Anda di halaman 1dari 19

THYPOID FEVER A.

DEFINISI
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella
thypi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak
di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk,
kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri
pengolahan makanan yang masih rendah (Simanjuntak, C.H, 2009). Thypoid abdominalis
adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman Salmonella Thypi (yang
biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 7 hari,
gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran (Arief,M.2009). Tifoid merupakan
penyakit infeksi yang terjadi pada usus halus yang disebabkan oleh salmonella thypii,
penyakit ini dapat ditularkan melaui kuman, mulut atau minuman yang terkontaminasi oleh
kuman salmonella thypii (Azis H.A. 2006). Thypoid abdominalis adalah penyakit infeksi akut
yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu
minggu, gangguan pada pencernaan, dan gangguan kesadaran. (Nursalam.2005) Tifoid
adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella thypi dan
salmonella para thypi A, B, C. Sinonim dari penyakit ini adalah Typhoid dan paratyphoid
abdominalis (Sudoyo, A 2009). Tifoid adalah penyakit infeksi pada usus halus, tifoid disebut
juga paratyphoid fever, enteric fever, typhus dan para typhus abdominalis (Seoparman,
2007). Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa demam tifoid adalah suatu
penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh salmonella type A, B dan C yang dapat
menular melalui oral, fecal, makanan dan minuman yang terkontaminasi.
B.

ETIOLOGI

Salmonella thypi
dengan Salmonela yang lain adalah bakteri Gram negative, mempunyai flagella, tidak
berkapsul, tidak membentuk
spora, fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatic (O) yang terdiri dari oligosakarida,
flagelar antigen
(H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polosakarida.
Mempunyai makromolekuler lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari
dinding sel dan dinamakan endotoksin.
Salmonella thypi
juga dapat memperoleh plasmid factor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple
antibiotic. (Nanda Nic-Noc,2013)
C.

TANDA DAN GEJALA


Tanda dan gejala dari demam thypoid sebagai berikut (Nanda NIC- NOC. 2013) :

1.

Gejala pada anak : Inkubasi anatara 5-40 hari dengan rata-rata 10-14 hari. 2.

Demam meninggi sampai akhir minggu pertama 3.

Demam turun pada minggu ke empat, kecuali demam tidak tertangani akan menyebabkan
shock, Stupor dan koma. 4.

Ruam muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan selam 2-3 hari 5.

Nyeri kepala 6.

Nyeri perut 7.

Kembung 8.

Mual muntah 9.
Diare 10.

Konstipasi 11.

Pusing 12.

Nyeri otot 13.

Batuk 14.

Epistaksis 15.

Bradikardi 16.

Lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepid an ujung merah serta tremor) 17.

Hepatomegali 18.

Splenomegali 19.

Meteroismus 20.

Gangguan mental berupa samnolen 21.

Delirium atau psikosis 22.

Dapat timbul dengan gejala yang tidak tipikal terutama pada bayi muda sebagai penyakit
demam akut dengan diseryai syok dan hipotermia
PATOFISIOLOGI
Kuman Salmonella masuk bersama makanan/minuman. Setelah berada dalam usus halus
kemudian mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus (terutama Plak Peyer) dan
jaringan limfoid mesenterika. Setelah menyebabkan peradangan dan nekrose setempat,
kuman lewat pembuluh limfe masuk ke aliran darah (terjadi bakteremi primer) menuju ke
organ-organ terutama hati dan limfa. Kuman yang tidak difagosit akan berkembang biak
dalam hati dan limfa sehingga organ tersebut membesar disertai nyeri pada perabaan. Pada
akhir masa inkubasi (5-9 hari) kuman kembali masuk dalam darah (bakteremi sekunder) dan
menyebar keseluruh tubuh terutama kedalam kelenjar limfoid usus halus, menimbulkan tukak
berbentuk lonjong di atas Plak Peyer. Tukak tersebut dapat mengakibatkan perdarahan dan
perforasi usus. Pada masa bakteremi ini, kuman mengeluarkan endotoksin yang mempunyai
peran membantu proses peradangan lokal dimana kuman ini berkembang. Demam tifoid
disebabkan karena Salmonella Typhosa dan endotoksinnya merangsang sintesa dan pelepasan
zat pirogen oleh lekosit pada jaringan yang meradang. Zat pirogen ini akan beredar dalam
darah dan mempengaruhi pusat termoregulator di hipotalamus yang menimbulkan gejala
demam. (PPNI Klaten. 2009)
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Menurut widodo 2007 Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah
pemeriksaan laboratorium, yang terdiri dari :
1.

