Makalah Kelompok 3 Hadist
Makalah Kelompok 3 Hadist
2. Rikhlati irfana
( STAIDA )
2020 - 2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat, taufik, serta hidayahnya. Karena hanya
karna Allah lah kita dapat hidup, karena Allah lah kita dapat bernafas, dan hanya karna Allah
SWT kita masih dapat menikmati yang namanya Air. Tak lupa kita panjatkan salawat serta salam
kepada Nabi Muhamad SAW, yang safaatnya kita nantikan di hari kiamat nanti.
Dan tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Dosen kami IBU ZIADATUR RIFAH,
atas segala arahanya, ilmunya yang telah di berikan kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini, dan diberikan pulan ucapan terima kasih kepada teman-teman dan
sahabat kami atas bantuannya juga.
Kami berharap makalah ini dapat membantu semua rekan-rekan sekalian dalam
pemahaman terhadap materi. Dan kami memohon maaf, bila mana ada kesalahan di dalam
penyusunan, dan pembuatan, serta dalam diri kami.
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Al-Hadits merupakan sumber ajaran Islam, yang kedua dari Al-Qur’an. Dilihat dari sudut
periwayatannya, jelas antara Hadits dan Al-Qur’an terdapat perbedaan. Untuk Al-Qur’an semua
periwayatannya berlangsung secara mutawatir. Sedangkan periwayatan Hadits sebagian
berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad. Sehingga mulai dari
sinilah timbul berbagai pendapat dalam menilai kualitas hadits. Sekaligus sumber perdebatan
dalam kancah ilmiah, atau bahkan dalam kancah-kancah non ilmiah. Akibatnya bukan
kesepakatan yang didapatkan, akan tetapi sebaliknya perpecahan yang terjadi.
Oleh karena itu timbul sebuah pertanyaan apakah hadist dapat dijadikan sebuah hujjah atau
tidak..?? maka penulis mencoba membahas beberapa hal yang terkait dengan al-hadits
sebagaimana terangkum dalam rumusan masalah sebagai berikut.
1. Rumusan Masalah
2. Apa Pengertian hadist?
3. Apa Kedudukan hadist?
4. Apa Fungsi hadist?
5. Apa pengertian Al-qur’an?
6. Apa Hubungan dengan Al-Qur’an?
7. Apa pengertian dari hadis qudsi
8. Apa pengertian dari hadis nabawi ?
9. Persamaan hadis qudsi dan hadis nabawi ?
10. Perbedaan hadis qudsi dan nabawi ?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Al-Hadits
Hadits menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu
yang singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan
dipindahkan dari seorang kepada orang lain.
Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan,
perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan mengenai ucapan, perbuatan,
dan perkataan.
Hadits Qauliyah ( ucapan) yaitu hadits hadits Rasulullah SAW, yang diucapkannya dalam
berbagai tujuan dan persuaian (situasi).
Hadits Fi’liyah yaitu perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW, seperti pekerjaan melakukan
shalat lima waktu dengan tatacaranya dan rukun-rukunnya, pekerjaan menunaikan ibadah
hajinya dan pekerjaannya mengadili dengan satu saksi dan sumpah dari pihak penuduh.
Hadits Taqririyah yaitu perbuatan sebagian para sahabat Nabi yang telah diikrarkan oleh Nabi
SAW, baik perbuatan itu berbentuk ucapan atau perbuatan, sedangkan ikrar itu adakalanya
dengan cara mendiamkannya, dan atau melahirkan anggapan baik terhadap perbuatan itu,
sehingga dengan adanya ikrar dan persetujuan itu. Bila seseorang melakukan suatu perbuatan
atau mengemukakan suatu ucapan dihadapan Nabi atau pada masa Nabi, Nabi mengetahui apa
yang dilakukan orang itu dan mampu menyanggahnya, namun Nabi diam dan tidak
menyanggahnya, maka hal itu merupakan pengakuan dari Nabi. Keadaan diamnya Nabi itu dapat
dilakukan pada dua bentuk :
Pertama, Nabi mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci dan dilarang oleh Nabi. Dalam
hal ini kadang-kadang Nabi mengetahui bahwa siapa pelaku berketerusan melakukan perbuatan
yag pernah dibenci dan dilarang itu. Diamnya Nabi dalam bentuk ini tidaklah menunjukkan
bahwa perbuatan tersebut boleh dilakukannya. Dalam bentuk lain, Nabi tidak mengetahui
berketerusannya si pelaku itu melakukan perbuatan yang di benci dan dilarang itu. Diamnya
Nabi dalam bentuk ini menunjukkan pencabutan larangan sebelumnya.
