Anda di halaman 1dari 19

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mazhab Syafi’iyah juga tersebar diberbagai penjuru dunia, terutama di
kawasan Asia Tenggara. Namun dari pada itu, walaupun penganut mazhab ini
sangat banyak—malah menjadi mayoritas—namun, terkadang pula para
penganut ini tidak mengetahui bagaimana metode istimbath hukum yang
berjelimet yang memeras akal pikiran seorang imam mazhab yakni Imam
Syafi’i sendiri.
Pembahasan mengenai Mazhab Syafi’iyah memang memiliki tendensi dan
keunikan tersendiri. Mulai dari metode istimbath hukumnya, hingga
kontroversi perubahan pendapat dalam Qaul Qadim dan Qaul Jadidnya.
Sehingga masalah ini masih tetap menarik untuk diperbincangkan.
Imam Syafi’i merupakan perpaduan antara dua corak pemikiran, yakni corak
rasionalis dari Mazhab Hanafi dan corak tradisionalis dari Imam Malik.
Sehingga beliau dikenal dengan corak moderat dalam memadukan keduanya.1
Maka dari itu, kami sebagai penulis makalah ini, akan membahas tentang
metode istimbath hukum Mazhab Syafi’i.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Imam Syafi’i?
2. Apa saja istimbath hukum Mazhab Syafi’i?
3. Bagaimana munculnya Qaul Qadim dan Qaul Jadid?
4. Faktor apa saja yang mempengaruhi pemikiran Imam Syafi’i?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk Mengetahui Bagaimana biografi Imam Syafi’i.
2. Untuk Mengetahui Apa saja istimbath hukum Mazhab Syafi’i.
3. Untuk Mengetahui Bagaimana munculnya Qaul Qadim dan Qaul Jadid.
4. Untuk Mengetahui Faktor apa saja yang mempengaruhi pemikiran Imam
Syafi’i

1
Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, (Surabaya: Risalah Gusti,
1995), hlm. 63.
2

BAB II
PEMBAHASAN

B. Biografi Imam Syafi’i

Imam Syafi’i memiliki nama lengkap Abu Abdillah2 Muhammad ibn Idris bin
al-Abbas ibn Utsman ibn Syafi’i ibn al-Syaib ibn Ubaid ibn Abd Yazid ibn
Hasyim ibn `Abd al-Muthalib ibn `Abd Manaf al-Quraisy (memiliki nasab
dengan Nabi Muhammad).3 Lahir pada tahun 150 H (767 M) tepatnya di Kota
Ghaza, yaitu bagian selatan Palestina. Kampung halaman Imam Syafi’i
sebenarnya Mekkah, bukan Palestina, ibu-bapaknya datang ke Ghaza untuk
suatu keperluan dan tak lama Imam Syafi’i dilahirkan di Ghaza. Dan akhirnya
Syafi’i dibawa ke Mekkah pada usia 2 tahun.

Pendidikan Imam Syafi’i dimulai sejak ia berada di Makkah. Ia menghafalkan


al-Qur'an dan mempelajari al-Hadis. Pada usia 9 tahun, Syafi’i kecil telah
mampu menghafal al-Qur'an 30 juz serta menguasai banyak Hadis Nabi. Serta
telah menghafal kitab al-Muwattha karangan Imam Malik pada usia 10 tahun.
Ia belajar bahasa Arab di perkampungan Bani Hudzail di Hijaz, suatu kabilah
yang masih murni bahasa Arabnya, guna mendalami bahasa dan sastra Arab.
Awalnya Imam Syafi’i berguru pada ulama Mekkah seperti Muslim ibn Khalid
al-Zanji dalam bidang fiqih. Kemudian beliau meminta izin kepada gurunya
untuk pergi ke Madinah dalam ragka belajar pada Imam Malik. Seorang
pendiri mazhab. Selain belajar pada Imam Malik, Imam Syafi’i juga belajar
pada Ibrahim ibn Sa’ad al-Anshari, Ibrahim ibn Yahya al-Aslami, dan
Muhammad al-Dardawi semuanya dalam bidang Hadis.

Imam Syafi’i juga pernah belajar di Yaman kepada Yahya ibn Husein. Bahkan
Imam Syafi’i diangkat menjadi sekretaris negara dan Mufti (kepala daerah) di

2
Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Imam Syafi’i, Cet-16, (Jakarta:
Pustaka Tarbiyah, 2006), hlm. 19.
3
Mohammad Hefni, Antologi Kajian Hukum Islam, (Surabaya: Pena Salsabila, 2013),
hlm. 149.
3

Najran. Di Yaman pula, Imam Syafi’i menikah dengan Hamidah binti Nafi’i,
dari pernikahan itu dikaruniai tiga orang anak. Namun, Imam Syafi’i dituduh
sebagai kelompok Syiah yang sangat membenci Khalifah Abbasiyah, Harun ar-
Rasyid, sehingga Imam Syafi’i ditangkap.4

Imam Syafi’i juga pernah belajar di Iraq. Disana beliau belajar tentang Mazhab
Hanafiyah kepada Muhammad ibn Hasan, salah seorang murid Imam Hanafi5.
Hingga akhirnya, Imam Syafi’i merantau ke Mesir hingga beliau wafat disana.
Di Iraq, Imam Syafi’i menulis sebuah kitab yang dikenal dengan qaul qadim
(fatwa lama), sedangkan saat di Mesir, beliau menulis kitab yang dikenal qaul
jadid (fatwa baru).