Pemeriksaan leukosit

Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan
limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada
kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada
batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi
atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosa demam typhoid.
2.

Pemeriksaan Sgot Dan Sgpt Sgot Dan Sgpt pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi
dapat kembali normal setelah sembuhnya typhoid.
3.

Biakan darah Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila
biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini
dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :
a.

Teknik pemeriksaan Laboratorium

Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini
disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan
darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.
b.
Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit

Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan berkurang
pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali.
c.

Vaksinasi di masa lampau

Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi dalam darah
klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif.
4.

Pengobatan dengan obat anti mikroba

Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba pertumbuhan
kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.
5.

Uji Widal Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan typhoid
juga terdapat pada orang yang pernah

divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita tifoid. Akibat
infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu : a.

Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman). b.
Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman). c.

Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman) Dari
ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosa,
makin tinggi titernya makin besar klien menderita tifoid. Uji widal dilakukan untuk
mendeteksi adanya antibody terhadap kuman Salmonella typhi. Uji widal dikatakan bernilai
bila terdapat kenaikan titer widal 4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer
widal O > 1/320, titer H > 1/60 (dalam sekali pemeriksaan) Gall kultur dengan media carr
empedu merupakan diagnosa pasti demam tifoid bila hasilnya positif, namun demikian, bila
hasil kultur negatif belum menyingkirkan kemungkinan tifoid, karena beberapa alasan, yaitu
pengaruh pemberian antibiotika, sampel yang tidak mencukupi. Sesuai dengan kemampuan
SDM dan tingkat perjalanan penyakit demam tifoid, maka diagnosis klinis demam tifoid
diklasifikasikan atas: 1.

Possible Case dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam,gangguan
saluran cerna, gangguan pola buang air besar dan hepato/splenomegali. Sindrom demam
tifoid belum lengkap. Diagnosis ini hanya dibuat pada pelayanan kesehatan dasar. 2.

Probable Case telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir lengkap, serta didukung
oleh gambaran laboratorium yang menyokong demam tifoid (titer widal O > 1/160 atau H >
1/160 satu kali pemeriksaan). 3.

Definite Case Diagnosis pasti, ditemukan S. Thypi pada pemeriksaan biakan ataupositif
S.Thypi pada pemeriksaan PCR atau terdapat kenaikan titerWidal 4 kali lipat (pada
pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O> 1/320, H > 1/640 (pada pemeriksaan sekali)
PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan demam tifoid masih menganut trilogi penatalaksanaan yang meliputi
: istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (baik simptomatik maupun suportif),
serta pemberian antimikroba. Selain itu diperlukan pula tatalaksana komplikasi demam tifoid
yang meliputi komplikasi intestinal maupun ekstraintestinal. 1.

Istirahat dan Perawatan Bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat


penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan dilakukan sepenuhnya di tempat seperti
makan, minum, mandi, dan BAB/BAK. Posisi pasien diawasi untuk mencegah dukubitus dan
pnemonia orthostatik serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga. 2.

Diet dan Terapi Penunjang Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat. a.

Memberikan diet bebas yang rendah serat pada penderita tanpa gejala meteorismus, dan diet
bubur saring pada penderita dengan meteorismus. Hal ini dilakukan untuk menghindari
komplikasi perdarahan saluran cerna dan perforasi usus. Gizi penderita juga diperhatikan
agar meningkatkan keadaan umum dan mempercepat proses penyembuhan. b.

Cairan yang adequat untuk mencegah dehidrasi akibat muntah dan diare. c.

Primperan (metoclopramide) diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah dengan dosis 3
x 5 ml setiap sebelum makan dan dapat dihentikan kapan saja penderita sudah tidak
mengalami mual lagi. 3.

