Anda di halaman 1dari 22

Hadis Dla`îf Disebabkan Ada Cacat dalam Ke-dlâbith-an Rawi

Dlâbith atau teliti, sebagaimana keterangan terdahulu, yaitu ketelitian dalam


menjaga hadis yang didapatkan dari gurunya dan menghafalnya, sehingga ketika ia
meriwayatkan hadisnya, maka ia dapat meriwayatkannya sebagaimana ia dengar hadis
tersebut dari gurunya. Telah dijelaskan pula bahwa dlâbith merupakan salah satu di
antara syarat ke-shahîh-an hadis dan telah dijelaskan pula jika dlâbith-nya berada di
bawah kualitas hadis shahîh, maka hadisnya turun kualitas menjadi hasan. Namun jika
dlâbith-nya lemah sehingga banyak yang salah di dalam meriwayatkan hadis daripada
yang benar, maka hadisnya menjadi dla`îf dan mardûd (tertolak).

Dlâbith-nya seorang rawi dapat diketahui dengan mengukur apakah hadis yang
diriwayatkannya sesuai ataukah bertentangan dengan orang-orang yang tsiqqah
(terpercaya) dalam meriwayatkan hadis. Jika hadis yang diriwayatkan seorang rawi
sesuai dengan riwayat rawi-rawi yang tsiqqah dan hampir-hampir tidak ada yang
bertentangan, maka ia termasuk rawi yang dlâbith dan ia termasuk rawi-rawi yang
hadisnya shahîh. Jika kebanyakan riwayatnya sesuai dengan riwayat rawi-rawi yang
tsiqqah dan sebagian ada yang bertentangan, maka dearajat hadisnya turun di bawah
shahîh, yakni rawi yang hadisnya hasan. Jika hadis-hadis yang diriwayatkan banyak yang
bertentangan dengan rawi-rawi yang tsiqqah daripada yang sesuai, maka ia termasuk rawi
yang dla`îf (lemah) dan hadisnya ditolak, kecuali jika hadis yang diriwayatkan didukung
oleh riwayat lain. Jika demikian, maka hadisnya naik derajatnya menjadi hasan, karena
dipadukan dengan riwayat lain. Sedangkan jika hadisnya selalu bertentangan dan sedikit
sekali yang sesuai dengan riwayat rawi yang tsiqqah, maka dia adalah orang yang buruk
kesalahan, banyak kekeliruan dan ditinggalkan hadisnya karena persoalan hafalannya.

Hadis dari rawi yang lemah ketelitiannya semacam ini, ada banyak macamnya
karena perbedaan tingkat kesalahan dan bentuk kekeliruannya. Jenis-jenisnya dapat
diuraikan berikut ini:
1. Hadis Munkar

Definisi hadis munkar yaitu hadis yang diriwayatkan secara sendirian oleh seorang
rawi yang lemah dalam hafalannya, atau hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah
dan bertentangan dengan riwayat rawi yang lebih kuat darinya.

Yang dimaksud dengan hadis yang diriwayatkan secara sendirian oleh seorang rawi
yang lemah hafalannya, serta tidak didukung oleh riwayat lain yang lebih kuat atau
sepadan, jika dla`îf-nya dapat dimaafkan, tidak lemah yang berat.

Yang dimaksud dengan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah dan
bertentangan dengan riwayat rawi yang lebih kuat darinya, yaitu lemah dalam segi dzabth
(ketelitian). Pertentangan hadisnya ini bisa jadi pada sanad atau pada matannya.

Contohnya yaitu hadis yang dicantumkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad, dan
oleh al-Bukhâriy dalam al-Târîkh al-Kabîr, oleh al-Nasâ`iy dalam al-Sunan, Ibnu Mâjah
dalam al-Sunan, al-Bazzâr dalam al-Musnad dan Ibnu Syâhîn dalam Fadlâ’il Syahr
Ramadlân dari jalur: al-Nadlr ibn Syaibân, ia berkata: aku berkata kepada Abû Salamah:
Berilah aku sesuatu dari hadis yang kamu dengar dari ayahmu yang memberi hadis dari
Rasulullah SAW. Ia berkata: Ayahku memberi hadis kepadaku tentang bulan Ramadlan,
ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:

‫ت لَ ُك ْم‬ ُ ‫نَ ْن‬: ‫ان َعلَ ْي ُك ْم َو َس‬


َ ‫ض‬َ ‫صيَا َم َر َم‬
ِ ‫ض‬ َ ‫ك َوتَ َعالَى فَ َر‬ َ َ‫إِ َّن هَّللا َ تَب‬
َ ‫ار‬
‫و ِم‬:ْ :َ‫ ِه َكي‬: ِ‫صا َمهُ َوقَا َمهُ إِي َمانًا َواحْ تِ َسابًا َخ َر َج ِم ْن ُذنُوب‬
َ ‫قِيَا َمهُ فَ َم ْن‬
ُ‫َولَ َد ْتهُ أُ ُّمه‬
Artinya: “Sesunggunhya Allah SWT telah mewajibkan puasa Ramadlan atas
kalian dan aku telah mensunnahkan bangun malam di bulan itu kepada kalian.
Barangsiapa berpuasa dan bangun malam dengan iman dan ikhlash, maka ia
telah keluar dari dosa-dosnya seperti pada hari ibunya melahirkannya.”

Di dalam sanad hadis ini ada al-Nadlr ibn Syaibân. Dia itu dla`îf. Dia telah salah
dalam meriwayatkan hadis ini; ia meriwaytakannya dari Abû Salamah, ayahku memberi
hadis kepadaku….
Menurut ahli hadis, Abû Salamah tidak mendengarkan hadis dari ayahnya. Ini dari
sisi kemunkaran hadis yang pertama. Sedangkan yang kedua, hadis ini diriwayatkan oleh
rawi-rawi lain yang tsiqqah dan teguh, seperti Yahya ibn Sa`îd, al-Zuhriy dan Yahya ibn
Abû Katsîr, dari Abû Salamah, dari Abû Hurairah sebagai hadis marfû` dengan lafadh:

‫ ِه‬::ِ‫ان إِي َمانًا َواحْ تِ َسابًا ُغفِ َر لَهُ َما تَقَ َّد َم ِم ْن َذ ْنب‬ َ ‫ض‬ َ ‫َم ْن قَا َم َشه َْر َر َم‬
‫َو َم ْن قَا َم لَ ْيلَةَ ْالقَ ْد ِر إِي َمانًا َواحْ تِ َسابًا ُغفِ َر لَهُ َما تَقَ َّد َم ِم ْن َذ ْنبِ ِه‬
Artinya: “Barangsiapa berpuasa Ramadlan dengan iman dan ikhlash, niscaya
diampuni baginya dosa-dosa yang telah lalu dan barang siapa bangun pada
malam al-Qadr, niscaya diampuni baginya dosa-dosa yang telah lalu.”

Dengan demikian, maka riwayat al-Nadlr ibn Syaibân bertentangan dengan para
rawi yang tsiqqah dan rawi kebanyakan dalam sanad dan matannya. Maka hadis ini dari
jalur dia adalah hadis munkar. Hanya Allah yang Maha Tahu.

Contoh yang kedua, Imam al-Tirmidziy mencantumkan dalam al-Jâmi` dari Jalur:
Hammâd ibn `Îsâ al-Juhaniy, dari Handzalah bin Abu Sufyan al-Jumahiy, dari Sâlim ibn
`Abdullâh, dari ayahnya, dari `Umar ibn al-Khaththâb RA, ia berkata:

‫ ُّد َعا ِء‬%%‫سلَّ َم إِ َذا َرفَ َع يَ َد ْي ِه فِي ال‬


َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ ‫سو ُل هَّللا‬ُ ‫ان َر‬َ ‫َك‬
ُ‫س َح بِ ِه َما َو ْج َهه‬ َ ‫لَ ْم يَ ُحطَّ ُه َما َحتَّى يَ ْم‬
Artinya: “Rasulullah SAW apabila mengangkat kedua tangannya dalam
berdoa maka beliau tidak menurunkan keduanya hingga mengusap mukanya
dengan keduanya.”