B. Istimbath Hukum Mazhab Syafi’i


Tidak berbeda jauh dengan mazhab lainnya. Mazhab Syafi’iyah juga
menggunakan rujukan dan metode istimbath hukum yang ittifaq (disepakati, al-
Qur’an, Hadis, ijma’, dan qiyas) dan ghairu ittifaq (tidak disepakati, dalam
Mazhab Syafi’iyah menggunakan istidlal yang berupa istishab dan qaul as-
shahabat).6
Menurut Imam Syafi’i, rujukan pokok adalah al-Qur’an dan Sunnah. Apabila
suatu persoalan tidak diatur dalam al-Qur’an dan Sunnah, hukum persoalan
tersebut ditentukan dengan Ijma’, baru selanjutnya qiyas (analogis).7
Sedangkan metode istimbath, istihsan, sadu dzara’iah dan lainnya hanyalah
merupakan suatu metode dalam merumuskan dan menyimpulkan hukum-
hukum dari sumber utama, sehingga tidak dijadikan sumber hukum.

4
Sirajuddin Abbas, Sejarah..., hlm. 35-37.
5
Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, Cet-8, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2003), hlm. 47.
6
Romli SA, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, (Jakarta: Media Pratama, 1999), hlm. 50.
7
Moh. Zaini, Himpunan Intisari Tarikh Tasyri’, (Pamekasan: STAIN Pmk Press, 2009),
hlm. 70.
4

1. Al-Qur’an
Tampaknya, Syafi'i tidak memberikan batasan definitif bagi al-Qur'an,
namun berdasarkan uraiannya, para pengikutnyalah yang memberikan
definisi terhadap al-Qur'an. Dalam mazhab ini, sebagaimana ungkapan
Imam Haramain, bahwa Mazhab Syafi’i cukup jelas menyatakan al-
qira’ah asy-syadzdzah8 tidak dapat digunakan sebagai hujjah dan tidak
dapat digunakan sebagai khabar ahad. Mazhab Syafi’i hanya
membenarkan penukilan yang mutawatir untuk dijadikan hujjah dan
diamalkan.
Imam Syafi'i menekankan betapa pentingnya penguasaan bahasa Arab
karena tidak mungkin bisa memahami kandungan al-Qur'an tanpa
penguasaan terhadap bahasa Arab. Sehingga menurut beliau, wajib belajar
Bahasa Arab untuk memahami al-Qur’an. Karena dengan menguasai
Bahasa Arab, maka keluasan mujtahid dalam mengkategorikan sifat-sifat
dalam ayat baik kaidah ‘amm, khos, zahir, mujmal, bayan, takhsis, dan
lainnya akan mudah dipahami.
2. Al-Hadis
Sama dengan al-Qur’an, dalam hal ini, Imam Syafi’i menyederajatkan al-
Qur’an dan Hadis, karena keduanya sama-sama wahyu untuk dijadikan
sumber hujjah. Namun, dalam hal ini, beliau tidak memberikan
memberikan rumusan definitif secara spesifik. Karena telah diketahui
secara jelas (dan secara umum) bahwa Sunnah merupakan perkataan,
perbuatan dan taqrir Rasulullah. Dengan kata lain, bahwa dengan
menerima petunjuk Rasulullah, berarti menerima dari Allah.9
Syafi'i menegaskan bila ditemukan Hadis yang shahih dari Rasulullah,
maka dalil berupa perkataan orang lain tidak diperlukan lagi. Beliau
menolak semua persyaratan yang ditetapkan oleh Imam Hanafi dan Imam

8
Rosihon Anwar, Ulum al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 153
9
Lahmuddin Nasution, Pembaruan..., hlm. 74.
5

Malik. Sehingga Imam Syafi’i memberikan sumbangan besar dalam kritik


Hadis dan dikenal sebagai nashirul Hadis (penolong Hadis).10
Fungsi sunnah terhadap al-Kitab ialah menjelaskan makna perintah Allah
dan menafsirkan apa yang diturunkan secara global (mujmal). Dengan kata
lain bahwa Sunnah tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah
tidak mungkin keluar dari lingkup alternatif yang diberikan al-Qur’an. Hal
itu berarti bahwa Sunnah tidak dapat menasakh al-Qur’an, dan begitu pula
sebaliknya.
Imam Syafi'i membagi Hadis menjadi dua, yaitu khabar al-ammah (Hadis
mutawatir) dan khabar khashah (Hadis ahad). Ia memandang Hadis
mutawatir itu pasti, sehingga Hadis tersebut mutlak harus diterima sebagai
dalil. Akan tetapi Hadis ahad hanya wajib diamalkan apabila hadis
tersebut shahih (memiliki sanad yang tidak terputus). Sedangkan Hadis
mursal, Imam Syafi’i pada prinsipnya tidak menerima Hadis ini, kecuali
dengan persyaratan yang beliau ajukan. Misalnya, Hadis tersebut harus
diriwayatkan oleh perawi lain, terdapat dalam qaul shahaba, terdapat
dalam ijma’.
3. Ijma’
Ijma’ dalam Mazhab Syafi’i diposisikan dalam urutan ketiga setelah al-
Qur’an dan Hadis.11 Disinilah Imam Syafi’i memberikan peran yang baik
dalam membentuk dan menyamakan doktrinisasi ijma’ terutama bagi
mazhab-mazhab setelahnya. Padahal jika dilihat dari perspektif sejarah,
urutan sumber syariah setelah al-Qur’an dan Hadis ialah qiyas, baru
setelah itu ijma’.12
Ijma’ yang diberlakukan dalam Mazhab Syafi’i ini merupakan serangan
besar-besaran untuk mengkritisi metodologi yang berkembang saat itu.
Dimana ijma’ dalam perspektif ini merupakan kesepakatan para ulama
tentang hukum syariah yang disepakati oleh para fuqaha pada masa itu,

10
Musthafa Muhammad Syak’ah, Islam..., hlm. 582. Lihat pula Sirajuddin Abbas,
Sejarah..., hlm. 138.
11
Dedi Supriayadi, Pendekatan..., hlm. 177. Lihat Romli SA, Muqaranah..., hlm. 50.
12
Husayn Ahmad Amin, Seratus..., hlm. 66. Lihat Romli SA, Muqaranah..., hlm. 98.
6

tanpa membedakan antara golongan, lingkungan, atau generasi (masa).


