OLEH :
APGANDO DAMANIK
NIM : 2020.O422.2012
NOVEMBER 2021
1
DAFTAR ISI
BAB I.............................................................................................................................3
PENDAHULUAN..........................................................................................................3
A.Latar Belakang Masalah.........................................................................................3
B.Isu Dan Inti Pokok Masalah...................................................................................4
C.Tujuan Penulisan Makalah.....................................................................................5
BAB II............................................................................................................................6
PEMBAHASAN............................................................................................................6
A.Pengertian Teologi Misi Alkitabiah yang Kontekstual.....................................6
Pengertian misi.........................................................................................................10
Pengertian kontekstual.............................................................................................13
B.Landasan Alkitabiah tentang Teologi Misi yang Kontekstual.......................16
Perjanjian Lama........................................................................................................16
Perjanjian Baru.........................................................................................................20
BAB III.........................................................................................................................32
CARA PENERAPAN..................................................................................................32
MISI ALKITABIAH YANG KONTEKSTUAL.........................................................32
A. Ragam Pola Pendekatan Kontekstualisasi.....................................................35
B. Unsur-unsur Kontekstualisasi........................................................................38
C. Langkah-langkah Kontekstualisasi................................................................47
BAB IV........................................................................................................................52
PENUTUP....................................................................................................................52
Kesimpulan..............................................................................................................52
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................54
2
3
BAB I
PENDAHULUAN
Sejak awal abad ke-20 banyak orang (Kristen dan non Kristen, agamis dan
non agamis) memperlihatkan sikap menolak misi sebagai karya penyebaran iman
Kristen. Bayangan akan sisi gelap sejarah misi – sejak masa penemuan benua-benua
baru – membuat banyak orang (pribadi, golongan, aliran) menjadi alergi mendengar
istilah misi. Selama masa ini – yang dari sudut pandang tertentu dilihat sebagai zaman
keemasan karya misi. Gereja secara arogan bertindak selaku lembaga indoktrinasi
bidang keagamaan dan peraturan moral, baik bagi umat Allah di gereja asal (Eropa
dan Amerika Utara) maupun bagi gereja dan masyarakat di tanah jajahan bangsa-
bangsa barat. Tindakan seperti ini, memberi kesan bahwa gereja berperan serta dalam
memajukan ideologi kolonial apalagi sikap gereja pada masa itu sangat terpengaruh
Muatan history karya misi pada masa lampau tidak hanya menjadi halangan
bagi karya pewartaan Injil dan pembangunan umat, tetapi juga mengganggu pergaulan
kebudayaan dan agama-agama di dunia. Agama Kristen dilihat sebagai milik orang
barat – yang disamakan dengan kaum penjajah – yang diwariskan kepada segelintir
bangsa Asia, Afrika dan Amerika Latin, sehingga gereja yang mereka dirikan dituding
4
Sementara itu gereja sepanjang masa, tetap melihat misi sebagai dimensinya
yang esensial, karena melalui karya misi gereja hadir dengan sepenuhnya sebagai
gereja. Gereja tanpa misi bukanlah gereja seperti yang dimaksudkan oleh Kristus. 1
Tema pokok dan yang sebenarnya dari Konsili Vatikan II adalah gereja. Misi gereja
yang universal dan penyebarannya yang tak pernah usai … adalah bobot yang
menentukan dalam diri gereja. Jikalau kita berbicara tentang misi, maka yang kita
maksudkan adalah inti terdalam dari gereja serta pertumbuhannya yang pesat.2
Dalam situasi seperti dihadapi gereja dan karya misionernya sekarang ini,
penjelasan tetang misi seperti yang dikehendaki oleh Yesus Kristus, sangat penting,
perlu dan berguna. Untuk itu, dibutuhkan suatu penjabaran tentang misi Alkitabiah
yang kontekstual, yang mendasar mengenai perutusan seperti yang diimani dan
dijalankan dalam gereja. Misi yang ikut menjadi dasar keberadaan gereja perlu
dimengerti sesuai dengan hakikat, makna dan tujuannya yang sebenarnya. Pengertian
yang benar tentang misi menjamin plausabilitas penilaian terhadap misi dan menjadi
dasar yang legitim untuk perencanaan karya misi Alkitabiah yang kontekstual serta
BAB II
1
T. Jacobs, Konstitusi Dogmatis (Lumen Gentium) Mengenai Gereja, Yogyakarta: 1970, hlm.
335; 338.
2
J. Schutte, Fragen der Mission an das Konzil, dalam J. Schutte, ed., Mission Nach dem
Konzil, Mainz: 1967, hlm. 11-12.
5
PEMBAHASAN
1. Pengertian teologi
kata," "ucapan," atau "wacana") adalah wacana yang berdasarkan nalar mengenai
tradisi dalam suatu situasi atau kebutuhan masa kini, atau untuk berbagai alasan
lainnya.
memperoleh makna yang baru ketika kata itu diambil dalam bentuk Yunani
khususnya di Barat, mempunyai latar belakang Kristen. Namun, pada masa kini istilah
tersebut dapat digunakan untuk wacana yang berdasarkan nalar di lingkungan ataupun
6
melahirkan banyak sekali sub-divisinya. Dalam gereja Kristen, teologi mula-mula
itu ilmu teologi, maka ada beberapa unsur yang perlu diperhatikan, yaitu tidak akan
Wikipedia.
Kata Teologi sudah tidak asing lagi di telinga kita orang-orang Kristen, entah
dimengerti atau sekedar ucapan belaka. Saya ingin memberi pengertian singkat bagi
pembaca, yang saya rasa mudah dimengerti oleh pembaca awam atau pengkaji teologi
dalam kekristenan.
Arti Etimologis
dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang menguraikan tentang Tuhan dengan cara yang
sistematis, sehingga semua pembaca dapat mengerti. Jadi jika pembaca kurang paham
dengan apa yang diuraikan oleh teologi, itu berarti penyampaiannya kurang
sistematis.
7
Definisi Istilah
"Teologia" dapat dimengerti dalam arti sempit atau arti luas. Arti luas:
mencakup seluruh pokok studi (disiplin ilmu) dalam pendidikan teologia. Arti sempit:
usaha meneliti iman Kristen dari aspek doktrinnya saja yang sering disebut sebagai
oleh Alkitab. Definisi khusus: Teologia Sistematika ialah bagian dari divisi Teologia,
yang mengatur secara terperinci dan berurutan tema-tema dari ajaran doktrin dalam
fakta yang dapat diukur secara empiris (seperti ilmu-ilmu modern sekarang ini) tetap
dapat disebut sebagai ilmu karena, sesuai dengan salah satu definisi "ilmu", teologia
adalah suatu usaha untuk memberikan penjelasan tentang Allah, yang diperoleh dari
Alkitab (sebagai penyataan Allah yang tidak berubah), dengan cara yang sistematis.
Menurut Yakob Tomatala dalam buku Teologi Misi, “Kata “theology” dapat
dijelaskan sebagai ilmu pengetahuan tentang Allah”.3 Jadi, “theology” itu ialah ilmu
yang berbicara tentang Allah dan karya-Nya di masa lalu, masa kini dan masa yang
akan datang.
Pertama, Dapat dimengerti oleh pikiran manusia dengan cara teratur dan
rasional. Teologi bukanlah suatu ilmu yang "mistik" sehingga hanya orang-orang
3
Yakob Tomatala, Teologi Misi, Jakarta: YT Leadership Foundation, 2003, hlm. 23.
