Anda di halaman 1dari 55

TEOLOGI MISI ALKITABIAH YANG KONTEKSTUAl

DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI DAN


MEMENUHI TUGAS KARYA ILMIAH

OLEH :
APGANDO DAMANIK
NIM : 2020.O422.2012

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI MISI


WILLIAM CAREY
MEDAN

NOVEMBER 2021

1
DAFTAR ISI

BAB I.............................................................................................................................3
PENDAHULUAN..........................................................................................................3
A.Latar Belakang Masalah.........................................................................................3
B.Isu Dan Inti Pokok Masalah...................................................................................4
C.Tujuan Penulisan Makalah.....................................................................................5
BAB II............................................................................................................................6
PEMBAHASAN............................................................................................................6
A.Pengertian Teologi Misi Alkitabiah yang Kontekstual.....................................6
Pengertian misi.........................................................................................................10
Pengertian kontekstual.............................................................................................13
B.Landasan Alkitabiah tentang Teologi Misi yang Kontekstual.......................16
Perjanjian Lama........................................................................................................16
Perjanjian Baru.........................................................................................................20
BAB III.........................................................................................................................32
CARA PENERAPAN..................................................................................................32
MISI ALKITABIAH YANG KONTEKSTUAL.........................................................32
A. Ragam Pola Pendekatan Kontekstualisasi.....................................................35
B. Unsur-unsur Kontekstualisasi........................................................................38
C. Langkah-langkah Kontekstualisasi................................................................47
BAB IV........................................................................................................................52
PENUTUP....................................................................................................................52
Kesimpulan..............................................................................................................52
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................54

2
3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak awal abad ke-20 banyak orang (Kristen dan non Kristen, agamis dan

non agamis) memperlihatkan sikap menolak misi sebagai karya penyebaran iman

Kristen. Bayangan akan sisi gelap sejarah misi – sejak masa penemuan benua-benua

baru – membuat banyak orang (pribadi, golongan, aliran) menjadi alergi mendengar

istilah misi. Selama masa ini – yang dari sudut pandang tertentu dilihat sebagai zaman

keemasan karya misi. Gereja secara arogan bertindak selaku lembaga indoktrinasi

bidang keagamaan dan peraturan moral, baik bagi umat Allah di gereja asal (Eropa

dan Amerika Utara) maupun bagi gereja dan masyarakat di tanah jajahan bangsa-

bangsa barat. Tindakan seperti ini, memberi kesan bahwa gereja berperan serta dalam

memajukan ideologi kolonial apalagi sikap gereja pada masa itu sangat terpengaruh

oleh arogansi barat dan superioritas Kristen.

B.Isu Dan Inti Pokok Masalah

Muatan history karya misi pada masa lampau tidak hanya menjadi halangan

bagi karya pewartaan Injil dan pembangunan umat, tetapi juga mengganggu pergaulan

umum (sehari-hari) antara umat Kristen dengan masyarakat berbagai bangsa,

kebudayaan dan agama-agama di dunia. Agama Kristen dilihat sebagai milik orang

barat – yang disamakan dengan kaum penjajah – yang diwariskan kepada segelintir

bangsa Asia, Afrika dan Amerika Latin, sehingga gereja yang mereka dirikan dituding

sebagai sarana kolonialisme.

4
Sementara itu gereja sepanjang masa, tetap melihat misi sebagai dimensinya

yang esensial, karena melalui karya misi gereja hadir dengan sepenuhnya sebagai

gereja. Gereja tanpa misi bukanlah gereja seperti yang dimaksudkan oleh Kristus. 1

Tema pokok dan yang sebenarnya dari Konsili Vatikan II adalah gereja. Misi gereja

yang universal dan penyebarannya yang tak pernah usai … adalah bobot yang

menentukan dalam diri gereja. Jikalau kita berbicara tentang misi, maka yang kita

maksudkan adalah inti terdalam dari gereja serta pertumbuhannya yang pesat.2

Dalam situasi seperti dihadapi gereja dan karya misionernya sekarang ini,

penjelasan tetang misi seperti yang dikehendaki oleh Yesus Kristus, sangat penting,

perlu dan berguna. Untuk itu, dibutuhkan suatu penjabaran tentang misi Alkitabiah

yang kontekstual, yang mendasar mengenai perutusan seperti yang diimani dan

dijalankan dalam gereja. Misi yang ikut menjadi dasar keberadaan gereja perlu

dimengerti sesuai dengan hakikat, makna dan tujuannya yang sebenarnya. Pengertian

yang benar tentang misi menjamin plausabilitas penilaian terhadap misi dan menjadi

dasar yang legitim untuk perencanaan karya misi Alkitabiah yang kontekstual serta

harapan-harapan untuk pertumbuhan gereja selanjutnya.

C.Tujuan Penulisan Makalah

BAB II

1
T. Jacobs, Konstitusi Dogmatis (Lumen Gentium) Mengenai Gereja, Yogyakarta: 1970, hlm.
335; 338.
2
J. Schutte, Fragen der Mission an das Konzil, dalam J. Schutte, ed., Mission Nach dem
Konzil, Mainz: 1967, hlm. 11-12.

5
PEMBAHASAN

A. Pengertian Teologi Misi Alkitabiah yang Kontekstual

1. Pengertian teologi

Teologi (bahasa Yunani θεος, theos, "Allah, Tuhan", dan λογια, logia, "kata-

kata," "ucapan," atau "wacana") adalah  wacana  yang berdasarkan nalar mengenai

agama,  spiritualitas  dan  Tuhan. Dengan demikian, teologi adalah ilmu yang

mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama. Teologi

meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan. Para teolog berupaya

menggunakan analisis dan argumen-argumen rasional untuk mendiskusikan,

menafsirkan dan mengajar dalam salah satu bidang dari topik-topik agama.

Teologi memampukan seseorang untuk lebih memahami  tradisi 

keagamaannya sendiri ataupun tradisi keagamaan lainnya, menolong membuat

perbandingan antara berbagai tradisi, melestarikan, memperbaharui suatu tradisi

tertentu, menolong penyebaran suatu tradisi, menerapkan sumber-sumber dari suatu

tradisi dalam suatu situasi atau kebutuhan masa kini, atau untuk berbagai alasan

lainnya.

Kata 'teologi' berasal dari bahasa Yunani koine, tetapi lambat laun

memperoleh makna yang baru ketika kata itu diambil dalam bentuk Yunani

maupun Latinnya oleh para penulis Kristen. Karena itu, penggunaan kata ini,

khususnya di Barat, mempunyai latar belakang Kristen. Namun, pada masa kini istilah

tersebut dapat digunakan untuk wacana yang berdasarkan nalar di lingkungan ataupun

tentang berbagai agama. Di lingkungan agama Kristen sendiri, disiplin 'teologi'

6
melahirkan banyak sekali sub-divisinya. Dalam gereja Kristen, teologi mula-mula

hanya membahas ajaran mengenai Allah, kemudian artinya menjadi lebih luas, yaitu

membahas keseluruhan ajaran dan praktik Kristen. Dalam upaya merumuskan apa

itu ilmu teologi, maka ada beberapa unsur yang perlu diperhatikan, yaitu tidak akan

ada teologi Kristen tanpa keyakinan bahwa Allah bertindak atau berfirman secara

khusus dalam  Yesus Kristus  yang menggenapi  perjanjian  dengan  umat Israel.

Pada Abad Pertengahan, teologi merupakan subyek utama di sekolah-

sekolah universitas dan biasa disebut sebagai "The Queen of the Sciences". Sumber:

Wikipedia.

Kata Teologi sudah tidak asing lagi di telinga kita orang-orang Kristen, entah

dimengerti atau sekedar ucapan belaka. Saya ingin memberi pengertian singkat bagi

pembaca, yang saya rasa mudah dimengerti oleh pembaca awam atau pengkaji teologi

dalam kekristenan.

Arti Etimologis

Istilah "Teologia" berasal dari 2 kata Yunani, yaitu: theos artinya "Allah";

dan logos artinya "perkataan, uraian, pikiran, ilmu". Sedangkan "Sistematika" berasal

dari kata sustematikos, artinya penempatan/penyusunan secara tepat. Jadi teologi

dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang menguraikan tentang Tuhan dengan cara yang

sistematis, sehingga semua pembaca dapat mengerti. Jadi jika pembaca kurang paham

dengan apa yang diuraikan oleh teologi, itu berarti penyampaiannya kurang

sistematis.

7
Definisi Istilah

"Teologia" dapat dimengerti dalam arti sempit atau arti luas. Arti luas:

mencakup seluruh pokok studi (disiplin ilmu) dalam pendidikan teologia. Arti sempit:

usaha meneliti iman Kristen dari aspek doktrinnya saja yang sering disebut sebagai

Teologia Sistematika. Definisi umum: Teologia ialah pengetahuan yang rasional

tentang Allah dan hubungannya dengan karya/ciptaan-Nya seperti yang dipaparkan

oleh Alkitab. Definisi khusus: Teologia Sistematika ialah bagian dari divisi Teologia,

yang mengatur secara terperinci dan berurutan tema-tema dari ajaran doktrin dalam

Alkitab. Pengertian Teologia sebagai Ilmu Teologia meskipun tidak memiliki fakta-

fakta yang dapat diukur secara empiris (seperti ilmu-ilmu modern sekarang ini) tetap

dapat disebut sebagai ilmu karena, sesuai dengan salah satu definisi "ilmu", teologia

adalah suatu usaha untuk memberikan penjelasan tentang Allah, yang diperoleh dari

Alkitab (sebagai penyataan Allah yang tidak berubah), dengan cara yang sistematis.

Menurut Yakob Tomatala dalam buku Teologi Misi, “Kata “theology” dapat

dijelaskan sebagai ilmu pengetahuan tentang Allah”.3 Jadi, “theology” itu ialah ilmu

yang berbicara tentang Allah dan karya-Nya di masa lalu, masa kini dan masa yang

akan datang.

Dengan demikian Teologia Kristen memenuhi unsur-unsur ilmu:

Pertama, Dapat dimengerti oleh pikiran manusia dengan cara teratur dan

rasional. Teologi bukanlah suatu ilmu yang "mistik" sehingga hanya orang-orang

yang dianggap suci saja yang dapat mengerti teologi.

Kedua, Menuntut adanya penjelasan secara metodologis. Teologi dijabarkan

dalam metode sistematis tertentu.

3
Yakob Tomatala, Teologi Misi, Jakarta: YT Leadership Foundation, 2003, hlm. 23.

8
Ketiga, Menyajikan kebenaran, bukan sebuah rekayasa fakta, sehingga dunia

teologi Kristen dapat dikorelasikan dengan sejarah dan juga sastra.

Keempat, Mempunyai nilai yang universal, yang artinya dikaji semua orang

secara umum di segala tempat, waktu dan keadaan di seluruh dunia.

Kelima, Memiliki objek yang diteliti yaitu Allah dan Alkitab. Sekalipun obyek

yang diteliti tidak dapat diteiliti seperti anda meneliti sel darah merah yang

ditempatkan pada lempengan kaca kemudian diteiliti di laboratorium, namun obyek

yang diteliti dalam teologi sangat berhubungan erat dengan kehidupan manusia itu

sendiri. Sumber: http://sabdaabadi.blogspot.com/2012/02/apa-itu-teologi.html.

Teologi yang dipahami sebagai sebuah wacana atau kata-kata tentang Tuhan

meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan dan dengan demikian

memahami Tuhan sebagai objek yang dapat diteliti. Pemahaman yang demikian tentu

saja tidak alkitabiah. Tuhan dalam pandangan Kristen bukanlah sebuah objek yang

bisa diteliti. Manusia tidak bisa meneliti Tuhan karena manusia tidak bisa melihat

Tuhan. Pemahaman orang Kristen tentang Tuhan tidak diperoleh dengan meneliti

tentang Tuhan, melainkan melalui pengenalan di dalam setiap karya-Nya dalam

kehidupan. Manusia tidak bisa melihat Tuhan, tetapi karya, ciptaan dan penyertaan-

Nya bisa dilihat dan dirasakan dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Dengan cara

inilah manusia mengenal Tuhan dan mengembangkan pemahamannya tentang Tuhan.

