The Decline of Constitusional Democracy in Indonesia Karya Herbert Feith
Herbert Feith dalam bukunya The Decline of Constitusional Democracy in Indonesia
bagian Inroduction secara garis besar membahas sejarah kemerdekaan Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan. Pembahasan dimulai dari masa kolonial Belanda masuk ke penjajahan Jepang serta masa kemerdekaan. Herbert Feith dalam buku ini mengatakan bahwa Indonesia yang pada bahasnya diklaim Hindia, memiliki korelasi saling ketergantungan. Posisi Belanda di masa kolonial sangatlah bergantung pada Indonesia. Terdapat 3 faktor yang mengakibatkan ketergantungan tersebut. Pertama, secara ekonomis sangat besar dana yang telah diinvestasikan oleh Belanda di Indonesia. Kedua, begitu banyaknya penduduk Belanda yang telah menetap di Indonesia yang mendapatkan pekerjaan. Ketiga adalah faktor psikologis, dengan menjajah Indonesia Belanda menempati posisi keempat negara penjajah terbesar tanpa menjajah Indonesia citra Belanda bisa dipandang sebelah mata. Sejarah Belanda dalam memerintah Indonesia juga dibahas di bab berikutnya. Selanjutnya terdapat bentuk kolonialisme Belanda, yang berbeda dengan negara-negara kolonial lainnya, di mana kolonialisme Belanda bersifat eksploitatif tanpa memandang status penduduk asli. Model kolonial Belanda dengan cepat direformasi ketika Jepang merebut kekuasaan di Indonesia. Herbert Feith juga menggambarkan posisi masyarakat di Indonesia pada masa pendudukan Jepang, yang selanjutnya digambarkan. Hal ini terlihat pada gerakan- gerakan persiapan kemerdekaan para Founding Fathers kita. Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia secara resmi menyatakan kemerdekaannya. Namun, bayang-bayang Belanda belum hilang di sana. Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II tidak hanya dijadikan sebagai pendorong bagi Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan, tetapi Belanda menggunakannya sebagai dorongan untuk merebut kembali kendali atas Indonesia. Hal ini dicapai melalui agresi militer oleh Belanda bekerja sama dengan pasukan Sekutu. Baru pada tahun 1950 Indonesia benar-benar melepaskan diri dari penjajahan Belanda. Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dengan syarat Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) Bab selanjutnya mengenai kondisi politik warga Indonesia pada saat 2 dasa warsa telah berubah derastis. Dari tipikal masyarkat kolonial sebagai warga yang aktif dan lebih tercerahkan menggunakan politik. Meskipun demikian, hal ini hanya terjadi dalam tokoh- tokoh yang turut ambil kiprah pada kemerdekaan Indonesia. Gejolak politk yang terjadi dalam awal kemerdekaan ini menjadi orientasi Herbert Feith. Herbert Feith dikategorikan kepemimpinan yang terjadi pada Indonesia dalam masa awal kemerdekaan. Ada 2 keterampilan, pertama keterampilan pemimpin menjadi pelaksana administrasi. Keterampilan ini umumnya digunakan dalam mengurusi segala jenis administrasi & interaksi diplomatik dan aktivitas pada luar negeri. Tipikal keterampilan ini tercermin dalam sosok Mohammad Hatta. Kedua, keterampilan pemimpin yg bisa menggalang masyarakat buat meminta dukungan, yang pada buku ini Herbert Feith menyebutnya solidarity makers, pada konteks ini Soekarno lah yg mempunyai keterampilan ini. Kemudian pada bab selanjutnya juga mulai menerangkan maksud berdasarkan buku ini yang lebih mendukung pembahasan pada pemerintahan parlementer. Ide pemerintahan parlementer dikemukakan Feith yang menurutnya cocok menggunakan tipikal rakyat Indonesia diadaptasi berdasarkan negara-negara Barat yang sukses menerapkan sistem ini. Sistem parlementer juga sebagai sebuah solusi dari 2 tipikal pemimpin yang terdapat di Indonesia pada masa itu. Secara keseluruhan Herbert Feith menyampaikan adanya kontradiksi menurut 2 tipe kepemimpinan yang terdapat di Indonesia dalam masa awal kemerdekaan. Keterampilan “administrasi” dan “penguat solidaritas” sanggup menjembatani dengan baik dalam masa itu. Perbedaan ini yang seharusnya bila bisa bersatu, Indonesia bisa sebagai negara yg perkembanganya pesat pasca kemerdekaan. Namun, yang terjadi nyatanya disparitas ini makin tidak dapat dibendung. Tujuan menurut kelompok yang bersifat “administratif” yang mementingkan ekonomi seharusnya bisa mendukung kelompok yang percaya akan “penguat solidaritas” dengan hegemoni tujuan konkret sehingga negara berfokus pada kemajuan. Berdasarkan poin diatas disini saya kurang sependapatdengan yang di utarakan Herbert Feith dalam buku ini. Saya sependapat menggunakan pakar politk Harry Benda yang menganggap pendekatan yang dipakai Herbert Feith buat mengatasi solusi atas permasalah politik pada Indonesia dalam masa itu terlalu berkiblat ke Barat. Apabila kita bandingkan dengan kondisi masa sekarang yang mana sistemnya adalah presidensial, pada kenyataaanya tidak seburuk yang ditakutkan oleh para pemikir Barat. Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi cocok atau tidaknya sistem pemerintahan pada sebuah negara adalah perilaku pemimpin dan kondisi rakyat negara tersebut dalam masa itu