BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mazhab Syafi’iyah juga tersebar diberbagai penjuru dunia, terutama di
kawasan Asia Tenggara. Namun dari pada itu, walaupun penganut mazhab ini
sangat banyak—malah menjadi mayoritas—namun, terkadang pula para
penganut ini tidak mengetahui bagaimana metode istimbath hukum yang
berjelimet yang memeras akal pikiran seorang imam mazhab yakni Imam
Syafi’i sendiri.
Pembahasan mengenai Mazhab Syafi’iyah memang memiliki tendensi dan
keunikan tersendiri. Mulai dari metode istimbath hukumnya, hingga
kontroversi perubahan pendapat dalam Qaul Qadim dan Qaul Jadidnya.
Sehingga masalah ini masih tetap menarik untuk diperbincangkan.
Imam Syafi’i merupakan perpaduan antara dua corak pemikiran, yakni corak
rasionalis dari Mazhab Hanafi dan corak tradisionalis dari Imam Malik.
Sehingga beliau dikenal dengan corak moderat dalam memadukan keduanya.1
Maka dari itu, kami sebagai penulis makalah ini, akan membahas tentang
metode istimbath hukum Mazhab Syafi’i.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Imam Syafi’i?
2. Apa saja istimbath hukum Mazhab Syafi’i?
3. Bagaimana munculnya Qaul Qadim dan Qaul Jadid?
4. Faktor apa saja yang mempengaruhi pemikiran Imam Syafi’i?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk Mengetahui Bagaimana biografi Imam Syafi’i.
2. Untuk Mengetahui Apa saja istimbath hukum Mazhab Syafi’i.
3. Untuk Mengetahui Bagaimana munculnya Qaul Qadim dan Qaul Jadid.
4. Untuk Mengetahui Faktor apa saja yang mempengaruhi pemikiran Imam
Syafi’i
1
Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, (Surabaya: Risalah Gusti,
1995), hlm. 63.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Imam Syafi’i memiliki nama lengkap Abu Abdillah2 Muhammad ibn Idris bin
al-Abbas ibn Utsman ibn Syafi’i ibn al-Syaib ibn Ubaid ibn Abd Yazid ibn
Hasyim ibn `Abd al-Muthalib ibn `Abd Manaf al-Quraisy (memiliki nasab
dengan Nabi Muhammad).3 Lahir pada tahun 150 H (767 M) tepatnya di Kota
Ghaza, yaitu bagian selatan Palestina. Kampung halaman Imam Syafi’i
sebenarnya Mekkah, bukan Palestina, ibu-bapaknya datang ke Ghaza untuk
suatu keperluan dan tak lama Imam Syafi’i dilahirkan di Ghaza. Dan akhirnya
Syafi’i dibawa ke Mekkah pada usia 2 tahun.
Imam Syafi’i juga pernah belajar di Yaman kepada Yahya ibn Husein. Bahkan
Imam Syafi’i diangkat menjadi sekretaris negara dan Mufti (kepala daerah) di
2
Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Imam Syafi’i, Cet-16, (Jakarta:
Pustaka Tarbiyah, 2006), hlm. 19.
3
Mohammad Hefni, Antologi Kajian Hukum Islam, (Surabaya: Pena Salsabila, 2013),
hlm. 149.
3
Najran. Di Yaman pula, Imam Syafi’i menikah dengan Hamidah binti Nafi’i,
dari pernikahan itu dikaruniai tiga orang anak. Namun, Imam Syafi’i dituduh
sebagai kelompok Syiah yang sangat membenci Khalifah Abbasiyah, Harun ar-
Rasyid, sehingga Imam Syafi’i ditangkap.4
Imam Syafi’i juga pernah belajar di Iraq. Disana beliau belajar tentang Mazhab
Hanafiyah kepada Muhammad ibn Hasan, salah seorang murid Imam Hanafi5.
Hingga akhirnya, Imam Syafi’i merantau ke Mesir hingga beliau wafat disana.
Di Iraq, Imam Syafi’i menulis sebuah kitab yang dikenal dengan qaul qadim
(fatwa lama), sedangkan saat di Mesir, beliau menulis kitab yang dikenal qaul
jadid (fatwa baru).
4
Sirajuddin Abbas, Sejarah..., hlm. 35-37.
5
Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, Cet-8, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2003), hlm. 47.
6
Romli SA, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, (Jakarta: Media Pratama, 1999), hlm. 50.