Karena Tuhan sedang dan terus berkarya dalam saluruh aspek kehidupan manusia,

maka pengenalan manusia tentang Tuhan terus berkembang. Oleh karena itu maka

dalam pandangan Kristen, teologi itu memiliki pengertian yang dinamis, kontekstual,

dan aplikatif. Dinamis artinya pengertian teologi itu terus berkembang, kontekstual

artinya pengertian teologi itu cocok dengan situasi dan kondisi yang

9
melatarbelakanginya, dan aplikatif artinya pengertian teologi itu dapat diterapkan

dalam kehidupan.

Dari uraian singkat di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa

definisi teologi Kristen itu adalah: “Upaya dan cara manusia untuk mengenal Tuhan

melalui karya, ciptaan dan penyertaan-Nya dalam sejarah masa lalu, masa kini dan

masa depan sebagaimana dipaparkan dalam Alkitab yang selalu dilihat dan

dirasakan oleh manusia dalam seluruh aspek kehidupannya”.

2.Pengertian misi

Kata “misi” adalah istilah Indonesia untuk kata Latin “mission” yang berarti

“perutusan”. Kata “mission” adalah bentuk subtantif dari kata kerja “mittere” (mitto,

missi, missum) yang memiliki beberapa pengertian dasar, yaitu: pertama, membuang,

menembak, membentur; kedua, mengutus, mengirim; ketiga, membiarkan,

membiarkan pergi, melepaskan pergi; keempat, mengambil/ mengendap, membiarkan

mengalir (darah).4

Di dalam Vulgata, kata “mittere” adalah terjemahan dari kata Yunani

“pempein” dan “apostelein” yang berarti juga mengutus. Kedua istilah Yunani ini

terdapat 206x di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru. “Orang yang diutus” atau

“missionaries” diterjemahkan dari kata Yunani “apostolos” terdapat 79x di dalam

Kitab Suci Perjanjian Baru, sedangkan tugas yang mereka laksanakan disebut

“mission”, sebagai terjemahan dari kata Yunani “apostelo” terdapat 4x dalam Kitab

Suci Perjanjian Baru”.5

Dalam penggunaan selanjutnya, istilah “misi” dan “apostolate” yang pada

dasarnya mempunyai arti yang sama mendapatkan modifikasi pengertian seperti


4
K. Prent, c.m., dkk., eds., Kamus Latin – Indonesia, Yogyakarta: 1969, hlm. 539-540.
5
L. Legrand, Unity and Plurality: Mission in the Bible, New York: 1990, hlm. 14.

10
dalam istilah “missionalis apostolatus” (kerasulan missioner) yang dipakai oleh Paus

Pius XII dalam ensiklik misi Fidei Donum (1957). Kata “apostolate” atau “kerasulan”

dipakai untuk menunjuk kegiatan pastoral umum sedangkan kata “misi” atau

“perutusan” dipakai untuk kegiatan penyebaran iman.

Istilah “misi” tidak hanya dipakai dalam lingkup keagamaan, tetapi juga di

dunia profane seperti misi diplomatis, misi politis, misi ilmu pengetahuan, misi

kebudayaan, misi dalam dunia kemiliteran. Semuanya berarti pelimpahan tugas dan

tanggung jawab.

Di dalam gereja, istilah “misi” digunakan baik untuk menunjuk kegiatan yang

lebih luas dan umum, yakni menyangkut semua kegiatan gereja 6 maupun untuk karya

khusus pewartaan dan penyebaran iman Kristen. Pengertian yang terakhir ini

menyangkut pengutusan para misionaris.

Goerge W. Peters menulis, misi adalah “the total biblical assignment of the

church of Jesus Christ. It is a comprehensive term including the upward, inward and

outward ministries of the church” menurut penulis ini, “missions” adalah “a

specialized term. By it I mean the sending forth of authorized persons beyond the

borders of the New Testament Church….”.7

Yakob Tomatala, mengatakan: “Misi adalah karya Allah yang menghimpun

bagi diri-Nya suatu umat yang bersekutu dengan Dia, melayani Dia dan menyembah

Dia dalam hubungan yang harmonis dan utuh untuk kejayaan Kerajaan Allah.

Menurut penulis ini, misi adalah karya Allah. Allah berkarya dalam pengutusan-Nya,

yang menghimpun umat-Nya untuk bersekutu, menyembah dan melayani-Nya dalam

hubungan yang harmonis bagi kejayaan kerajaan-Nya. Selanjutnya dikatakan bahwa

6
J. Moltmann, Gott Kommt und der Mensch wird Frei, Munchen: 1975, hlm. 21 dst.
7
George W. Peters, A Biblica Theology of Missions, Chicago: Moody Press, 1972, hlm. 11.

11
penginjilan adalah rancangan dan karya Allah yang menghimpun bagi diri-Nya suatu

umat untuk bersekutu, menyembah serta melayani Dia secara utuh dan serasi bagi

kejayaan Kerajaan Allah”.8

Menurut Dr. Y. Jones Akal misi adalah pengutusan untuk pelayanan

komperhensif. Pelayanan konperhensif berdiamensi empat yaitu pelayan ke bawah

(downward ministry), pelayanan ke atas (upward ministry), pelayanan ke dalam

(inward ministry), dan pelayanan ke luar (outward ministry).”9

David J. Bosch merumuskan beragam pengertian tradisional tentang misi dan

mengusahakan suatu synopsis teologis yang lebih khas sebagai konsep yang telah

dipergunakan secara tradisional. Ia mencatat bahwa kata ini telah diparafrasekan

sebagai: 1) penyebaran iman; 2) perluasan pemerintahan Allah; 3) pertobatan orang-

orang kafir; 4) pendirian jemaat-jemaat baru”.10

Menurut penulis, misi adalah pola, cara dan model kerja yang digunakan oleh

Tuhan dalam rangka menyelamatkan manusia berdosa yang ada di dalam dunia,

sehingga mereka yang diselamatkan oleh Tuhan beroleh hidup yang kekal. Mereka

yang diselamatkan oleh Tuhan dihimpun dalam suatu persekutuan dengan tujuan

untuk menyembah dan melayani Allah serta menjadi alat anugerah Allah untuk

memberitakan Injil kepada dunia.

3.Pengertian kontekstual

Istilah “Kontekstualisasi” baru ditambahkan pada bidang misi dan teologi

oleh Theological Education Fund (TEF) pada tahun 1972. Namun, para Misionaris

8
Yakob Tomatala, Penginjilan Masa Kini, Jilid 2, Malang: Gandum Mas, 1998, hlm. 27.
9
Yunny Jones Akal, Diktat Strategi Misi, Jakarta: IFTK Jaffray, 2005, hlm. 5.
10
D. J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997, hlm. 1.

12
menyadari bahwa ide “Kontekstualisasi” sudah ada jauh sebelunya yaitu terdapat di

dalam Alkitab.11 Yakob Tomatala mendefinisikan kata “Kontekstualisasi” sebagai

berikut: Kata “Kontekstualisasi” (Contextualisation) berasal dari kata ‘konteks’

(Context) yang diangkat dari kata Latin “Contextere” yang berarti menenun atau

menghubungkan bersama (menjadikan satu). Kata benda “Contextus” menunjuk

kepada apa yang telah ditenun (tertenun), di mana semuanya telah dihubung-

hubungkan secara keseluruhan menjadi satu.12

Pengertian ini menjelaskan bahwa berbicara tentang Kontekstualisasi 

perhatian ditujukan kepada dua atau lebih komponen yang disatukan atau dengan kata

lain “Kontekstualisasi” berbicata tentang penyatuan beberapa komponen. Untuk

memahami istilah ini perlu memahami juga dua istilah yang saling berhubungan yaitu

TEKS (Arti Teks dalam KBBI adalah n 1 a naskah yang berupa kata-kata asli dari

pengarang, b kutipan dari kitab suci berupa pangkal ajaran atau alasan; c bahan

tertulis untuk dasar memberikan ajaran. 2 wacana tertulis)13 dan KONTEKS (Konteks

artinya bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah

kejelasan makna; 2 situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian).14 Secara

sederhana konteks adalah suatu kesatuan atau kumpulan kalimat dimana di dalamnya

terdapat teks.15 Untuk pengertian ini, setiap teks dapat dimengerti secara tepat dalam

hubungan dengan konteksnya. Di samping itu, penggunaan istilah konteks juga

menjelaskan tentang sejarah suatu situasi sehingga untuk pemahaman yang jelas,

penggunaan istilah konteks haruslah ditempatkan pada arti yang tepat untuk

11
Rahmiati, Kontekstualisasi sebagai Sebuah Strategi, (http//www.tripoid.members.org).
12
Yakob Tomatala, Penginjilan Masa Kini Jilid 1, Malang: Gandum Mas, 1998, hlm. 63.
13
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, hlm. 1159.
14
Ibid.
15
Yakob Tomatala, Penginjilan Masa Kini Jilid 1, Log. Cit.

13
menjelaskan maksud secara tepat pula.16 Untuk menghubungkan istilah 

kontekstualisasi dengan pemberitaan Injil, Yakob Tomatala menggunakan sebuah

istilah yang lain yaitu kontekstualitas (Contextuality) yang artinya menjelaskan “suatu

penafsiran yang bersifat kritis” atas apa yang memberi arti kepada konteks yang

dilihat dari sudut rancangan Misi Allah yang utuh.17 

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa “Kontekstualisasi” adalah

konsep usaha memahami konteks kehidupan manusia secara luas dalam dimensi

budaya, agama, sosial, ekonomi, dan politik dalam hubungannya dengan situasi

menyeluruh dengan tujuan agar pemberitaan Injil dapat dilakukan dengan baik dan

dipahami secara tepat oleh setiap orang yang hidup dalam konteks tersebut. Sebuah

pemahaman yang sederhana mengenai “Kontekstualisasi” yang dikemukakan oleh Th.

Kobong adalah sebagai berikut: “Kalau kita mendengarkan injil Yesus Kristus yang

diberitakan kepada kita, lalu kita berusaha mengertinya dengan cara kita merasa,

berpikir dan bertindak yang dibentuk dan ditentukan oleh adat istiadat dan

kebudayaan kita, lalu hasil penghayatan itu kemudian kita tuangkan dalam bentuk-

bentuk yang dapat kita pahami dan hayati, maka kita sudah terlibat dalam usaha

kontekstualisasi.18

Apa yang dinyatakan oleh Kobong pada kutipan di atas memberi penekanan

pada usaha penghayatan Injil yang bersentuhan dengan kondisi penerima Injil tetapi

juga dipengaruhi oleh siapa yang memberitakannya. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa sadar atau tidak seseorang dalam menghayati Injil dapat

dikategorikan dalam usaha kontekstualisasi. Teologi hanya dapat disebut sebagai

teologi apabila ia benar-benar kontekstual. Alasannya adalah karena teologi tidak lain
16
Ibid.
17
Ibid.
18
Th. Kobong, Iman dan Kebudayaan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, hlm. 24.

14
dan tidak bukan adalah upaya untuk mempertemukan secara dialektik, kreatif dan

esensial antara “teks dengan konteks” antara pernyataan injil yang universal dengan

kenyataan hidup yang kontekstual.

Menurut Budiman R. L.: “Kontekstualisasi merupakan satu cara

menyampaikan dan meneladani Injil supaya kita dapat memenangkan sebanyak

mungkin orang. Kita menyesuaikan diri dengan adat setempat supaya Injil menjadi

relevan. Kita juga hidup di bawah hukum Kristus supaya Injil yang disampaikan itu

tetap murni”.19 Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat diketahui bahwa

kontekstualisasi memiliki tujuan operasional. Tujuan operasional dimaksud ialah:

Pertama, pemberitaan Injil menjadi lebih efektif, efisien dan produktif.

Artinya, penginjilan semakin lebih berhasil-guna dan berdaya-guna.

Kedua, pemberitaan Injil semakin lebih cocok dan lebih relevan. Artinya,

pemberitaan Injil semakin membumi atau mendarat dengan benar di dalam konteks

sebagai sasaran, objek dan penerima Injil. Konteks dalam hal ini budaya menjadi

semakin terbuka terhadap pemberitaan Injil.

Ketiga, pemberitaan Injil tetap dalam kemurnian sesuai dengan firman Allah

dan hukum Kristus. Artinya, firman Allah, hukum Kristus merupakan standar utama.

Firman Allah tetap menjadi otoritas tertinggi di dalam melaksanakan kontekstualisasi.