Berbeda dengan ijma’ dalam Mazhab Hanafi yang berorientasi pada
mujtahid lokal dan Mazhab Maliki yang menghususkan pada kesepakatan
penduduk Madinah.13
Ijma' umat terbagi menjadi dua yakni ijma' qauli atau ijma’ shorih, yaitu
suatu ijma' di mana para ulama mengeluarkan pendapatnya dengan lisan
ataupun tulisan yang menerangkan persetujuannya atas pendapat mujtahid
lain di masanya. Dan ijma' sukuti, yaitu suatu ijma' di mana para ulama
diam, tidak mengatakan pendapatnya, diam di sini dianggap menyetujui.
Dan dalam hal ini, Imam Syafi’i tidak menerima ijma’ sukuti.
Namun tampaknya ide ijma’ sebagai sumber hukum ini merupakan upaya
antisipasif agar masyarakat Islam tetap terpelihara dalam persatuan. Ulama
fiqih termasuk Imam Syafi’I melihat pertikaian politik dalam
pemerintahan Islam yang melibatkan semua masyarakat Islam sudah
sampai pada titik yang membahaya-kan. Perpecahan umat yang
disebabkan perbedaan inilah yang dirasa membahayakan persatuan.
Dengan adanya ijma’ dimaksudkan untuk menyatukan pandangan di
kalangan para ulama. Dengan kesatuan ulama maka akan terwujudlah
persatuan ummat islam.
4. Qiyas
Dalam pandangan Imam Syafi’i, qiyas merupakan metode yang sah dalam
merumuskan hukum setelah rumusan hukum sebelumnya. Dengan
demikian, beliau menempatkannya pada posisi terakhir dengan
memandang pendapat pribadinya berada dibawah dalil-dalil yang
didasarkan pada pendapat para sahabat.14
Qiyas dalam hal ini ialah perbandingan menyerupakan hukum masalah
yang baru dengan hukum masalah yang serupa dengan yang telah terjadi

13
Dedi Supriayadi, Pendekatan..., hlm. 86. Lihat pula Husayn Ahmad Amin, Seratus...,
hlm. 66., dan Romli SA, Muqaranah..., hlm. 98.
14
Abu Ameenah Bilal Philips, Abu Ameenah Bilal Philips, Asal-usul dan Perkembangan
Fiqh, terj. Fauzi Arifin, (Bandung: Nusamedia, 2005), hlm. 109.
7

lebih dahulu.15 Misalnya gandum yang mencapai nisab harus dikeluarkan


zakatnya, namun dalam Hadis tidak disebutkan zakat padi. Sehingga
dalam hal ini, padi di qiyaskan pada gandum.
Para fuqaha sebelumnya membahas tentang ar-ra'yu tanpa menentukan
batas-batasnya dan dasar-dasar penggunaannya, tanpa menentukan norma-
norma ra'yu yang shahih dan yang tidak shahih. Sehingga Imam Syafi'i
membuat kaidah-kaidah yang harus dipegangi dalam menentukan mana
ra'yu yang shahih dan yang batil.
Qiyas dilihat dari kekuatan 'illat yang terdapat pada far’ dan ashl menurut
Imam Syafi'i dibagi menjadi tiga bentuk yaitu:16
1. Qiyas al-aqwa ialah qiyas yang illat hukum cabangnya (far') lebih
kuat daripada illat pada hukum ashl. Misalnya, Allah mengharamkan
berprasangka buruk, maka menuduh seseorang lebih tegas
keharamannya.
2. Qiyas al-musawi ialah qiyas yang illat pada far' sama kekuatan
dengan illat yang pada ashl. Misalnya jika laki-laki meninggal dunia,
maka pemilik barang (yang ada ditangan laki-laki tersebut) lebih
berhak atas barangnya. Sehingga dengan menggunakan qiyas, maka
hal ini bukan hanya berlaku pada laki-laki, namun perempuan pula.
3. Qiyas al-adhaf ialah qiyas yang illat hukum cabangnya (far') lebih
lemah dibandingkan dengan illat hukum ashl. Seperti mengqiyaskan
apel dengan gandum dalam berlakunya riba fadhl. Memang dalam hal
ini mengandung illat yang sama, yakni sama-sama makanan. Namun
memperlakukan riba pada apel lebih rendah daripada berlakunya
hukum riba pada gandum karena illat lebih kuat.
Dalam hal istimbath hukum yang qhairu ittifaq, Imam Syafi’i mengguna-kan
beberapa metode seperti qaul as-shahabat dan istishab yang menjadi ciri khas
mazhab Syafi’i.