7
Moh. Zaini, Himpunan Intisari Tarikh Tasyri’, (Pamekasan: STAIN Pmk Press, 2009),
hlm. 70.
4
1. Al-Qur’an
Tampaknya, Syafi'i tidak memberikan batasan definitif bagi al-Qur'an,
namun berdasarkan uraiannya, para pengikutnyalah yang memberikan
definisi terhadap al-Qur'an. Dalam mazhab ini, sebagaimana ungkapan
Imam Haramain, bahwa Mazhab Syafi’i cukup jelas menyatakan al-
qira’ah asy-syadzdzah8 tidak dapat digunakan sebagai hujjah dan tidak
dapat digunakan sebagai khabar ahad. Mazhab Syafi’i hanya
membenarkan penukilan yang mutawatir untuk dijadikan hujjah dan
diamalkan.
Imam Syafi'i menekankan betapa pentingnya penguasaan bahasa Arab
karena tidak mungkin bisa memahami kandungan al-Qur'an tanpa
penguasaan terhadap bahasa Arab. Sehingga menurut beliau, wajib belajar
Bahasa Arab untuk memahami al-Qur’an. Karena dengan menguasai
Bahasa Arab, maka keluasan mujtahid dalam mengkategorikan sifat-sifat
dalam ayat baik kaidah ‘amm, khos, zahir, mujmal, bayan, takhsis, dan
lainnya akan mudah dipahami.
2. Al-Hadis
Sama dengan al-Qur’an, dalam hal ini, Imam Syafi’i menyederajatkan al-
Qur’an dan Hadis, karena keduanya sama-sama wahyu untuk dijadikan
sumber hujjah. Namun, dalam hal ini, beliau tidak memberikan
memberikan rumusan definitif secara spesifik. Karena telah diketahui
secara jelas (dan secara umum) bahwa Sunnah merupakan perkataan,
perbuatan dan taqrir Rasulullah. Dengan kata lain, bahwa dengan
menerima petunjuk Rasulullah, berarti menerima dari Allah.9
Syafi'i menegaskan bila ditemukan Hadis yang shahih dari Rasulullah,
maka dalil berupa perkataan orang lain tidak diperlukan lagi. Beliau
menolak semua persyaratan yang ditetapkan oleh Imam Hanafi dan Imam
8
Rosihon Anwar, Ulum al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 153
9
Lahmuddin Nasution, Pembaruan..., hlm. 74.
5
10
Musthafa Muhammad Syak’ah, Islam..., hlm. 582. Lihat pula Sirajuddin Abbas,
Sejarah..., hlm. 138.
11
Dedi Supriayadi, Pendekatan..., hlm. 177. Lihat Romli SA, Muqaranah..., hlm. 50.
12
Husayn Ahmad Amin, Seratus..., hlm. 66. Lihat Romli SA, Muqaranah..., hlm. 98.
6
13
Dedi Supriayadi, Pendekatan..., hlm. 86. Lihat pula Husayn Ahmad Amin, Seratus...,
hlm. 66., dan Romli SA, Muqaranah..., hlm. 98.
14
Abu Ameenah Bilal Philips, Abu Ameenah Bilal Philips, Asal-usul dan Perkembangan
Fiqh, terj. Fauzi Arifin, (Bandung: Nusamedia, 2005), hlm. 109.
7
15
Sirajuddin Abbas, Sejarah..., hlm. 168.
16
Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Raja Grafindo, 1996),
hlm. 118-120.
8
17
Syafi’I Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 165.
18
Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm nya, lihat: Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh,
cet-12, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), hal. 332-334.
19
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh: Jilid 2, cet-4 (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 378.
20
Qaul qadim kebanyakan tertuang dalam kitab ar-risalah (al-qadimah) dan al-hujjah.
Lihat Lahmuddin Nasution, Pembaruan..., hlm. 174.
9
qadim yang ditulisnya di Iraq tahun dan qaul jadid yang ditulisnya di Mesir,
memiliki corak pemikiran yang berbeda. Pasalnya, corak pemikiran Iraq yang
didominasi oleh rasional dan corak pemikiran Mesir yang tradisional.
Saat berdomisili di Mesir, Imam Syafi’i banyak membuat perbedaan-perbedaan
yang tajam dengan alliran yang ada sebelumnya, yakni alira Hanafi dan Maliki.
