Anda di halaman 1dari 2

Kadek Asriyani/216322006

Tugas Paper Mingguan Historiografi Pascakolonial


Kekerasan Budaya Pasca 1965
Wijaya Herlambang

Buku ini terbagi atas delapan bab yang akan dipaparkan berdasarkan hasil pembacaan
saya. Bagian pertama (bab 1 dan 2) membahas tentang landasan kajian kajian ini. Bagian
kedua (bab 3 dan 4) adalah bagian yang menjelaskan perkembangan humanisme universal
atau liberalisme yang melegitimasi kekerasan pada tahun 1965. Bagian ketiga (bab 5 dan 6)
bagian yang menjelaskan peran aktif Orbe Baru melegitimasi kekerasan 1965 melalui
perangkat negaranya. Bagian keempat membahas (bab7 dan 8) menggambarkan upaya
seniman dan cendikiawan untu menantang pranata kekerasan budaya versi Orba.
Bab 1, Wijaya Herlambang menjelaskan alasannya dalam memilih topik penelitian ini
sebagai desertasinya. Dengan mengangkat beberapa peristiwa penolakan beberapa kelompok
masyarakat terhadap komunisme. Mulai dari kelompok keagamaan yang menolak upaya
pengusutan makam korban 1965 sampai pembakaran buku Frans Magnis yang mengkritik
Marxisme. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa komunisme masih dipandang sebgaai
sosok yang menyeramkan di masyarakat. Permasalahannya adalah mengapa hal semacam ini
masih bertahan lama bahkan setelah Orba ditumbangkan? Jawaban darinya cukup jelas, yakni
bertahannya ideologi anti-komunis hanya terjadi karena pengaruh orba dan agen-agen
kebudayaannya. Beraneka ragam produk kebudayaan yang digunakan ole Orba dalam
melegitimasi kekerasan 1965-1966. Kemudian ia membatasi kajiannya pada dua hal yang
dianggap berkaitan erat dengan proses legitimasi atas kekerasan 1965-1966 yaitu
liberalisme/humanisme universal dan versi resmi peristiwa 1965 dari rezim Orba. Dalam bab
2, mendeskripsikan serangkaian konsep dan teori yang digunakan dalam penyusunan
argument-argumen dalam buku ini. Di mulai pembahasan dengan konsep kekekrasan budaya
oleh Johan Galtung kemudian ia sepakat bahwa melihat kekerasan terjadi dengan 3 cara yaitu
langsung, structural dan kultural. Selain itu, Wijaya Herlambang juga membahas kekerasan
linguistic dalam kesusastraan. Bagian ini menggunakan kerangka konseptual yang berkaitan
dengan kekerasan linguistic. Ia memilih untuk menggabungkan pendekatan Marxis dengan
pendekatan posmodernis.
Bab 3 adalah upaya penulis untuk menelaah proses keangkitan humanisme universal
di panggung kebudayaan Indonesia. Sebelum tahun 1965 Indonesia digambarkan sebagai
wilayah yang menjadi perpanjangan dari Perang Dingin karena Amerika aktif melancarkan
perang anti komunisme. Kebangkitan kebudayaan Indonesia berawal dari aktivitas petinggi
PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan Masyumi mendekati Amerika Serikat. Disebutkan
beberapa tokoh yang aktif membangun lobi politik dengan AS. Dalam lobi-lobi tersebut
membahas banyak hal, seperti membuka kemungkinan investasi sampai cendekia-cendekia
berpendidikan di AS. Kemudian rencana AS dalam sector kebudayaan diwujudkan CIA
dengan membentuk CCf (Congress for Cultural Freedom). Di Indonesia, gagasan CCF
disambut dengan aktif oleh kelompok seniman dan cendekia yang berada dalam lingkaran
simpatisan PSI. Bab 4, penulis berusaha melakukan pembuktian adaanya peran sastra dalam

1
produksi wacana kekerasan terhadap komunisme. Hal ini dilakukan dengan menganalisa
beberapa cerpen yang terbit di Horizon dalam rentang waktu 1966-1969. Analisanya
digunakan untuk mmembuktikan bahwa cerita-cerita yang mengusung humanisme universal
dapat menjadi pertimbangan atas kekerasan. Ada enam penulis yang berbeda dijabarkan
dalam buku ini.
Bab 5, membahas mengenai narasi resmi negara terkait peristiwa G30S (Gerakan 30
September). Narasi ini sangat penting karena mampu melemahkan kelompok komunis
sedekian rupa, tetapi juga menjadi acuan produk kebudayaan lainnya. Wijaya Herlambang
juga menyoroti masalah perfilman. Ia setuju dengan argument Khrisna Sen yang mengatakan
bahwa film ssejarah digunakan oleh penguasa untuk mengkonstruksi kebenaran dalam versi
mereka. Ada pula novel Pengkhianantan G30S/PKI, ideologi Lekra yang menundukkan seni
bagi kepentingan rakyat akibat munculnya perselisihan dari kelompok seniman pengangut
humanisme universal. Pemabahasan ini berlanjut sampai bab 6. Selanjutnya bab 7, penulis
memfokuskan pada konstruksi budaya dan politik Orba pada komunisme tidak selamanya
bertahan. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya berbagai kelompok dengan beragam latar
belakang ideologi untuk menantang onstruksi tersebut. Bab 8 membahas tentang Noorca
Massardi membangun novel dari penelitian mengenai G30S. Hasil penelitiannya digunakan
untuk menciptakan semesta fiksi yang menyerupai semesta Indonesia pada tahun 1965.
Menurut saya, buku ini mempunayai nilai penting dalam salah satu kajian yang
berupaya menilik relasi ideologi dan politik internasional dalam panggung kebudayaan
Indonesia pasca 1965. Topik tersebut sebagai bahan referensi dan peluang untuk melanjutkan
pemahaman terhadap kedududkan kebuadayaan pada konstelasi polik kekuasaan Orba.

Anda mungkin juga menyukai