Anda di halaman 1dari 14

TEORI ISTISHHAB DALAM PENGEMBANGAN HUKUM BISNIS ISLAM

MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat HBI

Dosen Pengampu:
Dr. Nurul Huda, M.H.I

Disusun oleh:
1. Kurniasih (201955020400840)
2. Nadia Murtadliyah (201955020400814)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH (MUAMALAH)


FAKULTAS SYARIAH DAN ADAB
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SUNAN GIRI BOJONEGORO
2021
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami bisa menyelesaikan makalah Filsafat
HBI dengan judul Teori Istishhab dalam Pengembangan Hukum Bisnis Islam.s
Makalah ini sudah selesai, kami susun secara maksimal dengan bantuan pertolongan
dari berbagai pihak sehingga memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu, kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang sudah ikut berkontribusi di
dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari seutuhnya bahwa masih jauh dari kata
sempurna baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, kami
terbuka untuk menerima segala masukan dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca
sehingga kami bisa melakukan perbaikan makalah ini dengan baik dan benar.
Akhir kata kami semoga makalah ini bisa memberi manfaat ataupun inspirasi bagi
pembaca.

Bojonegoro, 29 November 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah .............................................................................................................. 1
C. Tujuan Penullisan .............................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian istishab ............................................................................................................. 2


B. Macam-macam istishab ..................................................................................................... 4
C. Kaidah-kaidah yang membangun istishab ......................................................................... 6
D. Dalil yang digunakan dalam aplikasi istishab ................................................................... 4
E. Aplikasi istishab dalam hukum ekonomi syariah .............................................................. 6
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam telah menyediakan aturan untuk mengatur semua aspek kehidupan manusia.
Aspek tersebut terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu ibadah (ritual manusia untuk
mencapai Allah) dan muamalah (perbuatan antar manusia). para ahli hukum Islam
merumuskan bahwa hukum itu ada yang diperoleh melalui ketentuan yang terdapat nas-
nya baik dalam Al-Qur’an maupun Sunah dan ada juga hukum yang diperoleh melalu
ijtihad. Ijtihad merupakan salah satu objek kajian dalam ilmu ushul fikih. Ijtihad bukan
merupakan sumber hukum melainkan ia sebagai sebuah metode penetapan hokum.
Adapun fungsi ijtihad dalam kajian hukum Islam adalah metode yang berfungsi untuk
menetapkan hukum-hukum yang belum terumuskan dalam sumber utama ajaran Islam,
yaitu Al-Qur’an dan Sunah. Aktivitas ijtihad dilakukan oleh para ahli hukum Islam demi
mengawal syariat Islam agar senantiasa dinamis dan responsif terhadap perkembangan
zaman. Salah satu metode iijtihad yang di-ikhtilâfkan mengenai nilai kehujjahan-nya
adalah istishab.
Secara sederhana istishab diartikan sebagai tetapnya sesuatu selama tida aka seuatu
yang lain yang mengubahnya. Ulama yang menolak istishab sebagai dalil hukum
berpandangan bahwa istishab kurang kuat dijadikan sebagai dalil hukum karena ia hanya
mendasarkan pada hukum yang bersifat dugaan saja dan tidak mendasarkan pada fakta.
Adapun ulama yang mendukung penggunaan istishab sebagai dalil hukum menilai bahwa
istishab dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif penetapan hukum dalam Islam
tatkala persoalan hukum tidak ditemukan dalam sumber utama hukum Islam, yaitu Al-
Qur’an dan Sunah. Disinilah peran istishab dapat berfungsi sebagai alternatif metode
penemuan hukum dalam Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Istishhab ?
2. Apa saja macam-macam istishab ?
3. Apa saja kaidah-kaidah yang membangun istishab ?
4. Bagaimana dalil yang digunakan dalam aplikasi istishab?
5. Bagaimana aplikasi istishab dalam hukum ekonomi syariah?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian dari istishab
2. Mengetahui macaam-macam istishab
1
3. Mengetahui kaidah-kaidah yang membangun istishab
4. Mengetahui dalil-dalil yang digunakan dalam aplikasi istishab
5. Mengetahui aplikasi istishab dalam hukum ekonomi syariah