Segala sesuatu harus diuji dengan firman Allah, agar Injil yang diberitakan tetap

murni. Injil itu bersumber dari Allah. Tetapi di sisi lain Injil itu “asing” bagi segala

suku. Kebudayaan biasanya bercampur dengan agama lokal. Tidak ada suatu

kebudayaan yang murni. Semua budaya sudah berdosa dan terkontaminasi oleh dosa.

Karena itu, setiap kebudayaan harus dikoreksi, dibersihkan dan diperbaiki melalui

19
Budiman R. L., Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi, hlm. 9.

15
firman Allah. Hanya firman Allah yang menjadi standard atau tolok ukur untuk

menilai segala sesuatu. Oleh sebab itu, sekalipun kontekstualisasi sebagai upaya untuk

menyesuaikan diri dengan kebudayaan, namun acuannya ialah pada firman Allah.

Meskipun kontekstualisasi sebagai cara untuk fleksibel terhadap kebudayaan, namun

hal itu tetap berada di bawah hukum Kristus. Kontekstualisasi tidak bisa terlepas dari

firman Allah dan hukum Kristus. Lebih dari itu kontekstualisasi harus tunduk kepada

otoritas atau kedaulatan hukum Allah dan hukum Kristus.

B.Landasan Alkitabiah tentang Teologi Misi yang Kontekstual

Perjanjian Lama
Kontekstualisasi dalam Perjanjian Lama merupakan dasar penting bagi

kontekstualisasi Alkitab secara menyeluruh. Untuk memahami kontekstualisasi dalam

Alkitab perlu disadari bahwa dasar utama kontekstualisasi adalah dalam Perjanjian

Lama. Perjanjian Baru hanya merupakan kelanjutan saja dari sebuah kontekstualisasi

yang alkitabiah. Untuk pemahaman yang lebih lengkap tentang kontekstualisasi dalam

Perjanjian Lama, perlu untuk melihatnya dalam 3 pokok penting:

a. Dasar Kontekstualisasi adalah Pernyataan Diri Allah dalam

Penciptaan

Kejadian 1 dimulai dengan Allah menyatakan diri-Nya sebagai Pencipta.

Dapat dilihat bahwa Allah mengambil inisiatif pertama dalam penyataan diri-Nya

kepada dunia. Di sini terdapat tekanan utama yaitu bahwa Allah sebagai penggerak

utama kontekstualisasi.20 Sehingga dapat dikatakan bahwa teologi kontekstualisasi

yang benar adalah dimulai dari diri Allah sendiri. Selanjutnya, Allah sebagai Pencipta

telah menciptakan manusia dengan kreatifitas untuk berbudaya yang dalam kerangka

20
Yakob Tomatala, Teologi Kontekstualisasi, Malang: Gandum Mas, 1993, hlm. 12.

16
budayanya manusia balik memandang kepada Allah. Di sini terdapat suatu dialektik

unik yang menghubungkan Allah sebagai Pencipta di satu pihak dan manusia pada

pihak yang lain, yang menerima pernyataan diri Allah melalui filter budaya. 21 Dengan

demikian, dapat dikatakan bahwa dalam “kontekstualisasi”, budaya berfungsi sebagai

sentral perjumpaan (komunikasi) antara Allah dan manusia. Allah menggunakan

kemampuan yang diberikan kepada manusia (budaya) untuk menyatakan maksud-Nya

dan manusia dapat memahami serta berinteraksi dengan Allah melalui sesuatu yang

ada pada dirinya. Untuk pemahaman yang lebih jelas lagi bisa melihat melalui

beberapa fakta dalam Alkitab; Kel. 20:1: “Lalu Allah mengucapkan segala firman

ini”: …; Yes. 45:3-6: “Aku akan memberikan kepadamu harta benda yang terpendam

dan harta kekayaan yang tersembunyi, supaya engkau tahu, bahwa Akulah TUHAN,

Allah Israel, yang memanggil engkau dengan namamu. Oleh karena hamba-Ku Yakub

dan Israel, pilihan-Ku, maka Aku memanggil engkau dengan namamu, menggelari

engkau, sekalipun engkau tidak mengenal Aku. Akulah TUHAN dan tidak ada yang

lain; kecuali Aku tidak ada Allah. Aku telah mempersenjatai engkau, sekalipun

engkau tidak mengenal Aku, supaya orang tahu dari terbitnya matahari sampai

terbenamnya, bahwa tidak ada yang lain di luar Aku. Akulah TUHAN dan tidak ada

yang lain. Firman ini dapat dimengerti dan terus menjadi penghayatan sepanjang

sejarah bangsa Israel. Hal ini dapat disimpulkan bahwa proses kontekstualisasi itu

terjadi melalui inkarnasi Firman dalam budaya dan interaksi manusia dalam budaya

terhadap Firman.

b. Perwujudan Kontekstualisasi adalah Mandat Budaya

21
Ibid., hlm. 13.

17
Mandat budaya terdapat dalam Kejadian 1:28-30. Dalam mandat ini terdapat

wewenang yang manusia terima dari Allah untuk berbudaya, memenuhi dan

menguasai dunia. Untuk menjalankan mandat ini manusia mempergunakan segala

kemampuannya. Sekalipun demikian sebagai pemberi mandat, Allah memiliki

kewenangan mutlak untuk mengontrol sehingga di luar kontrol ini tidak akan ada

berteologi dalam konteks yang absah alktabiah. Yakob Tomatala memberi penegasan

bahwa, “Berteologi dalam konteks hanya terjadi bila ada hubungan intim Allah dan

manusia (dalam pengertian sekarang manusia yang telah ditebus)”.22 Persoalan serius

yang dialami oleh manusia adalah kebudayaan saat ini  dihasilkan oleh manusia yang

telah berdosa, sehingga ada unsur-unsur budaya yang telah berkontaminasi dengan

dosa. Karena itu untuk membangun teologi yang benar-benar alkitabiah harus

didasarkan pada pewahyuan Allah dalam firman-Nya.

Yakob Tomatala memberi gambaran yang tegas mengenai hal ini dengan

menyatakkan bahwa: “Kreativitas manusia tetap ada, walaupun sudah berdosa. Pada

sisi ini jelas terlihat bahwa kreativitas manusia itu bertanggung jawab atas

pengembangan budaya pada umumnya. Sedangkan secara moral, kreatif dan hasil

kreasi dapat melayani tujuan dosa (bagi mereka yang belum menerima pernyataan diri

Allah) dan melayani tujuan kebenaran (bagi mereka yang di dalam Tuhan).23 Hal ini

membuktikan bahwa tidak semua unsur-unsur budaya dipakai untuk menyatakan

maksud Allah. Ada beberapa unsur-unsur budaya yang perlu ditransformasikan oleh

Injil (bandingkan dengan pernyataan David J. Hesselgrave pada penjelasan

indigenesasi). Dapat dikatakan bahwa, sekalipun perwujudan kontekstualisasi adalah

melalui “Mandat Budaya” tetapi perlu diingat bahwa perwujudan kontekstualisasi


22
Ibid., hlm. 15.
23
Ibid.

18
melalui budaya sering kali hanya berlaku secara temporal. Penekanannya adalah

kebenaran Firman Tuhan tetap relevan dan berlaku secara universal (mutlak untuk

semua pada situasi dan kondisi apapun), tetapi ekspresi kontekstual hanya dapat

dimengerti oleh mereka yang hidup dalam konteks dimaksud.

c. Dinamika Kontekstualisasi adalah Perjanjian Berkat Allah

Setelah Allah menciptakan segala sesuatu, Allah mengadakan sebuah

perjanjian. Isi dari perjanjian itu adalah perjanjian tentang berkat Allah – Kejadian

1:28; 2:3. Untuk menikmati berkat Allah sesuai dengan isi perjanjian itu, ada syarat

yang harus dipenuhi oleh manusia yaitu TAAT secara mutlak kepada ketetapan Allah.

Jadi, untuk menikmati berkat Allah sesuai isi perjanjian Allah dan manusia, manusia

dituntut untuk taat. Artinya, jika manusia TAAT kepada Allah, ia akan diberkati,

tetapi sebaliknya jika tidak TAAT, ia akan dihukum. Fakta membuktikan bahwa

manusia tidak dapat memenuhi syarat dalam perjanjian itu. Namun demikian, semua

ciptaan Allah melukiskan tentang kemuliaan-Nya – Mazmur 8:2-10. Yakob Tomatala

menjelaskannya bahwa, “Segala ciptaan Allah dalam setiap konteks sejarah-budaya

suatu masyarakat dapat merupakan jalan masuk bagi proses kontekstualisasi karena

‘berkat Allah’ kepada ciptaannya secara umum tetap berlaku – Matius 5:45”.24 Allah

tidak pernah membatalkan perjanjian-Nya dengan manusia tetapi ketidaktaatan

manusia mengaburkan perjanjian tersebut. Di sini Allah mengambil inisiatif untuk

mengadakan sebuah perjanjian yang baru (new covenant) yang khusus bagi jalan

masuk kontekstualisasi yang benar. Kejadian 3:15, sebagai  PROTOEVANGELIUM 

(janji keselamatan Allah yang pertama), memberikan jaminan bahwa Allah sendiri

secara khusus yang menyiapkan pernyataan diri-Nya yang baru, yang olehnya

24
Ibid., hlm. 16.

19
manusia dapat memahami Allah secara baru di tengah-tengah dominasi dosa.25 Inilah

yang disebutkan dengan dinamika kontekstualisasi yang terlihat dari rencana

progresifitas Allah dalam memelihara karya-Nya di tengah-tengah pergumulan yang

dihadapi manusia berdosa yakni dengan menggenapi setiap rencana Allah yang sejak

semula telah diberitakan kepada manusia di Taman Eden, (band.

dengan Protoevangelium). Semuanya ini jelas merujuk kepada pelaksanaan

kontekstualisasi yang seharusnya terus berkelanjutan untuk mewujudkan misi Kristus

dalam melintasi segala jaman (dari waktu ke waktu).

2.Perjanjian Baru

Perjanjian Baru merupakan kelanjutan dari kontekstualisasi dalam Perjanjian

Lama. Ada 2 pokok utama yang mewakili kontekstualisasi secara umum dalam

Perjanjian Baru yaitu:

a. Inkarnasi Yesus Kristus dalam Konteks Budaya Yahudi

Inkarnasi Yesus Kristus dalam konteks budaya Yahudi merupakan puncak

perwujudan kontekstualisasi Allah ke dalam budaya manusia. Dalam inkarnasi-Nya,

manusia dapat melihat Allah – Yohanes 1:14,18. Topik ini akan dijelaskan lebih

mendetail melalui 2 bagian yaitu:

1) Hakekat inkarnasi

Inkarnasi artinya menjadi daging atau menjadi manusia – Yohanes 1:14.

Logos yang menjadi daging implikasinya mencakup “lahir ke dunia sebagai

manusia”, “hidup dalam sejarah manusia”, “merasakan apa yang dirasakan manusia”

dan “mengalami keadaan manusia” menjadi bagian dari konteks budaya manusia. Hal

25
Ibid.

20
ini berarti berpadu dengan hakekat manusia secara utuh. Pun demikian, inkarnasi

Yesus dalam budaya manusia bertujuan untuk menyatakan Allah kepada dunia –

Yohanes 1;18. Dengan demikian inkarnasi Yesus memiliki tujuan misional yang di

dalamnya membuktikan bahwa Allah Yang Mahasempurna menyatakan kasih-Nya

yang tak terbayangkan. Di sini terlihat bahwa Kristus, dalam inkarnasi-Nya

mengambil seluruh aspek budaya manusia dan menggunakannya sebagai sarana misi

untuk menyatakan maksud Allah. Tuhan Yesus juga menggunakan metode

pendekatan yang kontekstual dalam menjawab kebutuhan manusia di sekitar-Nya

(perhatikan seluruh perumpamaan Tuhan Yesus). Tuhan Yesus menggunakan

terminologi pertanian (penabur, bibit, penuai, ladang, dsb.) untuk menjelaskan

kebenaran Allah kepada para petani. Ketika Ia berhadapan dengan nelayan, Ia

menggunakan bahasa yang dimengerti oleh para nelayan seperti; pukat/jala, ikan,

perahu, dsb. dari semua yang Tuhan Yesus lakukan dalam dunia ini menandabuktikan

bahwa inkarnasi mengacu kepada pernyataan diri Allah yang dikenal dalam pola

budaya dan terlihat melalui interaksi dan refleksi peserta budaya yang terkait kepada

inkarnasi itu sendiri.26

2) Inkarnasi dan transformasi

Inkarnasi Tuhan Yesus dalam konteks budaya manusia hanyalah sebatas

mempergunakan budaya sebagai instrumen dan kemudian

kekuatan/kuasa/power/otority, Ia mentrasformasikan budaya di mana Ia berada.