15
Sirajuddin Abbas, Sejarah..., hlm. 168.
16
Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Raja Grafindo, 1996),
hlm. 118-120.
8

Pertama, Istishab, ialah memberlakukan hukum asal sebelum ada kepastian


hukum yang mengubahnya. Menurutnya, istishab bisa menjadi hujjah serta
mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada yang
dadil yang mengubahnya.17
Misalnya, apabila dalam menentukan arah kiblat, ijtihad pertama tidak sama
dengan ijtihat ke dua. Maka dalam hal ini ijtihad pertama tetap sah sehingga
tidak memerlukan pengulangan pada rakaat yang dilakukan dengan ijtihad
pertama.
Kedua, Qaul as-Shahabat, ialah pendapat para sahabat dalam menentukan
hukum permasalahan. Bagi Imam Syafi’i, kedudukan fatwa sahabat ini
didahulukan dari pada qiyas. Karena ketetapan para sahabat dianggapnya lebih
berkompetens dalam masalah agama, mereka juga itu lebih pintar, lebih takwa,
dan lebih berhati-hati.
Diriwayatkan oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i di dalam kitab al-Umm
berkata: “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dalam al-Qur’an dan
sunnah, maka kami kembali kepada pendapat para sahabat atau salah seorang
dari mereka. Karena jika kami tidak menjumpai dilalah dalam ikhtilaf yang
menunjukan pada ikhtilaf yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan sunnah,
niscaya kami mengikuti pendapat yang mempunyai dilalah”.18
Qaul as-Shahabat dibagi menjadi dua yakni fatwa individual dan fatwa ijma’.
Dan ketentuan hukumnyapun berbeda, jika fatwa individual maka boleh diikuti
dan boleh tidak diikuti. Sedangkan fatwa yang telah menjadi ijma’ shahabat
maka mutlak diikuti.19

C. Seputar Qaul Qadim Dan Qaul Jadid


Hal yang sangat menarik diperbincangkan dalam Mazhab Syafi’i ialah
keberadaan qaul qadim20 (fatwa lama) dan qaul jadid21 (fatwa baru). Qaul

17
Syafi’I Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 165.
18
Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm nya, lihat: Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh,
cet-12, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), hal. 332-334.
19
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh: Jilid 2, cet-4 (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 378.
20
Qaul qadim kebanyakan tertuang dalam kitab ar-risalah (al-qadimah) dan al-hujjah.
Lihat Lahmuddin Nasution, Pembaruan..., hlm. 174.
9

qadim yang ditulisnya di Iraq tahun dan qaul jadid yang ditulisnya di Mesir,
memiliki corak pemikiran yang berbeda. Pasalnya, corak pemikiran Iraq yang
didominasi oleh rasional dan corak pemikiran Mesir yang tradisional.
Saat berdomisili di Mesir, Imam Syafi’i banyak membuat perbedaan-perbedaan
yang tajam dengan alliran yang ada sebelumnya, yakni alira Hanafi dan Maliki.
Dengan kata lain, bahwa Imam Syafi’i memberikan corak baru dalam
memadukan kedua Mazhab sebelumnya, yakni kombinasi antara rasional dan
tradisional.
Hanya saja yang perlu dicatat di sini adalah corak al-ra’yu bukan berarti
menolak sama sekali pemahaman tekstual ataupun otoritas teks. Demikian
pula, corak al-hadis bukan berarti menolak sama sekali peranan rasio dalam
memahami teks agama. Pemberian nama ini berkenaan dengan porsi
penggunaan kedua kecenderungan tersebut tersebut pada masing-masing aliran.
Imam Syafi’i melihat kelebihan pada masing-masing aliran tersebut sebagai
kekuatan yang bermanfaat bagi pemikiran hukum Islam. Oleh karenanya,
aliran-aliran tersebut harus dipadukan. Sehingga fiqh al-Syafi’iyah dikenal
berada di antara fiqh ahl al-hadis dan fiqh ahl al-ra’y.
Terdapat perbedaan bahkan pengubahan hukum dalam suatu permasalahan
antara qaul qadim dan qaul jadid. Misalnya:
Pertama, status air musta’mal yang digunakan dalam berwudlu. Dalam qaul
qadim air tersebut tetap suci dan menyucikan (thahir muthahir), sedangkan
dalam qaul jadid hanya bersifat suci namun tidak menyucikan (thahir ghairu
muthahir).22
Alasan dalam qaul qadim ialah: a) berdasarkan surat al-Furqan: 48. “wa
anzalna min al-sama’i ma’an thahura”.23 b) berdasarkan Hadis, “bahwa suatu
ketika Nabi sedang mandi, dan ternyata sebagian dari bahunya tidak terkena
air, lalu beliau memeras rambutnya dan mengalirkan kebagian tersebut” (HR.

21
Qaul jadid kebanyakan tertuang dalam sebagian ar-risalah (al-jadidah), al-umm, al-
‘amali, al-imla’, dll. Ibid, hlm. 174.
22
Imam al-Nawawy, al-majmu’, dalam Roibin, Sosiologi..., hlm. 150.
23
Thahura diatas diartikan sebagai sifat air yang pada hakikatnya adalah suci.
10

