Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PRAKTEK YUSTISI

PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

DAN PENGADILAN NIAGA

“Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Jurusan
Syariah dan Hukum Islam, Prodi Hukum Keluarga Islam ”

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 3

AKBAR

SASBILLAH SAINAL

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BONE

TAHUN PELAJARAN 2020/2021


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah

Subhana Wataala yang telah melimpahkan rahmat serta hidayahnya sehingga

kami mampu menyelesaikan penulisan makalah “Pengadilan Tata Usaha Negara

dan Pengadilan Niaga” ini dan tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada teman-

teman yang ikut berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.

Sarana penunjang makalah ini kami susun berdasarkan referensi yang

bermacam-macam. Hal ini dengan tujuan untuk membantu para mahasiswa untuk

mengetahui, memahami, bahkan menerapkannya.

Namun demikian, dalam penulisan makalah ini masih terdapat kelemahan

dan kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik dari berbagai pihak sangat di

harapkan.

Akhirul kalam, semoga yang tersaji ini dapat memberikan bantuan kepada

para mahasiswa dalam menyelenggarakan proses belajar mengajar di kampus.

Aamiin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Bone, 30 Maret 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................i

DAFTAR ISI................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...........................................................1

a) Latar Belakang...................................................................1

b) Rumusan Masalah..............................................................2

c) Tujuan Penulisan................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.............................................................3

a) Sistem Pengadilan Tata Usaha Negara.........................3

1) Pengertian dan Dasar Hukum PTUN...........................3

2) Kedudukan dan Wewenang PTUN..............................4

3) Objek dan Subjek Sengketa PTUN..............................8

4) Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan..........................10

b) Sistem Pengadilan Niaga.................................................11

1) Pengertian dan Dasar Hukum Pengadilan Niaga.........11

2) Kedudukan dan Wewenang Pengadilan Niaga............12

3) Proses Peradilan Pengadilan Niaga..............................16

BAB III PENUTUP.....................................................................19

a) Kesimpulan........................................................................19

b) Saran..................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA...................................................................20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara merupakan implementasi dan ketentuan pasal 10 Undang-Undang Nomor

14 Tahun 1970 yang kemudian telah digantikan Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mendudukkan adanya peradilan

administrasi sebagai salah satu dan kekuasaan kehakiman, dengan nama Peradilan

Tata Usaha Negara, yang menu pakan peradilan khusus, yang dimaksudkan untuk

menyelesaikan sengketa-sengketa yang timbul sebagai akibat dan adanya tindakan

tindakan pemenintah yang dianggap melanggar hak-hak warga negaranya.1

Jadi keputusan yang dapat disengketakan menurut ketentuan Undang-

Undang Peradilan Tata Usaha Negara merupakan keputusan hasil dan tindakan

hukum yang dapat dilakukan oleh pejabat atau badan Tata Usaha Negara,

sedangkan berbagai tindakan-tindakan material dan tindakan hukum lainnya,

apabila disengketakan akan termasuk dalam kewenangan badan Peradilan yang

lain.2 Oleh karena itu perlu dibahas lebih lanjut mengenai bagaimana sistem kerja

Peradilan Tata Usaha Negara dalam proses Praktik Yustisi di Indonesia, agar tidak

terjadi kekeliruan dalam penerapannya.

Adapun mengenai Pengadilan Niaga berbeda dengan Pengadilan Umum,

dimana sebuah putusan hakim tidak bisa dimintakan banding. Namun pada

umumnya antara pengadilan niaga dan pengadilan umum sama. Pengadilan niaga

adalah pengadilan khusu, dimana hanya kasus tertentu yang diselesaikan di

1
Eko Sugitario dan Tjondro Tirtamulia, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,
(Surabaya: Brilian Internasional, 2012), h. 1.
2
Eko Sugitario dan Tjondro Tirtamulia, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, h.
4.

