Islam) membantu ahludz dzimah dari rongrongan

orang-orang kafir harbi dan kita melepaskan para tawanan mereka.20

Sedangkan, orang-orang murtad, sebagaimana diketahui dari para

sahabat seperti Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas’ud, bahwa harta warisannya

adalah untuk ahli waris dari orang-orang muslim juga. Dan tentu, orang
murtad tidak termasuk dalam sabda Nabi ‫ﷺ‬, ‘Orang muslim

tidak mewarisi dari orang kafir.’

Adapun orang-orang murtad, warisannya dapat mewarisi orang-orang

muslim. Jika ketika ia murtad ada keluarganya muslim yang meninggal, ia

tidak mendapatkan warisan. Karena ketika itu ia berarti tidak membantu si

19
Kementrian Agama RI, Ar-Rahim Al-Qur’an dan Terjemahan, (Bandung: CV. Mikraj
Khazanah Ilmu, 2013), h. 100.
20
Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, h. 854.
10

muslim. Sedangkan, kalau ia masuk Islam lagi sebelum pembagian warisan,

hal ini akan mengakibatkan pertentangan di kalangan orang-orang muslim

sendiri. Maka, mazhab Imam Ahmad menyatakan ia benar-benar masih kafir

dan tidak berhak mendapatkan warisan. Oleh karena itu, jika orang murtad

masuk Islam kembali sebelum pembagian warisan, ia mendapat warisan,

sebagaimana dikatakan para sahabat dan tabi’in. Ini dapat menarik mereka

masuk islam kembali.21


Maksudnya, mengenai warisan orang murtad ada dua pendapat, yakni

ketika orang tersebut murtad sebelum pewaris muslim meninggal dunia, maka

ia tidak berhak mendapatkan warisan. Akan tetapi jika orang yang murtad

tersebut masuk Islam kembali sebelum pembagian warisan, menurut Mazhab

Imam Ahmad ia berhak mendapatkan warisan. Kecuali jika orang tersebut

masih kafir atau dalam artian ia masuk Islam hanya karna ingin mendapatkan

warisan saja.22

Berdasarkan uraian di atas, maka inti pendapat Yusuf Qaradhawi

sebagai berikut: orang Islam dapat mewarisi dari orang non-Islam sedangkan

orang non-Islam itu sendiri tidak boleh mewarisi dari orang Islam.

Menurutnya Islam tidak menghalangi dan tidak menolak jalan kebaikan yang
bermanfaat bagi kepentingan umatnya. Terlebih lagi dengan harta peninggalan

atau warisan yang dapat membantu mantauhidkan Allah ‫ﷻ‬, taat kepada-

Nya dan menolong menegakkan agama-Nya. Bahkan sebenarnya harta

ditujukan sebagai sarana untuk taat kepada-Nya, bukan untuk bermaksiat

kepada-Nya.
21
Ulin Khoiriyah, “Analisis Maslahah Terhadap Fatwa Yusuf Al-Qaradhawi Tentang
Waris Beda Agama”, h. 56.
22
Ulin Khoiriyah, “Analisis Maslahah Terhadap Fatwa Yusuf Al-Qaradhawi Tentang
Waris Beda Agama”, h. 61.
11

2. Sayid Sābiq

Sayyid Sabiq pada dasarnya berpendapat, seorang muslim tidak

mewarisi dari orang yang kafir, dan seorang yang kafir tidak mewarisi dari

seorang yang muslim.23 Dengan demikian hak waris hanya jatuh kepada

anak atau keluarga yang agamanya sama dengan pewaris, seperti jika ayahnya

muslim dan anaknya juga muslim, maka hak waris jatuh kepada anaknya.

Namun jika anaknya mengikuti ibunya yang non muslim, maka hak warisnya
hanya kepada ibunya.