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Istishhab
Istishab menurut bahasa Arab ialah pengakuan adanya perhubungan. Sedangkan
menurut para ahli ushul fiqh istishhab adalah Menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan
keadaan sebelumnya, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan keadaan tersebut.
Atau istishab adalah menetapkan hukum yang telah tetap pada masa lalu dan masih tetap
pada keadaannya itu, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahannya. 1 Apabila
seseorang mujtahid ditanyai tentang hukum sebuah perjanjian atau suatu pengelolaan, dan ia
tidak menemukan nash dalam al qur’an atau sunnah, dan tidak pula menemukan dalil syar’i
yang membicarakan hukumnya, maka ia memutuskan dengan kebolehan perjanjian atau
pengelolaan tersebut berdasarkanatas kaidah “sesungguhnya asal mula dalam segala sesuatu
adalah dibolehkan”.
Istishab pada prinsipnya merupakan suatu metode penemuan hukum berdasarkan
hukum yang sudah ada sebelumnya selama belum ada dalil (bukti hukum) baru yang
menyatakan sebaliknya. Dengan kata lain, istishab bukanlah mermuskan hukum yang murni
baru, tetapi justru mencari hukum sekarang didasarkan pada hukum lama. secara sederhana
dapat dirumuskan mengenai hakikat dan karakteristik istishab tersebut, yaitu: pertama, secara
metakinkan telah berlangsung suatu keadaan dalam suatu masa tertentu tentang tidak adanya
hukum untuk keadaan itu karena memang tidak ada dalil yang menetapkannya. Kedua, telah
terjadi perubahan masa dari masa lalu ke masa kini, tetapi tidak ada petunjuk yang
menyatakan bahwa keadaan di masa lalu itu sudah berubah. Juga tidak ada ptunjuk yang
menjelaskan mengenai keadaan waktu ini. Ketiga, terdapat keraguan tentang suatu peristiwa
(hukum) pada waktu kini, namun peristiwa itu berlangsung secara meyakinkan di masa lalu
dan belum mengalami perubahan sampai waktu ini, oleh karena itu peristiwa di masa lalu
yang meyakinkan itu tetap diberlakukan keberadaannya.2
B. Macam-Macam Istishhab
Pembagian istiṣḥāb ini didasarkan pada pembagian yang dilakukan oleh Abū Zahrah dan
al-Sarakhsi sebagai berikut.3

1
Abd Al-Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh (Dar Alrasyid, 2008).
2
Ahmad Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 2, (Kencana Prenada Media, 2011).
3
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Beirut:Dar al-fikr, t.th) 297-298.

3
1. Istishhab al-Ibahah al-Ashliyyah
Istiṣḥāb yang didasarkan pada hukum asal suatu yaitu mubah. Istishab jenis ini
banyak berperan terutama dalam bidang muamalat (hukum ekonomi syariah).
Landasanya adalah sebuah prinsip mengatakan bahwa hukum dasar dari sesuatu
bermanfaat boleh dilakukan dalam kehidupan umat mansia selama tidak ada dalil
yang melarangnya. Misalnya makan makanan, minuman, hewan, tumbuh-tumbuhan
dan lain sebagainya selama tidak ada dalil yang melarangnya adalah halal dimakan
atau boleh dikerjakan. Hal ini didasarkan pada Surah Al-Baqarah Ayat 29
ِِ‫يِخلَقَِِلَكُمِِ َماِفىِاْلَرضِجَميع‬
َ ِ‫ه َُوالَّذ‬
yang artinya “Dialah yang menjadikan segala yang ada di muka bumi ini untuk
kalian”.
Dari ayat tersebut menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada dibumi dijadikan
untuk umat manusia dalam pengertian boleh melakukan hal-hal yang membawa
manfaat bagi kehidupan.
2. Istishhab al-Bara`ah al-Ashliyyah
Istishhab al-bara’ah al-aṣliyyah atau diistilahkan Ibn al-Qayyim dengan bara’ah al-
‘adam al-aṣliyah adalah seperti terbebasnya manusia dari tuntutan syarak. Sampai
ada petunjuk yang menghendaki dilakukannya perintah tersebut.
Istiṣḥāb jenis kedua ini pada prinsipnya menghendaki bahwa setiap orang pada
dasarnya terbebas dari segala jenis beban dan tanggungan apapun. Dalam bidang
ekonomi misalnya, setiap orang terbebas dari utang, sampai ada dalil yang
menunjukkan bahwa ia berutang. Oleh karena itu, jika seseorang ditagih utang, maka
pada dasarnya ia berhak menolak sampai ada bukti bahwa penagih membawa bukti
bahwa ia berutang. Jadi seseorang dengan prinsip istishab akan selalu dianggap
berada dalam status tidak bersalahnya sampai ada bukti yang mengubah statusnya
tersebut. Contoh lainya adalah apabila seseorang menghancurkan hak milik orang
lain dan terjadi perselisihan mengenai jumlah pernyataan orang yang menyebabkan
kehancuran harus didengar dan persyaratan pembuktian mengenai jumlah berapapun
kelebihanya ada pada pemilik harta tersebut.4
3. Istishhab al-hukm
Istishhab al-hukm didasarkan atas tetapnya status hukum yang ada selama tidak ada
bukti yang mengubahnya. Yang mana istishab menerapkan hukum pada masa lalu

