DEFINISI
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella
thypi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak
di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk,
kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri
pengolahan makanan yang masih rendah (Simanjuntak, C.H, 2009). Thypoid abdominalis
adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman Salmonella Thypi (yang
biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 7 hari,
gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran (Arief,M.2009). Tifoid merupakan
penyakit infeksi yang terjadi pada usus halus yang disebabkan oleh salmonella thypii,
penyakit ini dapat ditularkan melaui kuman, mulut atau minuman yang terkontaminasi oleh
kuman salmonella thypii (Azis H.A. 2006). Thypoid abdominalis adalah penyakit infeksi akut
yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu
minggu, gangguan pada pencernaan, dan gangguan kesadaran. (Nursalam.2005) Tifoid
adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella thypi dan
salmonella para thypi A, B, C. Sinonim dari penyakit ini adalah Typhoid dan paratyphoid
abdominalis (Sudoyo, A 2009). Tifoid adalah penyakit infeksi pada usus halus, tifoid disebut
juga paratyphoid fever, enteric fever, typhus dan para typhus abdominalis (Seoparman,
2007). Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa demam tifoid adalah suatu
penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh salmonella type A, B dan C yang dapat
menular melalui oral, fecal, makanan dan minuman yang terkontaminasi.
B.
ETIOLOGI
Salmonella thypi
dengan Salmonela yang lain adalah bakteri Gram negative, mempunyai flagella, tidak
berkapsul, tidak membentuk
spora, fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatic (O) yang terdiri dari oligosakarida,
flagelar antigen
(H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polosakarida.
Mempunyai makromolekuler lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari
dinding sel dan dinamakan endotoksin.
Salmonella thypi
juga dapat memperoleh plasmid factor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple
antibiotic. (Nanda Nic-Noc,2013)
C.
1.
Gejala pada anak : Inkubasi anatara 5-40 hari dengan rata-rata 10-14 hari. 2.
Demam turun pada minggu ke empat, kecuali demam tidak tertangani akan menyebabkan
shock, Stupor dan koma. 4.
Ruam muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan selam 2-3 hari 5.
Nyeri kepala 6.
Nyeri perut 7.
Kembung 8.
Mual muntah 9.
Diare 10.
Konstipasi 11.
Pusing 12.
Batuk 14.
Epistaksis 15.
Bradikardi 16.
Lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepid an ujung merah serta tremor) 17.
Hepatomegali 18.
Splenomegali 19.
Meteroismus 20.
Dapat timbul dengan gejala yang tidak tipikal terutama pada bayi muda sebagai penyakit
demam akut dengan diseryai syok dan hipotermia
PATOFISIOLOGI
Kuman Salmonella masuk bersama makanan/minuman. Setelah berada dalam usus halus
kemudian mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus (terutama Plak Peyer) dan
jaringan limfoid mesenterika. Setelah menyebabkan peradangan dan nekrose setempat,
kuman lewat pembuluh limfe masuk ke aliran darah (terjadi bakteremi primer) menuju ke
organ-organ terutama hati dan limfa. Kuman yang tidak difagosit akan berkembang biak
dalam hati dan limfa sehingga organ tersebut membesar disertai nyeri pada perabaan. Pada
akhir masa inkubasi (5-9 hari) kuman kembali masuk dalam darah (bakteremi sekunder) dan
menyebar keseluruh tubuh terutama kedalam kelenjar limfoid usus halus, menimbulkan tukak
berbentuk lonjong di atas Plak Peyer. Tukak tersebut dapat mengakibatkan perdarahan dan
perforasi usus. Pada masa bakteremi ini, kuman mengeluarkan endotoksin yang mempunyai
peran membantu proses peradangan lokal dimana kuman ini berkembang. Demam tifoid
disebabkan karena Salmonella Typhosa dan endotoksinnya merangsang sintesa dan pelepasan
zat pirogen oleh lekosit pada jaringan yang meradang. Zat pirogen ini akan beredar dalam
darah dan mempengaruhi pusat termoregulator di hipotalamus yang menimbulkan gejala
demam. (PPNI Klaten. 2009)
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Menurut widodo 2007 Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah
pemeriksaan laboratorium, yang terdiri dari :
1.
Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan
limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada
kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada
batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi
atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosa demam typhoid.
2.
Pemeriksaan Sgot Dan Sgpt Sgot Dan Sgpt pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi
dapat kembali normal setelah sembuhnya typhoid.
3.
Biakan darah Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila
biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini
dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :
a.
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini
disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan
darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.
b.
Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan berkurang
pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali.
c.
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi dalam darah
klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif.
4.
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba pertumbuhan
kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.
5.
