Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH TENTANG PENGERTIAN, TUJUAN, DAN PERANAN

PENDIDIKAN JASMANI

DOSEN PENGAMPU: HENDRA SAPUTRA S.Pd., M.Pd.

DISUSUN OLEH:

1. APRIGA ROHAYA (19160015)

2. DE AFRIYANA (19160025)

3. SULIS AFRILIYANI (19160106)

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

STKIP PGRI BANDAR LAMPUNG

TAHUN AJARAN 2019/2020


KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang masih memberi

kesehatan, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini dengan judul

“Tujuan Pembelajaran Saatra Anak dan Bahan Ajar”. Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah
satu tugas pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.

Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik

pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk

itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan

makalah ini. Saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang

telah membantu saya dalam menyusun makalah ini. Penulis juga berharap semoga makalah ini

dapat bermanfaat bagi pembaca.

Dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan

dari para pembaca guna untuk meningkatkan dan memperbaiki pembuatan makalah pada tugas

yang lain dan pada waktu mendatang.

Bandar Lampung, 25 mei 2021

Penyusun,
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Apresiasi bukanlah pengetahuan sastra yang harus dihafalkan, melainkan bentuk aktivitas
jiwa. Artinya, dalam mengapresiasi, siswa tidak sekedar mengambil informasi yang berkaitan
dengan isi atau mencari beberapa simpulan logis. Melalui apresiasi sastra idealnya siswa dapat
mengindra atau merasakan kehadiran pelaku, peristiwa, suasana, dan gambaran obyek secara
imajinatif. Lebih dari itu, menurut apresiasi harus mencakup tanggapan emosional pada isi cerita,
tanggapan pada pelaku atau peristiwa, dan perasaan siswa dalam merasakan/ menikmati gaya
bahasa pengarang cerita.

Dalam dunia pendidikan kajian sastra mampu memberikan sumbangsih yang cukup besar
dalam pola kebudayaan, sejarah, sosial dan dalam sastra itu sendiri, sebab Sastra mampu
menjawab terhadap apa yang pernah ada di muka bumi, karena sastra berasal dari hasil
pengamatan tentang apa yang terjadi disekelilingnya sebagai opini yang mesti di ungkapkan serta
hasil dari akibat pengalaman bathin. Sastra adalah hasil dari olah pikir rasa dan karsa manusia
sehingga sastra mengandung nilai estetika yang tinggi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:

1. Hakikat pembelajaran sastra

2. Tujuan Pembelajaran Sastra di SD

3. Pemilihan Bahan Sastra untuk siswa SD


BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakikat Pembelajaran Sastra

Sastra (Sanskerta: shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta ‘Sastra’, yang
berarti teks yang mengandung instruksi atau pedoman, dari kata dasar ‘Sas’ yang berarti instruksi
atau ajaran dan ‘Tra’ yang berarti alat atau sarana. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa
digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti
atau keindahan tertentu.

Di sekolah dasar, pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan


siswa mengapresiasi karya sastra. Kegiatan mengapresiasi sastra berkaitan dengan latihan
mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya dan
lingkungan hidup. Pengembangan kemampuan bersastra di sekolah dasar dilakukan dalam
berbagai jenis dan bentuk melalui kegiatan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
Adapun pemilihan bahan ajar tersebut dapat dicari pada sumbersumber yang relevan (Depdiknas,
2003 ).

Pembelajaran sastra di SD adalah Pembelajaran sastra anak. Sastra anak adalah karya
sastra yang secara khusus dapat dipahami oleh anak-anak dan berisi tentang dunia yang akrab
dengan anak-anak, yaitu anak yang berusia antara 6-13 tahun. Sifat sastra anak adalah imajinasi
semata, bukan berdasarkan pada fakta. Unsur imajinasi ini sangat menonjol dalam sastra anak.
Hakikat sastra anak harus sesuai dengan dunia dan alam kehidupan anak-anak yang khas milik
mereka dan bukan milik orang dewasa. Sastra anak bertumpu dan bermula pada penyajian nilai
dan imbauan tertentu yang dianggap sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupan.