Komentar al-Tirmidziy setelah mencantumkan hadis ini: “Ini hadis gharîb, kami
tidak mengetahuinya kecuali dari riwayat Hammâd ibn `Îsâ, ia telah sendirian dalam
meriwayatkannya.” Kata Abû Hâtim: “Ia lemah.” Kata Abû Dâwûd: “Ia lemah, riwayat
hadisnya munkar.” Kata al-Hâkim dan al-Naqqâsy; “Ia meriwayatkan dari Ibnu Jurayj
dan Ja`far al-Shâdiq beberapa hadis palsu.” Dengan demikian, Hammâd yang
meriwayatkan sendiri hadis ini dianggap sebagai hadis munkar.

Beberapa Catatan
Ada beberapa permasalahan yang perlu digaris bawahi terkait pembahasan ini:
Pertama, dalam menjelaskan definisi hadis munkar, telah dijelaskan di atas bahwa hadis
munkar yaitu hadis yang diriwayatkan secara sendirian oleh rawi yang lemah dari sisi
hafalannya. Ini merupakan definisi yang umum dipakai untuk menjelaskan hadis munkar.
Sebagian ulama memasukkan hadis yang diriwayatkan secara sendirian oleh rawi yang
tercela dari sisi keadilan sebagai hadis munkar. Oleh karena itu, ditemukan banyak
kalangan dari ulama al-mutaqaddimûn yang menggunakan kata munkar untuk menyebut
hadis mawdlû`. Definisi di atas, yang hanya memasukkan rawi yang lemah dari sisi
hafalannya sebagai hadis munkar, merupakan definisi yang digunakan oleh ulama al-
muta’akhhirûn.

Kedua, Sebagian ahli hadis ada yang menyebut hadis munkar dengan istilah
Gharîb. Mereka mengatakan: “Ini hadis gharîb”, sedangkan yang dimaksud adalah
munkar. Ada juga yang menggunakan istilah munkar untuk menyebut hadis mawdlû`.

Ketiga, ke-munkar-an hadis tidak hanya terjadi pada sanadnya saja. Terkadang
terjadi pada matannya juga. Misalnya, beberapa rawi yang terpercaya meriwayatkan
suatu hadis dengan lafadh tertentu, tetapi ada rawi yang lemah yang meriwayatkannya
dengan lafadh yang berbeda. Sebagaimana yang telah dicontohkan dalam hadis al-Nadlr
ibn Syaibân di atas. Atau beberapa rawi yang terpercaya meriwayatkan suatu hadis
dengan lafadh tertentu, dan ada rawi yang lemah yang meriwayatkannya dengan lafadh
yang sama, tetapi ia menambahkan lafadh hadis yang tambahan tersebut tidak terdapat
pada riwayat rawi yang terpercaya. Contohnya yaitu hadis yang dicantumkan Imam
Ahmad, al-Bukhâriy, Muslim, Abû Dâwûd, al-Tirmidziy, al-Nasâ’iy dalam al-Yaum wa
al-Lailah dan ulama-ulama lain dari Jalur: dari `Abd al -`Azîz ibn Shuhaib, dari Anas ibn
Mâlik RA, ia berkata:

َ :َ‫ل ْال َخاَل َء ق‬:


‫ال اللَّهُ َّم إِنِّي‬: َ :‫ َد َخ‬:‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِ َذا‬
َ ‫ان النَّبِ ُّي‬
َ ‫َك‬
ِ ِ‫ث َو ْال َخبَائ‬
‫ث‬ ِ ُ‫ك ِم ْن ْال ُخب‬ َ ِ‫ذ ب‬:ُ ‫أَ ُعو‬
Artinya: Bahwa Nabi SAW ketika hendak masuk ke kamar kecil berdoa: “Ya
Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari godaan setan laki-laki
dan setan perempuan.”
Tetapi hadis ini dicantumkan oleh Ibnu Abî Syaibah dari jalur Abû Ma`syar Najîh
ibn `Abd al-Rahmân al-Sindiy (ia adalah rawi yang dla`îf hadisnya), dari `Abdullâh ibn
Abû Thalhah, dari Anas ibn Mâlik RA:

َ ‫ان إِ َذا َد َخ َل ْال َكنِي‬


َ :َ‫ْف ق‬
‫ ِم‬: ‫ بِ ْس‬: ‫ال‬: َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َك‬ َ ‫ي‬ َّ ِ‫أَ َّن النَّب‬
ِ ِ‫ث َو ْال َخبَائ‬
‫ث‬ ِ ُ‫ك ِم َن ْال ُخب‬ َ ِ‫ذ ب‬:ُ ‫هللاِ اَللَّهُ َّم إِنِّ ْي أَ ُع ْو‬
Artinya: Bahwasanya Nabi SAW ketika hendak masuk ke kamar kecil
berdoa: “Dengan menyebut Nama Allah. Ya Allah, sesungguhnya aku
berlindung kepadamu dari godaan setan laki-laki dan setan perempuan.”

Riwayat Abû Ma`syar telah sesuai dengan rawi-rawi yang tsiqqah dalam lafadh
hadisnya, tetapi ia berbeda dengan mereka dalam menyebutkan kata Bismillah ketika
masuk kamar kecil. Tambahan ini adalah hadis yang munkar.

Keempat, bahwasanya rawi yang tsiqqah (rawi hadis shahîh), terkadang hadisnya
dianggap munkar jika rawi tersebut sendirian dalam meriwayatkannya dari orang-orang
yang dla`îf di kalangan para rawi., seperti hadis Ma`mar ibn Râsyid, dari Qatâdah.

Ma`mar ibn Râsyid ini orang yang tsiqqah, hafal hadis, tetapi riwayatnya dari
Qatâdah dla`îf, karena ia mendengarkan hadis dari Qatâdah, saat masih kecil dan tidak
hafal sanad-sanad dari Qatâdah. Maka ketika ia sendirian meriwayatkan hadis dari
Qatâdah, tanpa didukung oleh riwayat lain yang tsiqqah, atau ia sendirian dalam
tambahan hadisnya, maka sendiriannya Ma`mar dalam meriwayatkan ini hadisnya
munkar.

Kelima, bahwa rawi yang shadûq (tulus), yaitu yang berada di bawah tsiqqah dalam
ketelitian, merupakan rawi yang riwayat hadisnya berkualitas hasan, tetapi terkadang
hadisnya dianggap mungkar karena dua keadaan:

1) Ketika ia meriwayatkan hadis dengan matan yang munkar dan matan tersebut tidak
didukung oleh riwayat lain, atau orang-orang yang tsiqqah meriwayatkannya dengan
matan yang berbeda dengan yang diriwayatkannya.
Contohnya seperti hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abû Dâwûd dari
jalur: Hammâd ibn Salamah, dari Muhammad ibn `Amr ibn `Ulqamah, dari Abû
Salamah, dari Abû Hurairah RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda:
َ َ‫ َس ِم َع أَ َح ُد ُك ْم النِّ َدا َء َواإْل ِ نَا ُء َعلَى يَ ِد ِه فَاَل ي‬:‫إِ َذا‬
ِ ‫ ْعهُ َحتَّى يَ ْق‬:‫ض‬
‫ َي‬:‫ض‬
ُ‫اجتَهُ ِم ْنه‬
َ ‫َح‬
Artinya: “Apabila salah seorang diantara kalian mendengar adzan, sedangkan
bejana (makanan) masih ada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya
hingga ia menyelesaikan hajatnya (sahurnya).”

Muhammad ibn `Amr ibn `Ulqamah adalah orang yang shadûq (tulus). Hadisnya
berkualitas hasan ketika ia tidak sendirian meriwayatkannya dari Abû Salamah, dari
Abu Hurairah, tetapi ia terkadang salah dalam meriwayatkan hadis dari Abû
Salamah. Kata Ibn Ma`în: “Ia sesekali meriwayatkan hadis dari Abû Salamah dan
ada masalah dalam riwayatnya, kemudian ia menyampaikan hadis tersebut pada saat
lain dari Abû Salamah, dari Abu Hurairah.”
Ia telah sendirian dalam meriwayatkan hadis ini dari Abû Salamah dan tidak ada
seorang pun yang mendukung riwayat hadisnya. Demikian halnya dalam matan hadis
ini ada yang munkar dari sisi ada perbedaan hadisnya dengan hadis Aisyah RA yang
diriwayatkan secara marfû` dalam al-Shahîhain, yaitu sabda Rasulullah SAW:

‫ؤ ِّذ ُن َحتَّى‬::ُ ٍ ُ‫ؤ ِّذ َن اب ُْن أُ ِّم َم ْكت‬::ُ


َ ‫وم فَإِنَّهُ اَل ي‬:: ْ ‫وا َو‬::ُ‫ُكل‬
َ ‫ َحتَّى ي‬:‫ َربُوا‬::‫اش‬
ْ َ‫ي‬
‫طلُ َع ْالفَجْ ُر‬
Artinya: “Makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummu Maktûm
melakukan adzan, karena dia tidak melakukan adzan kecuali sudah terbit
fajar”.