Uji Widal Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan typhoid
juga terdapat pada orang yang pernah
divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita tifoid. Akibat
infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu : a.
Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman). b.
Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman). c.
Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman) Dari
ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosa,
makin tinggi titernya makin besar klien menderita tifoid. Uji widal dilakukan untuk
mendeteksi adanya antibody terhadap kuman Salmonella typhi. Uji widal dikatakan bernilai
bila terdapat kenaikan titer widal 4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer
widal O > 1/320, titer H > 1/60 (dalam sekali pemeriksaan) Gall kultur dengan media carr
empedu merupakan diagnosa pasti demam tifoid bila hasilnya positif, namun demikian, bila
hasil kultur negatif belum menyingkirkan kemungkinan tifoid, karena beberapa alasan, yaitu
pengaruh pemberian antibiotika, sampel yang tidak mencukupi. Sesuai dengan kemampuan
SDM dan tingkat perjalanan penyakit demam tifoid, maka diagnosis klinis demam tifoid
diklasifikasikan atas: 1.
Possible Case dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam,gangguan
saluran cerna, gangguan pola buang air besar dan hepato/splenomegali. Sindrom demam
tifoid belum lengkap. Diagnosis ini hanya dibuat pada pelayanan kesehatan dasar. 2.
Probable Case telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir lengkap, serta didukung
oleh gambaran laboratorium yang menyokong demam tifoid (titer widal O > 1/160 atau H >
1/160 satu kali pemeriksaan). 3.
Definite Case Diagnosis pasti, ditemukan S. Thypi pada pemeriksaan biakan ataupositif
S.Thypi pada pemeriksaan PCR atau terdapat kenaikan titerWidal 4 kali lipat (pada
pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O> 1/320, H > 1/640 (pada pemeriksaan sekali)
PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan demam tifoid masih menganut trilogi penatalaksanaan yang meliputi
: istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (baik simptomatik maupun suportif),
serta pemberian antimikroba. Selain itu diperlukan pula tatalaksana komplikasi demam tifoid
yang meliputi komplikasi intestinal maupun ekstraintestinal. 1.
Diet dan Terapi Penunjang Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat. a.
Memberikan diet bebas yang rendah serat pada penderita tanpa gejala meteorismus, dan diet
bubur saring pada penderita dengan meteorismus. Hal ini dilakukan untuk menghindari
komplikasi perdarahan saluran cerna dan perforasi usus. Gizi penderita juga diperhatikan
agar meningkatkan keadaan umum dan mempercepat proses penyembuhan. b.
Cairan yang adequat untuk mencegah dehidrasi akibat muntah dan diare. c.
Primperan (metoclopramide) diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah dengan dosis 3
x 5 ml setiap sebelum makan dan dapat dihentikan kapan saja penderita sudah tidak
mengalami mual lagi. 3.
pada hari ke-5 sampai ke-6. Komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia
aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Ampisillin dan Amoksisilin,
kemampuan untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan kloramfenikol, dengan
dosis 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu. Trimetroprim-sulfamethoxazole, (TMP-SMZ)
dapat digunakan secara oral atau intravena pada dewasa pada dosis 160 mg TMP ditambah
800 mg SMZ dua kali tiap hari pada dewasa. Sefalosforin Generasi Ketiga, yaitu ceftriaxon
dengan dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari,
diberikan selama 3-5 hari. Golongan Flurokuinolon (Norfloksasin, siprofloksasin). Secara
relatif obat
–
obatan golongan ini tidak mahal, dapat ditoleransi dengan baik, dan lebih efektif
dibandingkan obat
–
obatan lini pertama sebelumnya (klorampenicol, ampicilin, amoksisilin dan trimethoprim-
sulfamethoxazole). Fluroquinolon memiliki kemampuan untuk menembus jaringan yang
baik, sehingga mampu membunuh S. Thypi yang berada dalam stadium statis dalam
monosit/makrophag dan dapat mencapai level obat yang lebih tinggi dalam gallblader
dibanding dengan obat yang lain. Obat golongan ini mampu memberikan respon terapeutik
yang cepat, seperti menurunkan keluhan panas dan gejala lain dalam 3 sampai 5 hari.
Penggunaan obat golongan fluriquinolon juga dapat menurunkan kemungkinan kejadian
karier pasca pengobatan. Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan pada keadaan
tertentu seperti toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik. Pada wanita hamil,
kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 karena menyebabkan partus prematur,
kematian fetus intrauterin, dan grey syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan
pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik. Obat yang dianjurkan adalah
ampisilin, amoksisilin, dan ceftriaxon. (Yudhistira.W.2009)
H.
PENGKAJIAN
a.