Abu Daud). c) berdasar qiyas, bahwa air itu hakikatnya suci, maka kesuciannya
itu tidak akan pernah hilang ketika digunakan untuk hal-hal yang suci pula.
Sedangkan alasan dalam qaul jadid ialah a) berdasarkan surat al-Maidah: 6
harus menggunakan air yang statusnya sama diantara semua siraman yakni suci
dan menyucikan. b) berdasar Hadi “Nabi melarang kami berwudlu dengan air
yang telah digunakan untuk berjunub” (HR. At-Tirmidzi). c) berdasar hasil
ijma’ bahwa air musta’mal tidak menyucikan. d) berdasar qiyas bahwa air
musta’mal hilang sifat ithlaqnya seperti air yang digunakan dalam
membersihkan najis.
Misalnya pula tentang menyapu khuff (sepatu yang menutup kaki sampai mata
kaki) yang robek. Dalam qaul qadim jika koyaknya sedikit, maka boleh disapu.
Sedangkan dalam qaul jadid walaupun koyaknya sedikit tetap tidak boleh
disapu.24
Dalil-dalil yang menyokong dalam qaul qadim ialah: a) Hadis Nabi “apabila
seseorang bersuci kemudian menggunakan khuffnya, maka ia boleh
menyapunya” (HR. At-Tirmidzi). b) koyak yang sedikit dianggap sama dengan
lubang tali sepatu. c) mengusap khuff dalam hal tersebut memberikan
kemudahan.
Dalil-dalil yang mendukung dalam qaul jadid ialah: a) kaki yang terlihat
karena kondisi khuff yang rusak, sama halnya dengan kaki yang terlihat dengan
kondisi khuff ditanggalkan. b) Hadis diatas dimaksudkan hanya untuk khuff
yang baik, bukan yang koyak.
Dan masih banyak contoh-contoh perbedaan perubahan hukum dalam qaul
qadim dan qaul jadid yang tidak mungkin dibahas dalam makaah ini. Tentang
perincian pendapat-pendapat yang dikecualikan ini dapat dibaca selengkapnya
dalam al-Majmu’, karya al-Nawawy, seorang mujtahid Mazhab Syafi’i.
Dari beberapa contoh diatas dapat kita lihat dengan jelas corak pemikiran
rasional yang berpaku pada ra’yu dalam qaul qadim dan corak pemikiran
tradisional yang terpaku dengan Hadis yang ketat dalam qaul jadid. Dengan
kata lain, bahwa qaul qadim merupakan tahap perkembangan, dan qaul jadid

24
Ibid, hlm. 146.
11

merupakan tahap kematangan. Dan perubahan (ralat hukum) tersebut semata-


mata karena kematangan Imam Syafi’i dalam menelaah dalil-dalil hukum.
Mayoritas Mazhab Syafi’i telah melegitimasi atas amandemensi qaul qadim
menjadi qaul jadid. Sehingga yang absah dijadikan patokan ialah qaul jadid.
Sebagaimana ungkapan Nahrawi Abdus Salam, “qaul jadid merupakan
pendapat yang terpilih.25 Sedangkan beberapa pendapat lagi menyatakan
kebolehan berpedoman pada qaul qadim dengan syarat telah ahli dalam
takhrij.26 Karena bisa jadi, apa yang ada dalam qaul qadim lebih pas
diterapkan, misalnya tentang penentuan masuknya sholat magrib, dimana qaul
qadim lebih unggul dalilnya.27
Dan perlu diketahui pula bahwa Imam Syafi’i menyadari betul atas
kemungkinan pendapatnya salah. Imam Syafi’i menyatakan bahwasanya
merupakan hal yang mustahil bisa mengetahui semua Hadis yang diriwayatkan
dari Nabi, atau mengingat semua Hadis yang diperolehnya. Oleh karenanya,
hal demikian dapat menyebabkan orang membuat pertimbangan yang salah.28
Pengubahan atau ralat hukum yang dilakukan oleh Imam Syafi’i bukanlah
merupakan keplin-planan beliau. Justeru hal ini merupakan fleksibelitas suatu
hukum fiqih, bukan kekakuan fiqih. Disamping itu, banyak faktor yang
mempengaruhi perubahan tersebut.

D. Faktor Yang Mempengaruhi Pemikiran Imam Syafi’i


Menurut Dedi Supriyadi, terdapat tiga faktor yang berpegaruh pada pemikiran
Imam Syafi’i.29
Pertama, faktor pluralisme pemikiran. Pada masa Imam Syafi’i hidup sudah
banyak ahli fiqh, baik dari murid Imam Hanafi maupun Imam Malik sendiri.
Sehingga Imam Syafi’i mampu mengakumulasi berbagai pemikiran fiqih, baik

25
Nahrawi Abdus Salam dalam Roibin, Sosiologi..., hlm. 134.
26
Mohammad Hefni, Antologi..., hlm. 159-160.
27
Roibin, Sosiologi..., hlm. 165-166. Lahmuddin Nasution, Pembaruan..., hlm. 195.
28
Abu Ameenah Bilal Philips, Asal-usul..., hlm. 171.
29
Dedi Supriayadi, Pendekatan..., hlm. 207-208.
12

dari Mekkah, Madinah, dan Iraq, serta Mesir menjadikan Imam Syafi’i
memiliki wawasan yang luas tentang berbagai aliran.
Kedua, faktor geografis. Faktor ini merupakan faktor secara alamiah negara
Mesir tempat Syafi’i lahir. Mesir memiliki warisan budaya Yunani, Persia,
Romawi, dan Arab. Sehingga kondisi ini memberikan pengaruh besar pada
pemikiran Imam Syafi’i.
Ketiga, faktor Sosial dan Budaya. Dalam hal ini juga mempengaruhi pemikiran
Imam Syafi’i terbukti dengan adanya qaul qadim dan qaul jadid. Qaul qadim
yang bercorak ra’yi dan qaul jadid yang bercorak Hadis.
Sedangkan menurut Lahmuddin Nasution, perbedaan primer dalam qaul qadim
dan qaul jadid ialah perbedaan ayat atau Hadis yang digunakan, serta
perbedaan pandangan dalam model istimbathnya, misal perbedaan pandangan
masalah ijma’, qiyas, qaul shahabat.30 Sedangkan pengaruh sosial tidak banyak
berperan (hanya sebagai sekunder)31
Banyak literatur yang menyebutkan bahwa pengaruh perubahan sosial antara
Iraq dan Mesir yang mempengaruhi pemikiran Syafi’i. Namun dalam hal ini,
kita akan mengkritisi terhadap hal tersebut. Pasalnya, perubahan dari qaul
qadim ke qaul jadid bukan karena asas perubahan sosial-kultural.
Pertama, Qaul yang diralat oleh Imam Syafi’i kebanyakan merupakan masalah
ubudiyah tidak berhubungan dengan masalah sosial-kultural. Malah
kebanyakan amandemensi pendapat tersebut karena ditemukannya Hadis dan
pandangan yang lebih kuat.
Kedua, jika pengaruh sosial-kultural, maka yang didahulukan adalah qiyas
bukan mendahulukan ijma’. Sedangkan Imam Syafi’i dalam keputusannya
selalu didahulukan ranah wahyu, bukan ra’yu.
Ketiga, seandainya benar bahwa Imam Syafi’i mengubah pendapatnya karena
perubahan sosio-kultural, maka hal itu menunjukkan bahwa Imam Syafi’i
mengalami kemunduran intelektual. Karena wilayah Iraq adalah wilayah yang
peristiwa hukumnya lebih kompleks dari sudut pandang sosial, sedangkan