Sabda Rasulullah SAW “ َ‫ؤَ ِّذن‬::ُ‫ ” َحتَّى ي‬memberi pengertian makna al-ghâyah, yaitu
bahwasanya makan dan minum sahur selesai batas waktunya sampai terdengarnya
adzan Ibnu Ummi Maktûm. Ada pun hadis Abû Hurairah di atas membebaskan
makan sampai terdengar adzan dan menjadikan batasnya waktu sahur sampai ia
melakukan kebutuhannya untuk minum.
Hadis Abû Hurairah ini Munkar, meskipun dari riwayat seorang rawi yang shadûq
(tulus) yang berkualitas hasan hadisnya secara umum.
2) Ketika seorang rawi yang shadûq atau tsiqqah salah dalam sebagian riwayatnya. ia
meriwayatkan dari seseorang yang hafal hadis dan terkenal, serta mempunyai murid-
murid yang memenuhi syarat. Ia sendirian dalam meriwayatkan hadisnya, sementara
murid-murid seseorang yang hafal hadis tersebut tidak meriwayatkannya. Dalam
keadaan seperti ini, sendiriannya dalam meriwayatkan hadis tersebut adalah munkar.
Contohnya adalah hadis yang dicantumkan al-Baihaqiy dalam al-Sunan al-Kubrâ
dan al-Dzahabiy dalam Siyar A`lâm al-Nubalâ’ dari jalur: Mahmûd ibn Âdam al-
Marwaziy (ia berkata:), Sufyân ibn `Uyainah memberi hadis kepada kami, dari Jâmi`
ibn Abî Râsyid, dari Abî Wâ’il, ia berkata: Khudzaifah berkata kepada `Abdullâh ibn
Mas’ûd:

- ِ ‫ول هَّللا‬َ ::‫ت أَ َّن َر ُس‬ َ ‫ار أَبِى ُمو َسى َوقَ ْد َعلِ ْم‬ ِ ‫ك َو َد‬َ ‫ار‬ِ ‫َع ُكوفًا بَي َْن َد‬
‫اف إِالَّ فِى ْال َمس ِْج ِد ْال َح َر ِام‬ َ ‫ الَ ا ْعتِ َك‬: ‫ال‬ َ َ‫ ق‬- ‫صلى هللا عليه وسلم‬
َ : ‫ك نَ ِس‬
‫يت‬ َ َّ‫ لَ َعل‬: ِ ‫ ُد هَّللا‬: ‫ال َع ْب‬: ِ : ‫ال إِالَّ فِى ْال َم َس‬:
َ :َ‫ فَق‬.‫ ِة‬: َ‫اج ِد الثَّالَث‬ َ :َ‫أَ ْو ق‬
‫َو َحفِظُوا‬
Artinya: “Manusia sama beri`tikaf di antara rumahmu dan rumah Abû Mûsâ,
padahal engkau tahu bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda: “Tidak
ada i`tikaf kecuali di dalam Masjidil Haram atau beliau bersabda: kecuali di
dalam masjid tiga. Kata Abdullah: Mungkin engkau lupa dan mereka ingat
hadis ini”.

Mahmûd bin Âdam orang yang shadûq, tetapi ia telah sendirian dalam meriwayatkan
hadis ini dari Sufyân ibn `Uyainah. Padahal Ibn `Uyainah mempunyai banyak murid
yang punya hafalan hadis yang sempurna, namun tidak ada satupun muridnya yang
menyertai Mahmûd bin Âdam dalam meriwayatkan. Dengan demikian, riwayat
Mahmûd bin Âdam terhadap hadis ini masuk dalam kategori munkar.

2. Hadis Syâdz

Definisi hadis syâdz yaitu hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang dlâbith (teliti)
tetapi hadisnya bertentangan dengan riwayat rawi yang lebih dlâbith atau hadis yang
diriwayatkan secara sendirian oleh rawi yang tidak diragukan keadaannya untuk diterima
hadisnya.
Artinya: rawi yang dlâbith di atas maksudnya rawi yang diterima hadisnya karena
dia tsiqqah dan hafal hadisnya, atau tsiqqah saja, atau tsiqqah tetapi kadang salah
hadisnya ,atau orang yang shadûq (tulus) yang hasan hadisnya.

Sedangkan yang dimaksud dengan rawi yang lebih dlâbidh ialah rawi yang lebih
tinggi kualitasnya dari sisi dhabth-nya. Misalnya rawi yang tsiqqah kualitasnya lebih
tinggi dibanding dengan rawi yang shadûq, atau rawi yang di-tsiqqah-kan Ibn Ma`în,
Ahmad, al-Nasâ’iy, dan Abû Hâtim kualitasnya lebih tinggi dibanding dengan rawi yang
di-tsiqqah-kan oleh Ibn Ma`în dan al-Nasâ’iy saja, atau rawi yang mendapat sifat hâfidh
tsiqqah kualitasnya lebih tinggi dibanding dengan rawi mendapat sifat tsiqqah saja… dan
seterusnya.

Sedangkan pengertian “hadis yang diriwayatkan secara sendirian oleh rawi yang
tidak diragukan keadaannya untuk diterima hadinya”, yaitu seperti hadis dari rawi yang
tsiqqah ketika ia sendirian meriwayatkan matan hadis yang munkar, atau ia sendirian
meriwayatkan hadis dari seorang hâfidh besar, tetapi murid-murid hâfidh tersebut tidak
bersamanya dalam meriwayatkan hadis tersebut.

Hadis Syâdz terkadang terjadi pada matan hadis dan terkadang terjadi pada
sanadnya. Contoh pertama, tentang hadis yang terjadi perbedaan antara rawi yang
dlâbith dengan rawi yang lebih dlâbith di dalam matannya, yaitu: hadis yang
dicantumkan Abû Dâwûd dalam al-Sunan dari jalur : Hammâm ibn Yahyâ, ia berkata:
Qatâdah memberi hadis kepadaku dari al-Hasan, dari Samurah, dari Rasulullah SAW,
beliau bersabda:

ُ‫ه‬:‫ق َر ْأ ُس‬
ُ :َ‫ابِ ِع َويُحْ ل‬:‫الس‬ ْ :َ‫هُ ي‬:‫ذبَ ُح َع ْن‬:ْ :ُ‫ُكلُّ ُغاَل ٍم َر ِهينَةٌ ِب َعقِيقَتِ ِه ت‬
َّ ‫و َم‬:
‫َويُ َد َّمى‬
Artinya: “Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelih untuknya
pada hari ketujuh dan rambutnya dicukur, dan dilumuri dengan darah
aqiqah."

Kata Abû Dâwûd: “Hammâm diperselisihkan dalam ucapan hadis ini, ada salah
sangka dari Hammâm, karena rawi-rawi mengatakan ‫ َّمى‬:::‫ ي َُس‬, sementara Hammâm
mengatakan ‫ َد َّمى‬::ُ‫ي‬. Oleh karenanya hadis Hammâm ini tidak digunakan. Meskipun
Hammâm termasuk murid Qatâdah, tetapi ia bukan merupakan tingkatan pertama dari
murid-murid Qatâdah, ia memiliki beberapa salah sangka dalam hadis yang
diriwayatkannya. Meskipun ia tsiqqah, tetapi hadisnya berbeda dengan rawi kebanyakan
dan rawi yang lebih dlâbith, yaitu mereka yang meriwayatkan hadis ini dengan benar.
Mereka mengatakan: ‫يُ َس َّمى‬. Di antaranya yaitu: Sa`îd ibn `Urûbah yang merupakan murid
Qatâdah yang teguh hadisnya dan Ibn Yazîd al-`Aththâr. Maka riwayat Hammâm dengan
lafadh ini merupakan matan hadis yang syâdz, yang shahîh adalah riwayat dari banyak
orang, yakni ‫ يُ َس َّمى‬.