4
Kisdayanti dan Zafi, Pendekatan Teologis Dalam Memahami Maksud Syariat Dan Hukum Yang Tidak
Disepakati, (Incare, 2020).

4
untuk masa sekarang, sebelum ada petuntuk untuk tidak menggunakannya lagi.
Kaidah turunan pada macam Status kepemilikan atas harta tetap pada pemilik semula
sampai ada bukti bahwa harta benda tersebut telah berpindah tangan. Misalnya
seseorang yang memiliki sebidang tanah atau harta bergerak seperti mobil, maka
harta miliknya itu tetap dianggap ada selama tidak terbukti dengan peristiwa yang
mengubah status hukum itu, seperti dujual atau diibahkan kepada pihak lain.
4. Istishhab al-Wasf
Penetapan hukum atas tetapnya sifat yang ada sebelumnya sampai ada bukti yang
mengubahnya. Artinya bahwa suatu hukum yang ditetapkan berdasarkan keyakinan
tidak akan luntur kecuali telah muncul keyakinan baru yang mengubahnya. Istishab
ini, juga disebut dengan istishab al-madhi bi al-hal yaitu menetapkan hukum yang
telah lalu sampai kepada masa sekarang yaitu istishab terhadap hukum yang
dihasilkan dari ijma’ dalam kasus perkembanganya memicu terjadinya perselisihan
pendapat. Misalnya apabila seorang pembeli pulsa mengkomplain kepada pihak
penjual (counter) bahwa ia membeli pulsa belum masuk akan tetapi pihak penjual
mengatakan bahwa pulsa tersebut sudah terkirim. Maka istinbath hukum yang
diambil adalah pulsabelum masuk atau terkirim. Kecuali pihak penjual dapat
menunjukan bukti bahwa pengiriman pulsa tersebut sudah terkirim.5
C. Kaidah-Kaidah yang Membangun Istishhab
1. Kaidah Pertama
ِ‫ىِاْلَشِيَِاءِِاْلِبَِاحَة‬
ِ ِ‫اْلَصِ ُِلِف‬
ِ
“Hukum pokok sesuatu adalah kebolehan.”
Dalam firman Allah : Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada dibumi
untuk kamu. (QS. Al-Baqarah : 29)
Maka bisa di ambil sebuah kesimpulan bahwa setiap apa yang ada di muka
bumi ini pada asalnya adalah boleh selama tidak ada dalil yang melarangnya.
2. Kaidah Kedua
َِ‫علَِيِ َِما َِكان‬
َِ َِِ‫اْلَصلُِبَِقَِا ُِءِ َِماِ َِكان‬
“Hukum pokok (sesuatu) adalah sebagaimana adanya.”
Dalam Firman Allah Swt. : dan Kami turunkan dari langit air yang
sangatbersih. Dalam sabda Nabi Saw.:” sesunnguhnya air itu suci“