30
Lahmuddin Nasution, Pembaruan..., hlm. 195.
31
Ibid, hlm. 224.
13

kehidupan sosial Mesir lebih sederhana karena Mesir pada waktu itu adalah
daerah pinggiran, bukannya Ibu Kota kekhilafahan.
Keempat, bila benar qaul qadim diralat karena faktor sosial-kultural,
seharusnya beliau berfatwa bahwa qaul qadim hanya berlaku di Iraq yang
permasalahan kehidupannya lebih kompleks, sedangkan qaul jadid difatwakan
agar hanya berlaku di wilayah yang masalah kehidupannya lebih tradisional.
Kenyataannya, Imam Syafi’i berpesan pada murid-muridnya agar menghapus
qaul qadim untuk selamanya dan tidak memfatwakannya kembali pada
siapapun dan di manapun, termasuk pada warga Iraq.
Namun, kami (penulis) sendiri tidak dapat mengingkari adanya kemungkinan
faktor sosio-kultural tersebut dalam kasus-kasus yang spesifik saja sebagai
pengecualian, dengan catatan bahwa jikalau keputusan seperti itu memang
ditemukan, maka pastilah hanya berupa keputusan sementara selama illah
masih ada.

E. Contoh-contoh Qaul Qodim Dan Qaul Jadid


Beberapa Contoh Qaul Qodim Dan Qaul Jadid Di sini akan disertakan
beberapa contoh ringkas perbezaan di antara Qaul Qodim (Pendapat Lama) dan
Qaul Jadid (Pendapat Baru) Imam Al-Syafie, namun sebelum mengamalkannya
anda harus berguru, meneliti dan mengkaji qaul manakah yang patut diamalkan.
Ini kerana mungkin Imam Al-Syafie telah merujuk pada Qaul Qodim-nya, atau
Qaul Qodim berdasarkan dalil yang Sahih.
1. Hukum air mengalir yang terkena najis, namun sifat-sifatnya tidak berubah.
Qaul Qodim: Air mengalir tidak akan menjadi najis. Qaul Jadid: Air mengalir
hukumnya sama dengan air yang tenang. Jika kuantitinya kurang dari dua
kullah, maka menjadi Najis.
2. Hukum air mustakmal untuk bersuci yang wajib. Qaul Qodim: Air mustakmal
hukumnya suci lagi menyucikan. Qaul Jadid: Air mustakmal hukumnya suci
tetapi tidak dapat menyucikan.
3. Hukum menjual kulit haiwan yang telah disamak. Qaul Qodim: Tidak boleh
menjualnya. Qaul Jadid: Boleh menjualnya.
14

4. Hukum terlupa tertib wuduk. Qaul Qodim: Sah wuduknya. Qaul Jadid:
Hukumnya sama dengan orang yang tinggalkan secara sengaja, tidak sah.
5. Hukum muwalat dalam berwuduk. Qaul Qodim: Wajib. Qaul Jadid: Sunat,
bukan Wajib.
6. Batas waktu mengusap khuf (sepatu). Qaul Qodim: Tidak ada batas waktu.
Qaul Jadid: Bagi musafir, 3 hari 3 malam manakala bagi yang mukim sehari
semalam.
7. Hukum mengusap khuf yang koyak. Qaul Qodim: Boleh mengusapnya. Qaul
Jadid: Tidak boleh mengusapnya apabila koyakan itu sampai menampakkan
bahagian kakinya.
8. Hukum wuduk bagi orang yang tertidur ketika solat. Qaul Qodim: Tidak
membatalkan wuduk. Qaul Jadid: Batal wuduk. Hukum tidur dalam solat sama
dengan hukum tidur di luar Sholat.
9. Hukum wuduk bagi orang yang menyentuh dubur manusia. Qaul Qodim: Tidak
membatalkan wuduk. Qaul Jadid: Wuduknya batal.
10. Hukum wuduk bagi orang yang menyentuh dubur binatang ternak. Qaul
Qodim: Batal wuduk. Qaul Jadid: Tidak batal wuduk.
11. Hukum wuduk bagi orang yang memakan daging unta. Qaul Qodim: Batal
wuduk. Qaul Jadid: Tidak batal wuduk.
12. Batas usapan tayamum pada tangan. Qaul Qodim: Sehingga pergelangan
tangan sahaja. Qaul Jadid: Sampai ke siku.
13. Tayamum dengan pasir. Qaul Qodim: Boleh bertayamum dengan pasir. Qaul
Jadid: Tidak boleh bertayamum dengan pasir.
14. Kes orang yang mempunyai air tetapi tidak cukup untuk mandi hadas dan
berwuduk. Qaul Qodim: Tidak wajib menggunakan air itu, tayamum sahaja.
Qaul Jadid: Wajib menggunakan air itu terlebih dahulu, kemudian tayamum
untuk menyucikan sebahagian anggota tubuhnya yang belum tersentuh air.
15. Kafarah menggauli isteri yang sedang haid. Qaul Qodim: Dikehendaki
membayar kafarah dengan sedekah sebanyak 1 dinar jika menggauli isteri
yang sedang haid pada saat datangnya darah, dan setengah dinar bagi suami
yang menggauli isterinya yang sedang haid pada saat hilangnya darah. Qaul
15