Contoh kedua, tentang hadis yang terjadi perbedaan antara rawi yang dlâbith
dengan rawi yang lebih dlâbith di dalam sanadnya, yaitu: hadis yang dicantumkan Imam
Ahmad, al-Bukhâriy, Muslim, Abû `Awânah, Abû Dâwûd, al-Tirmidziy, al-Nasâ’iy dan
Ibn Mâjah dari jalur: Dari al-A`masy, dari Abî Wâ’il, dari Hudzayfah al-Yamân:

َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَتَى ُسبَاطَةَ قَ ْو ٍم فَب‬


‫ا‬::‫ال َعلَ ْيهَا قَائِ ًم‬ َ ‫ي‬ َّ ِ‫أَ َّن النَّب‬
‫ َد‬:‫ت ِع ْن‬ُ ‫ َد َعانِي َحتَّى ُك ْن‬:َ‫هُ ف‬:‫أ َ َّخ َر َع ْن‬::َ‫ْت أِل َت‬
ُ ‫ َذهَب‬:َ‫و ٍء ف‬:‫ض‬ ُ ‫هُ بِ َو‬:ُ‫فَأَتَ ْيت‬
‫َعقِبَ ْي ِه فَتَ َوضَّأ َ َو َم َس َح َعلَى ُخفَّ ْي ِه‬
Artinya: “Sesunggunya Nabi SAW pernah mendatangi tempat pembuangan
sampah suatu kaum, lalu beliau kencing sambil berdiri. Maka aku
membawakannya air wudlu’ lalu aku pergi agar menjauh dari beliau.
Kemudian beliau memanggilku hingga aku berada di sisinya, kemudian
beliau berwudlu dan mengusap kedua khuff-nya.”

Hadis ini telah diriwayatkan dari al-A`masy dengan rangkaian seperti ini, oleh
sekelompok orang di antaranya Ibnu `Uyaynah, Wakî`, Syu`bah, Abû `Awânah, `Îsâ ibn
Yûnus, Abû Mu`âwuyah, Yahyâ ibn `Îsâ al-Ramliy dan Jarîr ibn Hâzim. Sementara Abû
Bakr ibn `Iyâs, seorang rawi yang tsiqqah tetapi banyak melakukan kesalahan,
meriwayatkannya dari al-A`masy, dari Abû Wâ’il, al-Mughîrah ibn Syu`bah.

Kata al-Hâfidh Abû Zar`ah al-Râzî: “Abû Bakr ibn `Iyâs salah dalam meriwayatkan
hadis ini, yang benar ialah hadis ini dari dari al-A`masy, dari Abî Wâ’il, dari Hudzayfah
al-Yamân. Dengan ini maka sanad dari jalur Abû Bakr ibn `Iyâs merupakan hadis yang
syâdz sanadnya.
Contoh ketiga, hadis yang diriwayatkan sendiri oleh orang yang tidak dimaafkan
keadaannya untuk diterima hadisnya, dari aspek matan. Yaitu hadis yang dicantumkan
oleh Abû Dâwûd, Ibn Mâjah, Ibn Huzaimah, al-Thabrâniy dalam al-Mu`jam al-Kabîr
dari jalur `Abd al-Rahmân ibn Basyar ibn al-Hakam, dari Mûsâ ibn `Abd al-`Azîz al-
Qanbâriy, dari al-Hakam ibn Abân, dari `Ikrimah dari Ibn `Abbâs: kemudian dituturkan
hadis tentang shalat tasbih.

Mûsâ ibn `Abd al-`Azîz al-Qanbâniy adalah rawi yang shadûq, tetapi ia tidak
dimaafkan ketika sendirian meriwayatkan hadis seperti ini.

Kata al-Hâfidh Ibnu Hajar dalam al-Talkhîsh al-Khabîr: Hadis Ibnu `Abbâs ini
mendekati syarat hadis hasan, tetapi hadis ini syâdz, karena sangatnya sendirian dalam
periwayatannya dan tidak ada hadis yang menjadi mutâbi` dan syâhid atas hadis ini dari
sisi yang dapat diterima dan keadaan shalatnya berbeda dengan keadaan shalat-shalat
lain. Sedangkan rawinya, Mûsâ ibn `Abd al-`Azîz al-Qanbâniy, meskipun ia seorang rawi
yang shadûq dan saleh, tetapi ia meriwayatkannya secara sendirian hadis ini tidak
dimaafkan.

Sebagian ahli hadis menyebut hadis Mûsâ ibn `Abd al-`Azîz ini sebagai hadis
munkar, sementara sebagian lain menyebut sebagai hadis syâdz. Kedua pendapat ini
kiranya benar adanya. Hadis syâdz punya ciri khusus dengan rawi yang dlâbith dan
shadûq, tetapi ia berada di bawah rawi yang tsiqqah dalam ke-dlâbith-annya. Sedangkan
hadis munkar punya ciri khusus dengan rawi yang dla`îf, tidak diragukan lagi bahwa
ringannya ke-dlâbith-an rawi yang shadûq termasuk jenis rawi yang dla`îf. Maka ketika
kesendiriannya Mûsâ ibn `Abd al-`Azîz atau pertentangan hadisnya dengan rawi lain
yang lebih tsiqqah disebut syâdz atau munkar, dari sisi ini, tidak menyalahi definisi
dalam ilmu musthalah hadis.

Contoh keempat, hadis yang diriwayatkan sendiri oleh orang yang tidak dimaafkan
keadaannya untuk diterima hadisnya, dari aspek sanad, yaitu sanad yang diriwayatkan
oleh `Abd al-Majîd ibn `Abd al-`Azîz ibn Abû Rawwâd, dari Mâlik, dari Zaid ibn Aslam,
dari `Atha’ ibn Yasâr, dari Abû Sa`îd al-Khudriy RA, ia berkata: Rasulullah bersabda:
‫ت‬ْ َ‫ان‬::‫وى فَ َم ْن َك‬:َ :َ‫ا ن‬::‫ئ َم‬ ٍ ‫ر‬: ِ ‫ا ُل ِبالنِّيَّا‬::‫ا اأْل َ ْع َم‬::‫إِنَّ َم‬
ِ :‫لِّ ا ْم‬::‫ا لِ ُك‬::‫ت َوإِنَّ َم‬
‫ا‬::‫هُ إِلَى َم‬: ُ‫ا فَ ِهجْ َرت‬::َ‫ُصيبُهَا أَ ْو إِلَى ا ْم َرأَ ٍة يَ ْن ِك ُحه‬
ِ ‫ِهجْ َرتُهُ إِلَى ُد ْنيَا ي‬
‫اج َر إِلَ ْي ِه‬
َ َ‫ه‬
Artinya: “Sesungguhnya sahnya amal itu sebab adanya niat, dan
sesungguhnya buat setiap orang itu apa yang menjadi niatnya. Barangsiapa
berhijrah untuk mendapatkan dunia atau untuk menikahi perempuan, maka ia
telah berhijrah kepadanya”.

`Abd al-Majîd ini di-tisqqah-kan oleh lebih dari satu orang dari kalangan ahli hadis,
tetapi ia sendirian meriwayatkan hadis ini dari Mâlik dengan sanad demikian. Sanad yang
shahîh dari riwayatMâlik dan ahli hadis lainnya yaitu, dari Yahyâ ibn Sa`îd al-Anshâriy,
dari Muhammad ibn Ibrâhîm, dari `Ulqamah ibn Waqqâsh, dari `Umar ibn al-Khaththâb
dengan menyebut hadis ini. Sanad hadis ini yang dituturkan `Abd al-Majîd di atas adalah
syâdz. Allahu A`lam.

Catatan: Hal penting yang perlu digaris bawahi yaitu sendiriannya seorang rawi
dalam meriwayatkan hadis, baik secara sanad maupun matan, merupakan bentuk
pertentangan, karena ia telah meriwayatkan hadisnya dalam bentuk tertentu yang
bertentangan dengan riwayat rawi-rawi lain yang tidak meriwayatkannya dalam bentuk
yang ia kemukakan.