Dengan kata lain, bahwa Imam Syafi’i memberikan corak baru dalam
memadukan kedua Mazhab sebelumnya, yakni kombinasi antara rasional dan
tradisional.
Hanya saja yang perlu dicatat di sini adalah corak al-ra’yu bukan berarti
menolak sama sekali pemahaman tekstual ataupun otoritas teks. Demikian
pula, corak al-hadis bukan berarti menolak sama sekali peranan rasio dalam
memahami teks agama. Pemberian nama ini berkenaan dengan porsi
penggunaan kedua kecenderungan tersebut tersebut pada masing-masing aliran.
Imam Syafi’i melihat kelebihan pada masing-masing aliran tersebut sebagai
kekuatan yang bermanfaat bagi pemikiran hukum Islam. Oleh karenanya,
aliran-aliran tersebut harus dipadukan. Sehingga fiqh al-Syafi’iyah dikenal
berada di antara fiqh ahl al-hadis dan fiqh ahl al-ra’y.
Terdapat perbedaan bahkan pengubahan hukum dalam suatu permasalahan
antara qaul qadim dan qaul jadid. Misalnya:
Pertama, status air musta’mal yang digunakan dalam berwudlu. Dalam qaul
qadim air tersebut tetap suci dan menyucikan (thahir muthahir), sedangkan
dalam qaul jadid hanya bersifat suci namun tidak menyucikan (thahir ghairu
muthahir).22
Alasan dalam qaul qadim ialah: a) berdasarkan surat al-Furqan: 48. “wa
anzalna min al-sama’i ma’an thahura”.23 b) berdasarkan Hadis, “bahwa suatu
ketika Nabi sedang mandi, dan ternyata sebagian dari bahunya tidak terkena
air, lalu beliau memeras rambutnya dan mengalirkan kebagian tersebut” (HR.
21
Qaul jadid kebanyakan tertuang dalam sebagian ar-risalah (al-jadidah), al-umm, al-
‘amali, al-imla’, dll. Ibid, hlm. 174.
22
Imam al-Nawawy, al-majmu’, dalam Roibin, Sosiologi..., hlm. 150.
23
Thahura diatas diartikan sebagai sifat air yang pada hakikatnya adalah suci.
10
Abu Daud). c) berdasar qiyas, bahwa air itu hakikatnya suci, maka kesuciannya
itu tidak akan pernah hilang ketika digunakan untuk hal-hal yang suci pula.
Sedangkan alasan dalam qaul jadid ialah a) berdasarkan surat al-Maidah: 6
harus menggunakan air yang statusnya sama diantara semua siraman yakni suci
dan menyucikan. b) berdasar Hadi “Nabi melarang kami berwudlu dengan air
yang telah digunakan untuk berjunub” (HR. At-Tirmidzi). c) berdasar hasil
ijma’ bahwa air musta’mal tidak menyucikan. d) berdasar qiyas bahwa air
musta’mal hilang sifat ithlaqnya seperti air yang digunakan dalam
membersihkan najis.
Misalnya pula tentang menyapu khuff (sepatu yang menutup kaki sampai mata
kaki) yang robek. Dalam qaul qadim jika koyaknya sedikit, maka boleh disapu.
Sedangkan dalam qaul jadid walaupun koyaknya sedikit tetap tidak boleh
disapu.24
Dalil-dalil yang menyokong dalam qaul qadim ialah: a) Hadis Nabi “apabila
seseorang bersuci kemudian menggunakan khuffnya, maka ia boleh
menyapunya” (HR. At-Tirmidzi). b) koyak yang sedikit dianggap sama dengan
lubang tali sepatu. c) mengusap khuff dalam hal tersebut memberikan
kemudahan.
Dalil-dalil yang mendukung dalam qaul jadid ialah: a) kaki yang terlihat
karena kondisi khuff yang rusak, sama halnya dengan kaki yang terlihat dengan
kondisi khuff ditanggalkan. b) Hadis diatas dimaksudkan hanya untuk khuff
yang baik, bukan yang koyak.
Dan masih banyak contoh-contoh perbedaan perubahan hukum dalam qaul
qadim dan qaul jadid yang tidak mungkin dibahas dalam makaah ini. Tentang
perincian pendapat-pendapat yang dikecualikan ini dapat dibaca selengkapnya
dalam al-Majmu’, karya al-Nawawy, seorang mujtahid Mazhab Syafi’i.