Pemberian Antimikroba Obat



obat antimikroba yang sering digunakan dalam melakukan tatalaksana tifoid adalah: Pada
demam typhoid, obat pilihan yang digunakan adalah chloramphenicol dengan dosis 4 x 500
mg per hari dapat diberikan secara oral maupun intravena, diberikan sampai dengan 7 hari
bebas panas. Chloramphenicol bekerja dengan mengikat unit ribosom dari kuman salmonella,
menghambat pertumbuhannya dengan menghambat sintesis protein. Chloramphenicol
memiliki spectrum gram negative dan positif. Efek samping penggunaan klorampenikol
adalah terjadi agranulositosis. Sementara kerugian penggunaan klorampenikol adalah angka
kekambuhan yang tinggi (5-7%), penggunaan jangka panjang (14 hari), dan seringkali
menyebabkan timbulnya karier. Tiamfenikol, dosis dan efektifitasnya pada demam tofoid
sama dengan kloramfenikol yaitu 4 x 500 mg, dan demam rata-rata menurun

pada hari ke-5 sampai ke-6. Komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia
aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Ampisillin dan Amoksisilin,
kemampuan untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan kloramfenikol, dengan
dosis 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu. Trimetroprim-sulfamethoxazole, (TMP-SMZ)
dapat digunakan secara oral atau intravena pada dewasa pada dosis 160 mg TMP ditambah
800 mg SMZ dua kali tiap hari pada dewasa. Sefalosforin Generasi Ketiga, yaitu ceftriaxon
dengan dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari,
diberikan selama 3-5 hari. Golongan Flurokuinolon (Norfloksasin, siprofloksasin). Secara
relatif obat

obatan golongan ini tidak mahal, dapat ditoleransi dengan baik, dan lebih efektif
dibandingkan obat

obatan lini pertama sebelumnya (klorampenicol, ampicilin, amoksisilin dan trimethoprim-
sulfamethoxazole). Fluroquinolon memiliki kemampuan untuk menembus jaringan yang
baik, sehingga mampu membunuh S. Thypi yang berada dalam stadium statis dalam
monosit/makrophag dan dapat mencapai level obat yang lebih tinggi dalam gallblader
dibanding dengan obat yang lain. Obat golongan ini mampu memberikan respon terapeutik
yang cepat, seperti menurunkan keluhan panas dan gejala lain dalam 3 sampai 5 hari.
Penggunaan obat golongan fluriquinolon juga dapat menurunkan kemungkinan kejadian
karier pasca pengobatan. Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan pada keadaan
tertentu seperti toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik. Pada wanita hamil,
kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 karena menyebabkan partus prematur,
kematian fetus intrauterin, dan grey syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan
pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik. Obat yang dianjurkan adalah
ampisilin, amoksisilin, dan ceftriaxon. (Yudhistira.W.2009)
H.

PENGKAJIAN
a.

Pengumpulan data

1)

Identitas klien

Meliputi nama,, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, suku/bangsa, agama, status
perkawinan, tanggal masuk rumah sakit, nomor register dan diagnosa medik. 2)

Keluhan utama

Keluhan utama demam tifoid adalah panas atau demam yang tidak turun-turun, nyeri perut,
pusing kepala, mual, muntah, anoreksia, diare serta penurunan kesadaran.

3)

Riwayat penyakit sekarang

Peningkatan suhu tubuh karena masuknya kuman salmonella typhi ke dalam tubuh. 4)

Riwayat penyakit dahulu

Apakah sebelumnya pernah sakit demam tifoid.

5)
Riwayat penyakit keluarga Apakah keluarga pernah menderita hipertensi, diabetes melitus. 6)

Pola-pola fungsi kesehatan a.

Pola nutrisi dan metabolisme

Klien akan mengalami penurunan nafsu makan karena mual dan muntah saat makan sehingga
makan hanya sedikit bahkan tidak makan sama sekali. b.