Sastra anak berfungsi sebagai media pendidikan dan hiburan, membentuk kepribadian
anak, serta menuntun kecerdasan emosi anak. Pendidikan dalam sastra anak memuat amanat
tentang moral, pembentukan kepribadian anak, mengembangkan imajinasi dan kreativitas, serta
memberi pengetahuan keterampilan praktis bagi anak. Fungsi hiburan dalam sastra anak dapat
membuat anak merasa bahagia atau senang membaca, senang dan gembira mendengarkan cerita
ketika dibacakan atau dideklamasikan, dan mendapatkan kenikmatan atau kepuasan batin
sehingga menuntun kecerdasan emosinya.
B. Tujuan Pembelajaran Sastra di SD

Di sekolah dasar pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia lebih diarahkan pada
kompetensi siswa untuk berbahasa dan berapresiasi sastra. Pelaksanaannya, pembelajaran sastra
dan bahasa dilaksanakan secara terintegrasi. Sedangkan pengajaran sastra, ditujukan untuk
meningkatkan kemampuan siswa dalam menikmati, menghayati, dan memahami karya sastra.
Pengetahuan tentang sastra hanyalah sebagai penunjang dalam mengapresiasi.

Dan pernyataan pembelajaran sastra tersebut dapat dilihat bahwa kegiatan apresiasi
menjadi tujuan utama, sedangkan perangkat pengetahuan sastra diperlukan untuk menunjang
terwujudnya apresiasi dan pembelajaran bahasa secara umum. Dengan demikian yang harus
terjadi dalam pembelajaran sastra ialah kegiatan apresiasi sastra bukan hanya sekedar
pengetahuan teori sastra. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Huck dkk. (1987) bahwa
pembelajaran sastra di SD harus memberi pengalaman pada murid yang akan berkontribusi pada
empat tujuan (1) menumbuhkan kesenangan pada buku, (2) menginterpretasi bacaan sastra (3)
mengembangkan kesadaran bersastra, dan (4) mengembangkan apresiasi.

1) Menumbuhkan Kesenangan Terhadap Buku

Salah satu tujuan utama pembelajaran sastra di SD ialah memberi kesempatan kepada
anak untuk memperoleh pengalaman dari bacaan, serta masuk dan terlibat di dalam suatubuku.
Pembelajaran sastra harus membuat anak merasa senang membaca, membolakbalik buku, dan
gemar mencari bacaan.

Salah satu cara terbaik untuk membuat siswa tertarik kepada buku menumt Huck (1987)
ialah memberi siswa lingkungan yang kaya dengan buku-buku yang baik. Beri mereka waktu
untuk membaca atau secara teratur gum membacakan buku untuk mereka. Perkenalkan mereka
pada berbagai ragam bacaan prosa dan puisi, realisme dan fantasi, fiksi historis dan kontemporer,
tradisional dan modern. Beni mereka waktu untuk membicarakan buku-buku, menceritakan buku
itu satu sama lain dan menginterpretasikannya melalui berbagai macam aktivitas respons kreatif.
Satu hal penting yang juga disarankan oleh Huck ialah siswa harus diberi kesempatan mengamati
atau melihat orang-orang dewasa menikmati buku. Melalui kegiatan-kegiatan yang menarik
minatnya, siswa akan memperoleh kesenangan.

Dengan demikian, langkah pertama di dalam pembelajaran sastra di SD ialah menemukan


kesenangan kepada buku. Hal ini hendaknya dijadikan tujuan utama pembelajaran bahasa dan
sastra di sekolah dasar dan hendaknya tidak dilakukan secara tergesa-gesa atau dengan jalan
pintas.Kesenangan kepada buku hanya muncul melalui pengalaman yang panjang (Sutherland &
Arbuthnot, 1991).
2) Menginterpretasikan Literatur

Untuk menciptakan ketertarikan kepada buku, siswa perlu membaca banyak buku. Siswa
pun perlu memiliki kesempatan untuk mendapatkan pengalaman yang mendalam dengan buku-
buku. Guru dan siswa dapat membicarakan tentang makna pribadi yang mungkin terdapat pada
suatu cerita untuk kehidupannya sendiri. Anak kelas lima daenam mungkin telah merefleksikan
perbandingan antara kejadian-kejadian yang ada pada cerita atau kaitan cerita dengan
kehidupannya secara nyata (Huck, 1987). Ketika siswa, mulai membahas penyebab perilaku
tertentu pada cerita, mereka bisa mengembangkawawasan lebih banyak kepada orang lain.
Ketika siswa menghubungkan apa yang mereka baca itu dengan latar belakang pengalamannya,
mereka menginternalisasikan makna cerita itu. Louis Rosenblatt merupakan salah seorang yang
pertama-tama mengingatkan kita bahwa pembaca itu sama-sama berartinya dengan karya yang
sedang dibacanya. Pengalaman literer katanya, harus dibuat bertahap seperti transaksi antara
pembaca dan teks (Rosenblatt, 1983). Pada murid sekolah dasar transaksi itu paling baik dimulai
dengan respons pribadinya pada cerita.