Dari beberapa contoh diatas dapat kita lihat dengan jelas corak pemikiran
rasional yang berpaku pada ra’yu dalam qaul qadim dan corak pemikiran
tradisional yang terpaku dengan Hadis yang ketat dalam qaul jadid. Dengan
kata lain, bahwa qaul qadim merupakan tahap perkembangan, dan qaul jadid
24
Ibid, hlm. 146.
11
25
Nahrawi Abdus Salam dalam Roibin, Sosiologi..., hlm. 134.
26
Mohammad Hefni, Antologi..., hlm. 159-160.
27
Roibin, Sosiologi..., hlm. 165-166. Lahmuddin Nasution, Pembaruan..., hlm. 195.
28
Abu Ameenah Bilal Philips, Asal-usul..., hlm. 171.
29
Dedi Supriayadi, Pendekatan..., hlm. 207-208.
12
dari Mekkah, Madinah, dan Iraq, serta Mesir menjadikan Imam Syafi’i
memiliki wawasan yang luas tentang berbagai aliran.
Kedua, faktor geografis. Faktor ini merupakan faktor secara alamiah negara
Mesir tempat Syafi’i lahir. Mesir memiliki warisan budaya Yunani, Persia,
Romawi, dan Arab. Sehingga kondisi ini memberikan pengaruh besar pada
pemikiran Imam Syafi’i.
Ketiga, faktor Sosial dan Budaya. Dalam hal ini juga mempengaruhi pemikiran
Imam Syafi’i terbukti dengan adanya qaul qadim dan qaul jadid. Qaul qadim
yang bercorak ra’yi dan qaul jadid yang bercorak Hadis.
Sedangkan menurut Lahmuddin Nasution, perbedaan primer dalam qaul qadim
dan qaul jadid ialah perbedaan ayat atau Hadis yang digunakan, serta
perbedaan pandangan dalam model istimbathnya, misal perbedaan pandangan
masalah ijma’, qiyas, qaul shahabat.30 Sedangkan pengaruh sosial tidak banyak
berperan (hanya sebagai sekunder)31
Banyak literatur yang menyebutkan bahwa pengaruh perubahan sosial antara
Iraq dan Mesir yang mempengaruhi pemikiran Syafi’i. Namun dalam hal ini,
kita akan mengkritisi terhadap hal tersebut. Pasalnya, perubahan dari qaul
qadim ke qaul jadid bukan karena asas perubahan sosial-kultural.
Pertama, Qaul yang diralat oleh Imam Syafi’i kebanyakan merupakan masalah
ubudiyah tidak berhubungan dengan masalah sosial-kultural. Malah
kebanyakan amandemensi pendapat tersebut karena ditemukannya Hadis dan
pandangan yang lebih kuat.
Kedua, jika pengaruh sosial-kultural, maka yang didahulukan adalah qiyas
bukan mendahulukan ijma’. Sedangkan Imam Syafi’i dalam keputusannya
selalu didahulukan ranah wahyu, bukan ra’yu.
Ketiga, seandainya benar bahwa Imam Syafi’i mengubah pendapatnya karena
perubahan sosio-kultural, maka hal itu menunjukkan bahwa Imam Syafi’i
mengalami kemunduran intelektual. Karena wilayah Iraq adalah wilayah yang
peristiwa hukumnya lebih kompleks dari sudut pandang sosial, sedangkan
30
Lahmuddin Nasution, Pembaruan..., hlm. 195.
31
Ibid, hlm. 224.
13
kehidupan sosial Mesir lebih sederhana karena Mesir pada waktu itu adalah
daerah pinggiran, bukannya Ibu Kota kekhilafahan.
Keempat, bila benar qaul qadim diralat karena faktor sosial-kultural,
seharusnya beliau berfatwa bahwa qaul qadim hanya berlaku di Iraq yang
permasalahan kehidupannya lebih kompleks, sedangkan qaul jadid difatwakan
agar hanya berlaku di wilayah yang masalah kehidupannya lebih tradisional.
Kenyataannya, Imam Syafi’i berpesan pada murid-muridnya agar menghapus
qaul qadim untuk selamanya dan tidak memfatwakannya kembali pada
siapapun dan di manapun, termasuk pada warga Iraq.
