Anda di halaman 1dari 18

Keamanan, ketertiban dan perdamaian merupakan tujuan dari penegakan hukum, untuk

mewujudkan tujuan tersebut, harus ada pihak yang melaksanakan aturan hukum yang sudah
dibuat oleh pemerintah atau penguasa. Dibuatnya tujuan penelitian ini untuk menjawab rumusan
maslah diatas, dengan faktor-faktor yang dianalisis .Pihak tersebut adalah aparat penegak hukum,
mereka menindak, memproses dan menyelesaikan pelanggaran yang terjadi dimasyarakat
berdasarkan aturan dan hukum yang telah dibuat oleh pemerintah. Aparat penegak hukum dibagi
menjadi tiga lembaga, pembagian lembaga tersebut dilakukan agar penegakan hukum dapat
dilaksanakan secara bertahap dan berurutan selain itu untuk menghindari benturan tugas yang
sama dan terhindar dari gesekan antar aparat penegak hukum. Lembaga-lembaga tersebut
mewakilkan tugasnya dari proses penyelesaian suatu perkara. Ketiga lembaga tersebut adalah
Kepolisian yang bertugas sebagai penyidik, sebenarnya tugas kepolisian tidak hanya melakukan
penyidikan terhadap suatu kasus tetapi juga merupakan pengayom dan pelindung bagi
masyarakat. Setelah itu ada kejaksaan bertugas sebagai penuntut hukuman apa yang harus
dijatuhkan kepada tersangka dalam perkara. Terakhir merupakan hakim yang bertugas sebagai
pemutus suatu perkara. Lembaga diatas memiliki undang-undang yang mengatur setiap lembaga,
mereka juga memiliki badan yang mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Kepolisian
menurut pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia adalah Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan
lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Profesi penegakan hukum merupakan profesi yang luhur dan suci, karena menjadi penentu
nasib dan kemerdekaan pribadi seseorang. Seharusnya aparat penegak hukum sangat
menghindari perilaku yang bertentangan dengan hakikat aparat penegak hukum yaitu
pelanggaran dan hal tidak terpuji. Dalam pelaksanaan upaya penegakan hukum oleh aparat
penegak hukum sering terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh anggota lembaga penegakan
hukum. Mereka melakukan itu mengakibatkan nama lembaga yang menaungi mereka menjadi
tercoreng, Aparat penegak hukum yang tugasnya menegakkan hukum mengapa malah melanggar
hukum, satu kata yang dapat menggambarkan hal tersebut adalah miris.

Menurut ombudsman ada 6.000 laporan yang diterima dari masyarakat dari tahun 2016
hingga 2019. Berdasarkan survei kepatuhan hukum yang Ombudsman lakukan, dalam survei
tersebut hasil dominan terjadi maladministrasi dalam proses penegakan hukum yang telah terjadi
di kepolisian, kejaksaan, peradilan dan lembaga pemasyarakatan. Dikutip dari Ombudsman,
maladministrasi merupakan perilaku atau perbuatan melawan hukum dan etika dalam proses
administrasi pelayanan publik. Kurangnya pengawasan dan pembinaan terhadap aparat penegak
hukum terhadap proses administrasi permasalahan hukum merupakan penyebabnya. Dalam hal
pengawasan seharusnya ada lembaga yang mengawasi dalam hal adaministrasi. Pembinaan
pelatihan atau kursus yang diadakan oleh lembaga terkait agar aparat penegak hukum paham dan
mengerti mengenai proses administrasi agar tidak terjadi maladministrasi. Dengan aparat
penegak hukum yang professional diharapkan mereka selalu melakukan tugas dan kewajibannya
dengan melakukan kinerja terbaiknya dan selalu konsisten. 1Ketidakmampuan penegakan hukum
diakibatkan profesionalisme aparat yang kurang, sedangkan ketidakmauan penegakan hukum
berkaitan dengan permasalahan Korupsi Kolusi Nepotisme yang dilakukan oleh aparat hukum
sudah menjadi rahasia umum. Aparat penegak hukum yang berprofesionalisme merupakan
seseorang yang menjadi aparat berdasarkan kemampuanya sendiri, oleh karena itu ia harus
menunjukan kinerja yang sesuai dengan label Profesionalisme dengan selalu totalitas, dedikasi
yang tinggi, dan selalu konsisten dalam setiap pelaksanakan tugasnya. Jika aparat penegak
hukum tidak menjunjung tinggi profesionalisme, maka dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya menyebabkan pelayanan yang tidak maksimal contohnya adalah pelayanan dalam
penyelesaian perkara yang lama dan tidak jelas. Selain itu professional juga tidak pandang bulu
dalam menindak pelanggaran, meskipun pelanggar merupakan saudara atau keluarga.

Indikasi aparat penegak hukum yang melakukan Korupsi Kolusi dan Nepotisme seperti yang
sudah saya jelaskan di latar belakang, aparat penegak hukum memiliki posisi yang strategis,
untuk terjadinya Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Karena aparat penegak hukum merupakan
penentu nasib seseorang, apabila orang yang menjadi tersangka dan berkeinginan untuk
mengurangi hukuman dan tersangka tersebut memberi hakim uang untuk tidak memberi
hukuman berat kepadanya, dan hakim tersebut menerima, hakim telah melakukan kolusi atau
suap, begitu juga dengan praktik korupsi, dan kolusi yang memiliki metode dan cara yang
berbeda-beda. Setiap terjadinya pelanggaran, Lemahnya sanksi dan hukuman yang diberikan
kepada aparat penegak hukum yang telah melakukan pelanggaran, mengakibatkan tidak
menimbulkan efek jera dan waspada terhadap aparat penegak hukum lainnya.