Membantu siswa dalam menginterpretasikan bacaan itu dengan cara mengidentifikasi


para pelaku yang ada pada cerita. Hal itu dapat dilakukan dengan mendramatisasikan (role play)
adegan tertentu yang ada pada buku cerita. Kegiatan dramatisasi adegan cerita selain
menguatkan pemahaman pada cerita juga akan melatih mereka bersosialisasi (Simpson, 1989).
Kelompok anak yang lain kemungkinan menulis essay. jurnal, atau surat yang berkaitan dengan
tokoh utama atau tokoh yang lainnya yang ada di dalam cerita. Semua aktivitas tersebut akan
menambah interpretasi murid terhadap cerita dan memperdalam tanggapannya pada bacaan.

3) Mengembangkan Kesadaran Bersastra

Anak-anak yang masih berada di sekolah dasar juga harus diajak mulai mengembangkan
kesadaran pada sastra. Tak dapat dipungkiri bahwa pemahaman literer meningkatkan kenikmatan
anak terhadap bacaan (Huck, 1987). Ada beberapa anak usia tujuh dan delapan tahun yang
sangat senang menemukan varian yang berbeda mengenai Cinderella, misalnya. Mereka sangat
senang membandingkan berbagai awal dan akhir cerita rakyat dan sangat suka menulis sendiri
kisahnya. Jelasnya kesenangan seperti ini berasal dan pengetahuan tentang cerita rakyat.

Anak-anak harus pula diarahkan menemukan elemen-elemen sastra secara berangsur-


angsur, karena elemen-elemen itu memberikan bekal bagi siswa dalam pemahaman makna cerita
atau puisi. Dengan demikian guru harus menguasai pengetahuan tentang bentuk-bentuk cerita,
elemen-elemen cerita, dan pengetahuan tentang pengarang.
Selama siswa berada di sekolah dasar mereka mengembangkan pemahaman mengenai
bentuk sastra yang berasal dari berbagai aliran sedikit demi sedikit. Mereka sudah dapat
membedakan bentuk prosa dan puisi, fiksi dan nonfiksi, antara realisme dan fantasi, tetapi tidak
dengan istilah-istilah tersebut. Mungkin cara mereka memahami hanya akan bercerita kepada
gurunya bahwa buku Dewi Nawangwulan itu memuat suatu cerita, atau Bawang Putih itu
ceritanya mirip Cinderella yang telah dibacanya. Hal ini langkah awal yang baik dalam
mengembangkan pemahaman tentang bentuk-bentuk sastra.

Demikian pula pengetahuan siswa mengenai elemen cerita misalnya alur, karakterisasi,
tema, dan sudut pandang pengarang akan muncul secara berangsur-angsur. Ada siswa yang
minatnya tergugah bila mengetahui piranti sastra seperti simbol, perbandingan, penggunaan sorot
balik, dan sebagainyna. Namun jenis pengetahuan ini lebih cocok untuk guru. Pembahasan
tentang piranti sastra pada siswa hendaknya hanya diperkenalkan apabila diperlukan benar untuk
dapat membawa ke arah pemahaman yang lebih kaya terhadap sebuah buku. Yang terpenting
bukan menghafal pirantinya, namun bagaimana anak-anak diberi waktu untuk memberikan
tanggapan personalnya pada cerita (Huck, 1987).

4) Mengembangkan Apresiasi

Sasaran jangka panjang pengajaran sastra di SD ialah mengembangkan kesukaan


membaca karya sastra yang bermutu. James Britton (dalam Huck, 1987) menyatakan bahwa
dalam pengajaran sastra, “siswa hendaknya membaca lebih banyak buku dengan rasa puas….
(dan) dia hendaknya membaca buku-buku dengan kepuasan yang semakin tinggi”.