Ajaran-ajaran Tuhan Yesus mengandung dinamika transformasi yang pasti (Khotbah

di bukit, Luk. 6:20-38; 11:2-4; 12:22-31; dll.). Ajaran Tuhan Yesus juga memberi

transformasi kepada semua lapisan masyarakat, mis.: (cendekiawan Nikodemus –

26
Ibid., hlm. 24.

21
Yohanes 3), wanita tunasusila dari Samaria – Yohanes 4, kuasa salib memberi

transformasi hidup kepada seorang penjahat ‘kelas kakap’ – Lukas 23:34, 39-43).

Jadi, inkarnasi bertujuan untuk mentrasformasikan konteks budaya manusia yang

rusak, dan transformasi adalah isi inkarnasi. Dengan kata lain, tidak ada inkarnasi

Kristus tanpa transformasi yang secara dinamis membarui manusia dalam setiap

konteks budaya kepada Allah – bandingkan 2 Kor. 5:17. 27 Sekalipun Injil

menggunakan budaya sebagai wahana/sarana/instrument, tetapi tanpa transformasi

budaya maka hakekat Injil tidak dapat terserap oleh mereka yang berkecimpung

dalam budaya tersebut.

Inkarnasi Yesus Kristus berisi transformasi dan kontekstualisasi yang benar

ditandai oleh transformasi Kristus dalam budaya. Tanpa transformasi akan muncul

sinkritisme dan sinkristisme tidak dapat membarui hidup orang yang di dalam konteks

budaya tersebut. Hal ini ditegaskan oleh Yakob Tomatala bahwa, “Kontekstualisasi

yang benar terjadi dalam dua arah, ‘inkarnasi’ dan ‘refleksi’, yang dihubungkan

dengan transformasi Kristus, dan ini akan membawa dampak perubahan seimbang”.28

b. Kontekstualisasi Injil oleh Rasul Paulus

Kontekstualisasi Injil oleh Rasul Paulus dinyatakan dalam

ajaran kenotis (pengosongan diri) Kristus, sikap hidup, serta pendekatan

kontekstualnya kepada setiap masyarakat yang didatanginya. Rasul Paulus

mengemukakan tentang kenotis Kristus dalam Filipi 2:5-11 yakni Yesus Krsitus

mengambil rupa manusia, menjadi hamba dan solider utuh dengan manusia untuk

menanggung dosa-dosa manusia. Dasar penting untuk proses terjadinya

kontekstualisasi melalui pengosongan diri. Untuk masuk dalam budaya orang lain
27
Ibid., hlm. 25.
28
Ibid.

22
seseorang harus meninggalkan jati dirinya untuk manunggal dengan orang lain. Perlu

disadari bahwa identitas diri yang menjadi latar belakang tidak dapat disangkal.

Dasar  kenotis  Kristus menjadi pijakkan utama Rasul Paulus dalam  determinasi

(ketetapan hati dalam menentukan untuk memenangkan sebanyak mungkin orang

bagi Kristus. Rasul Paulus memastikan dirinya untuk tidak kompromi tetapi memiliki

tujuan yang jelas terlihat dalam sikap seperti ini yang kontekstual) kontekstual yang

dituangkan dalam 1 Korintus 9:16-27.  Dari sisi ini dapat ditemukan 2 makna yang

berhubungan yaitu:

1) Kontekstual Etis

Sikap etis menyangkut bagaimana seorang pelayan antar budaya dapat

menempatkan diri untuk menghargai budaya orang lain, sehingga tercipta refleksi

teologi yang positif. Sikap tersebut antara lain:

a) Tidak menghakimi orang dengan semena-mena – 1 Korintus 4:1-5.

b) Rendah hati – 1 Korintus 4:6-21.

c) Mengembangkan sikap untuk tidak diperhamba oleh apapun juga –

1 Korintus 6:12b.

d) Mengembangkan sikap peka terhadap orang lain – 1 Korintus 8:1-

13.

e) Mengembangkan pergaulan yang baik sebagai orang yang

mengenal Allah – 1 Korintus 15:33-34.

f) Mengembangkan hubungan kerja jemaat antar gereja lokal dan

antar etnis – 1 Korintus 16:1-9.

23
2) Kontekstual Prakmatis

Sikap kontekstual  prakmatis  menyangkut sikap terhadap diri sendiri yang

membawa kegunaan bagi pengembangan Injil dalam konteks. Sikap ini

dikembangkan oleh Rasul Paulus dengan cara:

a) Melihat tugas pemberitaan Injil sebagai tugas yang wajib tanpa

ditawar-tawar – 1 Korintus 9:16.

b) Menetapkan sikap inkarnasi-kenotis terhadap semua kelompok

orang, dengan menjadi seperti orang dalam, pada setiap konteks – 1

Korintus 9:19-24. Sikap inkarnasi dimulai dengan sikap hamba

untuk menjadi segala-galanya bagi semua orang. Menjadi hamba

untuk melayani adalah dasar inkarnasi.

c) Mengembangkan disiplin faedah ganda – bagi diri dan orang lain –

1 Korintus 9:24-27.29

Dengan memperhatikan setiap uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa

kontekstualisasi yang berdampak adalah menempatkan Kristus yang terutama dalam

setiap pengajaran yang tidak bisa dikompromikan tetapi dalam praksisnya,

fleksibelitas terhadap budaya perlu diperhatikan. Prinsip-prinsip ajaran Alkitab tidak

dapat dikompromikan tetapi dalam kontekstualisasi fleksibilitas pengajaran perlu

diperhatikan. Ini dilakukan dengan sebuah tujuan yang jelas bukan sekedar fleksibel

tanpa arah.

B. Dinamika Misi yang Kontekstual

Yakob Tomtala berkaitan dengan dinamika misi menegaskan bahwa:

“Dinamika (kekuatan/ kuasa/otoritas) misi Allah adalah KUASA-Nya yang dahsyat

29
Op.cit., hlm. 28.

24
dan agung, yang ada pada diri-Nya yang berdaulat”. 30 Dengan demikian, sumber

dinamika misi yang kontekstual ialah Allah Tritunggal.

1. Allah Bapa: sumber misi

Dari perspektif misi, Allah Bapa adalah sumber utama misi. Misi menjadi isi

hati Allah. Hal itu dikenal dengan istilah “Missio Dei” (Pengutusan Allah). Ini berarti

Allah sebagai pengambil inisiatif untuk mengutus Yesus Kristus ke dalam dunia ini

untuk melaksanakan kehendak-Nya, karena Allah menghendaki supaya manusia yang

berdosa di selamatkan dan memiliki hidup yang kekal yang disediakan Allah bagi

mereka yang percaya kepada-Nya – 2 Petrus 3:9; Yohanes 3:16; Kejadian 3:15.

Artinya, Allahlah yang menjadi subjek, sumber, inisiator, dinamisator dan pelaksana

serta penggenap misi-Nya. Dialah Pengutus Agung. Dialah juga alfa (yang awal) dan

omega (yang akhir) dari misi-Nya. Dengan demikian, misi dikandung oleh Allah,

lahir oleh Allah, dipelihara oleh Allah, dilaksanakan oleh Allah dan digenapi oleh

Allah. Sasaran misi Allah ialah manusia berdosa. Motif misi Allah adalah kasih

karena Allah itu kasih – 1 Yohanes 4:8, 16. Bukti kasih Allah ialah dengan mengutus

Anak-Nya yang Tunggal, yaitu Yesus Kristus sebagai Penebus dan Penyelamat

Tunggal serta Pembebas Sempurna bagi manusia berdosa – Yohanes 3:16. Secara

singkat ada sembilan langkah bagaimana Allah Bapa berperan untuk menyelamatkan

manusia yang berdosa.

“1) Allah Bapa ada sebelum segala sesuatu ada. Langit dan bumi termasuk

manusia diciptakan untuk menghormati Allah. 2) Allah Bapa menciptakan segala

sesuatu dalam keadaan amat baik adanya. Sebagai pencipta, Dia tidak ingin ada orang

yang hidup di luar hubungan dengan Dia. 3) Allah Bapa menyediakan kerajaan surga

30
Yakob Tomatala, Teologi Misi, Jakarta: YT Leadership Foundation, 2003, hlm. 54.

25
bagi manusia sejak dunia dijadikan. Sebelum manusia lahir, Allah sudah

merancangkan damai sejahtera bagi umat manusia. 4) Allah Bapa langsung mencari

hubungan dengan manusia yang baru jatuh dalam dosa (Kejadian 3). 5) Allah Bapa

langsung menolong manusia yang telah berdosa. Sesudah Adam dan Hawa jatuh

dalam dosa, Tuhan mencari mereka dan memberi pakaian kepada mereka. 6) Allah

Bapa langsung menjanjikan keselamatan kepada manusia yang berdosa (Kejadian

3:15). 7) Allah Bapa memilih suatu bangsa, supaya mereka menjadi saluran

keselamatan bagi manusia. Allah memanggil Abraham dan bangsa Israel untuk

menjadi berkat bagi semua bangsa di seluruh dunia (Kejadian 12:1-3). 8) Allah Bapa

yang adil dan suci menghukum manusia dengan jujur. Mulai dari Adam yang harus

diusir dari Firdaus, manusia tidak bisa lagi berhubungan langsung dengan Tuhan. 9)

Allah Bapa mengutus Anak-Nya yang Tunggal sebagai Juru Selamat manusia.

(Yohanes 3:19) Ini merupakan pengorbanan yang terbesar Allah Bapa bagi

manusia”.31

Kedua, Missio Christie (Pengutusan Kristus) ini berarti Yesus Kristus sebagai

pengambil inisiatif untuk mengutus murid-murid-Nya agar menjadikan orang

lain murid-Nya. (Matius 28 : 18 – 20; Yohanes 20 : 21 – 23).

Ketiga, Missio Ecclesiae (Pengutusan Gereja) ini berarti gereja sebagai

pengembil inisitif untuk mengutusatau mengirim para utusan Injil yang lebih

dikenal dengan Penginjil untuk memberitakan Injil Yesus Kristus. (Kisah Para

Rasul . 13 : 1 – 3).

31
----. Peran Allah Bapa Dalam Misi, Sidoarjo: Terang Lintas Budaya, 2006, hlm. 6.

26
2. Yesus Kristus: teladan misi

“Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula

Aku mengutus mereka ke dalam dunia” – Yohanes 17:18. David Livingstone dalam

memberikan perspektifnya tentang stagmen Yesus dalam ayat di atas dan dikutip oleh

Yakob Tomatala, mengatakan: “Allah hanya memiliki seorang Putra dan Ia

menjadikan Putra-Nya itu seorang Misionari”.32 Tentang pandangan Livingstone

tersebut, Yakob Tomatala member argumentasi demikian: “Dari pernyataan ini,

tersirat kebenaran bahwa “Allah hanya memiliki satu rencana untuk membawa

shalom bagi manusia serta segenap ciptaan-Nya”. Kehadiran TUHAN Yesus Kristus

di bumi adalah bukti kesetiaan Allah memenuhi janji-Nya (Kejadian 3:15; Banding: I

Timotius 2:5; Galatia 4:4; I Yohanes 2:1-2)”.33

Menganalisa dan mendalami pernyataan Tuhan Yesus dalam Injil Yohane

17:18, di atas menurut penulis, secara tersurat, Tuhan Yesus Kristus melihat diri-Nya

sebagai seorang Pribadi yang menjadi pelaksana misi. Kepada-Nya diberi otoritas

untuk melaksanakan misi yang dimandatkan kepada-Nya oleh Allah Bapa. Yakob

Tomatala juga member komentar demikian: “Melihat dari sudut lain, pernyataan

TUHAN Yesus juga menegaskan Ia sendiri adalah Misionari yang diutus oleh Allah

Bapa dengan tugas missioner, yaitu membawa shalom kepada manusia berdosa dan

segenap ciptaan-Nya (Banding: Yohanes 14:6, 27; 8:29). Kebenaran lain yang tersirat

dalam pernyataan TUHAN Yesus di atas ialah, bahwa Ia menunjuk kepada diri-Nya

sebagai Pengutus, dan para murid-Nya (Umat-Nya – Banding Matius 1:21; I Petrus

2:9-10) adalah misionari-misionari-Nya yang terutus ke dalam dunia dengan tugas

32
Yakob Tomatala, Teologi Misi, Jakarta: YT Leadership Foundation, 2003, hlm. 15.
33
Ibid.

27
shalom yang sama dari Allah (Banding: Yohanes 20:21)”. 34 Jadi, dari apa yang

dipaparkan tersebut, dapat disimpulkan bahwa: pertama, Tuhan Yesus Kristus adalah

Seorang misionari yang diutus oleh Allah Bapa; kedua, Tuhan Yesus Kristus adalah

Misionari sempurna; ketiga, Tuhan Yesus Kristus adalah Pelaksana Misi yang utuh,

holistik dan sempurna; keempat, Tuhan Yesus Kristus adalah Seorang Misionari

dengan tugas pokok yaitu membawa shalom bagi manusia berdosa dan seluruh

ciptaan-Nya; keempat, Tuhan Yesus Kristus adalah Teladan Sempurna dalam

menjalankan misi Allah Bapa.