Hadis Mahfûdh dan Hadis Ma`rûf

Hadis yang menjadi imbangan hadis syâdz dinamakan hadis mahfûdh, sedangkan
hadis yang menjadi imbangan hadis munkar dinamakan hadis ma`rûf. Artinya: riwayat
hadis yang diunggulkan ketika ada pertentangan riwayat rawi yang dlâbith dengan
riwayat rawi yang lebih dlâbith darinya dinamakan hadis mahfûdh. Sedangkan riwayat
yang diunggulkan ketika ada pertentangan rawi yang dla`îf dengan rawi yang lebih kuat
darinya dinamakan hadis ma`rûf

3. Hadis Mudraj

Definisi hadis mudraj yaitu hadis yang dimasukkan di dalam matannya lafadz yang
bukan bagian dari hadis tersebut dengan tanpa adanya pemisah atau hadis yang dirubah
susunan sanadnya.
Hadis mudraj dibagi menjadi dua: 1). mudraj al-matn dan 2).mudraj al-sanad.

Hadis mudraj al-matn, yaitu hadis yang dimasukkan di dalam matannya lafadz
yang bukan bagian dari hadis tersebut dengan tanpa adanya pemisah. Hadis mudraj al-
matn dibagi menjadi tiga:

Pertama, hadis yang terdapat idrâj di permulaan matan. idrâj semacam ini sangat
jarang terjadi. Contohnya yaitu hadis yang diriwayatkan oleh al-Baghdâdiy dari jalur Abû
Qathn dan Syabâbah, keduanya dari Syu`bah, dari Muhammad ibn Ziyâd dari Abû
Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:

ِ ‫أَ ْسبِ ُغ ْوا ْال ُوض ُْو َء َو ْي ٌل لِأْل َ ْعقَا‬


ِ َّ‫ب ِم َن الن‬
‫ار‬
Artinya: “sempurnpurnakanlah wudlu kalian! Tumit-tumit yang tidak terkena
air wudlu akan masuk neraka.”

Lafadh ‫( أَ ْسبِ ُغوْ ا ْال ُوضُوْ َء‬sempurnakanlah wudlu kalian) adalah ucapan Abû Hurairah.
Keterangan yang menunjukkan hal ini adalah hadis yang diriwayatkan al-Bukhâriy
dalam al-Shahîh, dari Âdam, dari Syu`bah, dari Muhammad ibn Ziyâd, dari Abû Hurairah
RA, ia berkata:

َ :َ‫لَّ َم ق‬: ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس‬


‫ ٌل‬:‫ال َو ْي‬: ِ َ‫أَ ْسبِ ُغ ْوا ْال ُوض ُْو َء فَإِ َّن أَبَا ْالق‬
َ ‫اس ِم‬
ِ َّ‫ب ِم َن الن‬
‫ار‬ ِ ‫لِأْل َ ْعقَا‬
Artinya: “Sempurnakanlah wudlu kalian! Sesungguhnya Abû al-Qâsim
(Rasulullah) SAW bersabda: “Tumit-tumit yang tidak terkena air wudlu akan
masuk neraka.”

Kedua, hadis yang terdapat idrâj di tengah matan. Idrâj macam ini hanya sedikit.
Contohnya yaitu hadis yang diriwayatkan al-Nasâ’iy dalam al-Sunan dari jalur Ibnu
Wahb, ia berkata: Abû Hâni` memberi khabar kepadaku, dari `Amr ibn Mâlik al-Janbiy,
bahwasanya ia mendengar Fadlâlah ibn `Ubaid berkata, aku mendengar Rasulullah SAW
bersabda:

َ :َ‫لَ َم َوه‬:‫لُ) لِ َم ْن آ َم َن بِي َوأَ ْس‬:‫(وال َّز ِعي ُم ْال َح ِمي‬


ٍ ‫اج َر ِببَ ْي‬:
‫ت‬ َ ‫أَنَا َز ِعي ٌم‬
‫ت فِي َو َس ِط ْال َجنَّ ِة َوأَنَا َز ِعي ٌم لِ َم ْن آ َم َن بِي‬ ٍ ‫ض ْال َجنَّ ِة َوبِبَ ْي‬ِ َ‫فِي َرب‬
‫ت فِي‬ ٍ ‫ض ْال َجنَّ ِة َوبِبَ ْي‬
ِ َ‫ت فِي َرب‬ ِ ِ‫ب‬::‫ َد فِي َس‬::َ‫لَ َم َو َجاه‬::‫َوأَ ْس‬
ٍ ‫يل هَّللا ِ بِبَ ْي‬
َ ِ‫ف ْال َجنَّ ِة َم ْن فَ َع َل َذل‬
‫ك فَلَ ْم يَ َد ْع‬ ِ ‫ت فِي أَ ْعلَى ُغ َر‬ ٍ ‫َو َس ِط ْال َجنَّ ِة َوبِبَ ْي‬
َ ‫ْث َشا َء أَ ْن يَ ُم‬
‫وت‬ ُ ‫وت َحي‬ ُ ‫طلَبًا َواَل ِم ْن ال َّشرِّ َمه َْربًا يَ ُم‬ ْ ‫لِ ْل َخي ِْر َم‬
Artinya: “Aku adalah penjamin (dan penjamin adalah orang yang
menanggung), bagi orang yang beriman kepadaku, masuk Islam dan
berhijrah, ia akan mendapatkan rumah yang berada di sekeliling surga dan
rumah di tengah surga, dan aku penjamin bagi orang yang beriman kepadaku,
masuk Islam dan berjihad dijalan Allah, ia mendapatkan rumah disekeliling
surga, rumah ditengah surga dan rumah di atas ruangan-ruangan tertinggi di
Surga, barangsiapa yang melakukan hal itu, dan ia juga tak pernah
meninggalkan tempat berburu kebaikan dan tempat lari dari keburukan, maka
ia meninggal ditempat yang ia ingini.”

Lafadh yang ada di dalam kurung ‫( َوال َّز ِعي ُم ْال َح ِمي ُل‬dan penjamin adalah orang yang
menanggung) adalah dari ucapan Ibnu wahb.

Ketiga, hadis yang terdapat idrâj di akhir matan. Idrâj macam ini biasa terjadi.
Contohnya yaitu hadis yang diriwayatkan Ibn Abî Hâtim dalam al-`Ilal dari jalur Ibrâhîm
ibn Thahmân, dari Hisyâm ibn Hasân, dari Muhammad ibn Sîrîn, dari Abû Hurairah RA
dan dari jalur Sahl ibn Abî Shâlih, dari ayahnya, dari Abû Hurairah RA, ia berkata:
Rasulullah SAW bersabda:

‫ل أَ ْن‬:
َ :‫ت قَ ْب‬ٍ ‫ رَّا‬:‫الث َم‬ َ َ‫ ا ْستَ ْيقَظَ أَ َح ُد ُك ْم ِم ْن َمنَا ِم ِه فَ ْليَ ْغ ِسلْ َكفَّ ْي ِه ث‬:‫إِ َذا‬
‫ف‬ ِ :َ‫ ثُ َّم لِيَ ْغت‬، ُ‫ ُده‬:َ‫ت ي‬
ْ ‫ر‬: ْ َ‫ات‬::َ‫ فَإِنَّهُ ال يَ ْد ِري أَي َْن ب‬، ‫اإلنَا ِء‬ ِ ‫يَجْ َعلَهُ َما ِفي‬
ُ‫ ثُ َّم لِيَصُبَّ َعلَى ِش َمالِ ِه فَ ْليَ ْغ ِسلْ َم ْق َع َدتَه‬، ‫بِيَ ِمينِ ِه ِم ْن إِنَائِ ِه‬
Artinya: “Ketika seseorang dari kalian bangun dari tidurnya, hendaklah ia
membasuh kedua telapak tangannya tiga kali sebelum memasukkannya ke
dalam bejana, karena dia tidak tahu kemana tangannya semalaman.
Kemudian hendaklah ia menciduk air dari bejana dengan tangan kanannya,
kemudian hendaklah ia mengguyurkan air ke tangan kirinya dan membasuh
lubang hidungnya.”