1
Amir Syamsuddin, "Integritas Penegak Hukum, Hakim, Jaksa, Polisi, dan Pengacara", Kompas, 2008, hlm.9.
Polisi, Jaksa dan hakim memiliki undang-undang dan aturan internal yang menjadi panduan,
acuan, pedoman dalam bertindak ketika melaksanakan tugas dan kewajibannya. Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang disingkat sebagai Polri merupakan lembaga yang melaksanakan
pengayoman, pelayanan, perlindungan, dan penyelidikan terhadap masyarakat, Polri sendiri
memiliki Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
yang dibuat oleh presiden yang mengatur mengenai sistem organisasi polri secara keseluruhan
dan undang-undang tersebut masih bersifat umum. Polisi dalam setiap melaksanakan tugas dan
kewajibannya harus memiliki aturan dan Batasan dalam bertindak, aturan tersebut bernama Kode
Etik, setiap profesi yang berkualifikasi professional pasti ada Kode Etik sebagai aturan dan acuan
dalam melaksanakan tugasnya. Kode Etik Polri adalah Kode Etik Profesi Polri atau biasa
disingkat dengan KEPP, apabila oknum anggota polri melakukan pelanggaran maka ia akan
diadili di peradilan umum, sebelum masuk diperadilan oknum tersebut harus diproses dan
ditangani dengan Komisi Kode Etik Polri, sementara itu yang mengawasi adalah Divisi Profesi
dan Pengamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia atau biasanya disingkat dengan
Divpropam.

Jaksa dan hakim juga demikian, jaksa memiliki undang-undang yang dibuat oleh presiden
sebagai aturan sistem organisasi secara keseluruhan, undang-undang yang khusus mengatur
mengenai jaksa adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang
Kejaksaan Republik Indonesia, jaksa juga memiliki rangkaian kode etik yang disebut dengan
Kode Perilaku Jaksa berfungsi sebagai pedoman keutamaan mengatur perilaku Jaksa baik dalam
menjalankan tugas profesinya, menjaga kehormatan dan martabat profesinya, maupun dalam
melakukan hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan. Badan khusus yang mengawasi dan
menindak jaksa adalah komisi kejaksaan atau komjak, Jaksa yang melakukan pelanggaran dapat
dikenakan hukuman yang sesuai dengan perbuatannya, mereka akan diadili peradilan umum,
sebelumnya mereka diperiksa oleh komisi kejaksaan Tindakan dan perlakuan hakim diatur
didalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang dibuat
oleh presiden, mengatur secara keseluruhan organisasi kehakiman yang ada di Indonesia.
Sementara itu kode etik sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya diatur
didalam Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim. Pengawasan terhadap hakim dilakukan oleh
Badan Pengawas Mahkamah Agung yang memiliki tugas mengawasi lingkungan peradilan di
bawah Mahkamah Agung, termasuk pejabat pengadilan dan para hakim, serta administrasi
peradilan.

Tetapi hadirnya lembaga pengawas beserta aturan dan kode etik, tidak semerta-merta
membuat para pelaksana hukum tersebut menjadi taat dan patuh, aparat penegak hukum
khususnya polisi sering melakukan kekerasan kepada tersangka dan itu menjadi pelanggaran Hak
Asasi Manusia dan asas praduga tak bersalah, meskipun ia merupakan tersangka tidak
semestinya diperlakukan seperti itu, mereka memiliki hak yang harus dipenuhi dan sebelum
proses peradilan berlangsung bisa saja bukan dia yang salah atau ada pihak lain dan ia hanya
disuruh, itu melanggar asas praduga tak bersalah. Kepolisian memang identik dengan image
menakutkan dan kekerasan, pandangan itu mungkin peninggalan dari jaman orde baru. Dengan
berkembangnya zaman, lembaga harus dapat merubah image dan kesan bahwa aparat penegak
hukum itu menakutkan, persepsi tersebut seharusnya sudah harus hilang karena tidak sesuai
dengan peran aparat penegak hukum yang melayani masyarakat. Aparat yang berintegritas dapat
diwujudkan oleh semua elemen penegak hukum perancang tugas dan kewajiban penegak hukum
harus dapat melihat realita dan kenyataan yang akan terjadi, tidak hanya kepada hukum pada saat
akan dibuat, selain membuat tugas dan kewajiabn aparat penegak hukum, perancang juga
membuat kode etik dan hukumannya jika dilanggar, Supaya menjadi bahan evaluasi dan
pertimbangan bagi perancang perturan dan hukum bagi aparat penegak hukum, mereka harus
paham betul faktor apa saja yang menyebabkan aparat penegak hukum menjadi tidak
berintegritas. Berdasarkan sumber referensi dan fakta yang ada, penulis menyimpulkan bahwa
penyebab aparat penegak hukum tidak berintegritas adalah sebagai berikut :

1 .Pelayanan yang tidak maksimal oleh aparat penegak hukum

Pelayanan merupakan unsur utama dari tugas dan kewajiban pegawai negeri sipil. Aparat
penegak hukum yang terdiri dari polisi, jaksa dan hakim merupakan pegawai negeri sipil karena
lembaga yang menaungi mereka merupakan lembaga negara dan aparat penegak hukum juga
menjadi perwakilan negara dalam melayani masyarakat. Pelayanan aparat penegak hukum
berbentuk jasa hukum adalah menuntun dan membimbing, masyarakat yang datang kepadanya
karena memiliki suatu permasalahan hukum yang harus diselesaikan. Karena aparat penegak
hukum merupakan perwakilan negara dalam menyelesaikan suatu perkara maka seharusnya
setiap aparat penegak hukum harus professional dan totalitas, karena citra dan reputasi hukum
negara sedang dipertaruhkan. Sebenarnya dalam faktor ini aparat penegak hukum tidak
merugikan orang lain dan tidak melakukan tindak pidana. Berikut adalah bentuk pelayanan yang
tidak maksimal dan penjelasannya

a. Diskriminasi pelayanan dalam melayani masyarakat oknum aparat penegak hukum membeda-
bedakan perkara yang akan diproses dengan cara memilih berdasarkan pelapor atau perkaranya,
dapat juga jika pelapor merupakan keluarga atau saudara, perkara akan lebih diprioritaskan
padahal hal tersebut tidak boleh dilakukan aparat penegak hukum harus langsung memeriksa dan
memproses jenis perkara apa saja dan siapapun pelapornya, aparat penegak hukum juga tidak
boleh menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya.