Namun, kami (penulis) sendiri tidak dapat mengingkari adanya kemungkinan
faktor sosio-kultural tersebut dalam kasus-kasus yang spesifik saja sebagai
pengecualian, dengan catatan bahwa jikalau keputusan seperti itu memang
ditemukan, maka pastilah hanya berupa keputusan sementara selama illah
masih ada.
4. Hukum terlupa tertib wuduk. Qaul Qodim: Sah wuduknya. Qaul Jadid:
Hukumnya sama dengan orang yang tinggalkan secara sengaja, tidak sah.
5. Hukum muwalat dalam berwuduk. Qaul Qodim: Wajib. Qaul Jadid: Sunat,
bukan Wajib.
6. Batas waktu mengusap khuf (sepatu). Qaul Qodim: Tidak ada batas waktu.
Qaul Jadid: Bagi musafir, 3 hari 3 malam manakala bagi yang mukim sehari
semalam.
7. Hukum mengusap khuf yang koyak. Qaul Qodim: Boleh mengusapnya. Qaul
Jadid: Tidak boleh mengusapnya apabila koyakan itu sampai menampakkan
bahagian kakinya.
8. Hukum wuduk bagi orang yang tertidur ketika solat. Qaul Qodim: Tidak
membatalkan wuduk. Qaul Jadid: Batal wuduk. Hukum tidur dalam solat sama
dengan hukum tidur di luar Sholat.
9. Hukum wuduk bagi orang yang menyentuh dubur manusia. Qaul Qodim: Tidak
membatalkan wuduk. Qaul Jadid: Wuduknya batal.
10. Hukum wuduk bagi orang yang menyentuh dubur binatang ternak. Qaul
Qodim: Batal wuduk. Qaul Jadid: Tidak batal wuduk.
11. Hukum wuduk bagi orang yang memakan daging unta. Qaul Qodim: Batal
wuduk. Qaul Jadid: Tidak batal wuduk.
12. Batas usapan tayamum pada tangan. Qaul Qodim: Sehingga pergelangan
tangan sahaja. Qaul Jadid: Sampai ke siku.
13. Tayamum dengan pasir. Qaul Qodim: Boleh bertayamum dengan pasir. Qaul
Jadid: Tidak boleh bertayamum dengan pasir.
14. Kes orang yang mempunyai air tetapi tidak cukup untuk mandi hadas dan
berwuduk. Qaul Qodim: Tidak wajib menggunakan air itu, tayamum sahaja.
Qaul Jadid: Wajib menggunakan air itu terlebih dahulu, kemudian tayamum
untuk menyucikan sebahagian anggota tubuhnya yang belum tersentuh air.
15. Kafarah menggauli isteri yang sedang haid. Qaul Qodim: Dikehendaki
membayar kafarah dengan sedekah sebanyak 1 dinar jika menggauli isteri
yang sedang haid pada saat datangnya darah, dan setengah dinar bagi suami
yang menggauli isterinya yang sedang haid pada saat hilangnya darah. Qaul
15
26. Hutang menggugurkan kewajipan membayar zakat. Qaul Jadid: Hutang tidak
menghalangi kewajipan membayar zakat.
27. Permulaan waktu wajib membayar zakat fitrah. Qaul Qodim: Saat terbitnya
fajar di hari Ied Fitri. Qaul Jadid: Wajib membayar zakat fitrah pada waktu
selepas terbenamnya matahari di hari terakhir bulan Ramadan atau malam
menjelang Ied Fitri.
28. Membayar fidyah bagi orang tua atau orang sakit yang tidak mampu berpuasa.
Qaul Qodim: Tidak wajib membayar fidyah. Qaul Jadid: Wajib membayar
fidyah.
29. Gila sampai setengah hari bagi orang yang berpuasa. Qaul Qodim: Sah
puasanya. Qaul Jadid: Tidak sah puasanya.
30. Meninggal dunia sebelum mengqada puasa. Qaul Qodim: Walinya boleh
berpuasa untuk orang yang meninggal dunia atau membayar fidyah. Boleh
pilih salah satu. Qaul Jadid: Walinya tidak boleh menggantikan puasa untuk
orang yang meninggal dunia. Tetapi, wajib membayar fidyah.
31. Hukum Umrah. Qaul Qodim: Umrah hukumnya sunat, bukan wajib. Qaul
Jadid: Hukum Umrah adalah wajib.
32. Hukum ihram bagi anak kecil yang mumayyiz (boleh membezakan baik &
buruk) tanpa izin walinya. Qaul Qodim: Tidak boleh. Qaul Jadid: Boleh.