3. Roh Kudus: kuasa misi

Jika kita memikirkan misi, sering kita mengaitkan misi dengan kasih Allah

yang begitu besar, sehingga dia mengutus Putra-Nya untuk menyelamatkan dunia ini.

Hal ini memang benar, tetapi kita sering kurang memerhatikan karya Roh Kudus

dalam misi sedunia.

Roh Kudus adalah Penggerak Misi

Dalam Kisah Para Rasul 1:8 dikatakan: "Tetapi kamu akan memerima kuasa,

kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem

dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." Roh Kudus dijanjikan

Tuhan Yesus sebelum naik ke surga supaya murid-murid-Nya menjadi saksi-Nya.

Tanpa digerakkan dan dipimpin oleh Roh Kudus, murid-murid-Nya tidak bisa

menyaksikan kasih dan kemuliaan Allah di seluruh dunia. Roh Kudus menentukan

strategi dan cepatnya pemberitaan Injil. Roh Kudus menggerakkan manusia untuk

menunggu hingga saat yang paling cocok (kairos dalam PB) dan Ia juga memimpin

murid-murid-Nya untuk pergi dan memberitakan Injil. Kapan menunggu dan kapan

34
Ibid.

28
pergi tidak ada di tangan manusia. Roh Kudus akan mengatur. Itu sebabnya para

murid tidak langsung disuruh pergi sesudah Tuhan Yesus naik ke surga, melainkan

diminta menunggu sampai Roh Kudus turun dan memimpin mereka.

Roh Kudus adalah Pelaksana Misi

Setiap orang Kristen yang sudah menerima Roh Kudus dan dipenuhi oleh-

Nya, tidak mungkin tidak berbicara tentang Injil. Roh Kudus akan membuka mata

rohani dunia dan orang yang belum percaya agar mereka mengerti dan diinsafkan

akan dosa mereka – Kisah Para Rasul 2:4-11, 41.

Selain itu, Roh Kudus selalu memperlengkapi pelaku misi dengan apa yang

dibutuhkan pada waktu berhadapan dengan kenyataan kesulitan di lapangan. “... tetapi

mereka tidak sanggup melawan hikmatnya dan roh yang mendorong dia (Stefanus)

berbicara” – Kisah Para Rasul 6:10. Seperti Roh Kudus mengurapi Tuhan Yesus, Dia

juga memampukan murid-murid-Nya untuk setiap jenis pelayanan misi, seperti

diungkapkan dalam Lukas 4:18: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah

mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia

telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan,

dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang

tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang”.

Pelayanan misi yang holistik mencakup semua aspek kehidupan umat

manusia. Pemulihan dan transformasi bukan hanya di bidang rohani, tetapi juga

mencakup kehidupan jasmani (sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain). Yesus

menunjukkan itu dalam hidup pelayanan-Nya. Roh Allah mengurapi-Nya,

menyatakan jenis pelayanan apa yang dilakukan terhadap bagian masyarakat yang

memiliki kebutuhan berbeda. Itu berarti Injil adalah jawaban bagi kehidupan manusia,

29
bukan hanya di bidang agama, melainkan dalam semua aspek kehidupan manusia.

Pelayanan yang sejati bukan hanya berbicara tentang Tuhan Yesus dan memberikan

kesaksian, melainkan berbuat dan hidup seperti Dia.

Roh Kudus adalah Pengutus Misionaris

Roh Kudus juga mengetahui orang Kristen yang mana yang cocok untuk

diutus “keluar” dari zona kenyamanan mereka kepada bangsa yang lain, apakah itu ke

dalam atau ke luar negeri. Seperti Dia dulu mengutus Paulus dan Barnabas, Roh

Kudus masih mengutus para misionaris masa kini. Paulus dan Barnabas adalah orang-

orang terbaik, pemimpin-pemimpin gereja Antiokhia yang direlakan, diutus, dan

dipersembahkan bagi pelayanan di luar tembok gereja untuk menjadi berkat bagi

bangsa-bangsa – Kisah Para Rasul 13:2-3. Waktu doa puasa, gereja Antiokhia

bersedia mendengarkan dan menaati suara Roh Kudus untuk mengutus kedua sosok

gereja mereka. Mereka tidak merasa dirugikan kalau harus mengizinkan Paulus dan

Barnabas melakukan misi Tuhan, melainkan mereka terlibat secara aktif sebagai

pengutus kedua hamba itu. Antiokhia, sebagai gereja misioner, menjadi teladan dalam

sejarah misi untuk tidak mempertahankan tenaga dan pemimpin mereka yang baik,

melainkan rela mengutus mereka dan taat kepada Roh Kudus. Gereja masa kini sering

tidak seperti gereja Antiokhia. Mereka sering banyak perhitungan dan merasa

dirugikan jika taat kepada suara Tuhan. Bagaimana dengan kita? Apakah kita bersedia

mengutus misionaris dan mendukung mereka lewat doa, dana, dukungan moral, dan

komunikasi? Taat kepada Tuhan berarti tidak dirugikan, melainkan diberi kesempatan

untuk mengambil bagian dalam kemenangan Tuhan dan memberi sukacita kepada

gereja sendiri.35

35

30
BAB III

CARA PENERAPAN

31
MISI ALKITABIAH YANG KONTEKSTUAL

Kontekstualisasi tidak terbatas hanya kepada tataran konsep atau teori semata.

Kontekstualisasi yang benar dan Alkitabiah ialah kontekstualisasi yang dibangun di

atas konsep dan teori yang benar. Tetapi juga harus aplikatif atau dapat diterapkan

atau dapat menjawa kebutuhan konteks yang sangat kompleks dan beragam.

Petrus Octavianus (Octavianus 1985: 109-110) berkaitan dengan

kontekstualisasi yang dikutip oleh Budiman R. L., dalam buku Pelayanan Lintas

Budaya dan Kontekstualisasi, mengatakan: “Banyak gereja di Asia mengikuti suatu

pola yang sebenarnya merupakan pola Barat … orang-orang Kristen Indonesia telah

begitu terbiasa dengan pola-pola kebaktian yang diimpornya … dalam keadaan

demikian, pola tata kebaktian itu menjadi asing bagi masyarakat sekitarnya dan hal itu

bisa menghambat perluasan kegerakan Injil. Dengan demikian, gereja-gereja di Asia

harus berusaha menemukan suatu pola tata kebaktian (soma) yang memungkinkan

pemberitaan Injil (kerygma) dapat menerobos masyarakat seluruhnya”.36 Di sini

Petrus Octavianus memotivasi gereja-gereja di Asia agar jangan hanya mengadopsi

model tata ibadah yang dilakukan oleh misionaris-misionaris dari Eropa atau Barat,

tetapi juga berupaya untuk menggali model tata ibadah yang kontekstual atau yang

cocok dengan budaya Asia. Artinya di Asia pun ada cara yang tepat dalam

menatalayani ibadah bagi orang Asia sendiri yang pasti relevan dengan konteks hidup

dan budaya manusia Asia. Oleh karena itu, pemimpin gereja atau para teolog atau

para misionari yang melayani di Asia harus berupaya keras menemukan cara akurat

dalam upaya pemberitaan Injil bagi orang Asia, supaya Injil itu tidak menjadi asing

36
Budiman R. L., Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi, hlm. 41.

32
atau tidak diterima atau tidak dikenal oleh orang Asia atau menjadi kabur upaya

kerygma bagi orang Asia.

Yakob Tomatala dalam buku Teologi Kontekstualisasi (Suatu Pengantar),

mengatakan: “Proses kontekstualisasi adalah usaha integrative yang memadukan

segala upaya pemahaman kognitif tentang pandangan Alkitab terhadap

kontekstualisasi; pemahaman terhadap budaya dan manusia dalam konteks budaya

tersebut serta usaha pendekatan Injil dalam mekanisme budaya pada setiap konteks.” 37

Di sini, Yakob Tomatala melihat bahwa kontekstualisasi merupakan suatu proses

yang holistik dan terintegrasi berbasiskan Alkitab. Tidak hanya pada upaya kognitif

saja atau pada tataran pengetahuan manusiawi saja. Kontekstualisasi harus merupakan

suatu proses dan upaya yang memadukan dan menyatukan pola trialektika, yaitu

Alkitab, budaya manusia sebagai konteks dan pengetahuan misionari.

Yakob Tomatala menegaskan bahwa: “Alkitab menempatkan Allah di atas

budaya dan bekerja melalui budaya. Alkitab selalu memberi batas yang tegas antara

Allah, Sang Pencipta, dengan manusia sebagai makhluk, dan alam ciptaan-Nya. Allah

Alkitab adalah Allah yang mahatinggi, namun juga menaruh perhatian pada manusia

dan seluruh ciptaan-Nya. Itulah sebabnya, Alkitab juga melukiskan Allah yang

menyatakan diri ke dalam dan melalui budaya manusia”.38 Supremasi Allah adalah

segala-galanya atas budaya. Dalam kuasa dan kedaulatan-Nya, Allah berkarya,

menaruh kepedulian sempurna dan mengungkapkan diri-Nya melalui budaya

manusia. Tuhan Yesus menyatakan dalam Yohanes 20:21b “Seperti Bapa mengutus

Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu”.  Pernyataan ini membuktikan

37
Yakob Tomatala, Teologi Kontekstualisasi (Suatu Pengantar), Malang: Gandum Mas, hlm.
73.
38
Ibid.

33
bahwa Tuhan Yesus adalah seorang Misionaris yang Misioner (Utusan yang

mengutus). Pernyataan itu juga memberikan teladan bahwa Tuhan Yesus

menginginkan tugas pemberitaan Injil terus dilakukan secara berkesinambungan.

Karena itu, seorang Pemimpin dituntut sebagai seorang misionaris yang dalam

menjalankan tugasnya mengutamakan pemberitaan Injil. Pemimpin dalam lingkup

gerejawi bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan dalam gereja tersebut. Sebagai

Pemimpin jemaat, seorang Pendeta mempunyai tugas untuk menggerakkan seluruh

komponen dalam gereja (Pengerja, Majelis Jemaat, seluruh Jemaat) untuk

menjalankan visi pemberitaan Injil disamping tugas-tugas yang lain. Young G. Chai

menulis dalam bukunya Jemaat Rumah; Penggembalaan Bersama dengan Orang

Awam  sebagai berikut: “Semangat Penginjilan yang berkobar-kobar bukan berarti

Pendeta harus menjadi orang yang mengedarkan traktat penginjilan kepada semua

orang. Bukan berarti dia juga harus mendorong orang-orang supaya datang ke gereja

dengan cara kunjungan ke setiap rumah. Memang hal seperti ini bisa menjadi

pernyataan bahwa dia mempunyai semangat penginjilan. Tetapi bukan hanya itu saja

yang merupakan semangat penginjilan”.39

Apa yang dinyatakan Chai pada kutipan di atas menunjukkan bahwa

pemimpin jemaat tidak secara langsung menangani semua kegiatan pemberitaan Injil

tetapi memberikan wewenang kepada jemaat untuk menjalankannya. Chai

mempertegas dengan menyatakan bahwa “Saya sendiri menggembalakan dengan

tujuan menyelamatkan jiwa. Saya menekankan pentingnya penginjilan kepada jemaat

secara terus menerus”.40 Hal ini menunjukkan bahwa seorang Pemimpin disamping

39
Young G. Chai, Jemaat Rumah: Penggembalaan Bersama dengan Orang Awam, Jakarta:
Gloria Cipta Grafika, 2005, hlm. 150.
40
Ibid., hlm. 152.