b. Tidak adanya kepastian pelayanan, informasi pelayanan yang diberikan tidak jelas dan tidak
pasti berkaitan dengan informasi mengenai proses penyelesaian perkara. Aparat penegak hukum
dalam proses penanganan suatu perkara harus memberikan informasi waktu pelaksanaan
penyelesaian perkara yang pasti. Selain itu pelapor dapat menanyakan informasi yang berkaitan
dengan penyelesain perkara kepada penegak hukum, tetapi pada waktu tertentu, supaya pelapor
dan para pihak terkait mendapat kejelasan.

c. Rendahnya tingkat kepuasan masyarakat, tolak ukur dalam menentukan berhasil atau tidak
dalam menegakkan hukum adalah dengan melihat tanggapan masyarakat mengenai proses
penyelesaian perkara. Survei dapat dilakuakan oleh internal atau lembaga penegakkan hukum
dan peneliti. Tanggapan masyarakat dapat diperoleh dari pelaksanaan survei dan pengisian
kuesioner. Pendapat pelayanan dapat juga ditanyakan kepada orang yang baru menyelesaikan
perkara, ia dapat menilai pelayanan aparat penegak hukum dari pelaporan hingga putusan.

Pelayanan yang tidak maksimal dapat diatasi oleh lembaga penegakkan hukum dengan
mengadakan pelatihan, pembinaan, pemusatan pelaksanaan teknis dalam administrasi melayani
masyarakat dengan konsisten, lembaga melaksanakan pembinaan dapat diselanggarakan dengan
berdasarkan laporan dan respon masyarakat terhadap pelayanan, jika respon masih rendah
pembinaan dapat dilakukan hingga respon masyarakat terhadap aparat penegak hukum telah
meningkat. Aparat penegak hukum diajari, dibimbing, dituntun untuk memberikan pelayanan
yang maksimal kepada masyarakat, lembaga yang mendidik penegak hukum memasukkan upaya
pelayanan yang maksimal kepada masyarakat. Seharusnya pelayanan masuk kedalam kurikulum
pembelajaran pada saat masuk ke akademi penegak hukum, anggota seharusnya sudah diajarkan
dan dipaparkan meskipun hanya dasarnya saja, maka itu untuk menyempurnakan pemahaman
terhadap pelayanan, maka diselenggarakanlah pembinaan, pelatihan pemusatan dalam cara
melayani publik dengan baik dan maksimal. Jika pelatihan dilakukan secara berkala, maka
pelayanan akan maksimal.

2. Tingkat kultur hukum yang rendah pada masyarakat dan aparat penegak hukum

Meskipun Indonesia merupakan negara hukum tetapi kultur hukum yang berada di
masyarakat Indonesia sangat rendah. Berkaca dari masyarakat Indonesia yang majemuk dan
beragam mulai dari agama, suku, adat, tradisi, yang berbeda-beda menyebabkan setiap kebiasaan
dan budaya kelompok masyarakat satu dengan yang lainnya berbeda dalam bersosialisasi
terhadap sesama, pelaksanaan acara adat, perayaan hari besar keagamaan dan lainnya. Begitu
pula dengan hukum, setiap kelompok masyrakat memiliki pemahaman dan pengertian yang
berbeda-beda terhadap hukum. Selain faktor diatas, ketaatan terhadap hukum dapat dipengaruhi
oleh ekonomi, keadaan ekonomi yang ada di setiap kelompok masyarakat menyebabkan mereka
memiliki perbedaan dalam ketaatan dan kepatuhan hukum.

Kelompok masyarakat yang ekonomi menengah keatas dengan mudah dapat memahami
dan menaati peraturan hukum, itu dikarenakan tingkat pendidikan mereka yang cenderung tinggi
mengakibatkan cara berpikir mereka juga mudah dalam memahami hukum, tidak hanya
memahami namun juga dengan mematuhi dan menaatinya, kenyataan itu seolah terbalik dengan
masyarakat dengan ekonomi menengah kebawah, mereka cenderung memiliki tingkat intelektual
yang rendah dikarenakan tingkat pendidikan yang rendah, menyebabkan mereka tidak
memperdulikan hukum dengan menaati dan mematuhi, karena kurang secara ekonomi, mereka
lebih mementingkan bagaimana cara mereka bisa tetap makan sehari-hari. Perbedaan diatas
menyebabkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat sangat susah dalam menegakkan hukum.

Karena struktur masyarakat Indonesia yang majemuk dan beragam, penegakkan hukum
dapat terlaksana dengan baik, dalam pelaksanaannya aparat penegak hukum harus dapat
membedakan dan menyesuaikan diri dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya kepada
masyarakat yang memiliki kebudayaan dan kebiasaan sosial yang berbeda-beda, dengan
menganalisa bagaimana menerapkan dan menegakkan hukum kepada masyarakat tersebut.
Kultur hukum adalah tingkat kesadaran, kepatuhan ketaatan masyrakat dan kelompok sosial
terhadap hukum yang tertulis maupun tidak tertulis. Sebenarnya dalam faktor ini tidak hanya
melibatkan aparat penegak hukum, melainkan seluruh elemen masyarakat, karena aparat penegak
hukum yang berintegritas merupakan cerminan dari kultur hukum yang berada di masyarakat.

