Anda di halaman 1dari 8

1.

Teknologi penananman kentang hidroponik

Gambar 1. skema teknik hidroponik


Budidaya kentang dilakukan pada sistem hidroponik yang dibangun. Umbi bibit
kentang terlebih dahulu ditanam di polybag dengan media tanam arang sekam. Pada 8
hari setelah tanam (HST), tanaman kentang dipindahkan ke bedeng tanaman sistem
hidroponik yang telah dibangun. Terdapat dua sistem hidroponik yang digunakan untuk
dua nilai Daya Hantar Listrik (DHL) larutan nutrisi yang berbeda, yaitu 1.8 mS, dan 2.5
mS dengan pH larutan nutrisi 5.5 – 6.5. Larutan nutrisi yang digunakan adalah nutrisi
AB Mix dengan perbandingan komposisi A:B adalah 1:1. Setiap hari nilai DHL larutan
nutrisi dimonitor dan diukur secara manual. Apabila nilai DHL turun, maka larutan
nutrisi ditambahkan larutan pekat hingga mencapai nilai DHL larutan nutrisi yang
dikehendaki.
Pemeliharaan tanaman dilakukan untuk menjaga agar tanaman dapat tumbuh
dengan baik. Pemeliharaan yang dilakukan adalah penyemprotan fungisida dan
insektisida untuk mencegah dan mengurangi serangan patogen dan hama pada tanaman
kentang. Pengamatan dan pengukuran dilakukan mulai dari awal penanaman sampai
panen. Parameter yang diukur antara lain : suhu, radiasi matahari, kelembaban udara
relatif, tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah umbi, dan berat umbi. Pengukuran suhu,
radiasi matahari, dan kelembaban udara relatif dilakukan pada saat fase vegetatif dan
fase tuberisasi tanaman. Sementara tinggi tanaman dan jumlah daun diukur setiap satu
minggu sekali mulai dari 8 HST sampai 57 HST karena sudah tidak terjadi
pertambahan tinggi dan jumlah daun pada tanaman kentang. Sedangkan jumlah dan
berat umbi diukur pada saat panen dilakukan, yaitu pada 76 HST.
Tanaman kentang yang ditanam pada sistem hidroponik yang dibangun dapat
tumbuh dengan baik dan mampu menghasilkan umbi. Namun, kondisi suhu daerah
perakaran yang tinggi menyebabkan pertumbuhan dan hasil tanaman kentang menjadi
tidak maksimal. Menurut Sumartono & Sumarni (2013), suhu tinggi, keadaan berawan,
dan kelembaban udara yang rendah akan menghambat pertumbuhan, pembentukan
umbi, dan perkembangan bunga. Tinggi tanaman dan jumlah daun merupakan
parameter yang menjadi indikator pertumbuhan vegetatif tanaman. Pertumbuhan
vegetatif tanaman tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara tanaman yang
ditanam dengan DHL larutan nutrisi 1.8 mS maupun 2.5 mS.
Tanaman kentang dipanen pada 76 HST, yaitu setelah sebagian besar tanaman
mati. Penanaman secara hidroponik dengan DHL larutan nutrisi 1.8 mS menghasilkan
rata-rata 4.3 umbi per tanaman dengan rata-rata berat umbi 77.2 g per tanaman.
Sedangkan tanaman yang ditanam dengan DHL larutan nutrisi 2.5 mS menghasilkan
rata-rata 4.6 umbi per tanaman dengan rata-rata berat umbi 60.0 g per tanaman (Tabel
2). Dari hasil tersebut terlihat bahwa tanaman kentang yang ditanam pada DHL larutan
nutrisi 1.8 mS menghasilkan berat umbi per tanaman yang lebih tinggi dibandingkan
dengan yang ditanam pada DHL larutan nutrisi 2.5 mS.
Tanaman kentang mampu menghasilkan umbi meskipun suhu daerah perakaran
pada bedeng tanaman mencapai 30.4°C pada fase tuberisasi. Sumartono & Sumarni
(2013) menyatakan bahwa suhu yang tinggi, terutama pada malam hari menyebabkan
pertumbuhan lebih banyak terjadi pada bagian tanaman di atas tanah daripada dibagian
bawah tanah sehingga tanaman kentang menghasilkan umbi dalam jumlah yang sedikit.
Dalam penelitian Sumarni et al. (2013b), tanaman kentang kultivar Granola yang
ditanam secara aeroponik dengan perlakuan zone cooling pada suhu 20°C dan DHL
larutan nutrisi 2.5 mS pada fase tuberisasi hanya mampu menghasilkan ratarata 1.33
umbi per tanaman dengan rata-rata berat umbi 66.5 mg per tanaman. Sementara,
Molders et al. (2012) menanam kentang kultivar Anabelle secara hidroponik dengan
sistem NFT pada suhu lingkungan 20°C dan DHL larutan nutrisi 1.8 mS mampu
menghasilkan rata-rata jumlah umbi 10.8 umbi per tanaman dan rata-rata berat umbi 75
g per tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa sistem hidroponik yang dibangun sudah
dapat digunakan untuk budidaya tanaman kentang meskipun suhu lingkungan dan suhu
daerah perakaran tanaman masih tergolong tinggi bagi tanaman kentang.