33. Hukum melanggar larangan ihram bagi anak kecil dengan sengaja. Qaul
Qodim: Mesti membayar fidyah dengan wang anak kecil itu. Qaul Jadid:
Fidyah diambil dari wang walinya.
34. Meninggal dunia ketika sedang menunaikan haji. Qaul Qodim: Diperbolehkan
menggantikan hajinya. Qaul Jadid: Tidak diperbolehkan menggantikan
hajinya.
35. Hukum berihram sebelum waktu ihram. Qaul Qodim: Ihramnya boleh
ditangguhkan sampai bulan-bulan haji. Qaul Jadid: Ihramnya dianggap ihram
umrah.
36. Hukum tawaf dengan badan serong (45 darjah) atau kurang sempurna. Qaul
Qodim: Boleh. Qaul Jadid: Tidak boleh. Hendaklah betul-betul sempurna dan
bukan dengan sebahagian badan sahaja.
17
37. Hukum berhadas ketika sedang tawaf. Qaul Qodim: Mesti pergi berwuduk dan
tidak boleh menyambung tawafnya dan perlu mulai dari awal. Qaul Jadid:
Boleh melanjutkan tawafnya setelah berwuduk.
38. Hukum menjual sesuatu yang belum dimiliki. Qaul Qodim: Akad penjualan
ditangguhkan sampai mendapat izin pemilik barang yang hendak dijual.
Apabila diizinkan maka penjualan itu sah. Qaul Jadid: Hukum penjualan ini
batal.
39. Azan bagi solat qada’. Qaul Qodim: Tetap perlu azan. Qaul Jadid: Tidak perlu
azan, hanya iqamah sahaja.
40. Memakan kulit bangkai haiwan yang telah disamak. Qaul Qodim: Tidak boleh
memakannya, tidak kira binatang yang halal atau haram dimakan. Qaul Jadid:
Boleh dimakan jika dari binatang yang halal.
41. Solat Isya’. Qaul Qodim: Mendahulukan solat Isya’ lebih utama. Qaul Jadid:
Mengakhirkan solat Isya’ lebih utama.
42. Makmum yang membaca amin. Qaul Qodim: Makmum dianjurkan membaca
amin dengan keras (jahar). Qaul Jadid: Makmum tidak perlu membaca amin
dengan keras.
43. Membaca surah bagi imam atau orang yang solat sendirian pada rakaat ketiga
dan keempat. Qaul Qodim: Tidak disunahkan. Qaul Jadid: Disunahkan.
18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Imam Syafi’i memiliki nama lengkap Abu Abdillah Muhammad ibn Idris bin
al-Abbas ibn Utsman ibn Syafi’i ibn al-Syaib ibn Ubaid ibn Abd Yazid ibn
Hasyim ibn `Abd al-Muthalib ibn `Abd Manaf al-Quraisy (memiliki nasab
dengan Nabi Muhammad). Lahir pada tahun 150 H (767 M) tepatnya di Kota
Ghaza, yaitu bagian selatan Palestina
Dalam istimbath hukumnya, beliau menggunakan runtutan sebagai berikut. Al-
Qur’an, al-Hadis, Ijma’, dan Qiyas. Dan metode yang tidak disepakati, beliau
menggunakan Istishab dan Qaul as-Shahabat. Sedangkan beliau menolak
istihsan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemikirannya ialah: Pertama, penggunaan
dalil-dalil hukum. Kedua, perbedaan pandangan dalam memahami model
istimbath hukum. Ketiga, corak pemikiran (pluralitas pemikiran). Keempat,
pengaruh sosial-kultural.
Salah satu contoh Qaul Qodim dan Qaul Jadid adalah Hukum air mengalir
yang terkena najis, namun sifat-sifatnya tidak berubah. Qaul Qodim: Air
mengalir tidak akan menjadi najis. Qaul Jadid: Air mengalir hukumnya sama
dengan air yang tenang. Jika kuantitinya kurang dari dua kullah, maka menjadi
Najis.
B. Saran
Dari menulisan makalah ini penulis menyadari sepenunhya masih terdapat
kekurangan dan kekeliruan. olehnya itu penulis mengaharapkan adanya kritik
dan saran dari teman-teman mahasiswa demi kesempurnaan makalah ini,
terutama dosen pengampuh mata kuliah ini.
19
DAFTAR PUSTAKA