1
2

pengadilan niaga, seperti mengenai kepailitan sebuah perusahaan.3 Oleh karena itu

perlu dibahas lebih lanjut mengenai bagaimana sistem kerja Pengadilan Niaga

dalam proses Praktik Yustisi di Indonesia, guna menjamin lancarnya proses

peradilan yang dikaji dalam Peradilan Niaga seperti kepailitan dan PKPU,

Lembaga Kekayaan Intelektual, Lembaga Penjamin Simpanan, dan sebagainya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimaan Sistem Pengadilan Tata Usaha Negara?
2. Bagaimana Sistem Pengadilan Niaga?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Sistem Pengadilan Tata Usaha Negara
2. Untuk mengetahui Sistem Pengadilan Niaga

3
Ni Putu Agustini Ari Dewi, ”Peran Pengadilan Niaga Sebagai Lembaga Penyelesaian
Perkara Kepailitan”, Hukum Keperdataan, Fakultas Hukum, Universitas Udayana, h. 1.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sistem Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)

Untuk dapat memahami bagaimana sistem PTUN bekerja dalam menegak

kan kasus sengketa, akan dibagi dalam pokok permasalahan berikut:

1. Pengertian Pengadilan Tata Usaha Negara

Pengadilan adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan


kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan.4 Adapun mengenai apa yang

dimaksud dengan Tata Usaha Negara. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 menentukan, bahwa: 5

“Tata Usaha Negara adalah adminisitrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk

menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun daerah.”

Sedangkan yang dimaksud dengan urusan pemerintahan dalam Pasal 1

angka 1 tersebut, dijelaskan pada Pasal 1 angka 1 disebutkan sebagai kegiatan

yang bersifat eksekutif. Jika berbicara tentang kegiatan yang bersifat eksekutif,

maka sangat berhubungan dengan teori Trias Politika dari Montesquieu. Dalam

Teori Trias Politika, kekuasaan negara dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, salah

satunya yaitu eksekutif yang memiliki kekuasaan untuk melaksanakan peraturan


Perundang-undangan yang dibuat oleh kekuasaan legislatif.6

Aparatur pemerintah yang biasa disebut Pejabat yang berperan didalam

tata usaha negara tersebut. Pengertian badan atau pejabat tata usaha Negara

berdasarkan pasal 1 angka 2 undang-undang nomor 5 tahun 1986 tentang

4
Nur Asyiah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Yogyakarta: Deepublish,
2015), h. 12.
5
Nur Asyiah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, h. 1.
6
Nur Asyiah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, h. 3.

3
4

peradilan tata usaha negara yaitu:7 “badan atau pejabat yang melaksanakan urusan

pemerintahan berdasarkan peratuan perundang-undangan yang berlaku”

Pengertian badan atau pejabat usaha TUN disini secara sepintas adalah

orang yang menduduki jabatan TUN tersebut. Padahal yang dimaksudkan dengan

badan atau pejabat bukanlah orangnya melainkan jabatannya. Seorang gubernur

atau walikota yang sudah pensiun tidak dapat digugat secara pribadi di PTUN

karena Keputusan yang dikeluarkarmya pada waktu mereka masih aktif. Apabila
terjadi hal yang demikian maka yang digugat itu adalah gubernur atau walikota

yang baru, karena yang digugat adalah jabatannya bukan orangnya.

Pengertian badan atau pejabat TUN tersebut tidak hanya oleh pejabat

pcmerintah. Tetapi berdasarkan Pasal 1 butir 2 Undang-undang no 9 tahun 2004

bahwa ada unsur melaksanakan urusan pemerintahan artinya bahwa apa dan siapa

saja berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku melaksanakan

urusan pemerintah dapat dianggap sebagai badan atau pejabat TUN.

Dari pernyataan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa PTUN adalah salah

satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap

sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang atau badan hukum perdata

dengan Badan atau Pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah.


2. Kedudukan dan Wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara

Dasar hukum pelaksanaan PTUN terdiri dari tiga instrumen, yaitu: UU no.

5 thn 1986, diubah menjadi UU no. 9 thn 2004 dan disempurnakan kembali

dalam UU no 51 thn 2009. PTUN terdiri atas:8 Pengadilan Tata Usaha Negara

Nur Asyiah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, h. 3-4.