Pola eliminasi Eliminasi alvi. Klien dapat mengalami konstipasi oleh karena tirah baring
lama. Sedangkan eliminasi urine tidak mengalami gangguan, hanya warna urine menjadi
kuning kecoklatan. Klien dengan demam tifoid terjadi peningkatan suhu tubuh yang
berakibat keringat banyak keluar dan merasa haus, sehingga dapat meningkatkan kebutuhan
cairan tubuh. c.

Pola aktivitas dan latihan Aktivitas klien akan terganggu karena harus tirah baring total, agar
tidak terjadi komplikasi maka segala kebutuhan klien dibantu. d.

Pola tidur dan istirahat Pola tidur dan istirahat terganggu sehubungan peningkatan suhu
tubuh. e.

Pola persepsi dan konsep diri Biasanya terjadi kecemasan pada orang tua terhadap keadaan
penyakitanaknya. f.

Pola sensori dan kognitif Pada penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran dan penglihatan
umumnya tidak mengalami kelainan serta tidak terdapat suatu waham pad klien. g.

Pola hubungan dan peran Hubungan dengan orang lain terganggu sehubungan klien di rawat
di rumah sakit dan klien harus bed rest total. h.

Pola penanggulangan stress Biasanya orang tua akan nampak cemas.


10

7)

Pemeriksaan fisik a.

Keadaan umum Didapatkan klien tampak lemah, suhu tubuh meningkat 38



41
0
C, muka kemerahan. b.

Tingkat kesadaran Dapat terjadi penurunan kesadaran (apatis). c.

Sistem respirasi Pernafasan rata-rata ada peningkatan, nafas cepat dan dalam dengan
gambaran seperti bronchitis. d.

Sistem kardiovaskuler Terjadi penurunan tekanan darah, bradikardi relatif, hemoglobin


rendah. e.

Sistem integumen Kulit kering, turgor kullit menurun, muka tampak pucat, rambut agak
kusam f.

Sistem gastrointestinal Bibir kering pecah-pecah, mukosa mulut kering, lidah kotor (khas),
mual, muntah, anoreksia, dan konstipasi, nyeri perut, perut terasa tidak enak, peristaltik usus
meningkat. g.

Sistem muskuloskeletal Klien lemah, terasa lelah tapi tidak didapatkan adanya kelainan. h.

Sistem abdomen Saat palpasi didapatkan limpa dan hati membesar dengan konsistensi lunak
serta nyeri tekan pada abdomen. Pada perkusi didapatkan perut kembung serta pada
auskultasi peristaltik usus meningkat.
I.
Diagnosa Keperawatan
1.

Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi kuman salmonella thypii. 2.

Nyeri berhubungan dengan agens cidera biologi. 3.

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual muntah 4.

Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake yang tidak adekuat dan
peningkatan suhu tubuh. 5.

Konstipasi berhubungan dengan factor fisiologis (perubahan pola makan) 6.

Nausea berhubungan dengan rasa makanan/minuman yang tidak enak di lidah

11

J.

INTERVENSI
1.

Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi kuman salmonella thypii.

Defenisi : peningkatan suhu tubuh diatas kisaran normal Tujuan : thermoregulation Criteria
hasil : a.

Suhu tubuh dalam rentang normal b.


Nadi dan RR dalam rentang normal c.

Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing Intervensi : a.

Observai tanda-tanda vital b.

Anjurkan kompres hangat pada lipatan paha dan aksila c.

Anjurkan banyak minum air putih d.

Berikan antiperetik dan antibiotic (Aplikasi Nanda NIC-NOC.2013) 2.

Nyeri berhubungan dengan agens cedera biologis Defenisi : Pengalaman sensori dan
emosional yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Tujuan : a.

Pain level b.

Pain control c.

Comfort level Kriteria hasil : a.

Mampu mngontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik nonfarmakologi
untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan). b.

Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri c.

Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) d.

Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri tulang berkurang Intervensi : 1.

Pain management a.
Lakukan pengakjian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan faktor prespitasi. b.

Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan c.

Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non faramakologi dan interpersonal) d.

Ajarkan tentang teknik non faramakologi e.

Berikan analgetik untuk mengurangi nyer

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake yang tidak
adekuat. Defenisi : asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolic Tujuan :
a.

Nutritional status b.

nutristional status : food and fluid intake c.