5
Mohammad Mufid, Ushul Fiqih Ekonomi dan Keuangan Kontemporer, (Kencana Prenada Media, 2016).

5
Air selamanya adalah suci dan mensucikan selama belum ada yang merubah
hakikat air tersebut.
3. Kaidah Ketiga
َِّ ‫الِيَِقِيِنُِِ َِْلِيُ َِزا ُِلِبِاال‬
ِ‫شك‬
“Sesuatu yang meyakinkan tidak hilang karena keraguan.”
Dari Abi Hurairah Rasulullah Saw. Bersabda : Apabila salah seorangdiantara
kamu merasakan sesuatu diperutnya maka dia ragu apakah keluar sesuatu atau tidak,
maka janganlah keluar meninggalkan mesjid sehinggaterdengar suara, atau keluar
angin. ( HR. Muslim )
4. Kaidah Keempat
ُ ‫اْلَص ُِلِفيِالذَّ َمةِبَ َرا َء ِة‬
“Hukum pokok dalam pertanggungjawaban adalah kebebasan.”
Seseorang mengadu bahwa fulan memiliki hutang kepadanya, kemudianfulan
mengingkari pengaduan tersebut, yang mengadu tidak bisa membuktikan bahwa
fulan itu memiliki hutang kepadanya, maka fulan tersebut terbebas dari hutang.
D. Dalil yang digunakan dalam Aplikasi Istishhab
1. Dalil Naqli :
a. Al-Qur’an
Ayat yang digunakan dalam aplikasi istishhab yaitu dengan memperhatikan
(istiqra) ayat-ayat yang menjelaskan tentang hukum syara dan itu tetap selama
tidak ada dalil yang merubahnya.Seperti haramnya alkohol di tetapkan oleh al-
quran yang menjelaskan haramnya khamar, apabila sudah berubah sifatnya
menjadi al-khol ( cuka ) makaitu tidak haram lagi karena sudah hilang sifat
memabukannya. “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamar (arak),berjudi, ( berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah,
adalah perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan”.( QS. 05 : 90 )
b. As-Sunnah
Dari Abi Hurairah Rasulullah Saw. Bersabda : Apabila salah seorangdiantara
kamu merasakan sesuatu diperutnya maka dia ragu apakah keluar sesuatuatau
tidak, maka janganlah keluar meninggalkan mesjid sehingga terdengar suara,atau
keluar angin. ( HR. Muslim ).