Kedua, Nabi belum pernah melarang perbuatan itu sebelumnya dan tidak diketahui pula
haramnya. Diamnya Nabi dalam hal ini menunjukkan hukumnya adalah meniadakan keberatan
untuk diperbuat. Karena seandainya perbuatan itu dilarang, tetapi Nabi mendiamkannya padahal
ia mampu untuk mencegahnya, berarti Nabi berbuat kesaahan ; sedangkan Nabi terhindar
bersifat terhindar dari kesalahan.
2. Kedudukan Hadits
Dalam kedudukannya sebagai penjelas, hadits kadang-kadang memperluas hukum dalam Al-
Qur’an atau menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah dalam Al-Quran.
Kedudukan Hadits sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum Al-Quran,
tidak diragukan lagi dan dapat di terima oleh semua pihak, karena memang untuk itulah Nabi di
tugaskan Allah SWT. Namun dalam kedudukan hadits sebagai dalil yang berdiri sendiri dan
sebagai sumber kedua setelah Al-Quran, menjadi bahan perbincangan dikalangan ulama.
Perbincangan ini muncul di sebabkan oleh keterangan Allah sendiri yang menjelaskan bahwa Al-
Quran atau ajaran Islam itu telah sempurna. Oleh karenanya tidak perlu lagi ditambah oleh
sumber lain.
Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua setelah
Al-Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam.
Jumhur ulama mengemukakan alasannya dengan beberapa dalil, di antaranya :
1. Banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat mentaati Rasul. Ketaatan kepada rasull
sering dirangkaikan dengan keharusan mentaati Allah ; seperti yang tersebut dalam surat
An-Nisa : 59 :
artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
Bahkan dalam tempat lain Al-Quran mengatakan bahwa oang yang mentaati Rasul berarti
mentaati Allah, sebagaimana tersebut dalam surat An-Nisa : 80:
Artinya : Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan
Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka.
Yang dimaksud dengan mentaati Rasul dalam ayat-ayat tersebut adalah mengikuti apa-apa yang
dilakukan atau dilakukan oleh Rasul sebagaimana tercakup dalam Sunnahnya.
Dari ayat diatas jelaslah bahwa Hadits itu adalah juga wahyu. Bla wahyu mempunyai kekuatan
sebagai dalil hukum, maka hadits pun mempunyai kekuatan hukum untuk dipatuhi. Kekuatan
hadits sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua segi: pertama, dari segi kebenaran materinya
dan keduadari segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum. Dari segi kebenaran materinya
kekuatan hadits mengikuti kebenaran pemberitaannya yang terdiri dari tiga tingkat,
yaitu: mutawatir, masyhur, danahad sebagaimana dijelaskan diatas.
Khabar mutawatir ditinjau dari segi kuantitas sahabat yang meiwayatkannya dari Nabi dan juga
kuantitas yang meriwayatkannya dari sahabat dan seterusnya adalah qath i dalam arti diyakini
kebenarannya bahwa hadits itu benar dari Nabi. Meskipun jumlah hadits mutawatir ini tidak
banyak namun mempunyai kekuatan sebagai dalil sebagaimana kekuatan Al-Qur’an. Khabar
mutawatir mempunyai kekuatan tertinggi di dalam periwayatan dan menghasilkan kebenaran
tentang apa yang diberitakan secara mutawatir sebagaima kebenaran yang muncul dari hasil
pengamatan. Para ulama sepakat mengatakan bahwa khabar mutawatir menghasilkan ilmu
yakin meskipun mereka berbeda pendapat dalam menetapkan cara sampai kepada ilmu yakin itu
secara tanpa memerlukan pembuktian atau memerlukan pembuktian kebenarannya. Untuk
sampainya khabar mutawatir itu kepada ilmu yakin harus terpenuhi syarat-syarat tertentu. Di
antaranya syarat-syarat itu disepakati oleh ulama dan syarat lainnya diperselisihkan. Syarat-
syarat yang disepakati ada yang menyangkut pembawa berita.
3. Fungsi Hadits
Dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum dalam
Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat dilaksanakan
tanpa penjelasan dari hadits. Dengan demikian fungsi hadits yang utama adalah untuk
menjelaskan Al-Qur’an. Hal ini telah sesuai dengan penjelasan Allah dalam surat An-Nahl :64
Artinya: Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu
dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu.
Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka Hadits
disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam hubungannya dengan Al-
Qur’an, ia menjalankan fungsi senagai berikut :
“ Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat “ ayat itu dikuatkan oleh sabda Nabi yang artinya
:
“ Islam itu didirikan dengan lima pondasi : kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan
muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat.