Bayu Suharto, Yohanes. 2016. Pengembangan Sistem Hidroponik untuk Budidaya Tanaman
Kentang. Jurnal keteknikan Pertanian, Vol. 4 No. 2, p 211-218
2. Teknologi LEISA

Gambar 2. pengaplikasian sistem leisa


Praktek budidaya kentang belum menggunakan sistim penjaminan mutu, sebab
penggunaan fungisida dan insektisida masih menjadi andalan petani Candikuning Kec.
Baturiti Kab. Tabanan. Berdasarkan hasil penelitian Setiyo et al., 2009, pemberian
kompos pada demplot budidaya kentang sangat efektif mendukung proses bioremediasi
residu fungisida. Jenis dan dosis kompos yang diaplikasikan sebagai pupuk organik
yang mendukung proses bioremediasi pada budidaya kentang varietas granola sangat
penting untuk dikaji lebi lanjut untuk optimasi proses bioremediasi itu sediri.
Selain itu, mikroba pada kompos juga memiliki kemampuannya mendegradasi
bahan organik menjadi unsure hara yang tersedia bagi tanaman. sehingga dapat
meningkatkan kandungan unsure hara makro dan mikro di lahan. Penambahan pupuk
kompos kotoran ayam dan kotoran sapi dengan dosis 10 ton/ha, 15 ton/ha, 20 ton/ha
dan 25 ton/ha menyebabkan lahan semakin subur, karena pada semua plot percobaan
terjadi peningkatan kandungan bahan organic. Kandungan hara utama (karbon,
nitrogen, phospat, kalium) dari plot-plot percobaan setelah kentang di panen tetap pada
level tinggi sampai sangat tinggi (Setiyo, et al., 2014).
Penggunaan kompos sebagai pupuk organik merupakan upaya implementasi sistem
LEISA, penerapan sistem ini dapat (1) meningkatkan proses perbaikan kesehatan lahan
dengan proses bioremediasi secara in-situ, (2) peningkatan kesuburan lahan dengan
proses biodegradasi kompos oleh mikroba menjadi unsure hara yang tersedia bagi
tanaman, dan (3) perbaikan sifat fisik tanah. Secara umum sistem LEISA akan secara
tidak langsung mendukung program swasembada dan ketahanan pangan yang
dicanangkan oleh pemerintah RI terutama peningkatan produktifitas dan kualitas hasil
budidaya tanaman pangan. Optimalisasi sitem LEISA dan bioremediasi secara in-situ di
lahan budidaya kentang konsumsi perlu suatu kajian secara mendalam.
Pemupukan menggunakan kompos adalah salah satu praktek budidaya yang baik
(Good Agriculture Practices atau GAP, praktek ini juga sesuai sistem low external input
on sustainable agriculture atau LEISA. Pada penelitian Strasnas 2013 dan 2014,
mikroba yang pada kompos memiliki kemampuan meningkatkan ketersediaan unsure
hara makro sampai pada tingkatan tinggi s/d sangat tinggi (Setiyo et al., 2014). Rasio
karbon-nitrogen (C/N) di lahan budidaya kentang granola menurun dari 10,5 – 12,6
(awal tanam kentang) menjadi 8,5 – 9,4 (saat panen), hal ini menunjukan bahwa
mikroba pada kompos selama budidaya masih melakukan perombakan unsure hara
untuk penyusunan selnya.
Penerapan sistem LEISA pada budidaya kentang dengan mempergunakan pupuk
kompos kotoran ayam dosis 15 - 25 ton/ha mampu memberikan dampak terjadinya
peningkatan kesuburan lahan. Namun, mineral-mineral organic pendukung kesuburan
lahan ini tidak mampu menyatukan partikel-partikel tanah jenis andosol, sehingga
struktur tanah di lahan percobaan tetap tidak berstruktur, partikel-partikel tanah saling
lepas dan tidak membentuk sebuah agregat tanah.