8
Ketiga, Menyajikan kebenaran, bukan sebuah rekayasa fakta, sehingga dunia
Keempat, Mempunyai nilai yang universal, yang artinya dikaji semua orang
Kelima, Memiliki objek yang diteliti yaitu Allah dan Alkitab. Sekalipun obyek
yang diteliti tidak dapat diteiliti seperti anda meneliti sel darah merah yang
yang diteliti dalam teologi sangat berhubungan erat dengan kehidupan manusia itu
Teologi yang dipahami sebagai sebuah wacana atau kata-kata tentang Tuhan
meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan dan dengan demikian
memahami Tuhan sebagai objek yang dapat diteliti. Pemahaman yang demikian tentu
saja tidak alkitabiah. Tuhan dalam pandangan Kristen bukanlah sebuah objek yang
bisa diteliti. Manusia tidak bisa meneliti Tuhan karena manusia tidak bisa melihat
Tuhan. Pemahaman orang Kristen tentang Tuhan tidak diperoleh dengan meneliti
kehidupan. Manusia tidak bisa melihat Tuhan, tetapi karya, ciptaan dan penyertaan-
Nya bisa dilihat dan dirasakan dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Dengan cara
Karena Tuhan sedang dan terus berkarya dalam saluruh aspek kehidupan manusia,
maka pengenalan manusia tentang Tuhan terus berkembang. Oleh karena itu maka
dalam pandangan Kristen, teologi itu memiliki pengertian yang dinamis, kontekstual,
dan aplikatif. Dinamis artinya pengertian teologi itu terus berkembang, kontekstual
artinya pengertian teologi itu cocok dengan situasi dan kondisi yang
9
melatarbelakanginya, dan aplikatif artinya pengertian teologi itu dapat diterapkan
dalam kehidupan.
Dari uraian singkat di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
definisi teologi Kristen itu adalah: “Upaya dan cara manusia untuk mengenal Tuhan
melalui karya, ciptaan dan penyertaan-Nya dalam sejarah masa lalu, masa kini dan
masa depan sebagaimana dipaparkan dalam Alkitab yang selalu dilihat dan
2.Pengertian misi
Kata “misi” adalah istilah Indonesia untuk kata Latin “mission” yang berarti
“perutusan”. Kata “mission” adalah bentuk subtantif dari kata kerja “mittere” (mitto,
missi, missum) yang memiliki beberapa pengertian dasar, yaitu: pertama, membuang,
mengalir (darah).4
“pempein” dan “apostelein” yang berarti juga mengutus. Kedua istilah Yunani ini
terdapat 206x di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru. “Orang yang diutus” atau
Kitab Suci Perjanjian Baru, sedangkan tugas yang mereka laksanakan disebut
“mission”, sebagai terjemahan dari kata Yunani “apostelo” terdapat 4x dalam Kitab
10
dalam istilah “missionalis apostolatus” (kerasulan missioner) yang dipakai oleh Paus
Pius XII dalam ensiklik misi Fidei Donum (1957). Kata “apostolate” atau “kerasulan”
dipakai untuk menunjuk kegiatan pastoral umum sedangkan kata “misi” atau
Istilah “misi” tidak hanya dipakai dalam lingkup keagamaan, tetapi juga di
dunia profane seperti misi diplomatis, misi politis, misi ilmu pengetahuan, misi
kebudayaan, misi dalam dunia kemiliteran. Semuanya berarti pelimpahan tugas dan
tanggung jawab.
Di dalam gereja, istilah “misi” digunakan baik untuk menunjuk kegiatan yang
lebih luas dan umum, yakni menyangkut semua kegiatan gereja 6 maupun untuk karya
khusus pewartaan dan penyebaran iman Kristen. Pengertian yang terakhir ini
Goerge W. Peters menulis, misi adalah “the total biblical assignment of the
church of Jesus Christ. It is a comprehensive term including the upward, inward and
specialized term. By it I mean the sending forth of authorized persons beyond the
bagi diri-Nya suatu umat yang bersekutu dengan Dia, melayani Dia dan menyembah
Dia dalam hubungan yang harmonis dan utuh untuk kejayaan Kerajaan Allah.
Menurut penulis ini, misi adalah karya Allah. Allah berkarya dalam pengutusan-Nya,
6
J. Moltmann, Gott Kommt und der Mensch wird Frei, Munchen: 1975, hlm. 21 dst.
7
George W. Peters, A Biblica Theology of Missions, Chicago: Moody Press, 1972, hlm. 11.
11
penginjilan adalah rancangan dan karya Allah yang menghimpun bagi diri-Nya suatu
umat untuk bersekutu, menyembah serta melayani Dia secara utuh dan serasi bagi
mengusahakan suatu synopsis teologis yang lebih khas sebagai konsep yang telah
Menurut penulis, misi adalah pola, cara dan model kerja yang digunakan oleh
Tuhan dalam rangka menyelamatkan manusia berdosa yang ada di dalam dunia,
sehingga mereka yang diselamatkan oleh Tuhan beroleh hidup yang kekal. Mereka
yang diselamatkan oleh Tuhan dihimpun dalam suatu persekutuan dengan tujuan
untuk menyembah dan melayani Allah serta menjadi alat anugerah Allah untuk
3.Pengertian kontekstual
8
Yakob Tomatala, Penginjilan Masa Kini, Jilid 2, Malang: Gandum Mas, 1998, hlm. 27.
9
Yunny Jones Akal, Diktat Strategi Misi, Jakarta: IFTK Jaffray, 2005, hlm. 5.
10
D. J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997, hlm. 1.
12
menyadari bahwa ide “Kontekstualisasi” sudah ada jauh sebelunya yaitu terdapat di
(Context) yang diangkat dari kata Latin “Contextere” yang berarti menenun atau
kepada apa yang telah ditenun (tertenun), di mana semuanya telah dihubung-
perhatian ditujukan kepada dua atau lebih komponen yang disatukan atau dengan kata
memahami istilah ini perlu memahami juga dua istilah yang saling berhubungan yaitu
TEKS (Arti Teks dalam KBBI adalah n 1 a naskah yang berupa kata-kata asli dari
pengarang, b kutipan dari kitab suci berupa pangkal ajaran atau alasan; c bahan
artinya bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah
kejelasan makna; 2 situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian).14 Secara
menjelaskan tentang sejarah suatu situasi sehingga untuk pemahaman yang jelas,
11
Rahmiati, Kontekstualisasi sebagai Sebuah Strategi, (http//www.tripoid.members.org).
12
Yakob Tomatala, Penginjilan Masa Kini Jilid 1, Malang: Gandum Mas, 1998, hlm. 63.
13
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, hlm. 1159.
14
Ibid.
15
Yakob Tomatala, Penginjilan Masa Kini Jilid 1, Log. Cit.
13
menjelaskan maksud secara tepat pula.16 Untuk menghubungkan istilah
penafsiran yang bersifat kritis” atas apa yang memberi arti kepada konteks yang
budaya, agama, sosial, ekonomi, dan politik dalam hubungannya dengan situasi
menyeluruh dengan tujuan agar pemberitaan Injil dapat dilakukan dengan baik dan
dipahami secara tepat oleh setiap orang yang hidup dalam konteks tersebut. Sebuah
Kobong adalah sebagai berikut: “Kalau kita mendengarkan injil Yesus Kristus yang
diberitakan kepada kita, lalu kita berusaha mengertinya dengan cara kita merasa,
berpikir dan bertindak yang dibentuk dan ditentukan oleh adat istiadat dan
kebudayaan kita, lalu hasil penghayatan itu kemudian kita tuangkan dalam bentuk-
bentuk yang dapat kita pahami dan hayati, maka kita sudah terlibat dalam usaha
kontekstualisasi.18
Apa yang dinyatakan oleh Kobong pada kutipan di atas memberi penekanan
pada usaha penghayatan Injil yang bersentuhan dengan kondisi penerima Injil tetapi
dikatakan bahwa sadar atau tidak seseorang dalam menghayati Injil dapat
teologi apabila ia benar-benar kontekstual. Alasannya adalah karena teologi tidak lain
16
Ibid.
17
Ibid.
18
Th. Kobong, Iman dan Kebudayaan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, hlm. 24.