2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal :
3. Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an
4. Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secari garis besar.
5. Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum
6. Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam Al-Qur’an
Contoh menjelaskan arti kata dalam Al-Qur’an umpamanya kata shalat yang masih samar
artinya, karena dapat saja shalat itu berarti do’a sebagaimana yang biasa dipahami secara umum
waktu itu. Kemudian Nabi melakukan serangkaian perbuatan, yang terdiri dari ucapan dan
pebuatan secara jelas yang dimulai dari takbiratul ihram dan berakhir dengan salam. Sesudah itu
Nabi bersabda :inilah shalat itu, kerjakanlah shalat sebagimana kamu melihat saya mengerjakan
shalat.
3. Menetapkan suatu hukum dalam hadits yang secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an.
Dengan demikian kelihatan bahwa Hadits menetapkan sendiri hukumyang tidak
ditetapkan dalam Al-Qur’an. Fungsi hadits dalam bentuk ini disebut itsbat. Sebenarnya
bila diperhatikan dengan teliti akan jelas bahwa apa yang ditetapkan hadits itu pada
hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung Al-Qur’an atau memperluas
apa yang disebutkan Al-Qur’an secara terbatas. Umpamanya Allah SWT mengharamkan
memakan bangkai, darah, dan daging babi. Larangan Nabi ini menurut lahirnya dapat
dikatakan sebagai hhukum baru yang ditetapkan oleh Nabi, karena memang apa yang
diharamkan Nabi ini secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Tetapi kalau dipahami
lebih lanjut larangan Nabi itu hanyalah sebagai penjelasan terhadap larangan Al-
Qur’anlah memakan sesuatu yang kotor
1. Pengertian al-qur’an
Al-quran adalah kitab suci umat Islam yang berisi firman Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW dengan perantaa malaikat Jibril untuk dibaca, dipahami, dan
diamalkan sebagai petunjuk atau pedoman hidup bagi umat manusia
Bila kita lihat dari fungsinya hubungan Hadits dengan Al-Qur’an sangatlah berkaitan. Karena
pada dasarnya Hadits berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an dalam segala
bentuknya sebagaimana disebutkan di atas. Allah SWT menetapkan hukum dalam Al-Qur’an
adalah untuk diamalkan, karena dalam pengalaman itulah terletak tujuan yang digariskan. Tetapi
pengalaman hukum Allah diberi penjelasan oleh Nabi. Dengan demikian bertujuan supaya
hukum-hukum yang ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an secara sempurna dapat dilaksanakan oleh
umat Sebagaimana dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat
hukum dalam Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat
dilaksanakan tanpa penjelasan dari hadits. Dengan demikian keterkaitan hadits dengan Al-
Qur’an yang utama adalah berfungsi untuk menjelaskan Al-Qur’an. Dengan demikian bila Al-
Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka hadits disebut sebagai bayani. Dalam
kedudukannya sebagai bayani maka dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, Hadits menjalankan
fungsi sebagai berikut :
1. Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an atau disebut
fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits hanya seperti mengulangi apa-apa yang
tersebut dalam Al-Qur’an.
2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal :
3. Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an
4. Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara garis besar
5. Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum
6. Memperluas maksud dari suatu yang tersebut dalam Al-Qur’an
Contoh Hadits yang merinci ayat Al-Qur’an yang masih garis besar, umpamanya tentang waktu-
waktu shalat yang masih secara garis besar disebutkan dalam surat An-Nisa : 103
ۚ َت َعلَى ْٱل ُم ْؤ ِمنِينَ ِك ٰتَبًا َّموْ قُوتًا
ْ صلَ ٰوةَ َكان
َّ إِ َّن ٱل
Artinya : sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang
yang beriman.
Contoh hadits yang membatasi maksud ayat Al-Qur’an yang adatang dalam bentuk umum,
umpamanya hak kewarisan anak laki-laki dan anak perempuan dalam surat An-Nisa :11:
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.
Ayat itu dibatasi atau dikhususkan kepada anak-anak yang ia bukan penyebab kematian ayahnya.
