Makalah Pengantar Ilmu Hukum
Makalah Pengantar Ilmu Hukum
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Eksistensi hukum adalah hukum ada sejak masyarakat pernyataannya dapat digeser menjadi sejak kapan
adanya masyarakat. suatu unsur pokok dalam hukum bahwa sesuatu yang berkenaan dengan masyarakat,
keberadaan hukum adalah sebagai pengontrol sosial (social control) yang biasa didefinisikan suatu proses baik
yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat
agar mematuhi sistem kaidah dan nilai yang berlaku. hukum juga berfungsi sebagai alat untuk mengubah
masyarakat atau biasa disebut social engineering . berkaitan dengan fungsi dan keberadaan hukum sebagai
pengatur dan penggerak perubahan masyarakat. Suatu kelompok pada suatu tempat tertentu hancur, bercerai-
berai atau punah bukanlah disebabkan hukum gagal dan difungsikan untuk melaksanakn tugasnya, melainkan
tugas hukum harus dijalankan untuk menjadi sosial kontrol dan social engineering didalam kehidupan
masyarakat. Sebab tugas dan fungsi hukum tidak merupakan tujuan itu sendiri, melainkan merupakan instrument
yang tidak dapat digantikan untuk mencapai keseimbangan dalam aktivitas yang dilakukan oleh manusia.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian dari Eksistensi hukum dan fungsi eksistensi hukum Menurut Aristoteles ?
2. Perbedaan Pengertian eksistensi hukum menurut Roscoe Pound dan William James ?
5. Bagaimana Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi Menurut Peraturan
Pemerintah No. 224 Tahun 1961 Tentang Perubahan Hak Sengketa Tanah ?
1. Menjelas asal – usul dari eksistensi hukum dan fungsi menurut Aristoteles
2. Menjelaskan asal – usul dari eksistensi hukum dan fungsi menurut Roscoe dan William James
7.
Pembahasan
A. Pengertian dari Eksistensi hukum dan fungsi eksistensi hukum Menurut Aristoteles
Aristoteles (384-322 SM.) seorang ahli fikir Yunani kuno mengatakan dalam ajarannya, bahwa
manusia itu adalah Zoon Politicon, artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk pada dasarnya selalu
ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya, jadi makhluk yang suka bergaul satu sama
lain. Maka manusia itu disebut makhluk sosial. maka dari itu setiap orang wajib bertindak dan mematuhi
aturan sedemikian rupa dalam masyarakat, sehingga tata tertib dalam masyarakat itu tetap terpelihara
dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itulah hukum meliputi berbagai peraturan yang menentukan dan
mengatur hubungan orang yang satu dengan yang lain, yakni peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan
yang dinamakan kaedah hukum. Aturan dalam masyarakat tak terlepas dari tujuan dari kehidupan
B. Perbedaan Pengertian eksistensi hukum menurut Roscoe Pound dan William James
Roscoe Pound seorang kriminolog asal belanda, mengemukakan bahwa agar hukum dapat
dijadikan sebagai agen dalam perubahan sosial atau atau yang disebutnya dengan agent of social change,
ditengah-tengah dunia yang sangat terbatas dengan kebutuhan (kepentingan) manusia yang selalu
berkembang, maka duniapun tidak dapat memuaskan kebutuhan (kepentingan) manusia tersebut. Disini
terlihat bahwa James mengisyaratkan “hak” individu yang selalu dituntut untuk dipenuhi demi
terwujudnya suatu kepuasan, tidak akan pernah terwujud sepenuhnya, dan akan selalu ada pergeseran-
pergeseran antara “hak” individu yang satu dengan “hak” individu yang lain. Untuk itulah dituntut peran
peraturan hukum (legal order) untuk “mengarahkan” manusia menyadari “keterbatasan dunia” tersebut,
sehingga mereka berusaha untuk membatasi diri dengan mempertimbangkan sendiri tuntutan terhadap
pemuasan dan keamanan kepentingannya. Tuntutan yang sama juga akan diajukan oleh individu lain
(balance).
semoga kita bisa mengartikulasi hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara agar kerukunan,
kesejahteraan tetap terjaga disamping itu kriminal dan prilaku yang dapat merusak kesejahteraan dan keamanan
Pada tahun 2000 MPR melakukan amandemen II terhadap UUD 1945 dan pengaturan tentang
keberadaan MHA (Masyarakat Hukum Adat) yang keberadaannya diatur di dalam Pasal 18 B ayat (2)
dalam bab tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 28 l ayat (3) dalam bab tentang Hak Asasi Manusia.
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban”.
Berbeda dengan perumusan Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 lama, dalam perumusan Pasal 18 B
ayat (2) Undang Undang Dasar 1945 hasil amandemen tersebut dicantumkan sejumlah persyaratan
terhadap pengakuan dan penghormatan atas keberadaan kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat
tersebut. Asal-usul dan kedudukan istimewa yang dimiliki daerah-daerah tersebut sebagaimana diakui
oleh Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 lama tidak lagi diakui, sehingga harus dihapuskan dengan
diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan
peraturan di bawahnya. Dalam Penjelasan Umum angka III Undang-Undang Pokok Agraria dinyatakan,
bahwa : “Dengan sendirinya Hukum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum
aripada rakyat banyak, oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat, maka
hukum agraria baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai
hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara
yang modern dalam hubungannya dengan dunia internasional serta disesuaikan dengan sosialisme
Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka Hukum Adat dalampertumbuhannya tidak terlepas pula dari
pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalis dan masyarakat swapraja yang feodal”.