14
dan tidak bukan adalah upaya untuk mempertemukan secara dialektik, kreatif dan
esensial antara “teks dengan konteks” antara pernyataan injil yang universal dengan
mungkin orang. Kita menyesuaikan diri dengan adat setempat supaya Injil menjadi
relevan. Kita juga hidup di bawah hukum Kristus supaya Injil yang disampaikan itu
Kedua, pemberitaan Injil semakin lebih cocok dan lebih relevan. Artinya,
pemberitaan Injil semakin membumi atau mendarat dengan benar di dalam konteks
sebagai sasaran, objek dan penerima Injil. Konteks dalam hal ini budaya menjadi
Ketiga, pemberitaan Injil tetap dalam kemurnian sesuai dengan firman Allah
dan hukum Kristus. Artinya, firman Allah, hukum Kristus merupakan standar utama.
Segala sesuatu harus diuji dengan firman Allah, agar Injil yang diberitakan tetap
murni. Injil itu bersumber dari Allah. Tetapi di sisi lain Injil itu “asing” bagi segala
suku. Kebudayaan biasanya bercampur dengan agama lokal. Tidak ada suatu
kebudayaan yang murni. Semua budaya sudah berdosa dan terkontaminasi oleh dosa.
Karena itu, setiap kebudayaan harus dikoreksi, dibersihkan dan diperbaiki melalui
19
Budiman R. L., Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi, hlm. 9.
15
firman Allah. Hanya firman Allah yang menjadi standard atau tolok ukur untuk
menilai segala sesuatu. Oleh sebab itu, sekalipun kontekstualisasi sebagai upaya untuk
menyesuaikan diri dengan kebudayaan, namun acuannya ialah pada firman Allah.
hal itu tetap berada di bawah hukum Kristus. Kontekstualisasi tidak bisa terlepas dari
firman Allah dan hukum Kristus. Lebih dari itu kontekstualisasi harus tunduk kepada
Perjanjian Lama
Kontekstualisasi dalam Perjanjian Lama merupakan dasar penting bagi
Alkitab perlu disadari bahwa dasar utama kontekstualisasi adalah dalam Perjanjian
Lama. Perjanjian Baru hanya merupakan kelanjutan saja dari sebuah kontekstualisasi
yang alkitabiah. Untuk pemahaman yang lebih lengkap tentang kontekstualisasi dalam
Penciptaan
Dapat dilihat bahwa Allah mengambil inisiatif pertama dalam penyataan diri-Nya
kepada dunia. Di sini terdapat tekanan utama yaitu bahwa Allah sebagai penggerak
yang benar adalah dimulai dari diri Allah sendiri. Selanjutnya, Allah sebagai Pencipta
telah menciptakan manusia dengan kreatifitas untuk berbudaya yang dalam kerangka
20
Yakob Tomatala, Teologi Kontekstualisasi, Malang: Gandum Mas, 1993, hlm. 12.
16
budayanya manusia balik memandang kepada Allah. Di sini terdapat suatu dialektik
unik yang menghubungkan Allah sebagai Pencipta di satu pihak dan manusia pada
pihak yang lain, yang menerima pernyataan diri Allah melalui filter budaya. 21 Dengan
dan manusia dapat memahami serta berinteraksi dengan Allah melalui sesuatu yang
ada pada dirinya. Untuk pemahaman yang lebih jelas lagi bisa melihat melalui
beberapa fakta dalam Alkitab; Kel. 20:1: “Lalu Allah mengucapkan segala firman
ini”: …; Yes. 45:3-6: “Aku akan memberikan kepadamu harta benda yang terpendam
dan harta kekayaan yang tersembunyi, supaya engkau tahu, bahwa Akulah TUHAN,
Allah Israel, yang memanggil engkau dengan namamu. Oleh karena hamba-Ku Yakub
dan Israel, pilihan-Ku, maka Aku memanggil engkau dengan namamu, menggelari
engkau, sekalipun engkau tidak mengenal Aku. Akulah TUHAN dan tidak ada yang
lain; kecuali Aku tidak ada Allah. Aku telah mempersenjatai engkau, sekalipun
engkau tidak mengenal Aku, supaya orang tahu dari terbitnya matahari sampai
terbenamnya, bahwa tidak ada yang lain di luar Aku. Akulah TUHAN dan tidak ada
yang lain. Firman ini dapat dimengerti dan terus menjadi penghayatan sepanjang
sejarah bangsa Israel. Hal ini dapat disimpulkan bahwa proses kontekstualisasi itu
terjadi melalui inkarnasi Firman dalam budaya dan interaksi manusia dalam budaya
terhadap Firman.
21
Ibid., hlm. 13.
17
Mandat budaya terdapat dalam Kejadian 1:28-30. Dalam mandat ini terdapat
wewenang yang manusia terima dari Allah untuk berbudaya, memenuhi dan
kewenangan mutlak untuk mengontrol sehingga di luar kontrol ini tidak akan ada
berteologi dalam konteks yang absah alktabiah. Yakob Tomatala memberi penegasan
bahwa, “Berteologi dalam konteks hanya terjadi bila ada hubungan intim Allah dan
yang dialami oleh manusia adalah kebudayaan saat ini dihasilkan oleh manusia yang
telah berdosa, sehingga ada unsur-unsur budaya yang telah berkontaminasi dengan
dosa. Karena itu untuk membangun teologi yang benar-benar alkitabiah harus
Yakob Tomatala memberi gambaran yang tegas mengenai hal ini dengan
menyatakkan bahwa: “Kreativitas manusia tetap ada, walaupun sudah berdosa. Pada
sisi ini jelas terlihat bahwa kreativitas manusia itu bertanggung jawab atas
pengembangan budaya pada umumnya. Sedangkan secara moral, kreatif dan hasil
kreasi dapat melayani tujuan dosa (bagi mereka yang belum menerima pernyataan diri
Allah) dan melayani tujuan kebenaran (bagi mereka yang di dalam Tuhan).23 Hal ini
maksud Allah. Ada beberapa unsur-unsur budaya yang perlu ditransformasikan oleh
18
melalui budaya sering kali hanya berlaku secara temporal. Penekanannya adalah
kebenaran Firman Tuhan tetap relevan dan berlaku secara universal (mutlak untuk
semua pada situasi dan kondisi apapun), tetapi ekspresi kontekstual hanya dapat
perjanjian. Isi dari perjanjian itu adalah perjanjian tentang berkat Allah – Kejadian
1:28; 2:3. Untuk menikmati berkat Allah sesuai dengan isi perjanjian itu, ada syarat
yang harus dipenuhi oleh manusia yaitu TAAT secara mutlak kepada ketetapan Allah.
Jadi, untuk menikmati berkat Allah sesuai isi perjanjian Allah dan manusia, manusia
dituntut untuk taat. Artinya, jika manusia TAAT kepada Allah, ia akan diberkati,
tetapi sebaliknya jika tidak TAAT, ia akan dihukum. Fakta membuktikan bahwa
manusia tidak dapat memenuhi syarat dalam perjanjian itu. Namun demikian, semua
suatu masyarakat dapat merupakan jalan masuk bagi proses kontekstualisasi karena
‘berkat Allah’ kepada ciptaannya secara umum tetap berlaku – Matius 5:45”.24 Allah
mengadakan sebuah perjanjian yang baru (new covenant) yang khusus bagi jalan
(janji keselamatan Allah yang pertama), memberikan jaminan bahwa Allah sendiri
secara khusus yang menyiapkan pernyataan diri-Nya yang baru, yang olehnya
24
Ibid., hlm. 16.