Porositas tanah, kadar air kapasitas lapang dan titik layu permanen untuk tanaman
kentang, kapasitas penahanan air, serta berat jenis tanah di zone perakaran yanaman
kentang Secara umum dosis penggunaan kompos sebagai pupuk organic jika
penggunaannya semakin banyak maka parameter-parameter sifat fisik tanah akan
semakin membaik, hal ini sesuai dengan hasil penelitian (Arsa et al., 2013, Setiyo et al.
2013, Setiyo et al., 2014). Sekam pada kompos kotoran ayam agak sulit terdekomposisi
menajadi mineral-mineral penyusun fraksi debu, hal ini mengakibatkan jumlah pori-
pori makro meningkat dan diikuti dengan penurunan berat jenis tanah. Sedangkan
mineral-mineral seperti K+ , Ca+ , Fe+2, Al+ dan kation lainnya sebagai penyusun
fraksi debu meningkatkan jumlah pori mikro yang diikuti dengan peningkatan kadar air
kapasitas lapang dan kapasitas penahanan air oleh tanah.
Kandungan unsure hara pada tanah untuk lahan milik tiga petani yang digunakan
untuk budidaya kentang diekspresikan pada Tabel 2. Kandungan C-organik, K2O, Fe,
Ca, Al dan Mg dalam tanah sebelum ditanami kentang dan setelah pane nada
peningkatan, sehingga unsure hara hasil dekomposisi kompos sebagian tidak
dipergunakan tanaman kentang. Namun, kandungan unsure N-organik dan P2O5
kondisinya sebaliknya atau mengalami penurunan, sehingga input unsur-unsur ini dari
kompos dan pupuk NPK majemuk tidak cukup untuk pertumbuhan tanaman.
Ketersediaan air sebesar 34,53 – 40,69 % w.b , kecukupan oksigen, suhu tanah 26 – 29
o C dan pH tanah 6,8 – 6,9 adalah faktor pendukung optimalnya proses dekomposisi
kompos di lahan. Asam organic di kompos pada pH netral mempercepat proses
dekomposisi (Sutanto, 2002). Dengan jumlah unsure-unsur hara tersebut dan kapasitas
tukar kation 24,53 – 28,05 me/100 g, maka tanah di lahan percobaan diklasifikasikan
dalam kategori tanah yang subur. Tanah yang subur memiliki kandungan bahan organic
lebih dari 5 % dengan kapasitas tukar kation lebih dari 25 me/100 g.
Sistim LEISA yang diterapkan mampu memperbaiki total produksi kentang
persatuan luas dari rerata 17 ton/ha menjadi 23,22 – 27.8 ton/ha. Peningkatan
kesuburan lahan dan perbaikan sifat fisik tanah sangat relevan dengan kenaikan jumlah
umbi kentang per pohon dan persatuan luas. Pada pemupukan dengan kompos kotoran
ayam dengan dosis 15 – 25 ton/ha dengan budidaya di guludan yang ditutup mulsa
plastic HPDE warna hitam dihasilkan kecenderungan peningkatan produksi dan
kualitas umbi kentang Peningkatan produksi juga diikuti dengan pergeserran kelas
umbi kentang konsumsi yang dihasilkan, jumlah umbi kentang konsumsi hasil
penelitian 2015 adalah sebesar 16,43 – 30,44 %. Peningkatan kualitas produksi akibat
terjadinya peningkatan kualitas lahan akibat budidaya dengan sistim LEISA. Hasil
penelitian Setiyo et al., 2014, pemupukan dengan kompos juga berakibat terjadinya
proses penyehatan lahan dengan proses bioremediasi secara in-situ oleh mikroba-
mikroba yang ada pada kompos. Namun karena budidaya menggunakan bibit kelompok
G4, maka produktivitas lahan masih di bawah produktivitas jika mempergunakan bibit
kelompok G3. Produktivitas lahan untuk penggunaan bibit kelompok G3 adalah antara
28,7 – 34,3 ton/ha untuk dosis pemupukan dengan kompos kotoran ayam 15 – 25
ton/ha (Setiyo et al., 2015).