Margaret Early (dalam Huck, 1987) menyatakan bahwa terdapat tiga tahap urutan dan
perkembangan yang ada dalam pertumbuhan apresiasi (1) tahap kenikmatan yang tidak sadar, (2)
tahap apresiasi yang masih ragu-ragu atau berada antara tahap kesatu dan ketiga, dan (3) tahap
kegembiraan secara sadar. Tahap pertama sama dengan gagasan menumbuhkan kesenangan
terhadap bacaan, sehingga menjadi terlibat di dalamnya. Pada tahap ini siswa membaca atau guru
membacakannya untuk mendapatkan kesenangan. Mereka jarang menyentuh cara pengarang
menciptakan makna. Pembaca pada tahap kedua tertarik tidak hanya pada alur cerita. Pembaca
pada tahap ini mulai bertanya tentang apa yang terjadi pada suatu cerita dan mendalami isi cerita
untuk mendapatkan makna lebih dalam. Pembaca menikmati dan mengeksplorasi cerita untuk
melihat bagaimana pengarang, penyair, atau seniman memperkuat makna dengan teks itu. Tahap
ketiga, tahap pembaca yang sudah matang dan menemukan kegembiraan dalam banyak jenis
bacaan dan banyak periode waktu, memberikan penghargaan pada aliran dan pengarangnya, dan
memberikan tanggapan kritis sehingga mendapatkan kegembiraannya secara sadar.
Pengajaran sastra untuk sekolah dasar menurut Huck (1987), terutama kelas-kelas awal,
difokuskan pada tahap pertama yaitu kesenangan yang tidak disadari (unconscious enjoyment).
Jika semua siswa bisa diberi kesempatan menemukan kesenangan terhadap bacaan, mereka akan
bisa membangun dasar yang kokoh bagi apresiasi sastra. Diawalidari menyenangi karya sastra
yang dibacanya itulah, siswa akan meningkat ke tahap berikutnya. Setelah merasa senang dengan
bacaan barn kemudian siswa didorong untuk menginterpretasikan makna cerita atau puisi
melalui diskusi atau aktivitas kreatif, mereka bisa memasuki tahap kedua, tahap kesadaran pada
apresiasi. Berangkat dari bekal itulah. siswa dapat diajak untuk memberi tanggapan terhadap
buku, membahas bagaimana perasaan mereka tentang cerita itu dan apa makna cerita itu bagi
mereka. Siswa juga dapat diajak untuk memberi alasan “mengapa” mereka memiliki perasaan
seperti itu dan cara-cara pengarang atau seni man menciptakan perasaan itu. Para siswa akan
memerlukan bimbingan dari guru untuk melalui tahap-demi tahap tersebut, namun bukan
mendiktenva atau memberi tafsiran yang harus diterima begitu saja oleh siswa. Guru hanyalah
pemberi jalan setapak untuk masuk ke dunia indahnya sastra.

5) Pemilihan Bahan Sastra untuk siswa SD

Buku sastra anak-anak tidak dibatasi oleh pengarangnya anak-anak atau orang dewasa, tetapi
lebih ditekankan pada apa yang ditulisnya. Dengan demikian pada saat orang dewasa atau guru
harus memilah-milah mana buku sastra anak-anak dan mana yang bukan, tolok ukurnya tidak
ada kaitannya dengan siapa yang menciptakan, tapi sepenuhnya terpusat pada muatan isinya. Jadi
bekal yang wajib diketahui bila akan mengevaluasi buku sastra anak-anak adalah seperangkat
nilai ekstrinsik dan intrinsik sastra yang sesuai dengan kemampuan “melihat” dan “memahami”
dunia anak-anak.

Tugas guru dan orang tua dalam memilih buku sastra anak-anak adalah melakukan penelitian
lebih rinci terhadap unsur-unsur yang lazim ada dalam setiap bacaan cerita (fiksi). Unsur-unsur
itu meliputi (1) alur, (2) latar, (3)tema, (4) tokoh, (5) gaya, (6) sudut pandang, dan (6) format
buku cerita (Huck, 1987:17, Nurgiyantoro, 2005:66).

a) Alur

Unsur penting yang tidak dapat diabaikan dalam setiap karya fiksi bagi anak-anak adalah
alur atau plot (Huck, 1987). Biasanya pertanyaan pertama yang diajukan anakanak ketika
membaca bacaan cerita “Mengapa saya harus membaca buku ini, apakah buku ini menarik,
mengandung cerita yang seru? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu adalah alur atau plot,
karena alur biasanya menceritakan apa yang dilakukan oleh para tokoh cerita dan apa yang
terjadi pada mereka. Alur merupakan benang merah yang menjalin serta merangkaikan susunan
cerita menjadi terpadu sate sama lain dan membuat pembaca penasaran ingin terus membacanya
hingga selesai.