7

Jeri Apriyanti, “Peraturan Perundang Undangan Tata Usaha Negara Yang Bersifat
8

Umum”, Universitas Eka Sakti Padang, h. 1.


5

(PTUN), Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN), dan Pengadilan

Khusus, yaitu Pengadilan Pajak yang berkedudukan di ibu kota.

Peradilan Tata Usaha Negara adalah lingkungan peradilan di bawah

Mahkamah Agung yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan perkara-perkara TUN di tingkat pertama.

Kompetensi badan pengadilan PTUN dapat dibedakan atas kompetensi

relatif dan kompetensi absolut: 9


a. Kompetensi Relatif PTUN

Kompetensi relatif PTUN terdapat dalam Pasal 6 UU no. 5 thn.

1986 jo UU no. 9 thn 2004 menyatakan: PTUN daerah hukumnya meliputi

ibukota Kabupaten/Kota, PT.TUN daerah hukumnya meliputi ibukota

Provinsi

Untuk sekarang PTUN masih terbatas 26 dan PT.TUN ada 4 yaitu:

PT.TUN Medan, Jakarta, Surabaya dan Makasar di seluruh wilayah

Indonesia.

Adapun kompetensi yang berkaitan dengan tempat kedudukan atau

tempat kediaman para pihak, yakni pihak Penggugat dan Tergugat. Dalam

Pasal 54 UU no. 5 thn. 1986 jo. UU no. 9 thn. 2004 diatur sebagai berikut :
Gugatan sengketa tata usaha negara diajukan kepada Pengadilan yang

berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.

Dengan demikian gugatan pada prinsipnya diajukan ke pengadilan

di tempat tergugat dan hanya bersifat eksepsional di tempat penggugat

diatur menurut Peraturan Pemerintah. Hanya saja sampai sekarang

Peraturan Pemerintah tersebut belum ada.


9
Yodi Martono Wahyunadi, “Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Sistem
Peradilan Di Indonesia” dalam https://ptun-jakarta.go.id/wp-, 30 Maret 2021, h. 2-5.
6

b. Kompetensi Absolut

Kompetensi Absolut PTUN terdapat pembatasan yang terbagi

dalam:

1) Pembatasan Langsung

Pembatasan langsung adalah pembatasan yang tidak

memungkinkan sama sekali bagi PTUN untuk memeriksa dan memutus

sengketa tersebut, bahwa tidak termasuk Keputusan TUN sebagaimana


disebutkan dalam Pasal 2 dan 49. Berdasarkan Penjelasan Umum, Pasal 2

UU no 9 thn. 2004:

(a) Keputusan TUN yang merupakan perbuatan hukum perdata.

(b) Keputusan TUN yang merupakan pengaturan bersifat umum.

(c) Keputusan TUN yang masih memerlukan persetujuan.

(d) Keputusan TUN yang berdasarkan KUHPid atau KUHAP,

Peraturan perundang-undangan lain yang bersifat pidana.

(e) Keputusan TUN yang berdasarkan hasil pemeriksaan badan

peradilan

(f) Keputusan TUN mengenai tata usaha TNI

(g) Keputusan KPU baik pusat/daerah, mengenai hasil Pemilu.


Adapun berdasarkan Pasal 49 UU no. 5 thn. 1986: Pengadilan

tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata

usaha negara jika putusannya itu dikeluarkan:

(a) Dalam waktu perang, bencana alam atau keadaan bahaya

berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(b) Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


7

2) Pembatasan Tidak Langsung

Pembatasan tidak langsung adalah pembatasan yang masih

membuka kemungkinan bagi PT.TUN untuk memutus sengketa

administrasi, dengan ketentuan bahwa seluruh upaya administratif

yang tersedia untuk itu telah ditempuh. Pembatasan tidak langsung ini

terdapat di dalam Pasal 48 UU no. 9 thn. 2004:

(a) Dalam suatu Badan atau Pejabat TUN diberi wewenang


berdasar-kan peraturan perundang-undangan untuk

menyelesaikan secara administratif sengketa TUN tersebut.

