Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

JARH WA TA’DIL
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Hadits

Dosen Pengampu : Ziyadatur Rif’ah, M.Pd.I

Nama Kelompok 11 :

1. Humairoh
2. Fiki Hardiansyah

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA


ISLAM FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN STAI
DARUTTAQWA GRESIK 2020/2021
KATA PENGANTAR

           Alhamdulillah penulis panjatkan puji syukur dengan berkat rahmat Allah SWT, yang
telah memudahkan dalam menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Shalawat dan salam
semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Rasulullah terakhir yang diutus dengan
membawa syari’ah yang mudah, penuh rahmat, dan membawa keselamatan dalam kehidupan
dunia dan akhirat.

Makalah berjudul ‘Jarh Wa Ta’dil’. Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Al
hadist. Penulis  telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang ada
agar makalah ini dapat tersusun sesuai harapan. Sesuai dengan fitrahnya, manusia diciptakan
Allah sebagai makhluk yang tak luput dari kesalahan dan kekhilafan, maka dalam makalah
yang susun ini belum mencapai tahap kesempurnaa. Mudah-mudahan makalah ini dapat
memberikan manfaat untuk kita semua dalam kehidupan sehari-hari. Adapun kritik dan saran
sangat harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

                      Gresik, 11 Desember 2020


I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………..…i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………ii
BAB I: PENDAHULUAN
A.    Latar belakang.......................................................................................................1
B.     Rumusan masalah.................................................................................................1
C.    Tujuan ..................................................................................................................2
BAB II: PEMBAHASAN
A. Pengertian jarh wa ta’dil’? ...................................................................................3
B. Manfaat ilmu jarh wa ta’dil .................................................................................4
C. Metode dalam jarh wa ta’dil? ...............................................................................5
D. Syarat-syarat bagi orang yang men-ta’dilkan dan men-tarjihkan.................................6

BAB III: PENUTUP

A. Kesimpulan...........................................................................................................7

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................8
BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Ilmu Al-jarh Wa At-ta’dil mempunyai posisi yang sangat penting dalam disiplin ilmu hadits.
Kenyataan ini didasarkan kepada ilmu ini merupakan salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari ilmu-ilmu hadist lainnya dalam menentukan diterima atau ditolaknya suatu hadist. Jika seorang
ahli hadits dinyatakan cacat maka periwayatnya ditolak, sebaliknya jika seorang perawi dipuji
dengan pujian adil, maka perawinya diterima, selama syarat-syarat lain untuk menerima hadits
dipenuhi. Kedudukan ilmu ini semakin signifikan ketika seseorang hendak melakukan penelitian
hadits atau biasa dikenal dengan sebutan Takhrij Al-Hadits.

Ilmu jarh wa ta’dil adalah timbangan bagi para rawi hadits. Rawi yang berarti timbangannya
diterima riwayatnya dan rawi yang ringan timbaberarti timbangannya diterima riwayatnya dan rawi
yang ringan timbangannya ditolak riwayatnya. Dengan ilmu ini kita bisa mengetahui periwayat yang
dapat diterima haditsnya, serta dapat membedakannya dengan periwayat yang tidak dapat diterma
haditnya. Oleh karena itu para ulama hadit memperhatikan ilmu ini dengan penuh perhatiannya dan
mencurahkan segala pikirannya untuk menguasainya. Mereka pun berijma’ akan validitasnya,
bahkan kewajibannya karena kebutuhan yang mendesak akan ilmu ini.

B.    Rumusan Masalah

1.     Pengertian Ilmu Al-jarhwa Al-Ta’dil ?

2.     Manfaat  Ilmu Al-jarhwa Al-Ta’dil ?

3.     Metode untuk mengetahui keadilan dan kecacatan rawi serta masalah-masalahnya ?

4.     Syarat-syarat bagi orang yang Men-ta’dil-kan dan Men-tarjih-kan ?

C.    Tujuan Masalah

1.     Untuk mengetahui Pengertian Ilmu Al-jarhwa Al-Ta’dil !

2.     Mengetahui Manfaat  Ilmu Al-jarhwa Al-Ta’dil !

3.     Mengetahui Metode untuk mengetahui keadilan dan kecacatan rawi serta masalah-masalahnya !

4.     Untuk mengetahui Syarat-syarat bagi orang yang Men-ta’dil-kan dan Men-tarjih-kan !


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil

Kalimat Al-jarh wa at-ta’dilmerupakan satu dari kesatuan pengertian, yang terdiri dari dua
kata, yaitu ‘Al-jarh dan ‘Al-adl’. Al-jarhmerupakan bentuk masdar dari kata ‫رح‬::‫ يج‬-‫رح‬::‫ج‬  yang
berarti “seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah
dari luka itu.” Dikatakan juga ‫جرحاحاكموغيرهالشاهد‬, yang berati hakim dan yang lain melontarkan
sesuatu yang menjauhkan siafat adil saksi, berupa kedustaan dan sebagainya.