19
manusia dapat memahami Allah secara baru di tengah-tengah dominasi dosa.25 Inilah
dihadapi manusia berdosa yakni dengan menggenapi setiap rencana Allah yang sejak
2.Perjanjian Baru
Lama. Ada 2 pokok utama yang mewakili kontekstualisasi secara umum dalam
manusia dapat melihat Allah – Yohanes 1:14,18. Topik ini akan dijelaskan lebih
1) Hakekat inkarnasi
manusia”, “hidup dalam sejarah manusia”, “merasakan apa yang dirasakan manusia”
dan “mengalami keadaan manusia” menjadi bagian dari konteks budaya manusia. Hal
25
Ibid.
20
ini berarti berpadu dengan hakekat manusia secara utuh. Pun demikian, inkarnasi
Yesus dalam budaya manusia bertujuan untuk menyatakan Allah kepada dunia –
mengambil seluruh aspek budaya manusia dan menggunakannya sebagai sarana misi
menggunakan bahasa yang dimengerti oleh para nelayan seperti; pukat/jala, ikan,
perahu, dsb. dari semua yang Tuhan Yesus lakukan dalam dunia ini menandabuktikan
bahwa inkarnasi mengacu kepada pernyataan diri Allah yang dikenal dalam pola
budaya dan terlihat melalui interaksi dan refleksi peserta budaya yang terkait kepada
di bukit, Luk. 6:20-38; 11:2-4; 12:22-31; dll.). Ajaran Tuhan Yesus juga memberi
26
Ibid., hlm. 24.
21
Yohanes 3), wanita tunasusila dari Samaria – Yohanes 4, kuasa salib memberi
transformasi hidup kepada seorang penjahat ‘kelas kakap’ – Lukas 23:34, 39-43).
rusak, dan transformasi adalah isi inkarnasi. Dengan kata lain, tidak ada inkarnasi
Kristus tanpa transformasi yang secara dinamis membarui manusia dalam setiap
budaya maka hakekat Injil tidak dapat terserap oleh mereka yang berkecimpung
ditandai oleh transformasi Kristus dalam budaya. Tanpa transformasi akan muncul
sinkritisme dan sinkristisme tidak dapat membarui hidup orang yang di dalam konteks
budaya tersebut. Hal ini ditegaskan oleh Yakob Tomatala bahwa, “Kontekstualisasi
yang benar terjadi dalam dua arah, ‘inkarnasi’ dan ‘refleksi’, yang dihubungkan
dengan transformasi Kristus, dan ini akan membawa dampak perubahan seimbang”.28
mengambil rupa manusia, menjadi hamba dan solider utuh dengan manusia untuk
kontekstualisasi melalui pengosongan diri. Untuk masuk dalam budaya orang lain
27
Ibid., hlm. 25.
28
Ibid.
22
seseorang harus meninggalkan jati dirinya untuk manunggal dengan orang lain. Perlu
disadari bahwa identitas diri yang menjadi latar belakang tidak dapat disangkal.
Dasar kenotis Kristus menjadi pijakkan utama Rasul Paulus dalam determinasi
bagi Kristus. Rasul Paulus memastikan dirinya untuk tidak kompromi tetapi memiliki
tujuan yang jelas terlihat dalam sikap seperti ini yang kontekstual) kontekstual yang
dituangkan dalam 1 Korintus 9:16-27. Dari sisi ini dapat ditemukan 2 makna yang
berhubungan yaitu:
1) Kontekstual Etis
menempatkan diri untuk menghargai budaya orang lain, sehingga tercipta refleksi
1 Korintus 6:12b.
13.
23
2) Kontekstual Prakmatis
1 Korintus 9:24-27.29
diperhatikan. Ini dilakukan dengan sebuah tujuan yang jelas bukan sekedar fleksibel
tanpa arah.
29
Op.cit., hlm. 28.
24
dan agung, yang ada pada diri-Nya yang berdaulat”. 30 Dengan demikian, sumber
Dari perspektif misi, Allah Bapa adalah sumber utama misi. Misi menjadi isi
hati Allah. Hal itu dikenal dengan istilah “Missio Dei” (Pengutusan Allah). Ini berarti
Allah sebagai pengambil inisiatif untuk mengutus Yesus Kristus ke dalam dunia ini
berdosa di selamatkan dan memiliki hidup yang kekal yang disediakan Allah bagi
mereka yang percaya kepada-Nya – 2 Petrus 3:9; Yohanes 3:16; Kejadian 3:15.
Artinya, Allahlah yang menjadi subjek, sumber, inisiator, dinamisator dan pelaksana
serta penggenap misi-Nya. Dialah Pengutus Agung. Dialah juga alfa (yang awal) dan
omega (yang akhir) dari misi-Nya. Dengan demikian, misi dikandung oleh Allah,
lahir oleh Allah, dipelihara oleh Allah, dilaksanakan oleh Allah dan digenapi oleh
Allah. Sasaran misi Allah ialah manusia berdosa. Motif misi Allah adalah kasih
karena Allah itu kasih – 1 Yohanes 4:8, 16. Bukti kasih Allah ialah dengan mengutus
Anak-Nya yang Tunggal, yaitu Yesus Kristus sebagai Penebus dan Penyelamat
Tunggal serta Pembebas Sempurna bagi manusia berdosa – Yohanes 3:16. Secara
singkat ada sembilan langkah bagaimana Allah Bapa berperan untuk menyelamatkan
“1) Allah Bapa ada sebelum segala sesuatu ada. Langit dan bumi termasuk
sesuatu dalam keadaan amat baik adanya. Sebagai pencipta, Dia tidak ingin ada orang
yang hidup di luar hubungan dengan Dia. 3) Allah Bapa menyediakan kerajaan surga
30
Yakob Tomatala, Teologi Misi, Jakarta: YT Leadership Foundation, 2003, hlm. 54.
25
bagi manusia sejak dunia dijadikan. Sebelum manusia lahir, Allah sudah
merancangkan damai sejahtera bagi umat manusia. 4) Allah Bapa langsung mencari
hubungan dengan manusia yang baru jatuh dalam dosa (Kejadian 3). 5) Allah Bapa
langsung menolong manusia yang telah berdosa. Sesudah Adam dan Hawa jatuh
dalam dosa, Tuhan mencari mereka dan memberi pakaian kepada mereka. 6) Allah
3:15). 7) Allah Bapa memilih suatu bangsa, supaya mereka menjadi saluran
keselamatan bagi manusia. Allah memanggil Abraham dan bangsa Israel untuk
menjadi berkat bagi semua bangsa di seluruh dunia (Kejadian 12:1-3). 8) Allah Bapa
yang adil dan suci menghukum manusia dengan jujur. Mulai dari Adam yang harus
diusir dari Firdaus, manusia tidak bisa lagi berhubungan langsung dengan Tuhan. 9)
Allah Bapa mengutus Anak-Nya yang Tunggal sebagai Juru Selamat manusia.
(Yohanes 3:19) Ini merupakan pengorbanan yang terbesar Allah Bapa bagi
manusia”.31
Kedua, Missio Christie (Pengutusan Kristus) ini berarti Yesus Kristus sebagai
pengembil inisitif untuk mengutusatau mengirim para utusan Injil yang lebih
dikenal dengan Penginjil untuk memberitakan Injil Yesus Kristus. (Kisah Para
Rasul . 13 : 1 – 3).
31
----. Peran Allah Bapa Dalam Misi, Sidoarjo: Terang Lintas Budaya, 2006, hlm. 6.