(b) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan sengketa TUN sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) jika seluruh upaya adminisratif telah digunakan.

3) Pembatasan langsung bersifat sementara

Pembatasan ini bersifat langsung yang tidak ada kemungkinan

PTUN untuk mengadilinya, namun sifatnya sementara. Terdapat dalam

Bab VI Pasal 142 (1) UU no. 5 thn 1986: “Sengketa tata usaha negara

yang pada saat terbentuknya Pengadilan menurut UU ini belum

diputus oleh Pengadilan menurut UU ini belum diputus oleh


Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum tetap diperiksa dan diputus

oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum”.


8

3. Objek dan Subjek Sengketa Pengadilan Tata Usaha Negara

Objek Sengketa adalah keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau

pejabat tata usaha negara adapun Subjek Sengketa adalah pihak yang dapat

menjadi tergugat dalam PTUN:10

a. Objek Sengketa

Obyek sengketa di PTUN adalah Keputusan tata usaha negara

sebagaimana dimaksud Pasal 1 (3) dan Keputusan fiktif negatif berdasar-


kan Pasal 3 UU no. 5 thn. 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004.

1) Keputusan Tata Usaha Negara :

Keputusan tata usaha negara ialah Suatu penetapan tertulis yang

dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat tata usaha negara yang: Merupakan

penetapan tertulis, Berupa tindakan hukum tata usaha negara, Bersifat

konkret, individual dan final, Ada akibat hukum bagi Seseorang atau

Badan Hukum Perdata

2) Keputusan tata usaha negara fiktif negatif

Obyek sengketa PTUN termasuk keputusan tata usaha Negara yang

fiktif negatif sebagai mana dimaksud Pasal 3 UU no. 9 thn. 2004:

a) Jika Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan itu


menjadi kewajibannya maka disamakan dengan Keputusan TUN.

b) Jika Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan yang

dimohon dan jangka waktu telah lewat, maka badan atau penjabat

TUN dianggap menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.

10
Yodi Martono Wahyunadi, “Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Sistem
Peradilan Di Indonesia”, h. 5-9.
9

c) Dalam hal peraturan UU tidak menentukan jangka waktu maka

setelah lewat waktu 4 bulan maka badan atau TUN yang

bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan.

b. Subjek Sengketa

Subjek Sengketa terdiri dari Penggugat, Tergugat dan Pihak Ketiga

yang berkepentingan:

1) Penggugat
Penggugat adalah seseorang atau badan hukum perdata yang

merasa kepentingan dirugikan atas keputusan tata usaha negara, maka

dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang

yang berisi tuntutan agar Keputusan TUN yang disengketakan dinyatakan

batal atau tidak sah dengan atau disertai ganti rugi dan rehabilitasi. (Pasal

53 (1) UU No. 9 Tahun 2004).

2) Tergugat

Tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang

mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau

yang dilimpahkan kepadanya

3) Pihak Ketiga yang berkepentingan


Diatur dalam Pasal 83 UU no. 9 thn. 2004, Pasal ini mengatur

kemungkinan bagi seseorang atau badan hukum perdata ikut serta dalam

pemeriksaan perkara yang sedang berjalan.


10

4. Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan

Dalam Pasal 55 UU no. 9 thn. 2004 disebutkan bahwa gugatan dapat

diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 hari terhitung sejak saat diterimanya

atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat tata usaha negara yang

digugat. Dalam hal yang hendak digugat ini merupakan keputusan menurut

ketentuan:11

a. Pasal 3 ayat (2), maka tenggang waktu 90 hari dihitung setelah lewat
tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan dasarnya, yang

dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan.

b. Pasal 3 ayat (3), maka tenggang waktu itu dihitung setelah 4 bulan

yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang

bersangkutan.

Dalam SEMA Nomor : 2 Tahun 1991 dinyatakan bahwa bagi mereka yang

tidak dituju oleh suatu Keputusan tata usaha negara, yang merasa kepentingannya

dirugikan maka tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dihitung

secara kasuistis sejak saat ia merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan

tata usaha negara yang bersangkutan.