Contoh Hadits memperluas apa yang dimaksud oleh Al-Qur’an, umpamanya firman Allah yang
melarang seorang laki-laki memadu dua orang wanita yang bersaudara dalam surat An-Nisa ayat
23 yang artinya :
“ dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
telah terjadi pada masa lampau”. (Q.S An-Nisa :23)
BAB III
PEBAGIAN HADIST
A. Pengertian Hadis Qudsi
Ditinjau dari segi bahasa, kata “qudsi” dari qadusa, yaqdusu, duqsan, artinya suci atau
bersih. Makna kata hadis Qudsiy, artinya hadis yang suci. Dari sudut terminologis, kata hadist
Qudsiy, terdapat beberapa definisi dengan redaksi yang sedikit berbeda-beda, akan tetapi
essensianya pada dasarnya sama, yaitu sesuatu yang diberitahukan Allah SWT kepada Nabi
SAW, selain al-Qur’an, yang redaksinya disusun oleh Nabi sendiri. Untuk lebih jelasnya,
beberapa definisi tersebut dapat dilihat dibawah ini.
Menurut Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, memberikan definisi hadist Qudsiy sebagai berikut
.َّصلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَوْ الً إِلَى هللاِ َع َّز َو َجل
َ ض ْيفَ فِ ْي ِه ال َّرسُوْ ِل ٍ ُكلُّ َح ِد ْي
ِ ُث ي
Hadist Qudsiy ialah setiap hadist yang disandarkan oleh Rasullulah SAW., dalam bentuk
perkataan kepada Allah azza wajalla.
Dari Ali r.a. dia berkata: telah bersabda Nabi SAW: Allah SWT berfirman: “Aku sangat murka
kepada orang yang melakukan kedzaliman (menganiaya) terhadap orang yang tidak ada
pembelanya selain Aku.”(H.R. ath-Tabrani).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : "Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : "Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman : "Anak Adam (manusia)
menyakiti Aku dengan mencaci maki tahun, dan Akulah tahun. Dan di tangan Akulah segala
urusan, Aku balik siang dan malamnya". (HR. Bukhari).
c. Hadis Qudsiy tentang kebesaran Dzat Allah
َم ْن: َوهللاِ الَ يَ ْغفِ ُر هللاُ لِفُاّل ٍن َواِ َّن هللاَ تَ َع™الَى قَ™ا َل:ال َ صلَي هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َح َّد
َ َث اَ َّن َر ُحاًل ق َ ِض َي هللاُ َع ْنهُ اَ َّن َرسُوْ ُل هللا
ِ ب َر ٍ ع َْن ُج ْن ُد
)(اخرخه مسلم.اَوْ َك َما قا َ َل,ك ْ اّل
َ َ َواَبَطتُ َع َمل,ت لِف ٍن ُ ُ اّلُ ْ َّ ََذالَّ ِذى يَتَا َعل
ُ ْ فَإِنِّى ق ْد َغفَر,ي اَ ْن الَاَغفِ َر لِف ٍن
Dari Jundub r.a bahwasannya Rasullullah SAW bercerita bahwa seseorang berkata: “Demi
Allah, Allah tidak mengampuni Fulan”. Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: “Siapakah yang
bersumpah atas Ku bahwa Aku tidak mengampuni Fulan dan aku menghapus amal atau seperti
apa yang ia ucapkan”. (hadist ditakhrij oleh Imam Muslim).
1. Hadis Qauliyah
ْ ™وةُ ْال
مظلُ™™وْ ِم َ ™ َد ْع,ك فِ ْي ِه َّن ٌ َت ُم ْس™تَ َجب
َّ ™ات الَ َش ِ ث َد َع™ َوا ُ َ ثَال:صلَي هللاُ َعلَ ْي™ ِه َو َس™لَّ َم َ ِ قَا َل َرسُوْ ُل هللا:ض َي هللاُ َع ْنهُ قَا َل ِ ع َْن اَبِى هُ َر ْي َرةَ َر
)(رواه الترمدى َو َدع َُوةُ ْال ُم َسافِ ِر َو َدع َُوةُ اَ ْل َولَ ِد َعلَى َولِ ِد ِه
Abu Hurairah r.a berkata, bahwa Rasullullah SAW bersabda, “Ada tiga do’a yang mustajab
dan tidak diragukan lagi, yaitu doa orang yang teraniaya, doa orang berpergian, dan kedua
orang tua kepada anaknya” (H.R. Turmudzi)