Sanksi atau hukuman yang ringan dan lemah, tidak setimpal diberikan kepada pelanggar
meskipun pelanggaran yang dilakukan dianggap sepele, seperti tidak menggunakan helm,
menerobos lampu merah dll. Sedikti-sedikti lama-lama menjadi bukit, pelanggaran tersebut yang
dianggap sepele, sehingga dapat menyebabkan masyarakat menjadi tidak peduli terhadap hukum.
Tetapi perbuatan-perbuatan sepele itulah yang menyebabkan masyarakat Indonesia menjadi
meremehkan, menyepelekan dan mengabaikan hukum. Di satu sisi aparat penegak hukum yang
melihat pelanggaran yang dianggap sepele itu, terkesan membiarkan karena memang sudah
menjadi kebiasaan. Menurut masyarakat jika mereka melanggar hukum yang dianggap sepele
kecelakaan dan hal-hal buruk lainnya belum tentu terjadi.

Masyarakat dapat taat terhadap tata lalu lintas, saat ada razia atau operasi lalu lintas,
pelanggar tersebut akan ditindak dengan surat tilang. Padahal untuk mewujudkan kultur hukum
yang baik perlu mematuhi hukum yang dianggap sepele tersebut. Apabila masyarakat taat dan
patuh terhadap hukum yang dianggap sepele menyebakan masyarakat menjadi terbiasa, terhadap
patuh dan taat terhadap peraturan hukum. Aparat penegak hukum juga merupakan anggota
masyarakat, jadi saat mereka menjadi aparat penegak hukum diharapakan kebiasaan masyarakat
yang tingkat kultur hukumnya rendah, harus hilang, karena komitmen yang ia miliki menjadi
aparat penegak hukum yang berintegritas. Berikut adalah faktor-faktor yang menyebabkan
rendahnya tingkat kultur hukum.

-Kurangnya sosialisasi dan penyuluhan yang optimal kepada masyarakat mengenai kesadaran
dan kepatuhan hukum, yang harus dilaksanakan dengan melihat dari latar belakang masyarakat
yang akan disosialisasikan, harus disesuaikan dengan metode yang efektif penyuluhan sosialisasi
kepada mereka. Program ini harus dilakukan secara berkala artinya aparat penegak hukum dapat
menilai dan mengamati kultur hukum dengan melakukan survei terhadap kelompok masyarakat
yang dituju yang dituju jia target peningkatan, jika statistik belum menunjukkan bahwa
masyarakat telah taat, patuh, maka pihak lembaga penegak hukum dapat melakukan sosialisasi
lagi hingga masyarakat yang menjadi targetnya memiliki catatan statistik sesuai dengan yang
dijadikan oleh aparat penegak hukum

Kurangnya sosialisasi juga menyebabkan masyarakat kesulitan memahami peraturan


hukum, jika memahami saja sudah sulit bagaimana masyarakat bisa mematuhi aturan
hukum.Sosialisasi juga dapat sebagai sarana untuk interpretasi hukum kepada masyarakat awam
agar mereka jadi paham terhadap hukum dan mamtuhinya. Pemaparan mengenai aturan hukum
harus dilakukan melihat latar belakang Pendidikan masyarakat karena itu sangat mempengaruhi
pola berpikir dan pemahaman. Jika yang disosialisasikan adalah masyarakat dengan ekonomi
menengah keatas dengan pendidikan tinggi, Bahasa yang digunakan boleh menggunakan istilah-
istilah bahasa asing yang berkaitan dengan penjelasan dan pemaparan, apabila yang
disosialisasikan adalah masyarakat ekonomi kebawah, penggunaan bahasa harus mudah
dimengerti dan dipahami oleh mereka.

Lemahnya hukuman yang dijatuhkan kepada pelanggar meskipun perkara sepele, mereka
tidak jera dan akan mengulangi pelanggaran yang sama karena mereka melakukan itu dihukum
ringan bahkan ada yang tidak dihukum, seharusnya aparat berani menghukum dan memberikan
sanksi kepada pelanggar, tetapi jangan langsung dikenakan sanksi pidana melainkan sanksi sosial
saja untuk menumbuhkan rasa malu dan sadar diri, agar terciptanya masyarakat yang sadar
hukum.

3. Hukuman dan sanksi yang ringan atau tidak sesuai, kepada aparat penegak hukum yang telah
melakukan pelanggaran.

Ketika oknum-oknum tersebut telah tertangkap mereka akan diproses dan diadili dengan proses
hukum, hukuman atau sanksi yang diberikan seringkali ringan dan tidak berat, tidak ada
hukuman yang membuat oknum-oknum tersebut, benar-benar merasa jera dan tidak akan
mengulangi perlakuan yang sama. Melihat rekan sejawatnya yang dihukum ringan menyebabkan
aparat penegak hukum yang lain bukannya takut malah semakin menjadi-jadi dalam melakukan
pelanggaran, karena mereka tahu bahwa hukuman yang diberikan ringan. Hukuman yang
diberikan harusnya. Tidak adanya keseriusan dan kesungguh-sungguhan dalam menghukum
aparat penegak hukum, seperti anggapan bahwa hukum di Indonesia tumpul keatas dan tajam
kebawah, mengapa ketika masyarakat kecil dan rakyat miskin melakukan pelanggaran, meskipun
mereka melakukan pelanggaran mereka ada sebabnya seperti kelaparan karena tidak ada uang
untuk makan, sehingga terpaksa mencuri, meskipun mencurinya tidak banyak hanya sekedar
untuk mengganjal perut., mereka dihukum dan divonis berat. Tetapi jika pelanggaran itu terjadi
karena tidak disengaja dan tidak ada niatan untuk dirinya melakukan hal tersebut, itu biasanya
terjadi pada saat proses penangkapan oleh polisi.