Sebagai contoh putusan MA No. 5/K/TUN/1992, dipertimbangkan bahwa


Penggugat-Penggugat bukan orang yang dituju dalam obyek gugatan, Penggugat-

Penggugat baru mengetahui adanya keputusaan tata usaha negara yang

merugikannya sewaktu mereka mengurus Surat Sertipikat Tanah yang

bersangkutan.

11
Yodi Martono Wahyunadi, “Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Sistem
Peradilan Di Indonesia”, h. 10.
11

B. Sistem Pengadilan Niaga

Untuk memahami bagaimana sistem Pengadilan Niaga bekerja dalam

menegak kan kasus sengketa, akan dibagi dalam pokok permasalahan berikut:

1. Pengertian dan Dasar Hukum Pengadilan Niaga

Sejak ditetapkan dan berlakunya Undang-Undang no. 4 thn. 1998 maka

penyelesaian perkara Kepailitan diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Niaga

yang berada di lingkungan Peradilan Umum.12


Dalam Undang-Undang Republik Indonesia no. 4 thn. 1998 tentang

Kepailitan, menambah satu bab baru yaitu Bab Ketiga mengenai Pengadilan

Niaga. Pembentukan peradilan khusus ini diharapkan dapat menyelesaikan

masalah kepailitan secara cepat dan efektif.13

Undang-Undang Republik Indonesia no. 37 thn. 2004 tentang Kepailitan

Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang merupakan pembaharuan dari UU

no. 4 thn. 1998 tidak mengatur Pengadilan Niaga pada bab tersendiri, akan tetapi

masuk pada Bab V tentang Ketentuan Lain-lain mulai dari Pasal 299 sampai

dengan Pasal 303. Demikian juga dalam penyebutannya pada setiap pasal cukup

dengan menyebutkan kata “Pengadilan” tanpa ada kata “Niaga” karena merujuk

pada Bab I tentang Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 7 bahwa Pengadilan adalah
Pengadilan Niaga dalam Lingkungan peradilan umum.14

Pengadilan Niaga berbeda dengan Pengadilan Umum, dimana sebuah

putusan hakim tidak bisa dimintakan banding, bersifat khusus dan eksklusif.

12
Ni Putu Agustini Ari Dewi, ”Peran Pengadilan Niaga Sebagai Lembaga Penyelesaian
Perkara Kepailitan”, h. 1.
13
Ni Putu Agustini Ari Dewi, ”Peran Pengadilan Niaga Sebagai Lembaga Penyelesaian
Perkara Kepailitan”, h. 2.
14
Ni Putu Agustini Ari Dewi, ”Peran Pengadilan Niaga Sebagai Lembaga Penyelesaian
Perkara Kepailitan”, h. 3.
12

Pengadilan niaga adalah pengadilan khusus. Dimana hanya sengketa hutang

piutang serta perniagaan lainnya yang diselesaikan di pengadilan niaga.

Disisi lain juga dikenal adanya penyelesaian sengketa di luar lembaga

peradilan formal, yakni yang dikenal dengan Penyelesaian Sengketa Alternatif

maupun Arbitrase. Ini merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa di luar

pengadilan yang didasarkan pada kesepakatan para pihak yang bersengketa.

Sebagai konsekuensinya maka alternatif penyelesaian sengketa bersifat sukarela


dan karenanya tidak dapat dipaksakan oleh salah satu pihak kepada pihak lainnya

yang bersengketa. Walau demikian sebagai bentuk perjanjian kesepakatan yang

telah dicapai oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui forum diluar

pengadilan harus ditaati oleh para pihak.15

2. Kedudukan dan Wewenang Pengadilan Niaga

Lembaga Kepailitan merupakan lembaga hukum yang mempunyai fungsi

penting, sebagai realisasi dari dua pasal penting dalam KUH Perdata yakni Pasal

1131 dan 1132 mengenai tanggung jawab debitur terhadap hutang-hutangnya.16

Pasal 1131: segala kebendaan berhutang baik yang bergerak maupun yang

tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari,

menjadi tanggungan untuk segala perikatanya perseorangan.