Salah satu bentuk toleransi dalam Islam adalah membolehkan laki-laki

menikahi Ahlul Kitab, meskipun mereka tetap dianggap kufur atau bahkan

sesat, karenanya kemudian dalam hal ini suami yang muslim bisa menguasai

keluarganya secara utuh, sebab suami merupakan kepala keluarga yang di sisi

lain harus menafkahi istri dan anaknya. Maka, ketika anak dididik oleh ibu

dari golongan Ahlul Kitab, niscaya suami haruslah mampu memonitori dengan

nilai- nilai dan ajaran Islam.24

Menurut Sayyid Sabiq, ahli waris adalah orang yang berhak

menguasai dan menerima harta waris karena mempunyai sebab-sebab untuk

mewarisi yang dihubungkan dengan pewaris.25 Lebih lanjut lagi kita juga
harus mengetahui apa saja yang menjadi penghalang dalam kewarisan, adapun

yang dimaksud dengan penghalang kewarisan adalah orang yang memenuhi

sebab-sebab untuk memperoleh warisan, akan tetapi dia kehilangan hak untuk

23
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III (Kairo: Maktabah Daar al-Turas, 1970), h. 336.
24
Abdul Wahid Hasyim, “Perkawinan Beda Agama Serta Kewarisan Anak Pandangan
Sayyid Sabiq”, (Skripsi S1, Program Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2018), h.
46.
25
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, h. 426.
12

memperoleh warisan. Orang yang demikian dinamakan mahrum. Adapun

penghalang-penghalang kewarisan sebagai berikut:26

a. Perbudakan, baik orang itu menjadi budak secara sempurna atau

bahkan tidak.

b. Pembunuhan dengan sengaja yang diharamkan. Adapun pembunuhan

yang tidak disengaja, maka para ulama berbeda pendapat di dalamnya.

Menurut Imam Syafi’i, setiap pembunuhan menghalangi kewarisan,


sekalipun pembunuhan tersebut dilakukan oleh anak kecil atau bahkan

orang gila, dan sekalipun dengan cara had atau qisas.

c. Berbeda agama, dengan demikian seorang muslim tidak mewarisi

orang kafir, begitupun sebaliknya. Yang demikian itu seperti halnya

seorang muslim laki-laki yang menikahi seorang perempuan non

muslim, dan seorang laki-laki tidak boleh menikah dengan seorang

perempuan muslim. Adapun orang-orang yang non-muslim, maka

sebagian mereka mewarisi sebagian yang lain, karena mereka dianggap

satu agama.

Dalam hal ini, waris lebih didasarkan kepada identitas agama,

sehingga dapat disimpulkanbahwa kewarisan hanya boleh dilangsungkan


atas dasar keyakinan yang sama. Seorang anak yang lahir dari perkawinan

beda agama, maka syaratnya ia harus mengikuti keyakinan Islam orang

tuanya, jika tidak maka anak tersebut tidak mendapatkan hak waris.27

Hal inilah yang menjadi kekhawatiran Sayyid Sabiq atas

perkawinan beda agama, karena akan menimbulkan permasalahan-


26
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, h. 427.
27
Abdul Wahid Hasyim, “Perkawinan Beda Agama Serta Kewarisan Anak Pandangan
Sayyid Sabiq”, h. 49.
13

permasalahan yang kompleks dalam kehidupan rumah tangga, di samping

itu anak dari hasil pernikahan tersebut akan mendapatkan akibatnya. Sebab

seorang anak tidak pernah meminta untuk lahir ke muka bumi dari orang

tua yang seperti apa, melainkan mereka dilahirkan ke muka bumi untuk

menjadi manusia dan menjalankan sunnatullah sebagaimana mestinya.28

Untuk mengetengahkan pandangan dan alasan-alasan di atas,

perkawinan beda agama semestinya dilakukang secara hati-hati dan harus


sesaui dengan aturan yang berlaku. Sehingga permasalahan dikemudian

hari bisa dapat diselesaikan dengan cara yang bijaksana dan sesuai dengan

ketentuan ketentuan Allah ‫ ﷻ‬dan Rasul-Nya.29

Seorang anak yang lahir dari perkawinan beda agama harus

dijamin hak-haknya, termasuk hak waris dari orang tuanya, maka

perkawinan beda agama semestinya tidak menjadi faktor yang utuh untuk

menghalangi seorang anak untuk mendapatkan waris. Yang terpenting

adalah, ayah dari anak tersebut seorang muslim dan anak itu mengikuti

keimanan ayahnya. Sehingga di samping anak itu mendapatkan hak

warisnya, anak itu juga mendapatkan nisbat kepada ayahnya.30

28
Abdul Wahid Hasyim, “Perkawinan Beda Agama Serta Kewarisan Anak Pandangan
Sayyid Sabiq”, h. 49.
29
Abdul Wahid Hasyim, “Perkawinan Beda Agama Serta Kewarisan Anak Pandangan
Sayyid Sabiq”, h. 49.
30
Abdul Wahid Hasyim, “Perkawinan Beda Agama Serta Kewarisan Anak Pandangan
Sayyid Sabiq”, h. 49-50.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Maksud dari Kewarisan perbedaan agama adalah antara yang beragama