Seperti dikatakan dalam prinsip hukum universal yaitu Equality Before the Law, yang
berarti semuanya setara dihadapan hukum. Mengapa aparat penegak hukum malah divonis
ringan, apakah karena yang mengadili mereka sama-sama penegak hukum, seharusnya hakim
tidak boleh subjektif, hakim harus objektif terhadap kasus dan perkara, meskipun ia merupakan
aparat penegak hukum yang merupakan pelaksana hukum sekalipun, jika harus vonis berat
memang harus dilakukan, apalagi pelaku merupakan seorang aparat penegak hukum, yang
seharusnya menegakkan hukum tetapi malah berbuat pelanggaran, maka ia harus dihukum sesuai
dengan perlakuannya, jika pelanggarannya sudah berat, makai a harus dipecat secara tidak
hormat. Sebenarnya saat vonis ringan yang diberikan kepada aparat penegak hukum yang
melanggar hukum sudah membuat reputasi buruk aparat penegak hukum sebanyak dua kali, pada
saat oknum aparat penegak hukum melakukan pelanggaran, dan pada saat vonis ringan yang dan
tidak sesuai dengan pelanggaran yang telah dibuatnya. Meskipun tidak semuanya divonis ringan,
tetapi yang sering masuk ke dalam pemberitaan media elektronik adalah voni ringan ataupun
skorsing yang diberikan oleh komisi disiplin di lembaganya. Hakim harus berani dalam
mengambil keputusan kepada aparat penegak hukum yang sudah kelewatan, karena telah
membuat malu nama instansi

4.Penerimaan dan perekrutan anggota aparat penegak hukum yang terindikasi melakukan KKN

Ini sudah tidak menjadi rahasia umum lagi, apalagi di Indonesia sistem penerimaan dan
perekrutan anggota aparat penegak hukum baru baik itu polisi, jaksa ataupun hakim, tetapi yang
paling sering kita dengar dan awam adalah polisi. Sebenarnya penerimaan terindikasi KKN tidak
hanya terjadi saat penerimaan aparat penegak hukum, tetapi seluruh penerimaan pegawai baru di
Indonesia terindikasi oleh KKN baik yang swasta ataupun negeri. Meskipun pada saat ini sistem
penerimaan dan perekrutan sudah bersih dan transparan, tetapi tetap ada oknum yang mencari
celah untuk kepentingan pribadi, baik itu oknum internal dan eksternal. Apabila dalam
penerimaan dan perekrutannya tidak benar , tidak jujur dan tidak terbuka dapat mengecewakan
bagi orang yang memang benar dan bersungguh-sungguh untuk menjadi seorang aparat penegak
hukum, karena mereka merasa dikihianati atas perjuangan dan pengorbanan yang mereka
lakukan untuk masuk sebagai aparat penegak hukum,tidak hanya bagi calon anggota aparat
penegak hukum, tetapi juga masyarakat, stigma dan stereotype masyarakat terhadap lembaga
penegakkan hukum semakin buruk, kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum
merupakan kuncinya.

Lembaga penegak hukum yang menyelenggarakan penerimaan dan perekrutan anggota


baru, harus menghilangkan tradisi tidak baik seperti itu, karena penerimaan dan perekrutan
adalah langkah awal lembaga menyaring dan mendapatkan calon anggota penegak hukum yang
berintegritas, tetapi penerimaan dan perekrutan ini malah disusupi oleh kepentingan oknum
dengan berbagai macam alasan, hingga menyebabkan terjadinya KKN. Oleh karena itu bagi
lembaga penerimaan dan perekrutan dan orang yang akan mendaftar menjadi aparat penegak
hukum, harus mengubah persepsi bahwa tujuan utama menjadi aparat penegak hukum bukan
untuk mendapakan uang, tunjangan, atau dapat menggunakan seragam sebagai gagah-gagahan,
dan pamer. Tujuan utama menjadi aparat penegak hukum adalah pelayanan dan pengabdian,
kepada masyarakat agar terciptanya keamanan, ketertiban dan keadilan. Konsep tersebut dapat
dilaksanakan dengan penyuluhan sosialisasi, pada saat sebelum proses penerimaan dimulai. Dan
dilaksanakan secara berkala. Dapat dipastikan bahwa aparat penegak hukum yang lolos dan
masuk karena KKN, dengan berbagai motif ada, yang diprioritaskan karena titipan oknum
pejabat atau saudara, ada yang memang benar-benar melakukan penyuapan, karena ada oknum
yang membawa dan mengenalkan oknum lain yang dapat meloloskan kandidat tersebut dan
masih banyak motif yang lainnya. Kandidat yang lolos karena KKN, tidak ada jaminan ia akan
berintegritas, karena pada saat tes diawal hingga diakhir, kandidat memang benar benar disaring
dan dipiih, untuk dicari kemampuan dan mental yang baik, jika seorang kandidat lolos
berdasarkan KKN sebenarnya ia tidak layak lolos karena ia tidak lolos dalam pengisian tes yang
sudah ditentukan.

Perbuatan dan perlakuan tidak baik dan buruk seperti itu harus dihilangkan karena
penerimaan dan perekrutan merupakan langkah awal untuk mencari kandidat calon aparat
penegak hukum yang berintegritas. Lembaga penerimaan dan perekrutan aparat penegak hukum,
harus membentuk suatu sistem penerimaan dan perekrutan yang lebih ketat dalam pengawasan
terhadap berlangsungnya proses penerimaan dan proses administrasi, hingga pengumuman
kelulusan, dengan berdasarkan asas kompetensi, transparansi dan partisipasi, oknum internal
yang terlibat harus dihukum dengan sangat tegas, begitu juga oknum eksternal, yang berasal dari
luar lembaga penegakkan hukum. Bagaimana bisa berintegritas jika, penerimaan dan perekrutan,
disusupi oleh kepentingan pihak-pihak tertentu baik itu internal maupun eksternal. Untuk
mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum dapat dilakukan upaya
meningkatkan integritas aparat penegak hukum, upaya tersebut berbentuk faktor-faktor yang
didalamnya terdapat analisis mengenai, aspek yang dapat menciptakan aparat penegak hukum
yang berintegritas.