Pasal 1132 menentukan Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-

sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya. Pendapatan penjualan

benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya

15
Ni Putu Agustini Ari Dewi, ”Peran Pengadilan Niaga Sebagai Lembaga Penyelesaian
Perkara Kepailitan”, h. 1.
16
Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, (Malang: Departemen Pendidikan Nasional, 2002),
h. 10.
13

piutang masing-masing kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-

alasan yang sah untuk didahulukan.

Kedua pasal tersebut di atas memberikan jaminan kepastian kepada

kreditur bahwa kewajiban debitur akan tetap dipenuhi/lunas dengan jaminan dari

kekayaan debitur baik yang sudah ada maupun yang masih akan ada dikemudian

hari. Pasal 1131 KUH Perdata dan 1132 KUH Perdata itu merupakan perwujudan

adanya asas jaminan kepastian pembayaran atas transaksi-transaksi yang telah


diadakan.17

Dengan demikian dalam UU No. 4 Tahun 1998 diatur terbentuknya

Pengadilan Niaga yang merupakan Pengadilan Khusus di lingkungan Peradilan

Umum. Ketentuan Pasal 300 UUK-PKPU secara tegas menentukan :

(1) Pengadilan berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di

bidang perniagaan yang penetapannya dengan Undang-Undang.

(2) Pembentukan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 1

dilakukan secara bertahap dengan Keputusan Presiden, dengan

memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumber daya yang diperlukan.

Kompetensi badan pengadilan Niaga dapat dibedakan atas kompetensi

relatif dan kompetensi absolut :


a. Kompetensi Relatif

Kompetensi relatif merupakan kewenangan atau kekuasaan mengadili antar

Pengadilan Niaga. Pengadilan Niaga sampai saat ini baru ada lima. Pengadilan Niaga

tersebut berkedudukan sama di Pengadilan Negeri. Pengadilan Niaga hanya

17
Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, (Malang: Departemen Pendidikan Nasional, 2002),
h. 11.
14

berwenang memeriksa dan memutus perkara pada daerah hukumnya masing-masing.

Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia no. 37 thn. 2004 menyatakan bahwa: 18

Putusan atas permohonan pernyataan pailit diputus oleh Pengadilan Niaga

yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum Debitur, apabila

debitur telah meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia, maka Pengadilan

yang berwenang menjatuhkan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah

Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir

Debitur. Dalam hal debitur adalah persero suatu firma, Pengadilan yang daerah

hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang

memutuskan.

b. Kompetensi Absolut

Kompetensi absolut merupakan kewenangan memeriksa dan mengadili antar

badan peradilan. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia no. 4 thn. 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman mengatur tentang badan peradilan beserta kewenangan yang

dimiliki. Pengadilan Niaga merupakan pengadilan khusus yang berada di bawah

Pengadilan umum yang diberi kewenangan untuk memeriksa dan memutus

permohonan pernyataan pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Selain itu, menurut Pasal 300 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia no

37 thn. 2004, Pengadilan Niaga juga berwenang pula memeriksa dan memutus

perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-

undang. misalnya, tentang gugatan pembatalan paten dan gugatan penghapusan

pendaftaran merek. Dengan kompetensi absolut ini maka hanya Pengadilan Niaga

sebagai satu-satunya badan peradilan yang berhak memeriksa dan memutus perkara-

perkara tersebut.

18
Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, h. 15.
15

Berlakunya UU Kepailitan 1998 telah memindahkan kewenangan mutlak

(absolut) dari Pengadilan Umum untuk memeriksa permohonan pailit, dengan

menetapkan Pengadilan Niaga sebagai Pengadilan yang memiliki kewenangan

untuk menerima permohonan Kepailitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran

Utang (PKPU). Konsekuensinya, bahwa suatu Pengadilan tidak dapat memeriksa

gugatan/permohonan yang diajukan kepadanya apabila ternyata secara formil

gugatan tersebut masuk dalam ruang lingkup kewenangan mutlak Pengadilan


lain.19

Undang-Undang di bidang HAKI20 juga telah secara tegas menetukan

bahwa perkara-perkara di bidang HAKI harus diproses dan diputus di Pengadilan

Niaga. Dari berbagai penyataan diatas, dapat disimpulkan hingga saat ini

Pengadilan Niaga berwenang menangani perkara-perkara sebagai berikut:21

1) Kepailitan dan PKPU, serta hal-hal yang berkaitan dengannya, termasuk

kasus-kasus actio pauliana dan prosedur renvoi tanpa memperhatikan

apakah pembuktiannya sederhana atau tidak.