26
2. Yesus Kristus: teladan misi
“Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula
Aku mengutus mereka ke dalam dunia” – Yohanes 17:18. David Livingstone dalam
memberikan perspektifnya tentang stagmen Yesus dalam ayat di atas dan dikutip oleh
tersirat kebenaran bahwa “Allah hanya memiliki satu rencana untuk membawa
shalom bagi manusia serta segenap ciptaan-Nya”. Kehadiran TUHAN Yesus Kristus
di bumi adalah bukti kesetiaan Allah memenuhi janji-Nya (Kejadian 3:15; Banding: I
17:18, di atas menurut penulis, secara tersurat, Tuhan Yesus Kristus melihat diri-Nya
sebagai seorang Pribadi yang menjadi pelaksana misi. Kepada-Nya diberi otoritas
untuk melaksanakan misi yang dimandatkan kepada-Nya oleh Allah Bapa. Yakob
Tomatala juga member komentar demikian: “Melihat dari sudut lain, pernyataan
TUHAN Yesus juga menegaskan Ia sendiri adalah Misionari yang diutus oleh Allah
Bapa dengan tugas missioner, yaitu membawa shalom kepada manusia berdosa dan
segenap ciptaan-Nya (Banding: Yohanes 14:6, 27; 8:29). Kebenaran lain yang tersirat
dalam pernyataan TUHAN Yesus di atas ialah, bahwa Ia menunjuk kepada diri-Nya
sebagai Pengutus, dan para murid-Nya (Umat-Nya – Banding Matius 1:21; I Petrus
32
Yakob Tomatala, Teologi Misi, Jakarta: YT Leadership Foundation, 2003, hlm. 15.
33
Ibid.
27
shalom yang sama dari Allah (Banding: Yohanes 20:21)”. 34 Jadi, dari apa yang
dipaparkan tersebut, dapat disimpulkan bahwa: pertama, Tuhan Yesus Kristus adalah
Seorang misionari yang diutus oleh Allah Bapa; kedua, Tuhan Yesus Kristus adalah
Misionari sempurna; ketiga, Tuhan Yesus Kristus adalah Pelaksana Misi yang utuh,
holistik dan sempurna; keempat, Tuhan Yesus Kristus adalah Seorang Misionari
dengan tugas pokok yaitu membawa shalom bagi manusia berdosa dan seluruh
Jika kita memikirkan misi, sering kita mengaitkan misi dengan kasih Allah
yang begitu besar, sehingga dia mengutus Putra-Nya untuk menyelamatkan dunia ini.
Hal ini memang benar, tetapi kita sering kurang memerhatikan karya Roh Kudus
Dalam Kisah Para Rasul 1:8 dikatakan: "Tetapi kamu akan memerima kuasa,
kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem
dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." Roh Kudus dijanjikan
Tanpa digerakkan dan dipimpin oleh Roh Kudus, murid-murid-Nya tidak bisa
menyaksikan kasih dan kemuliaan Allah di seluruh dunia. Roh Kudus menentukan
strategi dan cepatnya pemberitaan Injil. Roh Kudus menggerakkan manusia untuk
menunggu hingga saat yang paling cocok (kairos dalam PB) dan Ia juga memimpin
murid-murid-Nya untuk pergi dan memberitakan Injil. Kapan menunggu dan kapan
34
Ibid.
28
pergi tidak ada di tangan manusia. Roh Kudus akan mengatur. Itu sebabnya para
murid tidak langsung disuruh pergi sesudah Tuhan Yesus naik ke surga, melainkan
Setiap orang Kristen yang sudah menerima Roh Kudus dan dipenuhi oleh-
Nya, tidak mungkin tidak berbicara tentang Injil. Roh Kudus akan membuka mata
rohani dunia dan orang yang belum percaya agar mereka mengerti dan diinsafkan
Selain itu, Roh Kudus selalu memperlengkapi pelaku misi dengan apa yang
dibutuhkan pada waktu berhadapan dengan kenyataan kesulitan di lapangan. “... tetapi
mereka tidak sanggup melawan hikmatnya dan roh yang mendorong dia (Stefanus)
berbicara” – Kisah Para Rasul 6:10. Seperti Roh Kudus mengurapi Tuhan Yesus, Dia
diungkapkan dalam Lukas 4:18: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah
mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia
manusia. Pemulihan dan transformasi bukan hanya di bidang rohani, tetapi juga
menyatakan jenis pelayanan apa yang dilakukan terhadap bagian masyarakat yang
memiliki kebutuhan berbeda. Itu berarti Injil adalah jawaban bagi kehidupan manusia,
29
bukan hanya di bidang agama, melainkan dalam semua aspek kehidupan manusia.
Pelayanan yang sejati bukan hanya berbicara tentang Tuhan Yesus dan memberikan
Roh Kudus juga mengetahui orang Kristen yang mana yang cocok untuk
diutus “keluar” dari zona kenyamanan mereka kepada bangsa yang lain, apakah itu ke
dalam atau ke luar negeri. Seperti Dia dulu mengutus Paulus dan Barnabas, Roh
Kudus masih mengutus para misionaris masa kini. Paulus dan Barnabas adalah orang-
dipersembahkan bagi pelayanan di luar tembok gereja untuk menjadi berkat bagi
bangsa-bangsa – Kisah Para Rasul 13:2-3. Waktu doa puasa, gereja Antiokhia
bersedia mendengarkan dan menaati suara Roh Kudus untuk mengutus kedua sosok
gereja mereka. Mereka tidak merasa dirugikan kalau harus mengizinkan Paulus dan
Barnabas melakukan misi Tuhan, melainkan mereka terlibat secara aktif sebagai
pengutus kedua hamba itu. Antiokhia, sebagai gereja misioner, menjadi teladan dalam
sejarah misi untuk tidak mempertahankan tenaga dan pemimpin mereka yang baik,
melainkan rela mengutus mereka dan taat kepada Roh Kudus. Gereja masa kini sering
tidak seperti gereja Antiokhia. Mereka sering banyak perhitungan dan merasa
dirugikan jika taat kepada suara Tuhan. Bagaimana dengan kita? Apakah kita bersedia
mengutus misionaris dan mendukung mereka lewat doa, dana, dukungan moral, dan
komunikasi? Taat kepada Tuhan berarti tidak dirugikan, melainkan diberi kesempatan
untuk mengambil bagian dalam kemenangan Tuhan dan memberi sukacita kepada
gereja sendiri.35
35
30
BAB III
CARA PENERAPAN
31
MISI ALKITABIAH YANG KONTEKSTUAL
Kontekstualisasi tidak terbatas hanya kepada tataran konsep atau teori semata.
atas konsep dan teori yang benar. Tetapi juga harus aplikatif atau dapat diterapkan
atau dapat menjawa kebutuhan konteks yang sangat kompleks dan beragam.
kontekstualisasi yang dikutip oleh Budiman R. L., dalam buku Pelayanan Lintas
pola yang sebenarnya merupakan pola Barat … orang-orang Kristen Indonesia telah
demikian, pola tata kebaktian itu menjadi asing bagi masyarakat sekitarnya dan hal itu
harus berusaha menemukan suatu pola tata kebaktian (soma) yang memungkinkan
model tata ibadah yang dilakukan oleh misionaris-misionaris dari Eropa atau Barat,
tetapi juga berupaya untuk menggali model tata ibadah yang kontekstual atau yang
cocok dengan budaya Asia. Artinya di Asia pun ada cara yang tepat dalam
menatalayani ibadah bagi orang Asia sendiri yang pasti relevan dengan konteks hidup
dan budaya manusia Asia. Oleh karena itu, pemimpin gereja atau para teolog atau
para misionari yang melayani di Asia harus berupaya keras menemukan cara akurat
dalam upaya pemberitaan Injil bagi orang Asia, supaya Injil itu tidak menjadi asing
36
Budiman R. L., Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi, hlm. 41.