6
2. Dalil ‘Aqli :
Secara naluriah akal kita bisa menghukumi segala sesuatu boleh atau tidak, ada dan
tiada dengan melihat pada asal mulanya selama belum ada dalilyang mengingkari
sebaliknya, maka itu tetap di hukumi seperti asalnya, seperti bahwa manusia terlahir
ke dunia ini selamanya disifati hidup selama belum ada bukti yang jelas bahwa dia
sudah meninggal.
E. Aplikasi Istishab dalam Hukum Bisnis Islam
Istishab sebagai salah satu pertimbangan dalam menetapkan suatu hukum salah
satunya dalam bidang muamalah (hukum ekonomi syariah). Oleh karena itu, perlu
diuraikan beberapa contoh aplikasi konsep istishab dalam hukum ekonomi syariah.
1. Sengketa Pembayaran Utang Piutang
Dalam kajian hukum ekonomi syariah, istilah utang-piutang biasa disebut dengan
al-qardh. Menurut konteks hukum di Indonesia, menurut Pasal 20 Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (KHES) qardh didefinisikan sebagai penyediaan dana atau tagihan
antara lembaga keuangan syariah dengan pihak peminjam yang mewjaibkan pihak
peminjam untuk melakukan pembayaran secara tunai atau cicilan dalam jangka waktu
tertentu. Adapun menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia
(DSNMUI) Nomor NO: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Qardh, yang dimaksud dengan
qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan.
Dalam konteks kaidah ini, misalnya A telah berutang sebesar 1 juta kepada B, maka
A wajib membayar 1 juta kepada B. Dalam kontrak yang disepakati antara A dan B
tertulis nominal 1 juta yang harus dibayarkan oleh pihak B sesuai waktu yang disepakati.
Dari kasus ini, jelas bahwa secara yakin, A berutag kepada B dengan ketentuan akan
dikembalikan dikemudian hari. Ironisnya, A setelah berbulan-bulan ragu apakah ia sudah
melunasi utangnya kepada B atau belum. Keraguan ini muncul karena beberapa bulan
yang lalu ia telah menyerahkan sejumlah uang tetapi ia lupa untuk keperluan apa
penyerahan uang tersebut.
Dalam kasus seperti ini, maka berlaku kaidah al-yaqȋn lâ yuzâl bi al-syak, Artinya
keyakinan yang kuat bahwa pihak A telah berutang kepada pihak B tidak dapat
dihapuskan hanya dengan keraguan apakah uang yang telah diserahkan kepada B
sebulan yang lalu untuk pembayaran utang atau untuk keperluan lainnya.
Oleh karena itu, dalam kasus ini, A wajib hukumnya untuk melunasi utangnya
kepada B. Jika kasus ini diajukan ke pengadilan, maka yang dimenangkan adalah pihak
B dan mewajibkan kepada pihak A untuk membayar utangnya. Hal ini sejalan dengan
7
kaidah prinsip bahwa keyakinan tidak dapat dikalahkan dengan keraguan. Kaidah ini
merupakan aplikasi dari konsep istishab.
Berbeda halnya apabila pihak yang berpiutang, yakni pihak B menyatakan bahwa
pihak A (orang yang berutang) telah melunasi utangnya sejumlah 1 juta tersebut dengan
bukti kuitansi pembayaran utang, sehingga tidak perlu lagi bagi pihak A untuk
membayar utangnya untuk kedua kalinya. Dalam kasus ini, maka fakta utangnya pihak A
kepada pihak B secara yakin dapat dihapuskan dengan bukti pembayaran yang didukung
dengan pengakuan pihak B sebagai pihak orang yang berpiutang yang menunjukan
keyakinan pula. Dengan demikian, pihak A tidak perlu lagi membayar utangya kepada
pihak B.
Kasus sebaliknya, apabila pihak A (orang yang berutang) mengaku telah melunasi
utangnya kepada pihak B (pemberi piutang) dengan tanpa bukti apa pun, sedangkan
pihak B juga mengingkarinya karena belum merasa menerima pembayaran/pelunasan
utang dari pihak A, maka dalam hal ini yang dimenangkan adalah ingkarnya pemberi
piutang (pihak B).
Hal itu karena menetapkan hukum yang sedang berlangsung, yaitu tetapnya utang
melekat kepada pihak A itu sesuai dengan keadaan awal yaitu kondisi dimana pihak B
telah memberikan pinjaman (piutang) kepad pihak A. Ini sejelan dengan konsep istishab
dan kaidah al-ashlu baqa’u mâ kâna ‘alâ mâ kâna (pada prinsipnya hukum asal pada
sesuatu adalah menetapkannya sesuai hukum sebelumnya).
2. Tuduhan Cacat Pada Objek Jual Beli
Salah satu contoh aplikasi istishab adalah pada kasus akad jual-beli, pihak pembeli
menuntut pada penjual bahwa barang yang telah dibelinya terdapat kecacatan (‘aib) dan
pihak pembeli hendak mengembalikan barang tersebut kepada pihak penjual karena
dikalim terdapat kecacatan pada barang tersebut. namun, ada perbedaan pandangan
antara penjual dan pakar yang mengerti apakah cacat (‘aib) yang dimaksud itu tergolong
cacat atau bukan. Dalam hal ini, maka pembeli tidak memiliki hak untuk mengembalikan
atau meminta ganti rugi atas barang tersebut.6
Hal itu dikarenakan bebasnya baran itu dari kecacatan adalah sebuah keyakinan
yang tidak dapat dihilangkan dengan keraguan, yaitu dalam memandang apakah
kecacatan yang dimaksud adalah bisa dikategorikan sebuah cacat atau bukan. Oleh
karena itu, sejalan dengan konsep istishab dan kaidah fikih asasiyah yang berbunyi “al-