2) Hak kekayaan intelektual yang meliputi Desain Industri, Desain Tata

Letak Sirkuit Terpadu, Paten,Merek, Hak Cipta

3) Lembaga Penjamin Simpanan yang meliputi Sengketa dalam proses


likuidasi dan tuntutan pembatalan segala perbuatan hukum bank yang

mengakibatkan berkurangnya aset atau bertambahnya kewajiban bank,

yang dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum pencabutan

izin usaha.

Sunarmi, Hukum Kepailitan (edisi 2), (Jakarta: Sofmedia, 2010), h. 229.


19

Seperti yang terdapat dalam Pasal 76 ayat (2) UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek.
20

21
Wikipedia, “Pengadilan Niaga” dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan_Niaga,
30 Maret 2021
16

3. Proses Peradilan Pengadilan Niaga

Pelaksanaa Sistem peradilan dalam Pengadilan Niaga dapat dilakukan

melalui Hukum Acara Kepailitan (HAK):22

a. Pengadilan Yang Berwenang

Dalam UUK-PKPU, Pengadilan yang berwenang untuk mengadili

perkara permohonan Kepailitan adalah :

1) Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan
dan/atau diatur dalam Undang-Undang ini, diputuskan oleh Pengadilan

yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum Debitor.

2) Dalam hal Debitor telah meninggalkan wilayah Negara Republik

Indonesia, Pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan atas

permohonan pernyataan pailit adalah Pengadilan yang daerah hukumnya

meliputi tempat kedudukan hukum terakhir Debitor.

3) Dalam hal Debitor adalah pesero suatu firma, Pengadilan yang daerah

hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga

berwenang memutuskan.

4) Dalam hal debitur tidak berkedudukan di wilayah negara Republik

Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah NKRI,


Pengadilan yang berwenang memutuskan adalah Pengadilan yang daerah

hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat Debitor

menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia.

5) Dalam hal Debitor merupakan badan hukum, tempat kedudukan

hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya.

“Kewenangan Pengadilan Niaga Memeriksa Perkara Kepailitan Berdasarkan Ketentuan


22

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban


Pembayaran Utang”, Universitas Sumatera Utara, h. 35-41.
17

b. Pengajuan Permohonan Kepailitan

Permohonan pernyataan Pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan

melalui panitera dengan mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada

tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan, dan kepada pemohon

diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang

berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran.

Dalam hal Kepailitan yang menyangkut kepetingan umum, lembaga


pasar modal, perbankan maupun perusahaan asuransi dan BUMN

sebagaimana disebut dalam Pasal ayat (2), dan ayat (5), maka pemohon hanya

dapat diajukan oleh Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar

Modal, dan Menteri Keuangan. Bahkan panitera wajib menolak pendaftaran

permohonan pernyataan Pailit yang tidak diajukan oleh institusi tersebut.89

Berikutnya Pengadilan wajib memanggil debitor, dalam hal

permohonan pernyataan Pailit diajukan oleh kreditor, Kejaksaan, BI,

BAPEPAM, atau Menteri Keuangan; dan dapat memanggil kreditor, dalam

hal permohonan pernyataan Pailit diajukan oleh debitor dan terdapat keraguan

bahwa persyaratan untuk dinyatakan.

Permohonan tersebut hanya dapat dikabulkan, apabila hal tersebut


diperlukan guna melindungi kepentingan kreditor. Dan apabila permohonan

tersebut dikabulkan, maka Pengadilan dapat menetapkan syarat agar kreditor

pemohon memberikan jaminan yang dianggap wajar oleh Pengadilan.