32
atau tidak diterima atau tidak dikenal oleh orang Asia atau menjadi kabur upaya
tersebut serta usaha pendekatan Injil dalam mekanisme budaya pada setiap konteks.” 37
yang holistik dan terintegrasi berbasiskan Alkitab. Tidak hanya pada upaya kognitif
saja atau pada tataran pengetahuan manusiawi saja. Kontekstualisasi harus merupakan
suatu proses dan upaya yang memadukan dan menyatukan pola trialektika, yaitu
budaya dan bekerja melalui budaya. Alkitab selalu memberi batas yang tegas antara
Allah, Sang Pencipta, dengan manusia sebagai makhluk, dan alam ciptaan-Nya. Allah
Alkitab adalah Allah yang mahatinggi, namun juga menaruh perhatian pada manusia
dan seluruh ciptaan-Nya. Itulah sebabnya, Alkitab juga melukiskan Allah yang
menyatakan diri ke dalam dan melalui budaya manusia”.38 Supremasi Allah adalah
manusia. Tuhan Yesus menyatakan dalam Yohanes 20:21b “Seperti Bapa mengutus
37
Yakob Tomatala, Teologi Kontekstualisasi (Suatu Pengantar), Malang: Gandum Mas, hlm.
73.
38
Ibid.
33
bahwa Tuhan Yesus adalah seorang Misionaris yang Misioner (Utusan yang
Karena itu, seorang Pemimpin dituntut sebagai seorang misionaris yang dalam
gerejawi bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan dalam gereja tersebut. Sebagai
menjalankan visi pemberitaan Injil disamping tugas-tugas yang lain. Young G. Chai
Pendeta harus menjadi orang yang mengedarkan traktat penginjilan kepada semua
orang. Bukan berarti dia juga harus mendorong orang-orang supaya datang ke gereja
dengan cara kunjungan ke setiap rumah. Memang hal seperti ini bisa menjadi
pernyataan bahwa dia mempunyai semangat penginjilan. Tetapi bukan hanya itu saja
pemimpin jemaat tidak secara langsung menangani semua kegiatan pemberitaan Injil
39
Young G. Chai, Jemaat Rumah: Penggembalaan Bersama dengan Orang Awam, Jakarta:
Gloria Cipta Grafika, 2005, hlm. 150.
40
Ibid., hlm. 152.
34
sebagai seorang pemberita Injil juga menggerakkan orang lain untuk melakukannya
ini tentu dibangun di atas fondasi teologi kontekstualisasi yang Alkitabiah. Di sisi
lain, ada proses penafsiran holistik tentang esensi suatu pengajaran tertentu. Yakob
beberapa model penafsiran tentang berteologi dalam konteks yang didasarkan atas
tentang usaha berteologi dalam konteks yang pernah dibuat. Di samping itu, model-
model tersebut menolong kita mengadakan evaluasi tentang sejauh mana suatu
pendekatan teologi kontekstualisasi yang alkitabiah dapat dibuat. Ini juga akan
menghindarkan kita dari kesalahan-kesalahan yang pernah dan akan timbul nanti”.41
yang dilakukan dalam sikap, kelakuan, dan pendekatan praktis dalam tugas misionaris
baik secara teologi maupun secara ilmiah. Obyek akomodasi adalah kehidupan
budaya yang menyeluruh dari suatu bangsa baik dari segi fisik, sosial, maupun
ideal”.42 Di sini dapat dilihat bahwa secara holistik keberhasilan model akomodasi ini,
sangat ditentukan oleh peran aktif seorang misionaris dalam upaya pendekatan
kontekstualisasi Injil. “Dalam proses ini terjadi perpaduan nilai hidup kristiani di
mana Kristus menjadi penyempurna dan pelengkap aspirasi budaya. Dengan demikian
41
Yakob Tomatala, Log Cit., hlm. 77.
42
Ibid.
35
akan terdapat sikap positif terhadap Injil yang didasarkan atas pandangan bahwa
anugrah Allah (Injil) tidak menghancurkan budaya manusia, tetapi justru melengkapi
dan menyempurnakan”.43
2. Model adaptasi
bentuk dan ide budaya yang dikenal. Contoh yang jelas, Yohanes menggunakan ide
sehingga menjadi relevan dalam situasi budaya tersebut”.44 Model adaptasi adalah
upaya untuk memaparkan kebenaran tentang Injil dengan memakai bentuk dan
gagasan budaya setempat yang dikenal, dipahami, dan dimengerti oleh pendengar
Injil.
3. Model prossesio
prossesio melihat kebudayaan sebagai sesuatu yang sudah rusak oleh dosa dan tidak
ada kebaikan yang muncul dari dalamnya”.45 Pendapat ini tidak melihat pernyataan
Alkitab secara holistik. Memang manusia sudah berdosa. Namun belum tentu semua
budaya yang dihasilkan oleh manusia juga berdosa. Sebab budaya memiliki sisi
43
Ibid., hlm. 78.
44
Ibid.
45
Ibid.
36
positif, tidak melulu negatif. Perspektif yang salah terhadap budaya akan menjadi
perintang dalam pelaksanaan misi Allah. Oleh sebab itu, model prossesio harus
4. Model transformasi
atas budaya, dan melalui budaya itu pula Allah menggunakan elemen-elemen
kebudayaan untuk berinteraksi dengan manusia. Bila seseorang dibaharui oleh Allah,
maka inti kebudayaannya juga dibaharui (II Korintus 5:17)”.46 Pemegang otoritas dan
kekuasaan tertinggi ialah Allah. Budaya manusia harus tunduk kepada supremasi
akan mengalami transformasi hidup yang juga meliputi dirinya dan juga budayanya.
5. Model dialektik
interaksi dinamis antara teks dengan konteks. Konsep ini didukung oleh perkiraan
yang kuat bahwa perubahan pasti ada dalam kebudayaan. Untuk setiap kurun waktu
perubahan itu terjadi secara dinamis. Dengan demikian Gereja harus menggunakan
keadaan”.47 Model dialektik menunjukkan bahwa ada komunikasi yang relevan antara
teks (Berita Injil atau Kabar Baik) dengan konteks (Manusia Budaya). Di sisi lain,
46
Ibdi., hlm. 79.
47
Ibid.
37
perubahan. Injil yang utuh dan sempurna mampu membaharui kebudayaan yang
B. Unsur-unsur Kontekstualisasi
“Yang dimaksud oleh tiga bidang kontekstualisasi ialah penginjil, Injil dan jemaat
yang didirikan harus kontekstual. Misalnya, jika seorang penginjil ingin menjangkau
orang Sunda, ia harus bisa berbahasa Sunda, mengikuti adat istiadat Sunda, dan
mengerti pola pikir orang Sunda. Sebagai komunikator kabar baik, penginjil ini harus
utamanya ialah kepada penginjil. Artinya, betapa pentingnya skill yang harus dimiliki
oleh seorang penginjil. Lebih daripada itu, penginjil juga harus memiliki wawasan
dan pengetahuan yang komprehensif tentang suatu kebudayaan seperti contoh di atas
yaitu tentang kebudayaan suku Sunda. Penginjil dituntut untuk memahami secara utuh
word view suku Sunda, supaya berita Injil yang disampaikannya dapat diterima atau
Selain penginjil, teks dalam hal ini berita Injil harus disampaikan sesuai
48
Budiman R. L., Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi, hlm. 40.
38
disampaikan tidak asing bagi pendengarnya; agar komunikasi itu relevan; agar berita
itu menjawab kebutuhan dan agar teologi yang dipikirkan menjawab masalah-masalah
kontemporer”.49
dengan dan menjawab kebutuhan dari masyarakat setempat. Misalnya, tata acara
kebaktian, busana yang dikenakan ketika beribadah, bangunan fisik tempat beribadah,
tempat kitab suci diletakkan, posisi duduk dari jemaat yang menghadiri kebaktian,
bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi pada waktu ibadah dilakukan dan lain
dipegang teguh oleh penginjil dan para misionari. Prinsip kontekstualisasi ini telah
dilakukan baik oleh Tuhan Yesus Kristus maupun oleh rasul Paulus.