34
sebagai seorang pemberita Injil juga menggerakkan orang lain untuk melakukannya

sehingga efektif dan melibatkan banyak orang dalam pelaksanaannya.

A. Ragam Pola Pendekatan Kontekstualisasi

Pendekatan kontekstualisasi memiliki pola yang beragam. Pola yang beragam

ini tentu dibangun di atas fondasi teologi kontekstualisasi yang Alkitabiah. Di sisi

lain, ada proses penafsiran holistik tentang esensi suatu pengajaran tertentu. Yakob

Tomatala menegaskan bahwa: Model-model pendekatan teologi kontekstualisasi ialah

beberapa model penafsiran tentang berteologi dalam konteks yang didasarkan atas

prinsip dogmatic tertentu. Model-model pendekatan ini memberikan gambaran umum

tentang usaha berteologi dalam konteks yang pernah dibuat. Di samping itu, model-

model tersebut menolong kita mengadakan evaluasi tentang sejauh mana suatu

pendekatan teologi kontekstualisasi yang alkitabiah dapat dibuat. Ini juga akan

menghindarkan kita dari kesalahan-kesalahan yang pernah dan akan timbul nanti”.41

Menurut Yakob Tomatala, ada beberapa model berkontekstualisasi, yaitu:

1. Model akomodasi (Kisah Para Rasul 17:28)

“Akomodasi adalah sikap menghargai dan terbuka terhadap kebudayaan asli

yang dilakukan dalam sikap, kelakuan, dan pendekatan praktis dalam tugas misionaris

baik secara teologi maupun secara ilmiah. Obyek akomodasi adalah kehidupan

budaya yang menyeluruh dari suatu bangsa baik dari segi fisik, sosial, maupun

ideal”.42 Di sini dapat dilihat bahwa secara holistik keberhasilan model akomodasi ini,

sangat ditentukan oleh peran aktif seorang misionaris dalam upaya pendekatan

kontekstualisasi Injil. “Dalam proses ini terjadi perpaduan nilai hidup kristiani di

mana Kristus menjadi penyempurna dan pelengkap aspirasi budaya. Dengan demikian
41
Yakob Tomatala, Log Cit., hlm. 77.
42
Ibid.

35
akan terdapat sikap positif terhadap Injil yang didasarkan atas pandangan bahwa

anugrah Allah (Injil) tidak menghancurkan budaya manusia, tetapi justru melengkapi

dan menyempurnakan”.43

2. Model adaptasi

Ada perbedaan antara model akomodasi dengan model adaptasi ini.

Perbedaannya ada pada cara melakukan pendekatan. “Model adaptasi tidak

mengasimilasi unsure budaya dalam mengeskpresikan Injil, tetapi menggunakan

bentuk dan ide budaya yang dikenal. Contoh yang jelas, Yohanes menggunakan ide

logos untuk menjelaskan kebenaran penjelmaan/inkarnasi (Yohanes 1) dan Paulus

menggunakan konsep rahasia (II Korintus 3:18). Tujuan adaptasi ialah

mengekspresikan dan menerjemahkan Injil dalam istilah setempat (indigenous terms)

sehingga menjadi relevan dalam situasi budaya tersebut”.44 Model adaptasi adalah

upaya untuk memaparkan kebenaran tentang Injil dengan memakai bentuk dan

gagasan budaya setempat yang dikenal, dipahami, dan dimengerti oleh pendengar

Injil.

3. Model prossesio

“Prossesio adalah sikap yang menanggapi kebudayaan secara negative. Proses

prossesio terjadi melalui seleksi, penolakan, reinterpretasi dan rededikasi. Kelompok

prossesio melihat kebudayaan sebagai sesuatu yang sudah rusak oleh dosa dan tidak

ada kebaikan yang muncul dari dalamnya”.45 Pendapat ini tidak melihat pernyataan

Alkitab secara holistik. Memang manusia sudah berdosa. Namun belum tentu semua

budaya yang dihasilkan oleh manusia juga berdosa. Sebab budaya memiliki sisi

43
Ibid., hlm. 78.
44
Ibid.
45
Ibid.

36
positif, tidak melulu negatif. Perspektif yang salah terhadap budaya akan menjadi

perintang dalam pelaksanaan misi Allah. Oleh sebab itu, model prossesio harus

diletakkan di bawah terang firman Allah.

4. Model transformasi

Berkaitan dengan model di atas, Yakob Tomatala mengatakan: “Allah itu di

atas budaya, dan melalui budaya itu pula Allah menggunakan elemen-elemen

kebudayaan untuk berinteraksi dengan manusia. Bila seseorang dibaharui oleh Allah,

maka inti kebudayaannya juga dibaharui (II Korintus 5:17)”.46 Pemegang otoritas dan

kekuasaan tertinggi ialah Allah. Budaya manusia harus tunduk kepada supremasi

Allah. Kendati demikian, dalam otoritas dan kedaulatan-Nya, Allah memakai

kebudayaan untuk menyatakan kehendak dan kuasa-Nya kepada manusia. Setiap

manusia yang mengalami perjumpaan pribadi dengan Allah melalui kebudayaannya,

akan mengalami transformasi hidup yang juga meliputi dirinya dan juga budayanya.

5. Model dialektik

Dalam mengulas model di atas, Yakob Tomatala menegaskan: “Ini adalah

interaksi dinamis antara teks dengan konteks. Konsep ini didukung oleh perkiraan

yang kuat bahwa perubahan pasti ada dalam kebudayaan. Untuk setiap kurun waktu

perubahan itu terjadi secara dinamis. Dengan demikian Gereja harus menggunakan

peran kenabiannya untuk menganalisis, menginterpretasi, dan menilai setiap

keadaan”.47 Model dialektik menunjukkan bahwa ada komunikasi yang relevan antara

teks (Berita Injil atau Kabar Baik) dengan konteks (Manusia Budaya). Di sisi lain,

kebudayaan manusia di dalam dirinya punya potensi untuk terbuka terhadap

46
Ibdi., hlm. 79.
47
Ibid.

37
perubahan. Injil yang utuh dan sempurna mampu membaharui kebudayaan yang

terbuka terhadap Injil.

B. Unsur-unsur Kontekstualisasi

Dalam berkontekstualisasi, ada unsur-unsur penting yang harus diperhatikan.

Bila unsur-unsur tersebut diabaikan, maka proses kontekstualisasi akan mengalami

jalan buntu. Berikut unsur-unsur kontekstualisasi.

1. Tiga bidang kontekstualisasi

Budiman R. L., berkaitan dengan tiga bidang kontekstualisasi mengatakan:

“Yang dimaksud oleh tiga bidang kontekstualisasi ialah penginjil, Injil dan jemaat

yang didirikan harus kontekstual. Misalnya, jika seorang penginjil ingin menjangkau

orang Sunda, ia harus bisa berbahasa Sunda, mengikuti adat istiadat Sunda, dan

mengerti pola pikir orang Sunda. Sebagai komunikator kabar baik, penginjil ini harus

berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi seperti orang Sunda”.48

Mencermati apa yang dipaparkan di atas, kita melihat bahwa tekanan

utamanya ialah kepada penginjil. Artinya, betapa pentingnya skill yang harus dimiliki

oleh seorang penginjil. Lebih daripada itu, penginjil juga harus memiliki wawasan

dan pengetahuan yang komprehensif tentang suatu kebudayaan seperti contoh di atas

yaitu tentang kebudayaan suku Sunda. Penginjil dituntut untuk memahami secara utuh

word view suku Sunda, supaya berita Injil yang disampaikannya dapat diterima atau

disambut positif oleh suku Sunda.

Selain penginjil, teks dalam hal ini berita Injil harus disampaikan sesuai

dengan elemen-elemen kebudayaan setempat. Artinya, ada kontekstualisasi Injil yang

dilakukan oleh penginjil. “Dengan kontekstualisasi kita harapkan berita yang

48
Budiman R. L., Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi, hlm. 40.

38
disampaikan tidak asing bagi pendengarnya; agar komunikasi itu relevan; agar berita

itu menjawab kebutuhan dan agar teologi yang dipikirkan menjawab masalah-masalah

kontemporer”.49

Jemaat yang didirikan dalam suatu kebudayaan seyogianya disesuaikan

dengan dan menjawab kebutuhan dari masyarakat setempat. Misalnya, tata acara

kebaktian, busana yang dikenakan ketika beribadah, bangunan fisik tempat beribadah,

tempat kitab suci diletakkan, posisi duduk dari jemaat yang menghadiri kebaktian,

bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi pada waktu ibadah dilakukan dan lain

sebagainya, harus dikontekstualkan agar sungguh-sungguh hal-hal itu menyatu dan

menjawab kebutuhan masyarakat setempat.

2. Dua prinsip kontekstualisasi

Dalam berkontekstualisasi, ada prinsip-prinsip yang sangat esensi yang harus

dipegang teguh oleh penginjil dan para misionari. Prinsip kontekstualisasi ini telah

dilakukan baik oleh Tuhan Yesus Kristus maupun oleh rasul Paulus.

a. Hidup sebagai hamba

Berkaitan dengan hidup sebagai hamba dalam prinsip kontektualisasi, rasul

Paulus menulis kepada jemaat di Filipi demikian: “Hendaklah kamu dalam hidupmu

bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang

walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai

milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan

mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam

keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati,

bahkan sampai mati di kayu salib” – Filipi 2:5-8. “Ini berarti lahir ke dunia sebagai

49
B. S. Sidjabat, Kebudayaan dan Misi, Bandung: Sahabat Gembala, Mei 1986, hlm. 10.

39
manusia, hidup dalam sejarah manusia, menjadi bagian dari konteks budaya manusia,

dst. – singkatnya, berpadu dengan hakikat manusia secara utuh. Dengan demikian,

inkarnasi melambangkan solidaritas Yesus Kristus dengan manusia secara utuh dalam

lingkup sosial budaya manusia. Namun, perlu disadari bahwa inkarnasi Kristus terjadi

bukan untuk tujuan inkarnasi itu sendiri, melainkan untuk menyatakan Allah kepada

dunia (Yohanes 1:18). Di sini perlu ditegaskan bahwa inkarnasi Kristus memiliki

tujuan misional, untuk membuktikan kasih Allah kepada dunia (Yohanes 3:16), bagi

pembebasan dunia itu sendiri (Yohanes 1:29)”.50

Kontekstualisasi Injil oleh Rasul Paulus dinyatakan dalam ajaran  kenotis

(pengosongan diri) Kristus, sikap hidup, serta pendekatan kontekstualnya kepada

setiap masyarakat yang didatanginya. Rasul Paulus mengemukakan tentang  kenotis 

Kristus dalam Filp. 2:5-11 yakni Yesus Krsitus mengambil rupa manusia, menjadi

hamba dan solider utuh dengan manusia untuk menanggung dosa-dosa manusia.

Dasar penting untuk proses terjadinya kontekstualisasi melalui pengosongan diri.

Untuk masuk dalam budaya orang lain seseorang harus meninggalkan jati dirinya

untuk manunggal dengan orang lain. Perlu disadari bahwa identitas diri yang menjadi

latar belakang tidak dapat disangkal. Dasar kenotis Kristus menjadi pijakkan utama

Rasul Paulus dalam determinasi kontekstual yang dituangkan dalam 1 Kor. 9:16-27. 

Dari sisi ini dapat ditemukan 2 makna yang berhubungan yaitu:

1) Kontekstual Etis

Sikap etis menyangkut bagaimana seorang pelayan antar budaya dapat

menempatkan diri untuk menghargai budaya orang lain sehingga tercipta refleksi

teologi yang positif. Sikap tersebut antara lain: pertama, Tidak menghakimi orang
50
Yakob Tomatala, Teologi Kontekstualisasi (Suatu Pengantar), Malang: Gandum Mas, hlm.
22-23.

40
dengan semena-mena (1 Kor. 4:1-5); kedua, Rendah hati (1 Kor. 4:6-21); ketiga,

Mengembangkan sikap untuk tidak diperhamba oleh apapun juga (1 Kor. 6:12b);

keempat, Mengembangkan sikap peka terhadap orang lain (1 Kor. 8:1-13); kelima,

Mengembangkan pergaulan yang baik sebagai orang yang mengenal Allah (1 Kor.