1. Meningkatkan kultur hukum dimasyarakat dan aparat penegak hukum

Kultur hukum memiliki peran yang sangat vital dalam membentuk aparat penegak hukum yang
berintegritas, karena ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum dapat dikarenakan sulitnya
bahasa untuk dipahami didalam undang-undang, jadi pada awalnya ia ingin melakukan hal yang
sebelumnya boleh dilakukan didalam undang-undang tetapi ada hukum baru yang menggantikan
hukum tersebut dan melarang melakukan hal yang sebelumnya boleh dilakukan didalam undang-
undang, karena undang-undang yang baru sulit untuk dipahami oleh masyarakat umum,
menyebabkan masyarakat menjadi malas untuk membaca dan memahaminya, untuk
menanggulangi hal itu, maka diselenggarakan penyuluhan dan sosialisasi mengenai hukum,
khusunya hukum yang kedua. karena masyarakat, manusia merupakan target utama dalam
diterapkannya hukum, agar terciptanya kedamaian, ketertiban dan keadilan didalam masyarakat,
karena aparat penegak hukum yang berintegritas terlahir dari masyarakat yang memiliki kultur
hukum yang baik.

Untuk meningkatkan kultur hukum dimasyarakat yang berperan meningkatkan kultur


hukum tidak hanya aparat penegak hukum dan lembaganya, tetapi juga seluruh lapisan
masyarakat agar setiap lapisan masyarakt memiliki kultur hukum yang baik, dengan
menumbuhakan rasa kepatuhan, ketaatan kepada hukum yang berlaku, harus dilakukan dengan
strategi yang efektif dan tepat. Apabila pelaksanaan strategi untuk meningkatkan kultur hukum
dimasyarakat. Kultur hukum terbentuk dari dari masyarakat yang terbiasa menaati dan mematuhi
undang-undang dan peraturan yang berlaku, ada sebuah pepatah mengatakan bahwa kita bisa
karena terbiasa. Waktu yang dibutuhkan untuk, meningkatkan kultur hukum dimasyarakat
membutuhkan waktu yang sangat lama, karena sedang terjadi pembiasaan terhadap masyarakat
untuk menaati, mematuhi hukum dan aturan yang berlaku, hukuman yang diberikan kepada
pelanggar, jangan langsung dihukum kurungan pidana, lebih baik diberi sanksi sosial saja,
dengan sanksi sosial yang diberikan akan menyebabkan pelanggar akan merasa malu dan jera,
sehingga tidak mengulangi lagi. Tentunya pelanggaran yang dihukum dengan sanksi sosial
bukan merupakan pelanggaran berat, seperti menggunakan helm saat berkendara motor, tidak
menerobos lampu merah, berhenti di zebra cross pada saat lampu merah. Agar kultur hukum
dimasyarakat meningkat berikut adalah upaya yang dapat dilakukan. Untuk mewujudkan cita-
cita hukum, keterkaitan antara masyarakat dan aparat penegak hukum tidak dapat dipisahkan,
aparat hukum yang berintegritas merupakan cerminan masyarakat yang memiliki kultur hukum
yang sehat. Diantara keduanya tidak ada yang dapat berdiri sendiri, meskipun aparat penegak
hukum memiliki otoritas.

a. Penyuluhan dan sosialisasi hukum, upaya ini dilakukan dengan memaparkan, menjelaskan,
mempresentasikan betapa pentingnya taat dan patuh terhadap hukum yang berbentuk peraturan,
undang-undang, kepada masyarakat yang menjadi sasaran, untuk memudahkan dalam
pemahaman, peserta sosialisasi dapat dibedakan berdasarkan latar belakang, pendidikan,
ekonomi, kedua faktor itu sangat mempengaruhi cara berpikir dan pemahaman masyarakat
terhadap hukum, materi tidak hanya dijelaskan dan dipaparakan tetapi undang- undangnya juga
harus diinterpretasikan, seperti yang kita ketahui kata, kalimat yang berada didalam undang-
undang sulit untuk dipahami oleh orang umum, dengan sosialisasi dan penyuluhan yang
dilaksanakan oleh lembaga penegakkan hukum, diharapkan masyarakat dapat menjadi taat dan
patuh terhadap undang-undang, tanpa didasari oleh keterpaksaan, melainkan dengan kesadaran.

b. Penerapan sanksi sosial

Pelanggaran dapat dipidana dengan ancaman kurungan, selama ini persepsi itulah yang
hidup dan berada didalam masyarakat, tetapi kenyataannya memang begitu, dari pada dihukum
dengan kurungan dilapas menurut saya lebih baik, di berikan sanksi sosial saja, karena sanksi
sosial lebih mempengaruhi moral dan nilai, selain itu sanksi sosial dapat menyebabkan efek jera
dan malu kepada setiap pelanggar pelaku penyimpangan. Tidak semua perilaku pelanggaran
dapat dikenakan sanksi sosial, melainkan hanya berlaku ke pelanggaran yang bersifat ringan dan
sedang. Contohnya adalah orang yang membuang sampah disungai, dihukum dengan
membersihkan sungai.