Setiyo, Yohanes , Ketut Budi Susrusa I G.A. Lani Triani, I D.G. Mayun Permana. 2015.
Pengembangan Sistim LEISA Pada Budidaya Kentang (Solanum Tuberosum L.) Konsumsi
Varietas Granola Untuk Meningkatkan Kualitas dan Produktivitas Lahan. Jurnal Ilmu
Pertanian Indonesia vol. 14 No. 2.
3. Teknologi stek

Gambar 3. Benih stek kentang


Penggunaan teknik perbanyakan cepat dalam program perbenihan kentang adalah
untuk mempersingkat waktu pengadaan benih selain meningkatkan jumlahnya dengan
kualitas yang terjaga, berbeda denganperbanyakan secara konvensional yang
membutuhkan jumlah cukup dengan waktu yang relatif panjang. Karena menurut
Lommen dan Struik (2007), dengan umbi mempunyai rasio antara 1 : 3 sampai 1 : 15,
artinya satu umbi kentang dapat menghasilkan 3 sampai 15 umbi. FAO (2008) juga
menyatakan bahwa metode perbanyakan konvensional, kentang sering rentanpatogen
seperti jamur, bakteri, dan virus, sehingga mengakibatkan kualitas yang burukdan hasil.
Ditambahkan (Öztürk danYildirim, 2010; Singh et al. 2012) perbanyakan dengan cara
konvensional memutuhkan sekitar 15% dari totalarea budidaya kentang Teknik
perbanyakan cepat merupakan metode ekstensif yang digunakan untuk meningkatkan
jumlah persediaan benih untuk perbanyakan benih lebih lanjut. Menurut Endale et al.,
(2008) teknik perbanyakan cepat memberikan tingkat penggandaan vegetative kentang
yang lebih baik bila dibandingkan metode konvensional, yang mana dengan teknik ini
memberikan multiplikasi dengan rasio (1: 40) bahkan (1: beberapa ribu per
tahun),karena setiap stek dapat menghasilkan 5 umbi atau lebih (Lommen dan Struik,
2007), dan tingkat kontaminasi yang lebih rendah,terutama dari patogen yang berasal
dari tanah dan biji. Berbeda dengan metode konvensional yang hanya memberikan
rasio penggandaan mulai dari (1: 3 )hingga1:15, dan lebih mungkin infeksi virus cepat.
Penggunaan teknik perbanyakan cepat dalam program perbenihan kentang
dimaksudkan untuk mempersingkat waktu pengadaan benih selain meningkatkan
jumlahnya dengan kualitas yang terjaga Teknik perbanyakan cepat, pada program
perbeniham, digunakan untuk (1) perbanyakan benih generasi pertama, generasi
selanjutnya dapat diperbanyak dengan cara konvensional, dan (2) mempercepat
peningkatan jumlah benih dasar atau sebagai pelaksanaan awal dari program
perbanyakan benih varietas unggul baru. Sebelum memulai program perbanyakan cepat
secara besar-besaran perlu diketahui cara terbaik yang dapat diterapkan dan termasuk
juga kondisi iklim , varietas yang akan diperbanyak serta fasilitas yang tersedia, nisbah
dari perbanyakan cepat ini. Tanaman kentang umumnya diperbanyak melalui umbi,
perbanyakan dengan umbi mempunyai rasio antara 1 : 3 sampai 1 : 15 , artinya satu
umbi kentang dapat menghasilkan 3 sampai 15 umbi. Perbandingan atau rasio ini
dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu varietas, cara bertanam dan perlakuan pada umbi
(Oztruk & Yildirin. 2010; Singh et al. 2012) Perbanyakan secara konvensional ini
dalam perbenihan kentang tidak dapat memenuhi kebutuhan pengadaan benih dalam
jumlah cukup dengan waktu yang relatif singkat. Penggunaan salah satu cara atau