Kata Al-jarh merupakan betuk dari kata jaraha-yajrahu atau Jariha-yajrahuyang berarti cacat


atau luka, atau seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya
darah dari luka itu. Istilah acat ini digunakan untuk menunjukkan sifat jelek yang melekat pada
periwayat hadits seperti pelupa, pembohong dan sebagainya. Sedangkan kata Al-Ta’dil merupakan
akar  kata dari ‘Addala-Yu’addilu yang berarti mengadilkan, menyucikan atau menyamakan. [1]

Ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui sifat negatif dan
positif perawi hadis yang berpengaruh pada kualitas hadis yang diriwayatkannya. Dengan  al-jarh,
segi-segi kelemahan atau kecacatan perawi diuangkapkan. Sedangkan at-ta’dil, segi-segi penilaian
positif pada perawi diuangkapkan. Dengan begitu dapat diketahui apakah sebuah hadis yang
diriwayatkan perawi tersebut dapat dipercaya atau tidak.

B.    Manfaat Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’Dil

Ilmu Al-jarh wa at-ta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seseorang rawi
itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seseorang rawi dinilai oleh para ahli
seabagai rawi yang cacat, periwayatnya harus ditolak dan apabila seorang rawi dipuji sebagai
seorang yang adil, nisaya periwayatnya diteria selama ayat-ayat yang lain untuk menerima hadis
terpenuhi.

Kalau Ilmu al-jarh wa ta’dil  ini tidak dipelajari dengan saksama, paling tidak akan muncul
penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadis dinilai sama. Padahal perjalanan hadi
mengalami perjalanan yang begitu panjang, dan diwarnai oleh situasi dan kondisi yang tidak
menentu. Setelah wafatnya Rasulullah SAW., kenalurian sebuah hadis perlu mendapat penelitian
yang sacara seksama karena terjadinya pertikaian dibidang politik, masalah ekonomi dan masalah-
masalah lainnya banyak dikaitkan dengan hadis. Akibatnya, mereka meriwayatkan suatu hadis yang
disandarkan kepada Rasulullah, padahal riwayatnya adalah riwayat yang bohong, yang mereka buat
untuk kepentingan golongannya.[2]

Jika kita tidak megetahui dengan benar atau salahnya sebuah riwayat, kita akan
mencampuradukkan antara hadis yang benar-benar dari Rasulullah dan hadis yang palsu (maudhu’).

Dengan mengetahui ilmu al-jarh wa-ta’dil, kita akan bisa menyeleksi mana hadis shahi,
hasan ataupun hadis dhaif, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya.

C.    Metode Untuk Mengetahui Keadilan Dan Kecacatan Rawi Dan Masalah-Masalahnya

Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapannya.

Pertama, dengan kepopuleran dikalagan para ahli ilmu bahwa ia dkenal dengan sebagai
seorang yang adil (bisy-syuhrah). Seperti terkenalnya sebagai seorang yang adil dalam kalangan para
ahli ilmu bagi Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah bin Al-Hajjah, Asy-Syafi’i, Ahmad bin HanbL,
dan sebagainya. Oleh karena itu, mereka sudah terkenl sebagai orang yang adil dikalangan para ahli
ilmu sehingga tidak perlu dipebincangkan lagi tentang keadilannya.[3]

Kedua, dengan pujian dar seorang yamg adil (tazkiyah), yaitu ditetpkan sebagai rawi yang
adil oleh orang yang adil yang semula rawi yang di-ta’dil-kan itu belum terkenal sebagai rawi yang
adil.

Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah  ini dapat dilakukan oleh :

a.      Seorang rawi yang adil. Jadi, tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang men- ta’dil-kan
sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat hadis.

b.     Setiap orang yang dapat diterima periwayatnya, baik laki-laki maupun perempuan, baik orang yang
merdeka maupun budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengendalikannnya.

Pendapatan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan yaitu :

a.      Berdasarkan berita tentang ketenaran rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal
sebagai orang yang fasik atau pendusta dikalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan.
Cukuplah kemasyuran itu sebagai jalan untuk mnetapkan kecacatannya.

b.     Berdasarkan pen-tajrih-an dari seorang yang adil, yang telah mengetahui sebab-sebab dia cacat.
Demikian ketetapan yang dipegangmuhaditsin, sedangkan menurut para fuqaha, sekurang-
kurangnya harus ditajrih oleh dua orang laki-laki yang adil.