2. Penggunaan diskresi dan rasionalitas hukum pada saat penerapan hukum dilapangan.

Das sollen disebut kaidah hukum yang menerangkan kondisi yang diharapkan.
Sedangkan das sein dianggap sebagai keadaan yang nyata. Das sein tidak selalu sejalan dengan
das sollen. Seperti yang kita ketahui formulasi hukum merupakan proses pembuatan, penyusunan
suatu hukum yang berbentuk undang-undang, dan bentuk peraturan lainnya, tahap formulasi
hukum seharusnya tidak berfokus pada pembuatan dari hukum tersebut, tetapi juga harus
mempertimbangkan mengenai kenyataan pada saat hukum tersebut diterapkan di lapangan. Oleh
karena itu aparat penegak hukum harus menggunakan diskresi pada saat menjalankan tugas dan
kewajibannya. Sesuai Pasal 1 angka 9 UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
bahwa diskresi adalah keputusan dan atau tindakan yang ditetapkan dan atau dilakukan oleh
Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan
pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak
mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Kewenangan
diskresi seringkali terbit manakala suatu program pemerintah tidak berjalan optimal dan
mengarah kepada stagnasi akibat dari peraturan yang berlaku tidak lengkap atau tidak jelas.

Untuk mendukung berlakunya faktor ini, upaya yang dapat dilakukan oleh lembaga
penegak hukum, untuk meningkatkan diskresi aparat penegak hukum, dapat dengan pelatihan,
pemusatan, mengenai penggunaan diskresi kepada masyarakat dengan undang-undang yang
berlaku. Diskresi dipengaruhi oleh faktor internal yang berasal dari dalam diri aparat penegak
hukum, faktor internal tersebut adalah sifat, kepribadian. Kebijaksanaan aparat penegak hukum
sangat diperlukan pada saat penggunaan diskresi. Pada saat penggunaan diskresi aspek yang
dipenuhi tidak hanya dari undang-undangnya atau peraturan yang dilanggar, melainkan aspek
yang menyangkut dari para pihak terkait. Dengan penggunaan diskresi aparat penegak hukum
tidak hanya menjadi pelaksana dari undang-undang secara normatif tetapi juga, memperhatikan
aspek yang terjadi dilapangan yang tidak dapat diprediksi dan semua kemungkinan dapat terjadi.
3. Interprestasi hukum bagi aparat penegak hukum

Pemilihan kata yang digunakan pada saat formulasi pembentukan hukum, kata-kata yang
digunakan merupakan kata-kata yang ada diruang lingkup hukum, dan tidak semua orang dapat
mengerti dan memahami muatan tersebut, satu kata dapat bermakna lebih dari satu arti, hal itu
juga dapat menyebabkan multitafsir bagi orang yang tidak memiliki pengetahuan tenatang
hukum yang baik. Karena aparat penegak hukum merupakan pelaksana dari hukum mereka harus
mengerti dan memahami isi dan makna dari hukum tersebut. Menyebabkan mereka akan
kesulitan dalam memahami dan mengerti maksud dari muatan hukum tersebut, maka ia akan
menjadi gagal paham, ataupun misinterpretasi terhadap hukum tersebut, hal itu tentu saja
berbahaya karena apa yang dia pahami dengan pengertian sebenarnya dari hukum tersebut
berbeda, apalagi jika diterapkan ke masyarakat, berarti aparat penegak hukum tersebut tidak
berintegritas karena tidak melaksanakan hukum berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Penerapan hukum yang berupa pelaskanaan dari undang-undang terhadap masyarakat,
merupakan ciri aparat penegak hukum yag berintegritas.

Untuk memahami dan mengerti apa yang dimaksudkan didalam hukum tersebut,
diperlukan penggunaan legal reasoning atau penalaran hukum. Jika aparat penegak hukum dapat
menguasai leagal reasoning, ia dapat menjelaskan, memaparkan maksud dan makna dari hukum
tersebut. Berarti penerapannya sesuai berdasarkan undang-undang, berarti aparat penegak hukum
tersebut merupakan aparat penegak hukum yang berintegritas menegakkan hukum berdasarkan
undang-undang sesuai dengan isi dan maknanya, untuk mencapai itu aparat penegak hukum
harus menginterpretasi hukum yang akan dijadikan dasar dalam pelaksanaan tugas dan
kewajibannya.

Kemampuan legal reasoning harus dikuasai oleh aparat penegak hukum di semua
lembaga penegakkan hukum yaitu kepolisian, kehakiman dan kejaksaan. Legal reasoning
didapatkan dari pendidikan yang berasal dari kuliah atau pendidikan pada saat akan menjadi
aparat penegak. Jika tingkat legal reasoning aparat penegak hukum masih rendah maka, lembaga
penegakkan hukum dapat mengadakan pelatihan, pendidikan dan pembimbingan agar para
anggota yang menerapkan undang-undang dapat memiliki legal reasoning yang digunakan dalam
menginterpretasi undang-undang yang berlaku. Laporan penegakkan hukum yang tidak sesuai
dengan undang-undang yang berlaku merupakan laporan dari masyarakat.
4. Penerimaan kritik dan saran dari masyarakat terhadap aparat penegak hukum.

Penerimaan kritik dan saran dari masyarakat oleh aparat penegak hukum yang
berintegritas, melibatkan serta masyarakat kedalam proses penilaian yang kemudian di evaluasi
oleh pihak internal lembaga penegakkan hukum. Dengan melibatkan masyarakat kedalam proses
penilaian, menunjukan bahwa lembaga penegak hukum telah menjadi demokrasi. Aspirasi
masyarakat tersebut, kemudian di inventarisir menjadi dua kategori saran dan kritik, aspirasi
masyarakat tersebut tidak hanya diterima tetapi harus diterapkan, itu baru yang namanya
demokrasi. Penerimaan aspirasi yang melibatkan masyarakat dapat juga menjadi media pemberi
nilai dan pengawasan kepada aparat penegak hukum, Jika dijelaskan mengenai keterlibatan
masyarakat terhadap, lembaga penegakkan hukum itu merupakan check and balance. Check and
Balance adalah upaya saling mengendalikan dan mengawasi antara pihak yang berwenang
dengan masyarakat, aparat penegak hukum menerima penilaian masyarakat yang berupa kiritik
dan saran terhadap kinerjanya. Penilaian tersebut juga merupakan penilaian terhadap pelayanan,
hasil putusan, kepastian hukum yang diberikan kepada para pihak terkait. Check and Balance
juga dapat menjadi cara pengawasan terhadap aparat penegak hukum secara eksternal. Agar
dapat terjadinya check and balance maka, pengawasan dan penilaian tidak hanya, melibatkan
badan internal yang berasal dari lembaga penegakan hukum terkait, melainkan juga melibatkan
masyarakat dalam memberi penilaian terhadap perilaku dan tindakan aparat penegak hukum, hal
ini bertujuan agar kinerja aparat penegak hukum dapat dinilai secara objektif, dengan melibatkan
faktor eksternal yaitu pihak dan tidak hanya berasal didalam lembaga penegakkan hukum atau
faktor internal.