kombinasi dari beberapa cara perbanyakan cepat dapat meningkatkan rasio
perbandingan menjadi 1 : 40 ( Bryan, 1981; Lommen & Struik, 2007) dimana setiap
stek dapat menghasilkan 5 umbi atau lebih.
Rerata jumlah umbi per tanaman, yang berasal dari umbi, lebih tinggi bila
dibandingkan benih asal stek batang, baik pada ukuran L, M, maupun S. Namun, rerata
jumlah umbi ini berbanding terbalik dengan rerata diameter umbi, yang mana diameter
umbi lebih besar pada benih asal stek batang. Rerata jumlah umbi yang lebih tinggi dari
tanaman asal umbi sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Neni dkk.
(2018), yang mana potensi hasil lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman genotipe
yang sama asal stek batang. Pertumbuhan tanaman asal umbi memiliki jumlah umbi
yang lebih banyak dibandingkan asal stek batang, hal ini, dikarenakan pertumbuhan
akar dan stolon didukung oleh nutrisi yang diperoleh dari umbi. Umbi kentang berperan
sebagai organ perbanyakan vegetatif dan mempunyai fungsi sebagai organ
penyimpanan karbohidrat dan nutrisi yang membantu dalam pertumbuhan dan
perkembangan tanaman, sehingga dapat tumbuh dan berkembang dengan optimum
dibandingkan tanaman asal stek, hal ini sesuai dengan pendapat Bisognin et al., (2015)
dan Navarre dan Pavek (2014).
Rerata berat umbi benih asal stek batang untuk ukuran L dan S lebih berat
dibandingkan benih asal umbi, walaupun untuk ukuran M benih asal umbi berat.
Sedangkan rerata produksi per bedengan dan per Ha, benih asal umbi lebih tinggi
dibandingkan benih asal stek batang. Benih asal stek batang maupun asal umbi,
keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Benih asal stek batang, memiliki
kelebihan yaitu:
1. umur stek2 minggus udah dapat digunakan
2. menghasilkan ukuran umbi yang besar, umur panen cukup singkat yaitu 70-80
hari setelah tanam.
sedangkan kekurangannya y a i t u :
1. benih yang berumur lebih dari 2 minggu akan berumbi sehingga akan
menurunkan hasil produksi
2. Membutuhkan perawatan yang intensif, karena tanaman hasil stek rentan mati;
3. Membutuhkan pembumbunan karena apabila tidak dibumbun, kentang yang
dihasilkanakan muncul kepermukaan sehingga kentang yang dihasilkan
berwarna hijau dan jumlah umbiyang dihasilkan sedikit.
Benih asal umbi, memiliki kelebihan yaitu
1. jumlah umbi yang dihasilkan banyak
2. kebutuhan tanaman akan jumlah air yang yang diperlukan lebih sedikit
3. mendapatkan pasokan nutrisi dari umbi sehingga tanaman tumbuh dengan
baik;
4. tidak perlu pembumbunan karena umbi yang dihasilkan tidak muncul
kepermukaan umbi yang dihasilkan memiliki ukuran yang seragam
sedangkan kekurangannya yaitu:
1. ukuran umbi tidak terlalubesar;
2. membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menunaskan umbi
3. umur panen cukup lama apabila dibandingkan dengan benih asal stek
batang,yaitu90- 120 hari setelah Tanam.
Ishartat, Erny Syarif Husen, Ratih Juliati ,Agus Santoko. 2019. PENERAPAN TEKNOLOGI STEK BENIH
KENTANG PADA KELOMPOK TANI SUKA MAKMUR DESA BALEDONO –TOSARI- PASURUAN. Seminar
Nasional Hasil Pengabdian 2622-1276.

Anda mungkin juga menyukai