18

c. Pembuktian Dalam Kepailitan

Berkaitan dengan pembuktian, di dalam UUK-PKPU tidak ada

mengaturnya. Namun apabila diperhatikan Pasal 42 dan Pasal 44 UUK-

PKPU, ada mengatur tentang asas Beban pembuktian Terbalik, artinya bahwa

yang mendalilkan wajib membuktikan dalilnya tersebut apabila dalilnya

disangkal. Oleh karena perihal alat-alat bukti tidak ada diatur dalam UUK-

PKPU, maka yang dipergunakan adalah Pasal 164 HIR yaitu: Bukti surat,
Saksi, Persangkaan, Pengakuan, Sumpah.

d. Upaya Hukum Dalam Kepailitan

Ada tiga macam upaya hukum yang dapat dilakukan dalam hal

Kepailitan, yakni: Perlawanan, Kasasi (Pasal 11 s/d Pasal 13 UUK-PKPU),

dan Peninjauan Kembali (Pasal 14 UUK-PKPU).

Sesuai dengan bunyi dari Pasal 299 UUK-PKPU di atas, sepanjang

tidak diatur secara khusus dalam UUK-PKPU ataupun Undang-Undang

khusus yang lain, maka Hukum acara yang berlaku untuk Pengadilan Niaga

dalam menangani perkara-perkara kepailitan adalah HIR untuk Pengadilan

Niaga di Jawa dan Madura dan Rbg untuk Pengadilan Niaga di luar Jawa dan

Madura.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

PTUN adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat

pencari keadilan terhadap sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang

atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN, baik di pusat maupun

di daerah. Dasar hukum pelaksanaan PTUN terdiri dari tiga instrumen, yaitu: UU
no. 5 thn 1986, diubah menjadi UU no. 9 thn 2004 dan disempurnakan kembali

dalam UU no 51 thn 2009.

Peradilan Tata Usaha Negara adalah lingkungan peradilan di bawah

Mahkamah Agung yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan perkara-perkara TUN di tingkat pertama.

Sejak ditetapkan dan berlakunya Undang-Undang no. 4 thn. 1998 maka

penyelesaian perkara Kepailitan diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Niaga

yang berada di lingkungan Peradilan Umum.

Pengadilan Niaga berbeda dengan Pengadilan Umum, dimana sebuah

putusan hakim tidak bisa dimintakan banding, bersifat khusus dan eksklusif.

Pengadilan niaga adalah pengadilan khusus. Dimana hanya sengketa hutang


piutang serta perniagaan lainnya yang diselesaikan di pengadilan niaga.

B. Saran

Demikian makalah yang telah saya susun apabilah terdapat kesalahan

penggunaan kata dan kesalahan pengetikan mohon dimaafkan atas perhatiannya

terima kasih, lebih dan kurangnya saya mohon maaf sebanyak banyaknya,

Wassalam.

19
DAFTAR PUSTAKA
Apriyanti, Jeri. “Peraturan Perundang Undangan Tata Usaha Negara Yang
Bersifat Umum”. Universitas Eka Sakti Padang.
Asyiah, Nur. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta:
Deepublish, 2015.
Dewi, Ni Putu Agustini Ari. ”Peran Pengadilan Niaga Sebagai Lembaga
Penyelesaian Perkara Kepailitan”. Hukum Keperdataan. Fakultas Hukum.
Universitas Udayana.
Hartini, Rahayu. Hukum Kepailitan. Malang: Departemen Pendidikan Nasional,
2002.
Sugitario, Eko dan Tjondro Tirtamulia. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara. Surabaya: Brilian Internasional, 2012.
Sunarmi. Hukum Kepailitan (edisi 2). Jakarta: Sofmedia, 2010.
Wahyunadi, Yodi Martono. “Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam
Sistem Peradilan Di Indonesia” dalam https://ptun-jakarta.go.id/wp-, 30
Maret 2021.
Wikipedia, “Pengadilan Niaga” dalam https://id.wikipedia.org/wiki/
Pengadilan_Niaga, 30 Maret 2021.

20

Anda mungkin juga menyukai