5. Evaluasi hasil kerja yang berkala dan perancangan pelaksanaan hukum di waktu yang akan
datang.

Dengan diterimanya kritik dan saran yang diberikan oleh masyarakat, seperti yang telah
dijelaskan oleh poin diatas. Lembaga aparat penegak hukum harus mengevaluasi hasil
kinerjanya, dari aspirasi masyarakat yang berbentuk kritik dan saran itu, supaya lebih efektif
maka dibuatlah klasifikasi mengenai evaluasi. Evaluasi terbagi menjadi dua yaitu evaluasi jangka
pendek yang dapat dilaksanakan 1 bulan sekali dan evaluasi kinerja aparat penegak hukum
jangka panjang, yaitu dapat dilaksanakan satu tahun sekali. Setiap pelaksanaan evaluasi harus
dilaksanakan pada akhir bulan dan akhir tahun, agar lebih kolektif, berdasarkan kinerja yang
telah diakukan selama ini. Evaluasi dilaksanakan untuk mencari kekurangan yang terjadi didalam
rancangan hukum yang telah dibuat sebelumnya dan dilaksanakan dalam jangka waktu 1 bulan
atau satu tahun. Kekurangan yang terdapat pada hasil rancangan kinerja sebelumnya, harus
diminimalisir dan diantisipasi untuk terjadi di penerapan rancangan hukum selanjutnya.
Lembaga penegakan hukum selalu menyempurnakan rancangan pelaksanaan hukum. Rancangan
tersebut dibuat dengan berdasarkan kritik dan saran dari masyarakat dan berkaca dari kekurangan
dalam evaluasi sebelumnya, dan kepentingan urgensi lembaga penegakkan hukum, barulah dapat
dirumuskan rancangan hukum yang akan diterapkan. Dengan membuat rancangan hukum yang
tepat sasaran dan sesuai target, aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya akan menjadi lebih terarah dan efektif. Aparat penegak hukum yang berintegritas
tidak akan mungkin tercipta jika salah satu dari faktor diatas tidak dipenuhi dan dilaksanakan.
Faktor diatas harus dilaksanakan semuanya secara bertahap berdasarkan aparat penegak hukum
dan situasi masyarakatnnya.
Pelanggaran disini berarti tindakan tidak terpuji dan tercela yang tidak boleh dilakukan oleh
seorang aparat penegak hukum. Semakin banyak pelanggaran dan hal tercela yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum menyebabkan citra dan reputasi lembaga penegakan hukum yang
menaungi mereka menjadi semakin buruk reputasinya.

Aparat penegak hukum yang tidak berintegritas tidak hanya yang melakukan pelanggaran
melainkan juga pelayanan yang tidak maskimal ,pelayanan yang tidak maksimal dalam melayani
masyarakat, merupakan ciri aparat penegak hukum yang tidak berintegritas. Totalitas dan
dedikasi dalam bertugas menjadi faktor penting agar terciptanya aparat penegak hukum yang
berintegritas. Aparat penegak hukum yang berintegritas harus memiliki pedoman dan dasar dari
dirinya sendiri.

Aparat penegak hukum tidak berdiri sendiri-sendiri melainkan ada lembaga pemerintahan yang
menaungi mereka setiap lembaga tersebut memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda,
lembaga-lembaga penegakan hukum tersebut harus melakukan koordinasi dan komunikasi agar
terjadinya hubungan yang kooperatif, antara lembaga satu dan lembaga lainnya, dikarenakan
proses penyelesain perkara berjalan berurutan dan bertahap mulai dari tahap penyidikan, tahap
penuntutan, pemutusan, tahap penyembuhan dan kemudian narapidana tersebut dikembalikan
kepada keluarganya dan masyarakat. Dengan adanya lembaga penegakan hukum yang berbeda-
beda fungsi dan tugasnya, menyebabkan setiap lembaga penegakan hukum pastinya memiliki
undang-undang dan aturannya sendiri yang berfungsi sebagai pedoman dan batasan penegak
hukum dalam melaksanakan penegakan hukum. Seharusnya dengan adanya undang-undang dan
aturan yang mengatur masing-masing lembaga penegakan hukum, anggota lembaga penegakan
hukum wajib menaati dan mematuhinya, mengapa dalam pelaksanaannya masih banyak oknum
yang melanggar undang-undang dan aturan lembaganya sendiri, rendahnya tingkat kesadaran diri
dan mudah terjerumus dengan perilaku tidak baik dapat menjadi penyebabnya. Pelanggaran-
pelanggaran semacam itulah yang menyebabkan terciptanya aparat penegak hukum yang tidak
berintegritas. Dalam tugas sehari-harinya, pedoman yang menjadi batasan dalam tugas sehari-
hari adalah kode etik, kode etik adalah kumpulan aturan yang harus ditaati oleh aparat penegakan
hukum, kode etik biasanya berisi hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam bertugas.

Anda mungkin juga menyukai