Kata Abû Hâtim al-Râzî: “Yang benar, ْ‫ ثُ َّم لِيَصُبَّ َعلَى ِش َمالِ ِه فَ ْليَ ْغ ِسل‬، ‫ف بِيَ ِمينِ ِه ِم ْن إِنَائِ ِه‬
ْ ‫ثُ َّم لِيَ ْغت َِر‬
‫ َم ْق َع َدتَه‬õ adalah dari ucapan Ibrâhîm ibn Thahmân. Ia telah menyampungkan ucapannya
dengan hadis, sehiingga orang yang mendengarkan tidak dapat membedakannya.

Hadis mudraj al-sanad, yaitu: hadis yang dirubah susunan sanadnya. Mudraj al-
sanad bentuknya bermacam-macam:
Pertama, beberapa rawi meriwayatkan hadis dengan sanad yang berbeda-beda. Dari
beberapa rawi tersebut diriwayatkan oleh seorang rawi dengan menghimpun semua sanad
yang berbeda-beda tersebut tanpa menjelaskan perbedaan-perbedaan sanad yang ada.

Kedua, seorang rawi mendapatkan matan hadis, namun ada bagian yang tidak
disebutkan di dalam matan. Bagian yang tidak disebutkan di dalam matan tersebut ia
mendapatkanya dari sanad lain. Kemudian ia meriwayatkan matan hadis dengan
sempurna dengan sanad hadis yang pertama. Padahal dari matan tersebut ia dapatkan dari
gurunya dengan ada bagian yang tidak disebutkan di dalam matan. Bagian yang tidak
disebutkan di dalam matan ini dia dapatkan pula dari gurunya, namun lewat perantara
rawi lain. Sementara itu ia meriwayatkan matan hadisnya secara sempurna dengan
langsung dari gurunya, membuang rawi lain yang menjadi perantara mendapatkan
bagian yang tidak disebutkan dalam matan yang didapat langsung dari gurunya.

Ketiga, seorang rawi mendapatkan dua matan hadis dengan dua sanad yang
berbeda. Rawi yang mendapatkan hadis dari rawi tersebut ternyata meriwayatkan dua
hadis itu dengan hanya menyebutkan salah satu di antara dua sanadnya, atau ia
meriwayatkan salah satu di antara dua hadis itu sanadnya, tetapi di dalamnya
ditambahkan matan lain yang tidak terdapat pada hadis tersebut.

Keempat, seorang rawi sedang menuturkan sanad. Ditengah-tengah penuturunnya,


tiba-tiba ada kejadian yang ia komentari. Sebagian orang yang mendengar penuturan
sanadnya menyangka komentarnya tersebut merupakan bagian dari matan yang ada pada
sanad tersebut. Kemudian orang yang mendengar ini meriwayatkannya dengan
memasukkan komentarnya sebagai bagian dari matan yang ada pada sanadnya.1

4. Hadis Mukhtalith

Definisi hadis mukhtalith yaitu: hadis yang diriwayatkan oleh orang yang diketahui
telah rusak hafalannya.

1
Nuzhah al-Nadhar, hlm 100.
Rawi yang rusak hafalannya ini sama halnya rawi yang tsiqqah maupun rawi yang
dla`îf. Seorang rawi dapat rusak hafalannya dapat disebabkan umur yang sudah tua,
beberapa catatan/bukunya lenyap atau lainnya.

Hukum Hadus Mukhtalith

Hukum hadis mukhtalith dari sisi diterima atau ditolak hadisnya, terdapat beberapa
tingkatan.

Pertama, hadis yang diriwayatkan rawi yang mukhtalith diterima, jika ia tsiqqah
dan orang yang meriwayatkan hadis darinya adalah orang yang mendengar hadis darinya
sebelum ia mukhtalith.

Contohnya yaitu hadis yang diriwayatkan al-Nasâ`iy dalam al-Sunan: telah


mengabarkan kepada kami Yahyâ ibn Hubaib bin `Arabiy dia berkata; telah menceritakan
kepada kami Hammâd, dia berkata; telah menceritakan kepada kami `Athâ` ibn al-Sâ’ib,
dari Bapaknya, dia berkata: “`Ammâr ibn Yâsir pernah shalat bersama (mengimami)
kami, dan ia mempersingkat shalatnya. Lalu sebagian orang bertanya kepadanya,
“Engkau telah meringankan -mempersingkat- shalat?” Ia menjawab: “Dalam shalat tadi
aku memanjatkan doa dengan doa yang kudengar dari Rasulullah SAW. Lalu ia bangkit
dan diikuti oleh seseorang –orang itu adalah Ubay, tetapi ia menyamarkan dirinya- lalu ia
bertanya kepadanya tentang doa. Kemudian ia datang dan memberitahukan doa tersebut
kepada kaumnya:

َ‫ت ْال َحيَاة‬ َ ‫ق أَحْ يِنِي َما َعلِ ْم‬ ِ ‫ك َعلَى ْال َخ ْل‬ َ ِ‫ْب َوقُ ْد َرت‬ َ ‫ك ْال َغي‬ َ ‫اللَّهُ َّم بِ ِع ْل ِم‬
‫ك‬ :َ ُ‫أَل‬::‫رًا لِي اللَّهُ َّم َوأَ ْس‬::ْ‫اةَ َخي‬::َ‫ت ْال َوف‬ َ ‫وفَّنِي إِ َذا َعلِ ْم‬:: َ َ‫رًا لِي َوت‬::ْ‫َخي‬
‫ا‬: ‫الرِّض‬
َ ‫ق فِي‬ ِّ :‫ ةَ ْال َح‬:‫ك َكلِ َم‬ :َ ُ‫أَل‬:‫ة َوأَ ْس‬:ِ ‫هَا َد‬: ‫الش‬
َّ ‫ب َو‬ ِ ‫ك فِي ْال َغ ْي‬ َ َ‫يَت‬: ‫َخ ْش‬
‫ا اَل‬::‫ك نَ ِعي ًم‬َ ُ‫أَل‬:‫ر َو ْال ِغنَى َوأَ ْس‬: ِ :‫ َد فِي ْالفَ ْق‬:‫ص‬ ْ َ‫ك ْالق‬ :َ ُ‫أَل‬:‫ب َوأَ ْس‬ ِ :‫ض‬ َ ‫َو ْال َغ‬
‫ا ِء‬:‫ض‬ َ َ‫ َد ْالق‬:ْ‫ا َء بَع‬:‫الرِّض‬
َ َ ُ‫أَل‬:‫ك قُ َّرةَ َعي ٍْن اَل تَ ْنقَ ِط ُع َوأَ ْس‬
‫ك‬ :َ ُ‫يَ ْنفَ ُد َوأَسْأَل‬
‫ك‬: َ :‫ر إِلَى َوجْ ِه‬: ِ :َ‫ذةَ النَّظ‬:َّ :َ‫ك ل‬َ ُ‫ت َوأَسْأَل‬ ِ ‫ْش بَ ْع َد ْال َم ْو‬ ِ ‫ك بَرْ َد ْال َعي‬ :َ ُ‫َوأَسْأَل‬
‫لَّ ٍة‬:‫ض‬ ِ ‫ ٍة ُم‬:َ‫ َّر ٍة َواَل فِ ْتن‬:‫ض‬ ِ ‫رَّا َء ُم‬:‫ض‬ َ ‫ر‬: ِ :‫ك فِي َغ ْي‬: َ :ِ‫ق إِلَى لِقَائ‬ :َ ‫ ْو‬:‫الش‬ َّ ‫َو‬
َ ‫ ُم ْهتَ ِد‬:ً‫ان َواجْ َع ْلنَا هُ َداة‬
‫ين‬ ِ ‫اللَّهُ َّم َزيِّنَّا بِ ِزينَ ِة اإْل ِ ي َم‬
Artinya: “Ya Allah dengan ilmu-Mu terhadap hal gaib dan kekuasaan-Mu
atas makhluk, hidupkanlah aku selagi Engkau mengetahui bahwa hidup itu
lebih baik bagiku, dan matikanlah aku jika Engkau mengetahui bahwa mati
lebih baik bagiku. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu rasa takut kepada-Mu
saat tidak nampak ataupun saat nampak. Dan aku memohon kepadaMu
ucapan yang benar saat suka dan saat marah. Dan aku memohon
kesederhanaan saat fakir dan kaya. Aku memohon kenikmatan tanpa habis
dan kesenangan tanpa henti. Aku memohon keridhaan setelah adanya
keputusan, dan kenyamanan hidup setelah mati dan kelezatan memandang
kepada wajah-Mu serta keridhaan berjumpa dengan-Mu tanpa ada bahaya
yang membahayakan dan tanpa fitnah yang menyesatkan. Ya Allah, hiasilah
kami dengan hiasan iman dan jadikanlah kami orang yang menyampaikan
hidayah dan yang mendapatkan hidayah.”