Buku sastra anak-anak memerlukan alur yang tertata rapi dan apik, dan saling berkaitan.
Alur cerita seperti itu biasanya tumbuh secara logis atau alamiah yang mengacu kepada
tindakan-tindakan dan sejumlah keputusan para tokoh dalam situasi-situasi yang tersedia
berdasarkan konteks peristiwa. Alur cerita buku sastra anak-anak harus terpercaya dan
mengalirkan (bukan tergantung pada) kejadian dan penemuan sejati. Dengan kata lain, alur cerita
itu mesti diupayakan asli dan segar, dan jangan sampai hambar, basi, melelahkan, membosankan,
dan terlalu mudah ditebak.

Kebanyakan alur-alur dalam sastra anak-anak disajikan dalam metode kronologis atau
cara linear, karena biasanya murid-murid di kelas awal belum mencapai kematangan untuk
mengikuti alur sorot balik (flashback) dalam waktu dan tempat. Pengarang menampakkan plot
melalui penyajian peristiwa pertama, diikuti oleh peristiwa kedua. dan seterusnya, sehingga
cerita itu menjadi lengkap.

Buku-buku yang dikarang untuk anak-anak yang lebih besar, usia 10-12 tahun, kadang-
kadang menggunakan teknik sorot balik untuk menambah urutan kronologis. Teknik ini, bila
pembaca memiliki beberapa pertanyaan tentang latar belakang seorang tokoh, atau bingung
mengapa tokoh bertindak dalam cara tertentu, maka pengarang menghentikan urutan cerita dan
mengungkapkan informasi tentang saat dan pengalaman yang lebih awal.

Alur sastra anak-anak sebenarnya bukan hanya persoalan sorot balik atau linear. Hal yang
pokok adalah sejauh mana struktur alur cerita itu efektif dan jelas sehingga tidak
membuat anak-anak bingung dan tersesat dalam mengikuti alur cerita dari awal hingga
akhir.

b) Latar Cerita

Bagaimana seorang pembaca dapat menyadari cara tokoh melihat, mendengar, merasa,
dan menyentuh? Apakah mungkin mengetahui cara tokoh bercakap-cakap, bertindak, atau
memahami nilai-nilai yang mereka anut? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak dapat dijawab jika
lokasi geografis dan waktu cerita itu terjadi tidak diperkenalkan. Dalam bacaan cerita, waktu dan
tempat ini disebut latar. Hal itu dapat dicari dengan bertanya kapan dan di mana kejadian itu
berlangsung? Menurut Wellek dan Werren (1989: 290), latar adalah lingkungan yang dapat
dianggap berfungsi sebagai metonimia, atau metafora, ekspresi dari tokohnya. Dalam karya fiksi,
latar bukan hanya berfungsi sebagai latar yang bersifat fisikal untuk membuat suatu cerita
menjadi logis. la juga memiliki fungsi psikologis sehingga latar mampu menuansakan makna
tertentu serta mampu menciptakan suasanasuasana tertentu yang menggerakkan aspek kejiwaan
pembacanya (Aminuddin, 2001: 67).

Latar ada tiga macam, yaitu latar waktu, latar tempat, dan latar suasana (Norton, 1988:
86). Seperti dalam cerita untuk orang dewasa, cerita anak-anak dapat terjadi pada masa lalu,
masa sekarang, dan masa yang akan datang. Oleh sebab itu, plot dan penokohan sebaiknya
konsisten dengan apa yang sedang terjadi atau apa yang telah terjadi pada masa itu. Termasuk ke
dalam latar waktu adalah hari, bulan, tahun, atau periode sejarah, misalnya di zaman perang
kemerdekaan, di saat upacara kenaikan kelas. Latar tempat berkaitan dengan lokasi geografis
peristiwa terjadi. Dalam bacaan cerita anak-anak, jika lokasi geografis dapat dikenali, sebaiknya
lokasi itu disajikan secara akurat. Latar juga memiliki tujuan yang bukan hanya sekedar
memberikan suatu latar belakang, tetapi menciptakan suasana (mood). Latar suasana adalah
suasana atau keadaan yang mampu memberikan makna tertentu dan mampu menggerakkan
emosi pembaca (Aminuddin,2001:39; Sudjiman, 1988:44).