Islam dan yang bukan beragama Islam (non-muslim). Kewarisan beda agama ini

terbagi tiga (3) kategori: Non-muslim mewarisi Muslim, Pendapat ini, tidak

diragukan bahwa ijma’ ulama sepakat tentang larangan orang kafir yang mewarisi
Muslim. Muslim mewarisi Non-muslim, Dalam kategori ini, tejadi perbedaan

pendapat antara ulama. Murtad mewarisi Muslim, Ulama memandang bahwa

murtad telah memutuskan tali (shilah) syari'ah dan melakukan kejahatan agama

Yusuf Qaradhawi berpendapat orang Islam dapat mewarisi dari orang non-

Islam sedangkan orang non-Islam itu sendiri tidak boleh mewarisi dari orang

Islam. Menurutnya Islam tidak menghalangi dan tidak menolak jalan kebaikan

yang bermanfaat bagi kepentingan umatnya. Terlebih lagi dengan harta

peninggalan atau warisan yang dapat membantu mantauhidkan Allah ‫ﷻ‬, taat

kepada-Nya dan menolong menegakkan agama-Nya. Bahkan sebenarnya harta

ditujukan sebagai sarana untuk taat kepada-Nya, bukan untuk bermaksiat kepada-

Nya. Adapun Sayyid Sabiq pada dasarnya berpendapat, seorang muslim tidak
mewarisi dari orang yang kafir, dan seorang yang kafir tidak mewarisi dari

seorang yang muslim.

B. Saran

Demikian makalah yang telah saya susun apabilah terdapat kesalahan

penggunaan kata dan kesalahan pengetikan mohon dimaafkan atas perhatiannya

terima kasih, lebih dan kurangnya saya mohon maaf sebanyak banyaknya,

Wassalam.

14
DAFTAR PUSTAKA
Ayu, Riana Kesuma. “Penghalang Mewarisi”, dalam http://rianan-kesuma-
ayu.com/ penghalang-mewarisi, 27 Agustus 2018.
Effendi, Satria. Ushul Fiqh. Cet; 2 Jakarta: Kencana, 2008.
Hasyim, Abdul Wahid. “Perkawinan Beda Agama Serta Kewarisan Anak
Pandangan Sayyid Sabiq”. Skripsi S1, Program Hukum Keluarga UIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2018.
Khoiriyah, Ulin. “Analisis Maslahah Terhadap Fatwa Yusuf Al-Qaradhawi
Tentang Waris Beda Agama”. Skripsi S1, Program Ahwal Syakhsiyah
IAIN Ponorogo, Jatim, 2018.
Kementrian Agama RI. Ar-Rahim Al-Qur’an dan Terjemahan. Bandung: CV.
Mikraj Khazanah Ilmu, 2013.
Musadat, Ahmad. “Waris Beda Agama dalam Pespektif Hukum Islam: Studi
Komparasi Pemekiran Wahbah az-Zuhaili dan Yusuf al-Qaradawi”.
Skripsi S1, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2016.
Maruzi, Muslich. Pokok-pokok Ilmu Waris. Semarang: Pustaka Amani, 1981.
Qaradhawi, Yusuf. Fatwa-Fatwa Kontemporer. Jilid 3; terjemah Hadyu al-Islam
Fatawi Mu’asirah. Jakarta: GEMA INSANI, 2002.
Susilo, Fabian Hutamaswara. “Pembagian Warisan Pada Keluarga Beda Agama di
Jakarta”. Skripsi S1, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2018.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Juz III; Kairo: Maktabah Daar al-Turas, 1970.
Tohari, Chamim. “Rekonstruksi Hukum Kewarisan Beda Agama Ditinjau dari Al-
Uṣūl Al-Khamsah”. Mazahib, Vol XVI, No. 1, Juni 2017.

15

Anda mungkin juga menyukai