Paulus menulis kepada jemaat di Filipi demikian: “Hendaklah kamu dalam hidupmu
bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang
walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai
milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan
mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam
keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati,
bahkan sampai mati di kayu salib” – Filipi 2:5-8. “Ini berarti lahir ke dunia sebagai
49
B. S. Sidjabat, Kebudayaan dan Misi, Bandung: Sahabat Gembala, Mei 1986, hlm. 10.
39
manusia, hidup dalam sejarah manusia, menjadi bagian dari konteks budaya manusia,
dst. – singkatnya, berpadu dengan hakikat manusia secara utuh. Dengan demikian,
inkarnasi melambangkan solidaritas Yesus Kristus dengan manusia secara utuh dalam
lingkup sosial budaya manusia. Namun, perlu disadari bahwa inkarnasi Kristus terjadi
bukan untuk tujuan inkarnasi itu sendiri, melainkan untuk menyatakan Allah kepada
dunia (Yohanes 1:18). Di sini perlu ditegaskan bahwa inkarnasi Kristus memiliki
tujuan misional, untuk membuktikan kasih Allah kepada dunia (Yohanes 3:16), bagi
Kristus dalam Filp. 2:5-11 yakni Yesus Krsitus mengambil rupa manusia, menjadi
hamba dan solider utuh dengan manusia untuk menanggung dosa-dosa manusia.
Untuk masuk dalam budaya orang lain seseorang harus meninggalkan jati dirinya
untuk manunggal dengan orang lain. Perlu disadari bahwa identitas diri yang menjadi
1) Kontekstual Etis
menempatkan diri untuk menghargai budaya orang lain sehingga tercipta refleksi
teologi yang positif. Sikap tersebut antara lain: pertama, Tidak menghakimi orang
50
Yakob Tomatala, Teologi Kontekstualisasi (Suatu Pengantar), Malang: Gandum Mas, hlm.
22-23.
40
dengan semena-mena (1 Kor. 4:1-5); kedua, Rendah hati (1 Kor. 4:6-21); ketiga,
Mengembangkan sikap untuk tidak diperhamba oleh apapun juga (1 Kor. 6:12b);
keempat, Mengembangkan sikap peka terhadap orang lain (1 Kor. 8:1-13); kelima,
Mengembangkan pergaulan yang baik sebagai orang yang mengenal Allah (1 Kor.
2) Kontekstual Prakmatis
dikembangkan oleh Rasul Paulus dengan cara: pertama, Melihat tugas pemberitaan
Injil sebagai tugas yang wajib tanpa ditawar-tawar (1 Kor. 9:16); kedua, Menetapkan
orang dalam, pada setiap konteks (1 Kor. 9:19-24). Sikap inkarnasi dimulai dengan
sikap hamba untuk menjadi segala-galanya bagi semua orang. Menjadi hamba untuk
diperhatikan. Ini dilakukan dengan sebuah tujuan yang jelas bukan sekedar fleksibel
tanpa arah.
41
“Bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi
seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup
diluar hukum Allah, karena aku hidup di bawah hukum Kristus, supaya aku dapat
memenangkan mereka yang tidak hidup di bawah hukum Taurat” – 1 Korintus 9:21.
“Walaupun pendekatan Paulus luwes sekali, namun ia memiliki suatu tolok ukur. Ia
Kristus. Hukum Kristus, firman Allah, merupakan tolok ukur baginya. Firman Allah
segala sesuatu dengan firman Allah supaya Injil yang disampaikan itu tetap murni.
Paulus menyadari bahwa Injil itu asal dari Tuhan. Dari satu segi Injil itu “asing” bagi
segala suku. Kebudayaan biasanya bercampur dengan agama lokal. Tidak ada suatu
kebudayaan yang murni. Karena itu setiap kebudayaan harus dikoreksi dan diperbaiki
melalui firman Allah. Hanya firman Allah yang menjadi ukuran Rasul Paulus untuk
menilai segala sesuatu. Oleh sebab itu, sekalipun Paulus menyesuaikan diri, ia tetap
berpegang teguh pada firman Allah. Meskipun ia bersikap luwes, ia selalu hidup di
pengertian serta isi baru dan yang mengarahkan mereka untuk pelayanan bagi Kristus
… Adalah tidak pernah mudah untuk memutuskan apakah suatu adat/kebiasaan boleh
51
Budiman R. L., Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi, hlm. 8-9.
42
dipertahankan atau harus ditolak” (Bavinck 1960:175-179, 190).52 Sedangkan
menurut Dr. Dean Gilliland dari Fuller Theological Seminary School of World
Mission dan dikutip oleh Budiman R. L., mengatakan: “Tugas kontekstualisasi ialah
mengetahui apa yang dapat dipergunakan [dari kebudayaan], apa yang harus ditolak
dan oleh kasih karunia Allah, apa yang dapat ditransformasikan” (Gilliland
1989:25)”.53
dikemukakan di atas, maka dapat ditemukan bahwa sesungguhnya ada cara yang
dapat dipergunakan dalam rangka untuk menyampaikan Kabar Baik atau Injil ke
dalam suatu kontek budaya. Upaya kontekstulisasi dimaksud harus diletakkan atas
kasih karunia Allah. Dikatakan demikian, karena Allah adalah segala-galanya dalam
misi kontekstualisasi. Oleh karena itu, tiga cara kontekstualisasi dapat dijabarkan
sebagai berikut.
Dalam setiap suku, bahasa dan bangsa, ada unsur-unsur budaya yang positif.
Unsur-unsur budaya yang positif ini berhubungan dengan etika, moralitas, sopan-
santun dan norma sosial. Nilai-nilai buday yang memiliki muatan positif tersebut bisa
atau beberapa unsur kebudayaan yang netral tetap dipertahankan. Setiap kebudayaan
mempunyai beberapa unsur yang netral”.54 Jadi, dalam setiap kebudayaan dipastikan
52
Ibid., hlm. 42.
53
Ibid.
54
Ibid.
43
contoh berhubungan dengan kontekstualisasi, yaitu: “Penggunaan kopiah, pemakaian
sarung dan kain kebaya, duduk di lantai atau tikar, cara bersalam-salaman,
dihasilakannya tidak ada lagi yang murni. Itu sebabnya, harus dikoreksi, diperbaiki
dan dibaharui melalui firman Allah. “Yang dimaksudkan dengan mengubah ialah
kepada Allah dan sesuai dengan firman-Nya. Seperti yang dicanangkan oleh Ikrar
Lausanne pasal 10: “Gereja-gereja harus berusaha untuk mengubah dan memperkaya
kebudayaan, dan semuanya itu bagi kemuliaan Allah”.56 Jadi, semua proses dan upaya
mengubah kebudayaan yang dilakukan oleh gereja memiliki tujuan utopi yaitu bagi
kemuliaan Allah.
Dr. Paul Hiebert dari Trinity Evangelical Divinity School, yang dikutip oleh
dilakukan melalui lima cara, yaitu: “pertama, menambah unsur pada kepercayaan dan
mempunyai konotasi dosa tanpa membuang aspek tradisi tersebut; ketiga, mengganti,
yaitu mengembangkan bentuk atau cara baru yang mempunyai fungsi yang sama
seperti membaca Alkitab sebagai pengganti untuk membaca kitab suci lain; keempat,
memberi tafsiran baru pada cara atau bentuk kebudayaan; kelima menciptakan unsur
55
Ibid., hlm. 42-43.
56
Ibid., hlm 43.
44
baru, asal mereka mempunyai banyak kesamaan dengan adat setempat” (Hiebert
1985:171-192)”.57
harus dibuang. “Kita harus membuang beberapa unsur yang tidak cocok dengan
firman Allah dan yang tidak mungkin dimurnikan. Misalnya, poligami, upacara-
1985:54).
antara unsur kebudayaan dengan Injil, sehingga pengertian Injil menjadi kabur.