Dalam beberapa buku, latar merupakan bagian yang penting. Plot dan gerak laku tokoh
tidak dapat dikembangkan tanpa memahami waktu dan tempat. Namun, dalam cerita yang lain,
latar hanya memberikan sesuatu latar belakang. Kenyataannya, beberapa latar diperkenalkan
hanya melalui beberapa kata yang membawa pembaca dengan segera ke dalam suatu lokasi yang
dimaksud. Misalnya dengan pendahuluan cerita yang berbunyi “Pada zaman dahulu kala”. Tentu
saja, cerita terjadi pada waktu yang sangat lama dan sudah berlalu tetapi tidak dapat ditentukan
kapan terjadinya.

Harus disadari pula bahwa latar cerita dalam fiksi dimaksudkan pengarang-nya, paling
tidak, untuk kepentingan tiga hal. Pertama, menciptakan suasana hati (mood). Kedua,
menciptakan keotentikan. Ketiga, menciptakan kepercayaan, kredibilitas (Huck, 1987, Tarigan,
1995). Latar cerita yang bagus untuk buku sastra anak-anak adalah memiliki suasana hati yang
menggugah kepekaan artistik anak-anak. Biasanya anak-anak akan hanyut membaca buku sastra
bila memiliki latar cerita yang menggambarkan hal-hal yang menjadi impiannya atau
harapannya. Latar cerita juga sebaiknya mampu meyakinkan anak-anak bahwa tempat dan waktu
kejadian dalam cerita yang dibacanya sangat meyakinkan untuk dipercaya dan merupakan
sesuatu yang baru, yang tak pernah dikenal sebelumnya.

c) Tema Cerita

Kriteria ketiga yang penting menjadi pusat perhatian ketika mengevaluasi buku sastra
anak-anak adalah tema. Pertanyaan yang lazim dipergunakan untuk menelusuri tema adalah, apa
maksud pengarang menulis suatu cerita? Yang harus segera diperiksa dalam tema buku sastra
anak-anak adalah, sejauh mana tema cerita itu berorientasi dan dilandasi oleh nilai-nilai etik yang
terpuji secara universal. Ini penting diperhatikan, mengingat periode psikologis anak-anak yang
sedang menjalani proses pembentukan diri dan identifikasi diri.
Betapapun pentingnya tema, jangan sampai suatu buku cerita anak-anak hanya
didominasi oleh semacam khotbah, nasihat, atau petuah-petuah verbal yang membosankan.
Tema harus larut dalam alur, latar dan karakteristik tokoh. Kecen-derungan didaktisisme yang
harus segera dihilangkan, karena tidak memberi peran kepada siswa untuk menemukan sendiri
moral dan isi hasil jerih payahnya membaca. Berikan anak-anak buku sastra yang “bercerita”,
sehingga nilai-nilai semacam kejujuran, keadilan, demokrasi, keterbukaan, ketaqwaan, kasih
sayang, cinta, diam-diam menyerap kuat pada kepribadian anak-anak. Tema cerita menyentuh
aspek ini. Dan karena tema cerita itu pula maka sebuah buku sastra menjadi bermakna bagi anak-
anak.

d) Tokoh Cerita

Keindahan dan kesejatian buku sastra anak-anak selalu didukung penokohan yang meyakinkan,
unik, dan memikat. Anak-anak biasanya menyukai tokoh-tokoh yang berani, cerdik dan perkasa.
Kreatifitas pengarang buku sastra anak-anak selalu diuji untuk menciptakan tokoh-tokoh fantasi
yang unik tapi terpercaya.

Dalam mengevaluasi tokoh cerita dalam buku sastra anak diperlukan keje-lian dalam hal melihat
perkembangan perwatakannya. Ada pengarang yang gemar menuturkan perkembangan watak
tokoh cerita melalui gaya narasi. Artinya, perkembangan watak tokoh cerita digambarkan secara
parsial, tanpa melibatkannya dalam alur dan latar. Gaya seperti ini biasanya kurang menarik
minat anak-anak, karena mereka kurang sabar dalam menghadapi detail. Sedangkan gambaran
perkembangan watak tokoh cerita yang menyatu dengan perkembangan alur dan latar kerap
menjanjikan daya tarik dan memudahkan anakanak untuk memahami sosok tokoh yang bergerak
dalam rentetan cerita yang dibacanya. Dengan kata lain, bagi anak-anak, jauh lebih mengesankan
gerak yang tepat dan singkat daripada kata-kata yang panjang dan bertele-tele (Tarigan, 1995).