`Athâ` ibn al-Sâ`ib adalah rawi yang tsiqqah, tetapi ia rusak hafalan hadisnya
(mukhtalith) di usia tuanya. Hammâd yang meriwayatkan dari `Athâ` ialah Hammâd ibn
Zaid. Hammâd ibn Zaid ini adalah termasuk orang yang mendengar hadis dari `Athâ’
sebelum ia mukhtalith.

Kata Yahyâ ibn Sa`îd al-Qaththân: “Hammâd ibn Zaid mendengar hadis dari `Athâ’
sebelum ia rusak hafalan hadisnya.”

Kedua, hadis yang diriwayatkan rawi yang mukhtalith ditolak, jika ia tsiqqah dan
orang yang meriwayatkan hadis darinya adalah orang yang mendengar hadis darinya
sesudah ia mukhtalith.

Contohnya yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Abû Dâwûd, al-Tirmidziy dan
lainnya dari jalur Abû Ishâq al-Sabî`iy, dari `Ali ibn Rabî`ah al-Wâlibiy, dari `Ali ibn
Abû Thâlib Ra, ia menuturkan sebuah hadis mar`fû`sabda Rasulullah SAW:

ُ‫وبِي يَ ْعلَ ُم أَنَّه‬::ُ‫رْ لِي ُذن‬::ِ‫ال ا ْغف‬


َ َ‫ْجبُ ِم ْن َع ْب ِد ِه إِ َذا ق‬ َ َ‫ق‬
َ ‫ال إِ َّن َرب ََّك يَع‬
‫وب َغي ِْري‬ ُّ ‫اَل يَ ْغفِ ُر‬
َ ُ‫الذن‬
Artinya: Sesungguhnya Tuhanmu merasa kagum kepada hambaNya apabila
mengucapkan: “ya Allah, ampunilah dosa-dosaku.” Dia Maha Mengetahui,
“Bahwasanya tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Aku.”

Abû Ishâq al-Sabî`iy adalah rawi yang mudallis, dia tidak mendengar langsung
hadis ini dari `Ali ibn Rabî`ah al-Wâlibiy. Al-Mizziy dalam Tuhfah al-Asyrâf telah
menukil dari `Abd al-Rahmân ibn Mahdiy dari Syu`bah, ia berkata: Aku bertanya kepada
Abû Ishâq: “Dari siapa kamu mendengarkan hadis ini?”. Dia menjawab: “Dari Yûnus ibn
Khubâb.” Maka aku menemui Yûnus, akau bertanya kepadanya: “Dari siapa kamu
mendengarkan hadis ini?”. Dia menjawab: “Dari seseorang yang telah mendengarkannya
dari `Ali ibn Rabî`ah.”

Akan tetapi Ahmad ibn Manshûr al-Ramâdiy meriwayatkan hadis ini, dari `Abd al-
Razzâq al-Shan`âniy, ia berkata: Ma`mar memberi khabar kepada kami, dari Abû Ishâq
(ia berkata:), `Ali ibn Rabî`ah memberi khabar kepadaku tentang hadis ini. Sanad
dicantumkan oleh al-Mahâmiliy dalam al-Du`â’ dan al-Baihaqiy dalam al-Sunan al-
Kubrâ. Namun riwayat ibi bermasalah (ma`lûlah), `Abd al-Razzâq adalah rawi yang
tsiqqah dan hâfidh, tetapi ia mukhtalith. Ia mendiktekan hadisnya dan mendengarkannya
secara lisan. Al-Ramâdiy mendengarkan hadis dari `Abd al-Razzâq setelah terjadi
mukhtalith, karena itu ia tidak menyampaikannya dengan jelas telah mendengarkan
riwayat ini.

Lebih-lebih, Imam Ahmad telah meriwayatkan dari `Abd al-Razzâ dalam al-
Musnad, tidak dengan bahasa mendengarkan, padahal Ahmad termasuk orang yang
mendengar hadis dari `Abd al-Razzâq sebelum terjadi mukhtalith.

Ketiga, hadis yang diriwayatkan rawi yang mukhtalith ditolak, jika ia dla`îf . sama
halnya orang yang meriwayatkan hadis darinya adalah orang yang mendengar hadis
darinya sebelum maupun sesudah ia mukhtalith. Hal ini karea tertolaknya hadis
disebabkan selain mukhtalith-nya rawi. Terlebih lagi jika ditambah alasan mukhtalith.

Contohnya yaitu hadis yang diriwayatkan Laits ibn Abû Aslam, ia adalah rawi
yang dla`îf dan hadisnya mudltharib. Bahkan di akhir umurnya ia mukhtalith. Ibnu
Hibbân berkata: “Dia (Laits ibn Abû Aslam), telah mukhtalith di akhir umurnya. Dia
pernah membalikkan beberapa sanad, me-marfû`-kan hadis-hadis mursal, dan
menyampaikan dari rawi-rawi yang tsiqqah, beberapa hadis yang sebenarnya tidak
mereka riwayatkan.”

Keempat, hadis yang diriwayatkan rawi yang mukhtalith ditangguhkan (tawaqquf),


jika ia tsiqqah .dan orang yang meriwayatkan hadis darinya adalah orang yang
mendengar hadis darinya sebelum dan sesudah ia mukhtalith. Hadisnya ditangguhkan
sampai hadisnya dapat diuji. Jika sesuai dengan rawi-rawi yang tsiqqah, maka hadisnya
diterima. Jika tidak sesuai, maka hadisnya ditolak.

Contohnya seperti hadis yang diriwayatkan Hammâd ibn Salamah, dari `Athâ’ ibn
al-Sâ’ib. Hammâd mendengarkan hadis dari `Athâ’ sebelum dan sesudah terjadi
mukhtalith.

5. Al-Mazîd fî Muttashil al-Asânîd

Al-Mazîd fî Muttashil al-Asânîd artinya hadis ditambahkan dalam sanadnya yang


telah muttashil (tersambung). Definisi hadis al-mazîd fî muttashil al-Asânîd yaitu: hadis
yang ada seseorang yang ditambahkan oleh seorang rawi di dalam sanadnya, sementara
rawi lain tidak menyebutkan seseorang tersebut.

Artinya: hadis tersebut diriwayatkan oleh banyak rawi. Namun ada seorang rawi
yang menambahkan nama seseorang di dalam sanad yang dia miliki. Pada nama tersebut
tidak disebutkan oleh rawi-rawi lain yang mememiliki sanad yang sama.

Contohnya yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim dan Abû
`Awânah dari jalur Abû `Awânah, dari Ya`lâ ibn `Athâ’, dari Abû `Ulqamah, dari Abû
Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:

‫ى هَّللا َ َو َم ْن‬: ‫ص‬ َ َ‫طا َعنِي فَقَ ْد أ‬


َ ‫ا َع هَّللا َ َو َم ْن َع‬::‫ط‬
َ ‫ ْد َع‬: َ‫انِي فَق‬: ‫ص‬ َ َ‫َم ْن أ‬
‫صانِي‬ َ ‫يري فَقَ ْد َع‬ِ ‫صى أَ ِم‬َ ‫يري فَقَ ْد أَطَا َعنِي َو َم ْن َع‬ ِ ‫أَطَا َع أَ ِم‬
Artinya: “Barangsiapa taat kepadaku, maka ia telah taat kepada Allah, dan
barangsiapa durhaka keadaku, maka ia telah durhaka kepada Allah.
Barangsiapa taat kepada amirku, maka ia telah taat kepadaku, dan
barangsiapa durhaka kepada amirku, maka ia telah durhaka kepadaku.”