Jadid: Tidak wajib membayar kafarah, tetapi sekadar dianjurkan sahaja.


Dikehendaki memohon ampun dan bertaubat kepada Allah SWT.
16. Hukum bersenang-senang di sekitar pusat dan lutut isteri yang sedang haid.
Qaul Qodim: Perbuatan itu tidak diharamkan, tetapi makruh. Qaul Jadid:
Perbuatan itu hukumnya Haram.
17. Waktu Solat Maghrib. Qaul Qodim: 2 waktu-1 waktu saat terbenam matahari
dan 1 waktu lagi sampai hilangnya sinar merah matahari. Qaul Jadid: 1
waktu. Sebatas cukup bersuci, menutup aurat, azan, iqamah dan solat.
18. Tidak mengetahui atau terlupa membersihkan najis pada pakaian ketika solat.
Qaul Qodim: Solatnya sah. Qaul Jadid: Solat tidak sah dan wajib mengulang.
19. Lupa membaca Al-Fatihah dalam solat. Qaul Qodim: Solatnya sah. Qaul
Jadid: Solatnya tidak sah.
19. Hukum baca Al-Fatihah bagi makmum pada rakaat solat yang dikeraskan
suara. Qaul Qodim:
20. Makmum tidak wajib membaca Al-Fatihah melainkan pada rakaat 3 dan 4.
Qaul Jadid: Makmum wajib membaca Al-Fatihah dalam setiap rakaat pada
setiap Sholat.
21. Mengucapkan salam di akhir solat. Qaul Qodim: Disyariatkan hanya salam
pertama sahaja. Qaul Jadid: Salam kedua disyariatkan dan sunat hukumnya.
22. Hadas ketika solat. Qaul Qodim: Hanya batal wuduk, tidak batal solat. Oleh
itu, perlu keluar barisan solat dan pergi berwuduk lalu sambung kembali solat
tadi. Qaul Jadid: Solatnya batal. Perlu mengulangi solat dari awal.
23. Menggantikan imam yang berhadas. Qaul Qodim: Tidak boleh
menggatikannya. Qaul Jadid: Boleh mengganti imam.
24. Kes melewatkan solat dalam perjalanan lalu ia mengqadanya di rumah. Qaul
Qodim: Boleh mengqasarnya, apabila melakukan solat di rumah. Qaul Jadid:
Tidak boleh mengqasarkannya, jika melaksanakan solat di rumah.
25. Hukum merampas sebahagian harta orang yang tidak mahu membayar zakat.
Qaul Qodim: Boleh. Qaul Jadid: Tidak boleh. Hutang menghalangi bayar
zakat. Qaul Qodim:
16

26. Hutang menggugurkan kewajipan membayar zakat. Qaul Jadid: Hutang tidak
menghalangi kewajipan membayar zakat.
27. Permulaan waktu wajib membayar zakat fitrah. Qaul Qodim: Saat terbitnya
fajar di hari Ied Fitri. Qaul Jadid: Wajib membayar zakat fitrah pada waktu
selepas terbenamnya matahari di hari terakhir bulan Ramadan atau malam
menjelang Ied Fitri.
28. Membayar fidyah bagi orang tua atau orang sakit yang tidak mampu berpuasa.
Qaul Qodim: Tidak wajib membayar fidyah. Qaul Jadid: Wajib membayar
fidyah.
29. Gila sampai setengah hari bagi orang yang berpuasa. Qaul Qodim: Sah
puasanya. Qaul Jadid: Tidak sah puasanya.
30. Meninggal dunia sebelum mengqada puasa. Qaul Qodim: Walinya boleh
berpuasa untuk orang yang meninggal dunia atau membayar fidyah. Boleh
pilih salah satu. Qaul Jadid: Walinya tidak boleh menggantikan puasa untuk
orang yang meninggal dunia. Tetapi, wajib membayar fidyah.
31. Hukum Umrah. Qaul Qodim: Umrah hukumnya sunat, bukan wajib. Qaul
Jadid: Hukum Umrah adalah wajib.
32. Hukum ihram bagi anak kecil yang mumayyiz (boleh membezakan baik &
buruk) tanpa izin walinya. Qaul Qodim: Tidak boleh. Qaul Jadid: Boleh.
33. Hukum melanggar larangan ihram bagi anak kecil dengan sengaja. Qaul
Qodim: Mesti membayar fidyah dengan wang anak kecil itu. Qaul Jadid:
Fidyah diambil dari wang walinya.
34. Meninggal dunia ketika sedang menunaikan haji. Qaul Qodim: Diperbolehkan
menggantikan hajinya. Qaul Jadid: Tidak diperbolehkan menggantikan
hajinya.
35. Hukum berihram sebelum waktu ihram. Qaul Qodim: Ihramnya boleh
ditangguhkan sampai bulan-bulan haji. Qaul Jadid: Ihramnya dianggap ihram
umrah.
36. Hukum tawaf dengan badan serong (45 darjah) atau kurang sempurna. Qaul
Qodim: Boleh. Qaul Jadid: Tidak boleh. Hendaklah betul-betul sempurna dan
bukan dengan sebahagian badan sahaja.
17