15:33-34); keenam, Mengembangkan hubungan kerja jemaat antargereja lokal dan

antaretnis (1 Kor. 16:1-9).

2) Kontekstual Prakmatis

Sikap kontekstual prakmatis  menyangkut sikap terhadap diri sendiri yang

membawa kegunaan bagi pengembangan Injil dalam konteks. Sikap ini

dikembangkan oleh Rasul Paulus dengan cara: pertama, Melihat tugas pemberitaan

Injil sebagai tugas yang wajib tanpa ditawar-tawar (1 Kor. 9:16); kedua, Menetapkan

sikap inkarnasi-kenotis terhadap semua kelompok orang, dengan menjadi seperti

orang dalam, pada setiap konteks (1 Kor. 9:19-24). Sikap inkarnasi dimulai dengan

sikap hamba untuk menjadi segala-galanya bagi semua orang. Menjadi hamba untuk

melayani adalah dasar inkarnasi; ketiga, Mengembangkan disiplin faedah ganda –

bagi diri dan orang lain, (1 Kor. 9:24-27).

Dengan memperhatikan setiap uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa

kontekstualisasi yang berdampak adalah menempatkan Kristus yang terutama dalam

setiap pengajaran yang tidak bisa dikompromikan tetapi dalam praksisnya,

fleksibelitas terhadap budaya perlu diperhatikan. Prinsi-prinsip ajaran Alkitab tidak

dapat dikompromikan tetapi dalam kontekstualisasi fleksibilitas pengajaran perlu

diperhatikan. Ini dilakukan dengan sebuah tujuan yang jelas bukan sekedar fleksibel

tanpa arah.

b. Hidup di bawah hukum Kristus

41
“Bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi

seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup

diluar hukum Allah, karena aku hidup di bawah hukum Kristus, supaya aku dapat

memenangkan mereka yang tidak hidup di bawah hukum Taurat” – 1 Korintus 9:21.

“Walaupun pendekatan Paulus luwes sekali, namun ia memiliki suatu tolok ukur. Ia

peka terhadap kebudayaan, tetapi tunduk kepada firman Allah … sekalipun ia

menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat, ia tetap hidup di bawah hukum

Kristus. Hukum Kristus, firman Allah, merupakan tolok ukur baginya. Firman Allah

adalah wewenang tertingginya. Meskipun ia harus menyesuaikan diri, ia juga menguji

segala sesuatu dengan firman Allah supaya Injil yang disampaikan itu tetap murni.

Paulus menyadari bahwa Injil itu asal dari Tuhan. Dari satu segi Injil itu “asing” bagi

segala suku. Kebudayaan biasanya bercampur dengan agama lokal. Tidak ada suatu

kebudayaan yang murni. Karena itu setiap kebudayaan harus dikoreksi dan diperbaiki

melalui firman Allah. Hanya firman Allah yang menjadi ukuran Rasul Paulus untuk

menilai segala sesuatu. Oleh sebab itu, sekalipun Paulus menyesuaikan diri, ia tetap

berpegang teguh pada firman Allah. Meskipun ia bersikap luwes, ia selalu hidup di

bawah hukum Kristus”.51

3. Tiga cara kontekstualisasi

Almarhum J. H. Bavinck, ahli misiologi mengatakan dan dikutip oleh

Budiman R. L., mengatakan: “Orang-orang Kristen haru mengambil pemilihan sah

dari adat istiadat dan kebudayaan-kebudayaan yang memberi kepadanya pengertian-

pengertian serta isi baru dan yang mengarahkan mereka untuk pelayanan bagi Kristus

… Adalah tidak pernah mudah untuk memutuskan apakah suatu adat/kebiasaan boleh

51
Budiman R. L., Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi, hlm. 8-9.

42
dipertahankan atau harus ditolak” (Bavinck 1960:175-179, 190).52 Sedangkan

menurut Dr. Dean Gilliland dari Fuller Theological Seminary School of World

Mission dan dikutip oleh Budiman R. L., mengatakan: “Tugas kontekstualisasi ialah

mengetahui apa yang dapat dipergunakan [dari kebudayaan], apa yang harus ditolak

dan oleh kasih karunia Allah, apa yang dapat ditransformasikan” (Gilliland

1989:25)”.53

Berdasarkan pendapat atau argumentasi pakar misiologi dunia seperti

dikemukakan di atas, maka dapat ditemukan bahwa sesungguhnya ada cara yang

dapat dipergunakan dalam rangka untuk menyampaikan Kabar Baik atau Injil ke

dalam suatu kontek budaya. Upaya kontekstulisasi dimaksud harus diletakkan atas

kasih karunia Allah. Dikatakan demikian, karena Allah adalah segala-galanya dalam

misi kontekstualisasi. Oleh karena itu, tiga cara kontekstualisasi dapat dijabarkan

sebagai berikut.

a. Memanfaatkan unsur kebudayaan

Dalam setiap suku, bahasa dan bangsa, ada unsur-unsur budaya yang positif.

Unsur-unsur budaya yang positif ini berhubungan dengan etika, moralitas, sopan-

santun dan norma sosial. Nilai-nilai buday yang memiliki muatan positif tersebut bisa

dimanfaatkan untuk mensukseskan proses kontekstualisasi. “Memakai berarti semua

atau beberapa unsur kebudayaan yang netral tetap dipertahankan. Setiap kebudayaan

mempunyai beberapa unsur yang netral”.54 Jadi, dalam setiap kebudayaan dipastikan

ada elemen-elemen budaya yang bisa dipergunakan dalam kaitannya dengan

kontekstualisasi. Dr. P. Octavianus yang dikutip oleh Budiman R. L. memberi banyak

52
Ibid., hlm. 42.
53
Ibid.
54
Ibid.

43
contoh berhubungan dengan kontekstualisasi, yaitu: “Penggunaan kopiah, pemakaian

sarung dan kain kebaya, duduk di lantai atau tikar, cara bersalam-salaman,

penggunaan alat-alat music tradisional, penggunaan bahasa Arab dalam pemberitaan

Injil, dan lain-lain” (Octavianus 1985:52-53).”55

b. Mengubah unsur kebudayaan

Pasca kejatuhan manusia ke dalam dosa, maka semua kebudayaan yang

dihasilakannya tidak ada lagi yang murni. Itu sebabnya, harus dikoreksi, diperbaiki

dan dibaharui melalui firman Allah. “Yang dimaksudkan dengan mengubah ialah

memurnikan unsur-unsur kebudayaan yang dapat ditransformasikan supaya berkenan

kepada Allah dan sesuai dengan firman-Nya. Seperti yang dicanangkan oleh Ikrar

Lausanne pasal 10: “Gereja-gereja harus berusaha untuk mengubah dan memperkaya

kebudayaan, dan semuanya itu bagi kemuliaan Allah”.56 Jadi, semua proses dan upaya

mengubah kebudayaan yang dilakukan oleh gereja memiliki tujuan utopi yaitu bagi

kemuliaan Allah.

Dr. Paul Hiebert dari Trinity Evangelical Divinity School, yang dikutip oleh

Budiman R. L. mengatakan bahwa untuk mengubah unsur kebudayaan dapat

dilakukan melalui lima cara, yaitu: “pertama, menambah unsur pada kepercayaan dan

upacara tradisional; kedua, mengurangi, yaitu membuang semua unsur yang

mempunyai konotasi dosa tanpa membuang aspek tradisi tersebut; ketiga, mengganti,

yaitu mengembangkan bentuk atau cara baru yang mempunyai fungsi yang sama

seperti membaca Alkitab sebagai pengganti untuk membaca kitab suci lain; keempat,

memberi tafsiran baru pada cara atau bentuk kebudayaan; kelima menciptakan unsur

55
Ibid., hlm. 42-43.
56
Ibid., hlm 43.

44
baru, asal mereka mempunyai banyak kesamaan dengan adat setempat” (Hiebert

1985:171-192)”.57

c. Membuang unsur kebudayaan

Elemen-elemen kebudayaan yang bertentangan dengan Allah dan firman-Nya

harus dibuang. “Kita harus membuang beberapa unsur yang tidak cocok dengan

firman Allah dan yang tidak mungkin dimurnikan. Misalnya, poligami, upacara-

upacara sembahyang pada waktu kematian, bentuk-bentuk lain yang berhubungan

dengan kuasa kegelapan, seperti praktek-praktek spiritisme dan animism” (Octavianus

1985:54).

Kepentingan membuang unsur-unsur budaya yang bertentangan dengan

firman Allah ialah untuk menghindarkan kontekstualisasi dari terjadinya percampuran

antara unsur kebudayaan dengan Injil, sehingga pengertian Injil menjadi kabur.

Percampuran unsur penting dalam Injil dengan adat-istiadat inilah yang disebut

sinkritisme.

4. Satu tujuan kontekstualisasi

Tujuan tertinggi dalam upaya melakukan kontekstualisasi hanya satu. Tidak

ada tujuan ganda dalam pemberitaan Injil. Tujuan tunggal ini ialah memenangkan

sebanyak mungkin orang bagi Kristus. Rasul Paulus menulis berkaitan dengan tujuan

kontekstualisasi sebagai berikut:

“Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku

hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin

orang. Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya

aku memenangkan orang-orang Yahudi. Bagi orang-orang yang hidup di bawah

57
Ibid., hlm. 45.

45
hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat,

sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah hukum Taurat, supaya aku dapat

memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang

yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang tidak hidup

di bawah hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup di luar hukum Allah, karena aku

hidup di bawah hukum Kristus, supaya aku dapat memenangkan mereka yang tidak

hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti

orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah. Bagi

semua orang aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin

memenangkan beberapa orang dari antara mereka. Segala sesuatu ini aku lakukan

karena Injil, supaya aku mendapat bagian dalamnya” – 1 Korintus 9:19-23.

Berdasarkan bagian dari tulisan Paulus di atas, dapat dilihat bahwa hanya ada

satu goal dan beragam target. Ada enam kali Paulus mengulang pernyataan yang

sama, “supaya aku dapat memenangkan sebanyak mungki orang”. Dengan

pengulangan pernyataan tersebut, menunjukkan bahwa Paulus memiliki satu-satunya

tujuan. Bagi Paulus sangat penting memiliki tujuan yang jelas dalam pemberitaan

Injil. Tujuan yang jelas merupakan motor penggerak untuk memberitakan Injil. Goal

Paulus ialah memenangkan sebanyak mungkin orang. Ini tujuan tertinggi dalam

melaksanakan kontekstualisasi. Target pemberitaan Injil bisa menjangkau berbagai

lapisan masyarakat. Baik dari kalangan terpelajar sampai kepada kalangan

professional. Dari kalangan masyarakat biasa sampai kepada kalangan masyarkat elit.

Secara singkat target pemberitaan Injil menjangkau semua level manusia dengan

berbagai budayanya. Namun, tujuan yang hendak dicapai hanya satu, yaitu

memenangkan sebanyak mungkin orang bagi Kristus.

46
C. Langkah-langkah Kontekstualisasi

Proses kontekstualisasi tidak langsung bisa diterapkan. Ada langkah-langkah

taktis, strategis dan aplikatif yang harus ditempuh supaya berita Injil dapat diterima

oleh konteks budaya dimana Injil diwartakan.

1. Komunikasi Injil dalam berkontekstualisasi

Quentin J. Schultze berkaitan dengan komunikasi mengutip pendapat James

W. Carey menulis demikian: “Kata komunikasi berasal dari bahasa Latin communis,

yang artinya berbagi, menjadikan umum, atau bahkan memiliki sebuha kepercayaan

yang sama”.58 Quentin melanjutkan bahwa: “Ketika kita berkomunikasi, kita

menciptakan, memelihara dan mengubah gaya hidup yang kita miliki. Komunikasi

memampukan kita mengembangkan pendidikan, teknik, bisnis, media, dan setiap

aspek dari budaya manusia”.59

Dari pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa dampak komunikasi itu begitu

signifikan terhadap kebudayaan. Komunikasi bisa beroperasi secara leluasa dalam

semua area dan menembus batas-batas territorial.