Menurut Charlotte Huck (1987), kepercayaan kepada tokoh tergantung kepada kemampuan
pengarang mengungkapkan sifat, kekuatan dan kelemahan tokoh itu. Ia menyatakan bahwa hal
ini dapat dilakukan melalui (1) menceritakan tokoh melalui narasi, (2) mencatat percakapan
tokoh dengan tokoh lainnya, (3) mendes-kripsikan pikiran-pikiran tokoh, dan (4) menyajikan
tokoh dalam suatu lakon.
Gaya (Style) Cerita

Dalam karya fiksi, gaya adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan
menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan
suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca (Aminuddin, 2001: 72).

Dengan demikian diyakini bahwa gaya menulis seorang pengarang tercermin jelas dalam pilihan
dan susunan kata-kata yang diungkapkan ketika menyajikan cerita. Gaya menulis yang baik
haruslah serasi dengan alur, tema dan tokoh, baik da-lam penciptaan maupun dalam perefleksian
suasana hati cerita (Huck, 1987). Layaknya sebuah gaya, is senantiasa bersifat individual dan
khas. Ada memang kaidah-kaidah umum yang dijadikan acuan pokok oleh seorang pengarang,
tapi pada akhirnya yang muncul secara utuh adalah gaya perseorangannya yang khas. Ini
mengisyaratkan bahwa bila kita hendak mengevaluasi buku sastra anak-anak, hendaknya faktor
gaya cerita yang orisinal, individu, dan khas dijadikan salah satu tolok ukur.

Dengan banyak membaca buku sastra yang beragam gaya ceritanya, diharapkan anak-anak dapat
mengenali dan membedakan gaya bercerita yang khas dari setiap pengarang. Kemampuan
membandingkan ini menjadi indikator bahwa anak-anak dibimbing untuk berpikir kritis dalam
kegiatan membaca buku sastra, sehingga kualitas apresiasinya semakin meningkat.

Agar dapat memahami anak-anak ketika mereka mengapresiasi buku sastra, orang dewasa, orang
tua dan guru sedapat mungkin harus berjuang untuk “menganak-anakkan diri” (Huck, 1987). Hal
ini boleh jadi tidak terlalu sukar, karena yang kini sudah dewasa pun pernah jadi anak-anak. Kita
dapat memahami kalau anak-anak tidak begitu suka (tidak dapat menikmati) suatu cerita yang
terlalu bersifat deskriptif. Mereka cenderung lebih menyenangi perbandingan-perbandingan yang
terjangkau oleh kemampuan pemahaman mereka.

Perlu diperhatikan juga bahwa anak-anak berada dalam masa pencarian panutan dan sosok idola.
Mereka sering merindukan sesuatu yang berada di luar dirinya, lantas mencoba mengidentifikasi
dirinya dengan sosok idolanya itu. Bila kita berkepentingan untuk mempengaruhi anak-anak
dengan sosok tokoh tertentu, maka pilihlah buku sastra yang memiliki tokoh menarik dengan
gaya bercerita yang memikat.
Sudut Pandang Cerita (Point of view)

Sudut pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang
dipaparkannya (Aminuddin, 2001: 90) atau menurut istilah Huck (1987) sudut pandang (point of
view) lazim diartikan dari arah mana atau dalam posisi apa pengarang menempatkan dirinya
dalam bercerita. Sebuah kejadian dapat diuraikan dalam istilah yang berbeda oleh beberapa
orang yang memiliki pengalaman yang sama. Detail yang mereka pilih untuk diuraikan,
perasaan-perasaan yang mereka alami, dan kepercayaan mereka tentang benar atau salah dapat
berubah disebabkan latar belakang, nilai-nilai, dan perspektif lainnya. Akibatnya, cerita yang
sama dapat berubah drastis tergantung pada sudut pandang seorang pencerita.

Seorang pengarang memiliki beberapa pilihan ketika memilih sudut pan-dang. Pertama, cerita itu
dapat diceritakan dari sudut pandang orang pertama, yang mempengaruhi perkembangan plot,
penokohan, dan tema. Kedua, cerita itu diceri-takan dan sudut pandang yang objektif, tindakan-
tindakan yang mengungkapkannya. Dalam hal ini, pengarang menguraikan tindakan, dan
pembaca menduga makna dan pikiran tokoh. Ketiga, cerita diceritakan dari sudut pandang
mahatahu. Penulis menceritakan cerita sebagai orang ketiga, karena menggunakan tokoh “dia”
dalam bertuturnya. Pengarang tidak dibatasi oleh pengetahuan, pengalaman, perasaan satu orang.
Setiap detail perasaan, dan pikiran seluruh tokoh dapat diungkapkan (Sudjiman, 1988:59).