2. Hadis Fi’liyah.
َ ِ َرأَيْتَ َرسُوْ ُل هللا: ع َْن َع ْب ِد هللاِ ُع َم َر قَا َل
َّ صلَي هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِ َذ قَا َم فِ ْى ال
َصالَ ِة َرفَ َع يَ َد ْي ِه َحتَّى يَ ُكوْ نَا َحدَوْ َم ْن ِكبَ ْي ِ™ه َو َكا نَ يَ ْف َع ُل َذلِ™™ك
ُّ "س™ ِم َع هللاُ لِ َم ْن َح ِم ْي™دَه" َوالَ يَ ْف َع™ ُل َذلِ™™كَ فِى ْ
(رواه الس™جُوْ ِد َ ع َو يَقُ™™وْ ُل ِ ْع َو يَ ْف َع™ ُل َذلِ™™كَ إِ َذ َرفَ™ َع رأ َس™هُ ِمنَ الرُّ ُك™™وِ ِْح ْينَ يُ ْكبَ™ ُر الرُّ ُك™™و
)البخاري
Dari Abdullah bin Umar r.a, ia berkata: “Aku melihat Rasullullah SAW, apabila beliau berdiri
melaksanakan shalat, beliau mengangkat kedua tangannya setentang kedua bahunya, dan hal
tersebut dilakukan beliau ketika bertakbir hendak ruku’, dan beliau juga melakukan hal itu
ketika bangkit dari ruku’, seraya membaca “sami’allahu liman hamidah”. Beliau tidak
melakukan hal itu (yaitu mengangkat kedua tangan) ketika sujud. (H.R. Bukhari).
Hadis qudsi dan hadis nabawi pada dasarnya mempunyai persamaan, yaitu sama-sama
bersumber dari Allah SWT. Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam firmannya.
‘Dan tidaklah yang diucapkan itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapanya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
(Q.S. An-Najm [53]: 3-4)
Selain itu, redaksi keduanya (hadis Qudsiy dan hadis Nabawi) disusun oleh Nabi SAW.
Jadi, yang tertulis itu semata-mata ungkapan atau kata-kata Nabi sendiri.
“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Al-Qur’an, maka baginya satu kebaikan.
dan satu kebaikan dilipat-gandakan sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif lam
miim itu satu huruf, tapi alim satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf ” (HR. At
Tirmidzi 2910, ia berkata, “hasan shahih gharib dari jalan ini”). Adapun membaca
hadits qudsi bukan aktifitas ta’abbud dan tidak boleh dibaca pada qiraah dalam shalat.
Namun orang yang membaca hadits qudsi mendapat pahala secara umum (tergantung
niatnya, pent.) dan bukan pahala sepuluh kali lipat per huruf seperti yang disebutkan
dalam hadits.
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari beberapa uraian di atas dapat kita ambil beberapa kesimpulan bahawa:
1. Hadits menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau
waktu yang singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan,
diperbincangkan, dan dipindahkan dari seorang kepada orang lain.
2. Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu
ucapan, perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan mengenai
ucapan, perbuatan, dan perkataan.
3. Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua
setelah Al-Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua
umat Islam.
4. Fungsi hadits yang utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an
5. Bila kita lihat dari fungsinya hubungan Hadits dengan Al-Qur’an sangatlah berkaitan.
Karena pada dasarnya Hadits berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an
dalam segala bentuknya sebagaimana disebutkan di atas. Allah SWT menetapkan hukum
dalam Al-Qur’an adalah untuk diamalkan, karena dalam pengalaman itulah terletak
tujuan yang digariskan.
6. Hadis qudsi adalah hadis yang kalam yang maknanya dari Allah dan lafadnya dari Nabi
saw. Atau dengan ibarat lain, kalam yang dinisbatkan kepada Nabi dan maknanya
bersumber dari Allah.
7. Hadis nabawi adalah semua hadist yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik
perkataan (qauli), perbuatan (fi’li), maupun ketetapan (taqrir) beliau.
8. Persamaan hadis qudsi dan hadis nabawi yaitu sama-sama bersumber dari Allah SWT.
9. Perbedaan hadis qudsi dan hadis nabawi dapat dilihat dari segi penisbatan.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifudin, Amir, Haji, Ushul Fiqh – Cet. 1. Jakarta : Logos Wacana Ilmu 1997
Drs, Mudasir,Haji, Ilmu Hadis- Cet. 1. Bandung : Pustaka Setia, 1999
Pulungan, Suyuthi, Fiqh Siyasah : ajaran, sejarah dan pemikiran Cet. 5. Jakarta :
RajaGrafindo Persada, 2002
Abu Zahroh, Ushul Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta, 1980
Al-Shiddieqie, T.M. Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta, 1999
Smeer, Zeid B, Ulumul Hadis, Pengantar Studi Hadis Praktis,UIN Malang Press 2008.
Solahudin, M. Agus, Agus Suyadi, Ulumul Hadis.
Raya, Ahmad Thib, Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam,2003.
1. Al Hadits fi Ulumil Qur’an wal Hadits, 1/175, Syaikh Hasan Muhammad Ayyub ↩