37. Hukum berhadas ketika sedang tawaf. Qaul Qodim: Mesti pergi berwuduk dan
tidak boleh menyambung tawafnya dan perlu mulai dari awal. Qaul Jadid:
Boleh melanjutkan tawafnya setelah berwuduk.
38. Hukum menjual sesuatu yang belum dimiliki. Qaul Qodim: Akad penjualan
ditangguhkan sampai mendapat izin pemilik barang yang hendak dijual.
Apabila diizinkan maka penjualan itu sah. Qaul Jadid: Hukum penjualan ini
batal.
39. Azan bagi solat qada’. Qaul Qodim: Tetap perlu azan. Qaul Jadid: Tidak perlu
azan, hanya iqamah sahaja.
40. Memakan kulit bangkai haiwan yang telah disamak. Qaul Qodim: Tidak boleh
memakannya, tidak kira binatang yang halal atau haram dimakan. Qaul Jadid:
Boleh dimakan jika dari binatang yang halal.
41. Solat Isya’. Qaul Qodim: Mendahulukan solat Isya’ lebih utama. Qaul Jadid:
Mengakhirkan solat Isya’ lebih utama.
42. Makmum yang membaca amin. Qaul Qodim: Makmum dianjurkan membaca
amin dengan keras (jahar). Qaul Jadid: Makmum tidak perlu membaca amin
dengan keras.
43. Membaca surah bagi imam atau orang yang solat sendirian pada rakaat ketiga
dan keempat. Qaul Qodim: Tidak disunahkan. Qaul Jadid: Disunahkan.
18

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Imam Syafi’i memiliki nama lengkap Abu Abdillah Muhammad ibn Idris bin
al-Abbas ibn Utsman ibn Syafi’i ibn al-Syaib ibn Ubaid ibn Abd Yazid ibn
Hasyim ibn `Abd al-Muthalib ibn `Abd Manaf al-Quraisy (memiliki nasab
dengan Nabi Muhammad). Lahir pada tahun 150 H (767 M) tepatnya di Kota
Ghaza, yaitu bagian selatan Palestina
Dalam istimbath hukumnya, beliau menggunakan runtutan sebagai berikut. Al-
Qur’an, al-Hadis, Ijma’, dan Qiyas. Dan metode yang tidak disepakati, beliau
menggunakan Istishab dan Qaul as-Shahabat. Sedangkan beliau menolak
istihsan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemikirannya ialah: Pertama, penggunaan
dalil-dalil hukum. Kedua, perbedaan pandangan dalam memahami model
istimbath hukum. Ketiga, corak pemikiran (pluralitas pemikiran). Keempat,
pengaruh sosial-kultural.
Salah satu contoh Qaul Qodim dan Qaul Jadid adalah Hukum air mengalir
yang terkena najis, namun sifat-sifatnya tidak berubah. Qaul Qodim: Air
mengalir tidak akan menjadi najis. Qaul Jadid: Air mengalir hukumnya sama
dengan air yang tenang. Jika kuantitinya kurang dari dua kullah, maka menjadi
Najis.

B. Saran
Dari menulisan makalah ini penulis menyadari sepenunhya masih terdapat
kekurangan dan kekeliruan. olehnya itu penulis mengaharapkan adanya kritik
dan saran dari teman-teman mahasiswa demi kesempurnaan makalah ini,
terutama dosen pengampuh mata kuliah ini.
19

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Sirajuddin, Sejarah dan Keagungan Mazhab Imam Syafi’i, Cet-16,


(Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2006)
Amin, Husayn Ahmad, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, Cet-8, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2003)
Anwar, Rosihon, Ulum al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2013)
Hefni, Mohammad, Antologi Kajian Hukum Islam, (Surabaya: Pena Salsabila,
2013)
Nasution, Lahmuddin, Pembaruan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’i,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001)
Philips, Abu Ameenah Bilal, Asal-usul dan Perkembangan Fiqh, terj. Fauzi
Arifin, (Bandung: Nusamedia, 2005)
Roibin, Sosiologi Hukum Islam: Telaah Sosio-Historis Pemikiran Imam Syafi’i,
(Yogyakarta: UIN Malang Press, 2008)
SA, Romli, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, (Jakarta: Media Pratama, 1999)
Saleh, Abdul Mun’in, Madhhab Syafi’i; Kajian Konsep al-Maslahah,
(Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001)
Sirry, Mun’im A, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, (Surabaya: Risalah
Gusti, 1995)
Supriayadi, Dedi, Pendekatan Mazhab dengan Pendekatan Baru, (Bandung:
Pustaka Setia, 2008)
Syak’ah, Muhammad, Islam Tanpa Mazhab, terj. Abu Zaidan, (Solo: Tiga
Serangkai, 2008)
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh: Jilid 2, cet-4 (Jakarta: Kencana, 2008).
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, cet-12, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008).
Zaini, Moh., Himpunan Intisari Tarikh Tasyri’, (Pamekasan: STAIN Pmk Press,
2009)
Zuhri, Muh, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Raja Grafindo, 1996)
http://mazhab-alsyafie.blogspot.com/2011/06/beberapa-contoh-qaul-qodim-dan-
qaul.html. diakses pada tanggal. 14-12-2015

Anda mungkin juga menyukai