Hadis ini diriwayatkan oleh al-Nasâ’iy dalam al-Sunan: Abû Dâwûd memberi
khabar kepada kami, ia berkata: Abû al-Walîd memberi hadis kepadaku, ia berkata: Abû
`Awânah memberi hadis kepadaku, dari Ya`lâ ibn `Athâ’, dari ayahnya, dari Abû
`Ulqamah, dari Abû Hurairah, dengan menyebutkan hadis ini.
Al-Nasâ’iy dalam riwayatnya telah menambahkan sanad “dari ayahnya”, tambahan
an-Nasâ’iy ini termasuk al-mazîd fî muttashil al-Asânîd. Riwayat yang ada pada Muslim
dalam al-Shahîh Ya`lâ ibn `Athâ’ telah menjelaskan ia mendengar hadis ini dari gurunya
Abû `Ulqamah (tidak menyebutkan dari ayahnya).

6. Hadis Maqlûb

Definisi hadis maqlûb yaitu hadis yang pada sanadnya ada rawi yang dalam
meriwayatkannya bertentangan dengan rawi yang lebih tsiqqah, karena mengganti hadis
dengan yang lain baik pada matan maupun sanad, sama halnya penggantian tersebut
karena sengaja atau lupa.

Bentuk-bentuk hadis maqlûb

Di antarabentuk hadis maqlûb yaitu ada yang membalik nama rawi yang terdapat
dalam sanadnya, seperti nama Murrah ibn Ka`b dibalik menjadi Ka`b ibn Murrah.

Ada yang membalik lafadh hadis, seperti ucapan seorang rawi dalam hadis Ibnu
`Umar RA: “Ketika saya bersama Nabi saw yang saat itu duduk di atas tempat duduk
beliau yang menghadap ke kiblat dan membelakangi Syâm.” Dengan membalik hadis
tersebut yang aslinya “menghadap ke Syâm membelakangi kiblat.” Ada sanad hadisnya
terbalik dan digunakan untuk meriwayatkan hadis lain.

Jika ada rawi yang terjadi kesalahan macam ini, maka derajat klarifikasinya
menurut salah duga yang terjadi padanya. Jika ia sengaja melakukan itu, maka ia adalah
pengkianat pendusta. Jika ia menyusun sanad untuk sebuah matan, maka ia pencuri hadis,
dan yang dicela keadilannya.

7. Hadis Mudltharib

Definisi hadis mudltharib yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang
tidak dapat dimaafkan banyaknya sanad darinya, sekali waktu ia meriwayatkan hadis
tersebut dengan suatu sanad, lain waktu ia meriwayatkannya dengan sanad lain yang
berbeda, yang kedua sanad tersebut tidak mungkin dikompromikan.

Macam-macam hadis mudltharib


Hadis mudltharib jika dilihat dari letak mudhtharib-nya terbagi menjadi dua: 1)
mudltharib al-sanad, dan 2) mudltharib al-matn.

Pertama, mudhtharib al-sanad, yaitu hadis yang letak kekacauannya berada di


dalam sanad. Hadis mudltharib al-sanad ini banyak terjadi.

Contohnya yaitu hadis: Abû Bakr, dia berkata:

‫ال َشيَّبَ ْتنِ ْي هُ ْو ٌد َوأَ َخ َواتُهَا‬


َ َ‫ْت ق‬ َ ‫يَا رس ُْو َل هللاِ أَ َر‬
َ ‫اك ِشب‬
Artinya: “Wahai Rasulullah aku telah melihat engaku beruban.” Jawab
Rasulullah SAW: “Yang menyebabkan ubanku ini ialah surat hûd dan
saudara-saudaranya.”

Al-Dâruquthniy mengatakan, bahwa hadis ini mudltharib (sanadnya), karena tidak


diriwayatkan kecuali dari jalur Abû Ishâq, padahal dia adalah seorang rawi yang masih
diperdebatkan oleh para ulama mengenai riwayatnya ini sampai terdapat sepuluh
pendapat. Di antaranya, ada yang meriwayatkan darinya dengan cara mursal, ada yang
meriwayatkannya dengan mawshûl, ada yang menjadikannya sebagai musnad dari Abû
Bakr, ada yang meriwayatkannya musnad dari Sa`d, ada yang menjadikannya dari
musnad `A’isyah dan ada yang lainnya lagi. Padahal rawi-rawinya adalah orang-orang
yang tsiqqah yang tidak mungkin men-tarjîh (mengunggulkan) yang satu atas yang lain,
serta antara riwayat-riwayat tersebut sulit dikompromikan.

Kedua, mudltarib al-matn, yaitu hadis yang letak kekacauannya berada di dalam
matan.

Contonya yaitu hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidziy dari Syarîk, dari Abû
Hamzah, dari al-Sya`biy, dari Fâthimah binti Qais RA, ia berkata:

َ :َ‫ا ِة فَق‬::‫لَّ َم َع ْن ال َّز َك‬: ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس‬


‫ال إِ َّن‬: َ ‫ت أَ ْو ُسئِ َل النَّبِ ُّي‬
ُ ‫َسأ َ ْل‬
‫ال لَ َحقًّا ِس َوى ال َّز َكا ِة‬ِ ‫فِي ْال َم‬
Artinya: “Saya bertanya atau ditanyakan kepada Nabi SAW tentang zakat,
lalu beliau bersabda: "Sesungguhnya pada harta ada kewajiban/hak (untuk
dikeluarkan) selain zakat."

Ibnu Mâjah meriwayatkan hadis ini dengan sanad yang sama berbunyi:
‫ق ِس َوى ال َّز َكا ِة‬ ِ ‫ْس ِفي ْال َم‬
ٌّ ‫ال َح‬ َ ‫لَي‬
Artinya: “Tidak ada hak dalam harta kecuali zakat.”

Kata al-`Irâqiy: “hadis ini mudltharib yang tidak mungkin di-ta’wîl (diupayakan
untuk dikompromikan.”

8. Hadis Mu`allal
Definisi hadis mu`allal yaitu hadis yang terlihat di dalamnya ada `illah yang dapat
mencacat ke-shahîh-an hadis, padahal yang tampak hadis tersebut terbebas dari `illah
tersebut.

Cara mengetahui hadis mu`allah yaitu dengan menghimpun semua riwayat hadis
dengan berbagai jalur periwayatan, menelitinya dan menguji kedudukan rawi-rawinya
dari segi hafalan, dlâbith dan pengetahuan dengan pasti (itqân).

Kata al-Khathîb al-Baghdâdiy: “cara untuk mengetahui `illah hadis yaitu dengan
mengimpun di antara jalur-jalur riwayat hadis, melihat berbagai perbedaan rawi-rawinya
dan menguji kedudukan mereka dari sisi hafalan dan kualitas mereka dari sisi
pengetahuan dengan pasti (itqân) dan dlâbith-nya.”

Kata Ali al-Madîniy: “Mengenai bab ini (yakni `illah hadis), jika tidak
menghimpun semua jalurnya, maka tidak akan jelas letak kesalahannya”.

`Illah hadis terkadang terjadi pada sanadnya dan terkadang terjadi pada matannya.
Yang sering terjadi adalah `illah yang ada pada sanad.

Contohnya yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Qutaibah ibn Sa`îd, (ia berkata:)
`Abd al-Salâm ibn Harb al-Malâ’iy memberi hadis kepada kami, dari al-A`masy, dari
Anas, ia berkata:

َ ‫ أَ َرا َد ْال َح‬:‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِ َذا‬


‫هُ َحتَّى‬: َ‫ ْع ثَ ْوب‬: َ‫اجةَ لَ ْم يَرْ ف‬ َ ‫ان النَّبِ ُّي‬
َ ‫َك‬
ِ ْ‫يَ ْدنُ َو ِم ْن اأْل َر‬
‫ض‬
Artinya: “Rasulullah ketika menghendaki buang hajat, tidak mengangkat
pakaiannya sehingga beliau telah dekat dengan tanah.”

Hadis ini dicantumkan oleh al-Tirmidziy dan Abû `Îsâ al-Ramliy dalam al-Zawâ’id
`alâ Sunan Abû Dâwûd.

Sanad hadis ini kelihatannya shahîh dan rawi-rawinya adalah orang yang tsiqqah,
hanya saja al-A`masy tidak pernah mendengarkan langsung hadis dari Anas ibn Mâlik.

Kata ibnu al-Madîniy: “Al-A`masy tidak pernah mendengarkan langsung hadis dari
Anas ibn Mâlik, dia hanya pernah melihatnya ketika di Makkah, ketika Anas ibn Mâlik
shalat di belakang Maqam Ibrâhîm.”

Anda mungkin juga menyukai