Sudut pandang orang ketiga biasanya lebih disukai anak-anak, karena pengarang bisa leluasa
mengeksploitasi apa saja yang menjadi obsesi kepengarangannya. Sedangkan sudut pandang
orang pertama, yang menggunakan tokoh aku, sering membuat anak-anak kurang puas, karena
jangkauan pengarang dalam bercerita menjadi terbatas (Huck, 1987).

Ilustrasi dan Format Buku

Ilustrasi adalah gambar-gambar yang menyertai cerita dalam buku sastra anak (Nurgiantoro,
2005:90).Kebanyakan dan buku sastr anak-anak menggunakan ilustrasi untuk daya tariknya.
Buku-buku yang tidak ada ilustrasinya, itu kurang cocok untuk dijadikan buku bacaan anak-
anak. Kehadiran ilustrasi untuk buku anak-anak menjadi keharusan apalagi u ntuk anak-anak
prasekolah.
Adanya ilustrasi dalam sastra anak-anak baik gambar maupun foto, sengaja untuk
mengkonnkretkan apa yang dikisahkan secara verbal, karena anak dalam tahap perkembangan
oparasinal konkret. Selain itu, ilustrasi dimaksudkan untuk menarik minat siswa. Oleh karena itu
ilustrasi harus jelas, berwarna, komunikatif, hidup dan ditampilkan secara variatif.

Format buku dalam sastra anak perlu mendapat perhatian khusus. Anak-anak kelas awal dan
prasekolah misalnya, pada waktu membuka-buka buku diupayakan formatnya cukup besar. Pada
waktu guru membaca nyaring untuk siswanya, sebaiknya menggunakan buku besar (big book)
supaya perhatian siswa terpusat pada gurunya. Dengan demikian, ukuran buku sastra anak tidak
harus baku seperti buku orang dewasa, bisa divariasikan agar lebih memudahkan siswa dan
lebioh komunikatif. Demikian juga ukuran huruf. Ukuran huruf untuk buku anak, bisa lebih
besar tidak ukuran standar untuk buku orang dewasa.
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Di sekolah dasar, pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa


mengapresiasi karya sastra. Kegiatan mengapresiasi sastra berkaitan dengan latihan
mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya dan
lingkungan hidup. Pengembangan kemampuan bersastra di sekolah dasar dilakukan dalam
berbagai jenis dan bentuk melalui kegiatan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.

Di sekolah dasar pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia lebih diarahkan pada kompetensi
siswa untuk berbahasa dan berapresiasi sastra. Pelaksanaannya, pembelajaran sastra dan bahasa
dilaksanakan secara terintegrasi. Sedangkan pengajaran sastra, ditujukan untuk meningkatkan
kemampuan siswa dalam menikmati, menghayati, dan memahami karya sastra. Pengetahuan
tentang sastra hanyalah sebagai penunjang dalam mengapresiasi.

Tugas guru dan orang tua dalam memilih buku sastra anak-anak adalah melakukan penelitian
lebih rinci terhadap unsur-unsur yang lazim ada dalam setiap bacaan cerita (fiksi). Unsur-unsur
itu meliputi (1) alur, (2) latar, (3)tema, (4) tokoh, (5) gaya, (6) sudut pandang, dan (6) format
buku cerita (Huck, 1987:17, Nurgiyantoro, 2005:66).

B. Saran

Adapun saran dalam makalah ini adalah marilah kita tingkatkan kemampuan kita dalam
bersastra, utamanya para pendidik agar peserta didik yang kita ajar dapat betul-bertul memahami
dari inti sastra itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Edu. Brata. 2009. Hakikat Pembelajaran Sastra Anak di SD, http://mbahbrata-


edu.blogspot.com/2009/12/hakikat-pembelajaran-sastra-anak-di-sd.html, (diakses 1 Februari
2014)

Resmini, Novi, Dadan Djuanda, & Isah Cahyani. 2006. Pembinaan dan Pengembngan
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: UPI PRESS.

Samosir, Aldon. 2008. Pembelajaran Sastra,


http://aldonsamosir.wordpress.com/kurikulum/pembelajaran-sastra/, ( diakses 2 Februari)

Wahab, Sabri. 2012. Hakikat Pembelajaran Sastra,


http://guruoemarsabri.blogspot.com/2012/05/hakikat-pembelajaran-sastra.html,

Anda mungkin juga menyukai