Menurut Yakob Tomatala dalam mengulas pokok komunikasi Injil dalam

berkontekstualisasi, ada tiga pokok penting yang harus diperhatikan, yaitu:

a. Bentuk interaksi komunikasi Injil

Langkah konkret yang harus ditempuh oleh setiap komunikator menurut

Yakob Tomatala, adalah sebagai berikut:

1) Komunikator harus hidup dalam kesadaran bahwa ia adalah makhluk

budaya dan ia harus mengosongkan pengaruh budayanya sendiri

58
Quentin J. Schultze, Communicating for Life, Malang: Literatur SAAT, 2004, hlm. 16.
59
Ibid.

47
sebagai langkah awal untuk memahami berita dalam konteks Alkitab

yang asli dan konteks budaya penerima berita.

2) Orientasi pelayanan haruslah pada si penerima berita dengan konteks

hidupnya secara menyeluruh.

3) Dalam praktek pelayanan, komunikator harus menempatkan diri dalam

matriks budaya Alkitab dan pendengar dengan menggunakan bentuk

dan alat budaya setempat untuk menjelaskan suatu kebenaran.

4) Dalam pelaksanaannya perlu terus-menerus diadakan penilaian untuk

menjaga kedinamisan kerja, efek kerja, dan menghindari sinkretisme.

Injil yang murni perlu diberitakan, dan cara penerapannya perlu

memperhatikan pola berpikir yang tepat.

b. Prinsip dasar komunikasi Injil

1) Tujuan komunikasi ialah membuat pendengar mengerti suatu berita

yang disampaikan oleh pembicara dan selanjutnya mendorong si

pendengar agar bertindak sesuai dengan keinginan si pembicara.

2) Pembicara menyampaikan berita melalui lambing budaya yang

memberi rangsangan kepada pikiran pendengar sesuai dengan

tanggapan atau pengertian pendengar terhadap lambing/symbol budaya

itu.

3) Agar pembicara dapat mengkomunikasikan berita secara efektif, maka

ia harus berorientasi pada pendengar.

4) Impak komunikasi yang luar biasa akan terjadi dalam interaksi antar

pribadi.

48
5) Komunikasi akan sangat efektif bila pembicara, berita-berita, dan

pendengar berinteraksi dalam konteks yang sama dalam situasi dan

pemahaman yang sama terhadap bentuk/arti budaya.

c. Prinsip komunikasi Injil yang efektif

Dalam penjelasan berikut ini akan diuraikan sembilan prinsip komunikasi Injil

yang efektif:

1) Perlu adanya kesamaan keadaan persepsi budaya antara komunikator

dan pendengar, antara lain bahasa, kebiasaan, bentuk budaya,

pandangan hidup, dsb.

2) Perlu disadari bahwa komunikasi yang efektif menyentuh “kenyataan

hidup” si penerima. Jadi, setiap informasi intelektual perlu dicerna

baik-baik untuk menemukan maksud inti yang sebenarnya.

3) Komunikator harus mempelajari maksud berita dalam situasi aslinya

dan mempelajari keadaan penerima berita dalam situasi kini untuk

menghasilkan kesamaan pengertian bagi penempatan berita yang

proporsional untuk menghasilkan komunikasi yang mulus.

4) Komunikator harus menyadari bahwa ia memiliki hak dan tanggung

jawab untuk didengar, jadi ia harus menyampaikan berita sedemikian

rupa sehingga dapat dipahami oleh pendengar.

5) Penerima aktif dalam proses komunikasi apabila komunikator

menggunakan bahan/elemen sesuai dengan apa yang telah ia ketahui

dalam lingkup sosio-budayanya.

6) Bangunlah berita dan sampaikanlah melalui pandangan hidup

pendengar.

49
7) Komunikator perlu mengontrol berita Injil yang disampaikan agar

tidak ditunggangi atau menunggangi pandangan hidup sendiri.

8) Gunakan bentuk-bentuk komunikasi lokal, termasuk bahasa dan alat

yang ada pada setiap lokasi dan situasi budaya.

9) Setiap ibadah gereja perlu diungkapkan dari pandangan hidup terhadap

Allah dan Yesus Kristus yang kontekstual untuk mencipta impak

komunikasi yang memadai.60

2. Sikap dalam berkontekstualisasi

Ada beragam sikap yang mengemuka terhadap teologi kontekstualisasi atau

kontekstualisasi yang alkitabiah. Ada kelompok yang pro atau setuju atau

mempertimbangkan teologi kontekstualisasi untuk diterapkan dalam pelayanan

pemberitaan Injil. Ada pula kelompok yang bersikap menolak atau kontra atau alergi

dengan teologi kontekstualisasi. Reaksi ini tergambar dalam pelayanan pemberitaan

Injil yang tidak menerap model teologi kontekstualisasi. Selain itu, ada pula yang

dengan begitu saja menerima teologi kontekstualisasi tanpa dipelajari. Akibatnya

terjadi sinkretisme di mana Injil dan adat-istiadat dicampur, sehingga Injil menjadi

tidak murni. Untuk lebih jelas dapat dilihat sikap dalam berkontekstualisasi sebagai

berikut ini.

a. Menolak kontekstualisasi

Sikap menolak kontekstulisasi menunjuk kepada sikap tetap mempertahankan

kepercayaan lama, seperti upacara-upacara adat, seni, musik dan isu-isu penting.

Pemberitaan Injil tetap dilaksanakan, namun Injil menjadi asing bagi budaya dalam

60
Yakob Tomatala, Teologi Kontekstual (Suatu Pengantar), Malang: Gandum Mas, hlm. 81-
87.

50
konteksnya secara keseluruhan. Kebiasaan lama tetap dipertahankan dan dilaksanakan

tetapi secara tersembunyi atau terselubung.

b. Mempertimbangkan kontekstulisasi

Mepertimbangkan kontekstuliasi merupakan sikap yang lebih maju dan

terbuka. Kepercayaan lama seperti upacara-upacara adat, musik, seni dan isu-isu

penting lainnya dianalisa, digali maknanya, dan semua informasi tentang kepercayaan

lama dengan semua permasalahannya dikumpulkan. Semua itu diletakan dan diterangi

oleh firman Tuhan. Apa kata Alkitab tentang kepercayaan lama tersebut. Lalu

dilakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap kepercayaan lama dari perspektif

Alkitab dan memberi diri dibimbing oleh kuasa Roh Kudus. Dari hasil inilah, maka

akan diperoleh kesimpulan akhir atau keputusan final terhadap kepercayaan lama

setelah diterangi oleh firman Tuhan dan dibimbing kuasa Roh Kudus, apakah

memakai unsur kepercayaan lama?, atau apakah mengubah kepercayaan lama?, atau

apakah membuang kepercayaan lama? Melalui proses filterisasi budaya inilah akan

menghasilkan kontekstualisasi yang Alkitabiah atau teologi kontekstualisasi yang

akurat. Injil menjadi relevan dan tidak asing bagi budaya. Kemurnian Injil tetap

dipertahankan.

c. Menerima saja kontekstualisasi

Sikap menerima saja kontekstulisasi merupakan sikap yang sangat

berseberangan dengan kedua sikap seperti yang dijelaskan di atas. Menerima saja

kontekstualisasi sangat berbahaya. Dikatakan demikian, karena akan menghasilkan

sinkretisme.

51
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

“Teologi kontekstulisasi menekankan bagaimana seharusmya setiap orang

Kristen berteologi dalam konteks, yaitu konteks budaya, sosial, ekonomi, politik,

geografi dan sebagainya di mana ia seorang individu serta gereja sebagai komunitas

mikro berada dalam komunitas makro”.61

Berdasarkan pernyataan di atas, maka setiap orang Kristen adalah misionaris.

Sebagai misionaris memiliki tanggung jawab spiritual dalam semua level dan bidang

kehidupan. Ia harus menghadirkan nilai atau value Kerajaan Allah dalam totalitas

hidup dan pelayanannya di tengah dunia yang luas.

Setiap hari orang Kristen bertemu dengan orang-orang dari berbagai latar

belakang budaya, geografi, demografi, sosial, ekonomi, pendidikan dan juga pemeluk

agama yang berbeda. Pemeluk beragama lain ini juga menjalankan misi mereka. Dan

kelihatannya mereka lebih gigih menjalankan misinya jika dibandingkan dengan

orang Kristen.

Dalam situasi dan kondisi semacam itulah kontekstualisasi menjadi penting

untuk dilaksanakan. Dikatakan penting karena itulah salah satu cara yang Tuhan

gunakan untuk menyatakan diri-Nya kepada manusia dalam konteks budayanya. Dan

inilah cara yang seharusnya digunakan oleh gereja dalam menjalankan misinya di

dunia ini, supaya dapat memenangkan sebanyak mungkin orang bagi Kerajaan Allah.

61
Yakob Tomatala, Teologi Kontekstulisasi (Suatu Pengantar), Malang: Gandum Mas, hlm.
92.

52
“Teologi kontekstualisasi alkitabiah yang absah menempatkan Allah sebagai

the prime cause, the prime mover dari proses berteologi dalam konteks. Pada sisi ini,

“Alkitab” berperan utama sebagai “penyataan Allah” karena Allah sendiri memilih

untuk menyatakan diri kepada manusia dan penyataan-Nya tertulis dalam Alkitab. Ini

berarti Allah sendiri telah memilih “kebudayaan manusia” sebagai wahana penyataan-

Nya. Manusia pada sisi lain (sebagai penerima/partisipan) menerima penyataan Allah

dalam koteks hidupnya (secara utuh) dari filter budaya (individu/kelompok)”.62

Dengan demikian, Allah sendiri dalam otoritas dan kedaulatan-Nya tanpa

dipengaruhi oleh apa dan siapapun mengambil sikap untuk menyingkapkan diri-Nya

11kepada manusia dalam budaya yang dibuat oleh manusia. Allah memberi diri-Nya

dikenal oleh manusia dalam konteks budayanya.

Oleh karena itu, di pundak orang Kristen dan Gereja Kristen ada tanggung

jawab misional yang harus dilakukan dalam konteks di mana orang Kristen dan

Gereja Kristen berada sebagai yang diutus oleh Tuhannya untuk melaksanakan misi

shalom-Nya bagi manusia berdosa yang hidup dalam konteks budaya yang berdosa.

Dalam rangka melaksanakan misinya, orang Kristen dan Gereja Kristen harus mampu

berteologi dalam konteks. Berteologi dalam konteks ini perlu dihidupi dan dijawab

secara terus-menerus dalam rangkan memberitakan Injil kasih karunia Allah kepada

dunia dalam konteks di mana ia dan mereka berada serta hidup.

DAFTAR PUSTAKA

62
Ibid.

53
Alkitab

1974 Terjemahan Baru, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.

1994 Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, Malang: Gandum Mas.

Akal, Yunny Jones

2005 Diktat Strategi Misi, Jakarta: IFTK Jaffray.

Bosch, D. J.,

2006 Transformasi Misi Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia.

---

2006 Peran Allah dalam Misi, Sidoarjo: Terang Lintas Budaya.

2007 Peran Roh Kudus dalam Misi, Malang: Terang Lintas Budaya.

Chai, Young G.

2005 Jemaat Rumah: Penggembalaan Bersama dengan Orang Awam,

Jakarta: Gloria Cipta Grafika.

Jacobs, T.,

1970 Konstitusi Dogmatis (Lumen Gentium) Mengenai Gereja, Yogyakarta.

Kobong, Th.,

--- Iman dan Kebudayaan, Jakarta: BPK Gunung Mulia.

L. Budiman R.

--- Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi.

Legrand, L.,

1990 Unity and Plurality: Mission in the Bible, New York.

Moltmann, J.,

1975 Gott Kommt und der Mensch wird Frei, Munchen.

Peters, George W.

54
1972 A Biblica Theology of Mission, Chicago: Moody Press.

Prent, K., dkk.

1969 Kamus Latin – Indonesia, Yogyakarta.

Rahmiati

--- Kontekstualisasi Sebagai Sebuah Strategi.

Sidjabat, B. S.

1986 Kebudayaan dan Misi, Bandung: Sahabat Gembala.

Schutte, J.,

1967 Fragen der Mission an das Konzil, Main.

Schultze, Quentin J.

2004 Communicating for Life, Malang: Literatur SAAT.

Tim Penyusun

2005 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Tomatala, Yakob

2003 Teologi Misi, Jakarta: YT Leadership Foundation.

1998 Penginjilan Masa Kini Jilid 1-2, Malang: Gandum Mas.

1993 Teologi Kontekstualisasi, Malang: Gandum Mas.

55

Anda mungkin juga menyukai