Pengumpulan data
1)
Identitas klien
Meliputi nama,, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, suku/bangsa, agama, status
perkawinan, tanggal masuk rumah sakit, nomor register dan diagnosa medik. 2)
Keluhan utama
Keluhan utama demam tifoid adalah panas atau demam yang tidak turun-turun, nyeri perut,
pusing kepala, mual, muntah, anoreksia, diare serta penurunan kesadaran.
3)
Peningkatan suhu tubuh karena masuknya kuman salmonella typhi ke dalam tubuh. 4)
5)
Riwayat penyakit keluarga Apakah keluarga pernah menderita hipertensi, diabetes melitus. 6)
Klien akan mengalami penurunan nafsu makan karena mual dan muntah saat makan sehingga
makan hanya sedikit bahkan tidak makan sama sekali. b.
Pola eliminasi Eliminasi alvi. Klien dapat mengalami konstipasi oleh karena tirah baring
lama. Sedangkan eliminasi urine tidak mengalami gangguan, hanya warna urine menjadi
kuning kecoklatan. Klien dengan demam tifoid terjadi peningkatan suhu tubuh yang
berakibat keringat banyak keluar dan merasa haus, sehingga dapat meningkatkan kebutuhan
cairan tubuh. c.
Pola aktivitas dan latihan Aktivitas klien akan terganggu karena harus tirah baring total, agar
tidak terjadi komplikasi maka segala kebutuhan klien dibantu. d.
Pola tidur dan istirahat Pola tidur dan istirahat terganggu sehubungan peningkatan suhu
tubuh. e.
Pola persepsi dan konsep diri Biasanya terjadi kecemasan pada orang tua terhadap keadaan
penyakitanaknya. f.
Pola sensori dan kognitif Pada penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran dan penglihatan
umumnya tidak mengalami kelainan serta tidak terdapat suatu waham pad klien. g.
Pola hubungan dan peran Hubungan dengan orang lain terganggu sehubungan klien di rawat
di rumah sakit dan klien harus bed rest total. h.
7)
Pemeriksaan fisik a.
Sistem respirasi Pernafasan rata-rata ada peningkatan, nafas cepat dan dalam dengan
gambaran seperti bronchitis. d.
Sistem integumen Kulit kering, turgor kullit menurun, muka tampak pucat, rambut agak
kusam f.
Sistem gastrointestinal Bibir kering pecah-pecah, mukosa mulut kering, lidah kotor (khas),
mual, muntah, anoreksia, dan konstipasi, nyeri perut, perut terasa tidak enak, peristaltik usus
meningkat. g.
Sistem muskuloskeletal Klien lemah, terasa lelah tapi tidak didapatkan adanya kelainan. h.
Sistem abdomen Saat palpasi didapatkan limpa dan hati membesar dengan konsistensi lunak
serta nyeri tekan pada abdomen. Pada perkusi didapatkan perut kembung serta pada
auskultasi peristaltik usus meningkat.
I.
Diagnosa Keperawatan
1.
Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake yang tidak adekuat dan
peningkatan suhu tubuh. 5.
11
J.
INTERVENSI
1.
Defenisi : peningkatan suhu tubuh diatas kisaran normal Tujuan : thermoregulation Criteria
hasil : a.
Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing Intervensi : a.
Nyeri berhubungan dengan agens cedera biologis Defenisi : Pengalaman sensori dan
emosional yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Tujuan : a.
Pain level b.
Pain control c.
Mampu mngontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik nonfarmakologi
untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan). b.
Pain management a.
Lakukan pengakjian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan faktor prespitasi. b.
Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non faramakologi dan interpersonal) d.
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake yang tidak
adekuat. Defenisi : asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolic Tujuan :
a.
Nutritional status b.
Intake d.
Nutrition Management a.
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan
pasien c.
Nutrition Monitoring a.
Monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar Ht. (Aplikasi Nanda NIC-NOC.2013) 4.
Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake yang tidak adekuat dan
peningkatan suhu tubuh. Defenisi : Beresiko mengalami dehidrasi vaskluar, selular, atau
intraseluler. Tujuan : a.
Fluid balance
Hydration c.
Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas turgor kulit baik, membrane mukosa lembab,
tidak ada rasa haus yang berlebihan Intervensi : 1.
Fluid Management a.
Hypovolemia Management a.
Bowel elimination b.
Nausea b.
Pasien mengambil langkah untuk meyakinkan nutrisi yang adekuat pada saat mual e.
Pasien mempertahan berat badan dalam rentang tertentu yang diharapkan. Intervensi : a.
Anjurkan untuk menghindari makanan yang menusuk hidung dan berbau tidak sedap e.
Ajarkan teknik relaksasi dan bantu pasien untuk menggunakan teknik tersebut selama waktu
makan