D.    Syarat-Syarat Bagi Orang Yang Men-Ta’dil-kan dan Men-Tajrih-kan

Ada beberapa syarat bagi seorang yang menta’dil-kan dan men-tajrih-kan, yaitu:
a.      Berilmu pengetahuan,

b.     Takwa,

c.      Wara’ (orang yang slalu menjahui perbuatan maksiat, syubhat, dosa-dosa kecil, dan makruhat-
makruhat),

d.     Jujur,

e.      Menjahui fanatik golongan,

f.      Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan.[4]

E.     Lafazh-Lafaz Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil

Lafaz-lafaz yang digunakan untuk men-tajrih-kan dan men-ta’dil-kan itu bertingkat. Menurut
Ibnu Hatim, Ibnu Shalah dan Imam An-Nawawy, lafaz-lafaz itu disusun menjadi 4 tigkatan, sedangkan
Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan, yaitu sebagai berikut :

Tingkatan pertama, segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dengan


menggunakan lafaz-lafaz yang af’alu al-ta;dil atau ungkapkan yang mengandung pengrtian
sejenisnya :

                      = orang yang paling tsiqat, orang yang palig kuat                                  hapalannya.


‫أثبت الناس حفظاوعدالة‬            = orang yang paling kuat hapalan dan keadilannya.
‫إليه المن‬            = orang yang paling menonjol keteguhan hatinya dan akidahnya
Tingkatan kedua, memperkuat tsiqah-an rawi dengan membubuhi satu sifat yang
menunjukkan keadilan dan ke-dhabit-annya, baik sifatnya yang dihubungkan itu selafazh (dengan
mengulangnya) maupun semakna, misalnya :

 ‫ثبت ثبت‬         =   orang yang teguh (lagi) eguh, yaitu teguh dalam pendiriannya.
 ‫ثقة‬ ‫ثقة‬           = orang yang tsiqah  (lagi)tsiqah,  yaitu orang yang sangat dipercaya.
Tingkatan ketiga, menunjukkan keadilan dengan suatu lafaz yang mengandung arti ‘kuat
inggatan’, misalnya :

 ‫ثبت‬              = orang yang teguh (hati-hati lidahnya).


 ‫متقن‬              = orang yang menyakinkan ilmunya.

Tingkatan  keempat, menunjukkan keadilan dalam ke-dhabit-an, tetapi dengan lafaz yang
tidak mengandung arti ‘kuat ingatan dan adil’ (tsiqah), misalnya :

  ‫صدوق‬            = orang yang sangat jujur.

  ‫مأمون‬             = orang yang dapat memegang amanat


Tingkatan kelima, menunjukkan kejujuran rawi, tetapi tidak diketahui adanya ke-dhabit-an,
misalnya :

  ‫الصدق‬ ‫محلة‬     = orang yang berstatus jujur.


Tingkatan keenam, menunjukkan arti ‘mendekati cacat’. Seperti sifat-sifat tersebut diatas
yang diikuti dengan lafaz “Insya Allah” atau lafaz tersebut di-tashir-kan (pengecilan arti), atau lafaz
itu dikaitkan dengan suatu pengharapan, misalnya :

  ‫ إنشاءهلل‬:‫صدوق‬            = orang yang jujur,insya Allah.


 ‫فالن أرجوبأنل البأسبه‬  = orang yang diharapkan tsiqah.

BAB III

PENUTUP
A.    Kesimpulan

Ilmu jarh adalah kecacatan pada perawi hadis disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak
keadilan atau kedhabitan perawi. Jadi ilmu jarh adalah ilmu yang mempelajari seluk beluk para
perawi hadis yang meliputi perkataan dan perbuatan dalam mendapatkan dan menjaga hadis. Ilm
ta’dil adalah lawan dari al-jarh, yaitu pembersih dari sifat-sifat yang membuat riwayatnya ditolak.
Sehingga dengan ta’dil ini riwayatnya bisa diterima dikalangan umat islam.

B.    Saran

Dengan mempelajari kedua ilmu ini, maka jelaslah para perawi yang bisa diterim riwayatnya
tanpa ada keraguan lagi. Mudah-mudahan makalah sederhana ini dapat dijadikan sebagai refrensi
untuk bagi para pembaca. Untuk  itu penulis sangat mengharapkan masukan dan saran yang sangat
membantu penyempurnaan makalah ini. Akhirnya, semoga makalah ini dapat berguna bagi kita
semua bagi pembaca/umat Islam.

DAFTAR PUSTAKA
Agus Solahudin,  Ulumul Hadis. Bandung : CV PUSTAKA, 2008.

Zein, Ma’Shum. Ilmu Memahami Hadis Nabi.Yogyakarta : Pustaka Pesantren.

Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadis.Bandung : PT Al Ma’arif.

Anda mungkin juga menyukai