Intake d.

Weight control Kriteri hasil : a.

Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan b.

Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan c.

Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi d.

Tidak ada tanda-tanda malnutrisi e.

Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan f.


Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti Intervensi : 1.

Nutrition Management a.

Kaji adanya alergi makanan b.

Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan
pasien c.

Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake fe d.

Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C 2.

Nutrition Monitoring a.

Monitor adanya penurunan berat badan b.

Monitor lingkungan selama makan c.

Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi d.

Monitor turgor kulit e.

Monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar Ht. (Aplikasi Nanda NIC-NOC.2013) 4.

Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake yang tidak adekuat dan
peningkatan suhu tubuh. Defenisi : Beresiko mengalami dehidrasi vaskluar, selular, atau
intraseluler. Tujuan : a.

Fluid balance

Hydration c.

Nutritional status : food and Fluid intake Criteria hasil : a.


Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal, HT normal b.

Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal c.

Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas turgor kulit baik, membrane mukosa lembab,
tidak ada rasa haus yang berlebihan Intervensi : 1.

Fluid Management a.

Monitor vital sign b.

Monitor masukan makanan/caoran dan hitung intake kalori harian c.

Kolaborasikan pemberian cairan intravena 2.

Hypovolemia Management a.

Monitor status cairan termasuk intake dan output cairan b.

Monitor hb dan hematokrit c.

Dorong pasien untuk menambah intake oral (Aplikasi Nanda NIC-NOC.2013) 5.

Konstipasi berhubungan dengan factor fisiologis (perubahan pola makan) Defenisi :


penurunan pada frekwensi normal defekasi yang disertai oleh kesulitan atau pengeluaran
tidak lengkap feses/atau pengeluaran feses yang kering, keras, dan banyak. Tujuan : a.

Bowel elimination b.

Hydration Criteria hasil : a.

Mempertahankan bentuk feses lunak setiap 1



3 hari b.

Bebas dari ketidaknyamanan dan konstipasi c.

Mengidentifikasi indicator untuk mencegah konstipasi d.

Feses lunak dan berbentuk Intervensi : a.

Monitor tanda dan gejala konstipasi b.

Monitor bising usus c.

Identifikasi factor penyebab dan kontribuais konstipasi d.

Dukung intake cairan e.

Kolaborasikan pemberian laktasif f.

Anjurkan pasien/keluarga untuk diet tinggi serat. (Aplikasi Nanda NIC-NOC.2013) 6.

Nausea berhubungan dengan rasa makanan/minuman yang tidak enak di lidah

Defenisi : Sensasi seperti gelombang di belakang tenggorokan, epigastrium, atau abdomen


yang bersifat subyektif yang mengarah pada keinginan atau desakan untuk muntah. Tujuan :
a.

Nausea b.

Fluid volume, Risk For Dificient Criteria hasil : a.

Pasien menyatakan penyebab mual dan muntah b.

Pasien mengambil langkah untuk mengatasi episode mual dan muntah c.


Pasien mengingesti gizi yang cukup untuk mempertahankan kesehatan d.

Pasien mengambil langkah untuk meyakinkan nutrisi yang adekuat pada saat mual e.

Pasien mempertahan berat badan dalam rentang tertentu yang diharapkan. Intervensi : a.

Kaji kemampuan makan klien b.

Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering c.

Berikan nutrisi dengan diet lunak, tinggi kalori tinggi protein d.

Anjurkan untuk menghindari makanan yang menusuk hidung dan berbau tidak sedap e.

Berikan obat antiemetic sesuai anjuran f.

Ajarkan teknik relaksasi dan bantu pasien untuk menggunakan teknik tersebut selama waktu
makan

Mansjoer, Arif. (2009). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius


Simanjuntak, C. H. (2009). Demam Tifoid, Epidemiologi dan Perkembangan Penelitian. Cermin
Dunia Kedokteran No. 83. Jakarta. Nuha
Aru W, Sudoyo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
Baugh
Aziz Alimul.H. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Munusia : Aplikasi Konsep dan. Proses
Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.man D. C & Hackley, J. C. 2000.
Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan. Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC NOC Jilid 2

Anda mungkin juga menyukai