Percampuran unsur penting dalam Injil dengan adat-istiadat inilah yang disebut
sinkritisme.
ada tujuan ganda dalam pemberitaan Injil. Tujuan tunggal ini ialah memenangkan
sebanyak mungkin orang bagi Kristus. Rasul Paulus menulis berkaitan dengan tujuan
hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin
orang. Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya
57
Ibid., hlm. 45.
45
hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat,
sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah hukum Taurat, supaya aku dapat
yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang tidak hidup
di bawah hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup di luar hukum Allah, karena aku
hidup di bawah hukum Kristus, supaya aku dapat memenangkan mereka yang tidak
hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti
orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah. Bagi
semua orang aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin
memenangkan beberapa orang dari antara mereka. Segala sesuatu ini aku lakukan
Berdasarkan bagian dari tulisan Paulus di atas, dapat dilihat bahwa hanya ada
satu goal dan beragam target. Ada enam kali Paulus mengulang pernyataan yang
tujuan. Bagi Paulus sangat penting memiliki tujuan yang jelas dalam pemberitaan
Injil. Tujuan yang jelas merupakan motor penggerak untuk memberitakan Injil. Goal
Paulus ialah memenangkan sebanyak mungkin orang. Ini tujuan tertinggi dalam
professional. Dari kalangan masyarakat biasa sampai kepada kalangan masyarkat elit.
Secara singkat target pemberitaan Injil menjangkau semua level manusia dengan
berbagai budayanya. Namun, tujuan yang hendak dicapai hanya satu, yaitu
46
C. Langkah-langkah Kontekstualisasi
taktis, strategis dan aplikatif yang harus ditempuh supaya berita Injil dapat diterima
W. Carey menulis demikian: “Kata komunikasi berasal dari bahasa Latin communis,
yang artinya berbagi, menjadikan umum, atau bahkan memiliki sebuha kepercayaan
menciptakan, memelihara dan mengubah gaya hidup yang kita miliki. Komunikasi
Dari pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa dampak komunikasi itu begitu
58
Quentin J. Schultze, Communicating for Life, Malang: Literatur SAAT, 2004, hlm. 16.
59
Ibid.
47
sebagai langkah awal untuk memahami berita dalam konteks Alkitab
itu.
4) Impak komunikasi yang luar biasa akan terjadi dalam interaksi antar
pribadi.
48
5) Komunikasi akan sangat efektif bila pembicara, berita-berita, dan
Dalam penjelasan berikut ini akan diuraikan sembilan prinsip komunikasi Injil
yang efektif:
pendengar.
49
7) Komunikator perlu mengontrol berita Injil yang disampaikan agar
kontekstualisasi yang alkitabiah. Ada kelompok yang pro atau setuju atau
pemberitaan Injil. Ada pula kelompok yang bersikap menolak atau kontra atau alergi
Injil yang tidak menerap model teologi kontekstualisasi. Selain itu, ada pula yang
terjadi sinkretisme di mana Injil dan adat-istiadat dicampur, sehingga Injil menjadi
tidak murni. Untuk lebih jelas dapat dilihat sikap dalam berkontekstualisasi sebagai
berikut ini.
a. Menolak kontekstualisasi
kepercayaan lama, seperti upacara-upacara adat, seni, musik dan isu-isu penting.
Pemberitaan Injil tetap dilaksanakan, namun Injil menjadi asing bagi budaya dalam
60
Yakob Tomatala, Teologi Kontekstual (Suatu Pengantar), Malang: Gandum Mas, hlm. 81-
87.
50
konteksnya secara keseluruhan. Kebiasaan lama tetap dipertahankan dan dilaksanakan
b. Mempertimbangkan kontekstulisasi
terbuka. Kepercayaan lama seperti upacara-upacara adat, musik, seni dan isu-isu
penting lainnya dianalisa, digali maknanya, dan semua informasi tentang kepercayaan
lama dengan semua permasalahannya dikumpulkan. Semua itu diletakan dan diterangi
oleh firman Tuhan. Apa kata Alkitab tentang kepercayaan lama tersebut. Lalu
Alkitab dan memberi diri dibimbing oleh kuasa Roh Kudus. Dari hasil inilah, maka
akan diperoleh kesimpulan akhir atau keputusan final terhadap kepercayaan lama
setelah diterangi oleh firman Tuhan dan dibimbing kuasa Roh Kudus, apakah
memakai unsur kepercayaan lama?, atau apakah mengubah kepercayaan lama?, atau
apakah membuang kepercayaan lama? Melalui proses filterisasi budaya inilah akan
akurat. Injil menjadi relevan dan tidak asing bagi budaya. Kemurnian Injil tetap
dipertahankan.
berseberangan dengan kedua sikap seperti yang dijelaskan di atas. Menerima saja
sinkretisme.
51
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Kristen berteologi dalam konteks, yaitu konteks budaya, sosial, ekonomi, politik,
geografi dan sebagainya di mana ia seorang individu serta gereja sebagai komunitas
Sebagai misionaris memiliki tanggung jawab spiritual dalam semua level dan bidang
kehidupan. Ia harus menghadirkan nilai atau value Kerajaan Allah dalam totalitas
Setiap hari orang Kristen bertemu dengan orang-orang dari berbagai latar
belakang budaya, geografi, demografi, sosial, ekonomi, pendidikan dan juga pemeluk
agama yang berbeda. Pemeluk beragama lain ini juga menjalankan misi mereka. Dan
orang Kristen.
untuk dilaksanakan. Dikatakan penting karena itulah salah satu cara yang Tuhan
gunakan untuk menyatakan diri-Nya kepada manusia dalam konteks budayanya. Dan
inilah cara yang seharusnya digunakan oleh gereja dalam menjalankan misinya di
dunia ini, supaya dapat memenangkan sebanyak mungkin orang bagi Kerajaan Allah.
61
Yakob Tomatala, Teologi Kontekstulisasi (Suatu Pengantar), Malang: Gandum Mas, hlm.
92.
52
“Teologi kontekstualisasi alkitabiah yang absah menempatkan Allah sebagai
the prime cause, the prime mover dari proses berteologi dalam konteks. Pada sisi ini,
“Alkitab” berperan utama sebagai “penyataan Allah” karena Allah sendiri memilih
untuk menyatakan diri kepada manusia dan penyataan-Nya tertulis dalam Alkitab. Ini
berarti Allah sendiri telah memilih “kebudayaan manusia” sebagai wahana penyataan-
Nya. Manusia pada sisi lain (sebagai penerima/partisipan) menerima penyataan Allah
dipengaruhi oleh apa dan siapapun mengambil sikap untuk menyingkapkan diri-Nya
11kepada manusia dalam budaya yang dibuat oleh manusia. Allah memberi diri-Nya
Oleh karena itu, di pundak orang Kristen dan Gereja Kristen ada tanggung
jawab misional yang harus dilakukan dalam konteks di mana orang Kristen dan
Gereja Kristen berada sebagai yang diutus oleh Tuhannya untuk melaksanakan misi
shalom-Nya bagi manusia berdosa yang hidup dalam konteks budaya yang berdosa.
Dalam rangka melaksanakan misinya, orang Kristen dan Gereja Kristen harus mampu
berteologi dalam konteks. Berteologi dalam konteks ini perlu dihidupi dan dijawab
secara terus-menerus dalam rangkan memberitakan Injil kasih karunia Allah kepada
DAFTAR PUSTAKA
62
Ibid.
53
Alkitab
Bosch, D. J.,
---
2007 Peran Roh Kudus dalam Misi, Malang: Terang Lintas Budaya.
Chai, Young G.
Jacobs, T.,
Kobong, Th.,
L. Budiman R.
Legrand, L.,
Moltmann, J.,
Peters, George W.
54
1972 A Biblica Theology of Mission, Chicago: Moody Press.
Rahmiati
Sidjabat, B. S.
Schutte, J.,
Schultze, Quentin J.
Tim Penyusun
Tomatala, Yakob
55