6
Moh. Mufid, Kaidah Fiqih Ekonomi dan Keuangan Kontemporer, (Kencana Prenada Media, 2019).

8
yaqȋn lâ yazȗlȗ bi al-syak, maka pihak penjual dalam konteks ini dimenangkan dengan
tanpa adaya kewajiban untuk memberikan ganti rugi atas kecacatan yang belum jelas
tersebut.
Dalam kasus lain, misalnya apabila terjadinya perselisihan antara penjual dan
pembeli mengenai kecacatan (‘aib) pada barang yang diperjualbelikan, maka yang
dianggap adalah perkataan pihak penjual, karena pada asalnya cacat itu tidak ada. Ini
sejalan dengan konsep istishab dalam kaidah fikih yang berbunyi “al-ashlu fȋ alshifat al-
‘aridhah al-‘adam (pada dasarnya hukum suatu sifat yang datang kemudian adalah tidak
ada). Berbeda halnya, apabila pihak pembeli dapat membawakan bukti yang meyakinkan
bahwa cacat barang tersebut ada ketika barang tersebut masih dalam tanggung jawab
pihak penjual (di tangan penjual).7
3. Istishhab Terbebasnya Tanggungan Pada Pembayaran Kartu Kredit
Mbk Nadia Murtadliyah bekerja sebagai dept-collector, menagih pelunasan kartu
kredit senilai Rp. 357.000.000 atas transaksi pada Senin, 06 Desember 2021 di
Bojonegoro Pukul 09.00 WIB kepada ibu Nia sebagai pengguna credit card premium
(dimana pihak penyedia jasa credit card menyiapkan sejumlah dana besar untuk
penggunanya yang selanjutnya ditagihkan kepada pengguna sesuai nominal transaksi
yang ada). Namun, pengguna kartu kredit tersebut yaitu ibu Nia membantah bahwa dia
menggunakan kartu kredit tersebut sehingga ia menolak membayar nominal yang
dimaksud.
Dalam kondisi ini, pengguna kartu kredit ibu Nia bisa membuktikan pada hari
yang dimaksud tersebut berada di Mekkah dalam rangka umrah, yang dia akui hanyalah
belanja dengan kartu kredit tersebut di maal yang dilisensikan oleh penyedia jasa kartu
kredit sebesar Rp. 3.000.000
Setelah melalui penelusuran, ternyata ditemukan transaksi yang tidak sesuai
dengan alibi pengguna kartu. Dan dinyatakan pihak yang berwenang, bahwa kartu
tersebut telah di hack oleh hacker untuk berbelanja mobil sebesar Rp. 353.000.000
Berdasarkan hukum istishab, maka ibu Nia tidak wajib membayar kepada
penyedia jasa kartu kredit kecuali apa yang diakui dan dinyatakan benar oleh pihak yang
berwenang sebesar Rp. 3.000.000. hal ini didasari kaidah ushulfiqh yang menyatakan
bahwa asal hukum bagi sesuatu adalah terlepas dari tanggungan.

7
Ibid.

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istishab merupakan suatu metode penemuan hukum berdasarkan hukum yang sudah
ada sebelumnya selama belum ada dalil (bukti hukum) baru yang menyatakan
sebaliknya. Dengan kata lain, istishab bukanlah mermuskan hukum yang murni baru,
tetapi justru mencari hukum sekarang didasarkan pada hukum lama. Adapun macam-
macam istishhab meliputi : Istishhab al-Ibahah al-Ashliyyah, Istishhab al-Bara`ah al-
Ashliyyah, Istishhab al-hukm, dan Istishhab al-Waṣf.
Adapun kaidah istishab yang pertama yaitu, “Hukum pokok sesuatu adalah
kebolehan.” bahwa setiap apa yang ada di muka bumi ini pada asalnya adalah boleh
selama tidak ada dalil yang melarangnya. Kedua, “Hukum pokok (sesuatu) adalah
sebagaimana adanya.” Ketiga, “Sesuatu yang meyakinkan tidak hilang karena
keraguan.” Keempat, “Hukum pokok dalam pertanggungjawaban adalah kebebasan.”
Dalil yang digunakan dalam aplikasi istishhab adalah dalil naqli yang terdapat pada
al-quran dan as-sunnah dan dalil ‘aqli secara naluri manusia. Adapun aplikasi istishhab
dalam hukum ekonomi syariah :
1. Sengketa Pembayaran Utang Piutang
2. Tuduhan Cacat Pada Objek Jual Beli
3. Istishhab Terbebasnya Tanggungan Pada Pembayaran Kartu Kredit

10
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqih, (Beirut:Dar al-fikr, t.th)
Khalaf, Abd Al-Wahab. Ilmu Ushul Fiqh (Dar Alrasyid, 2008).
Kisdayanti dan Zafi, Pendekatan Teologis Dalam Memahami Maksud Syariat Dan Hukum
Yang Tidak Disepakati, (Incare, 2020).
Mufid Mohammad, Ushul Fiqih Ekonomi dan Keuangan Kontemporer, (Kencana Prenada
Media, 2016).
Mufid, Mohammad. Kaidah Fiqih Ekonomi dan Keuangan Kontemporer, (Kencana Prenada
Media, 2019).
Syarifuddin, Ahmad. Ushul Fiqih Jilid 2, (Kencana Prenada Media, 2011).

Anda mungkin juga menyukai