Bertalian dengan hubungan antara bangsa dan bumi serta air dan kekuasaan Negara diadakan ketentuan
mengenai hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, yang dimaksud akan mendudukkan hak
itu pada tempat yang sewajarnya didalam alam bernegara dewasa ini. Ketentuan ini pertama-tama
berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat itu dalam hukum-agraria yang baru. Sebagaimana
diketahui biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan pula didalam
keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara resmi didalam Undang-Undang,
dengan akibat bahwa didalam melaksanakan peraturan-peraturan agraria hak ulayat itu pada zaman
penjajahan dulu sering kali diabaikan. Berhubung dengan disebutnya hak ulayat didalam Undang-undang
Pokok Agraria, yang pada hakekatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu
akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat
hukum yang bersangkutan. Misalnya didalam pemberian sesuatu hak atas tanah (umpamanya hak guna-
usaha) masyarakat hukum yang bersangkuatan. sebelumnya akan didengar pendapatanya dan akan diberi
“recognitie“, yang memang ia berhak menerimanya selaku pegang hak ulayat itu.
Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum tersebut
menghalang-halangi pemberian hak guna-usaha itu, sedangkan pemberian hak tersebut didaerah itu
sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian pula tidaklah dapat dibenarkan jika sesuatu
besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan
rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk. Pengalaman menunjukkan pula,
bahwa pembangunan daerah-daerah itu sendiri seringkali terhambat karena mendapat kesukaran
mengenai hak ulayat. Inilah yang merupakan pangkal pikiran kedua dari pada ketentuan dari padal 3
tersebut diatas. Kepentingan sesuatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan
Negara yang lebih luas dan hak ulayatnya pun pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang
lebih luas itu. Tidaklah dapat dibenarkan, jika didalam alam bernegara dewasa ini sesuatu masyarakat
hukum masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan- akan ia terlepas
dari pada hubungannya dengan masyarakat- masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya didalam
Sikap yang demikian terang bertentangan dengan azas pokok yang tercantum dalam pasal 2 dan dalam
prakteknya pun akan membawa akibat terhambatnya usaha-usaha besar untuk mencapai kemakmuran
Rakyat seluruhnya. Tetapi sebagaimana telah jelas dari uraian diatas, ini tidak berarti, bahwa kepentingan
Dalam pasal 5 dinyatakan bahwa, Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah
Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan
yang tercantum dalam undang-undang ini (UUPA) dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala
sesuatu mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. selanjutnya dalam penjelasan
pasal 16 dinyatakan bahwa, Pasal ini adalah pelaksanaan daripada ketentuan dalam pasal 4. Sesuai
dengan asas yang diletakkan dalam pasal 5, bahwa Hukum Pertanahan yang Nasional didasarkan atas
Hukum Adat, maka penentuan hak-hak atas tanah dan air dalam pasal ini didasarkan pula atas
sistematik dari Hukum Adat. Dalam pada itu hak guna usaha dan hak guna usaha bangunan diadakan
untuk memenuhi keperluan masyarakat modern dewasa ini, perlu kiranya ditegaskan bahwa hak guna
usaha bukan hak erepacht dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dan hak guna bangunan bukan
ke II Kitab Undang-undang Hukum Perdata.Dalam pada itu, hak-hak adat yang bersifat bertentangan
dengan Undang-undang ini tetapi berhubungan dengan keadaan masyarakat sekarang ini belum dapat
dihapuskan, diberi sifat sementara dan akan diatur.Pasal 56 juga menjelaskan bahwa, Selama undang-
undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat 1 belum terbentuk, maka yang berlaku
adalah ketentuan-ketentuan Hukum Adat setempat ……… sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa
Selanjutnya pengaturan mengenai pengakuan terhadap hak atas tanah menurut hukum adat diatur dalam
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan ini memberi batasan
Definisi:
1) Hak ulayat dan yang serupa itu dari mesyarakat hukum adat (untuk selanjutnya disebut hak ulayat),
adalah kewenagan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakayt hukum adat tertentu atas
wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari
sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya,
yang timbul dari hubungan secara lahirian dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara
2) Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum
adat tertentu.
3) Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai
warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal atauopun atas dasar keturunan.
Pelaksanann hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat
yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat stempat. Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap
1) terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebgai warga
bersama suatau persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan
2) terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut
3) terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguaasaan dan penggunaan tanah ulayat yang
Penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan
mengikutsertakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan,
Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam. Keberadaan
tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah
dengan membubuhkan suatu tanda kartografi dan, apabila memungkinkan, menggambarkan batas-
Sayang sekali Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan ini tidak mengatur secara
rinci tahapn yang harus dilakukan. Peraturan ini hanya mengamantkan pengaturan lebih lanjut oleh
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pengakuan terhadap hak atas tanah berdasar hukum adat
2. eksistensi keberadaan masyarakat hukum adat menjadi dasar penentuan pengakuan terhadap hak
tanah adat.
Kenyataannya eksistensi hak-hak adat masyakat hukum adat sering dikalahkan oleh kepentingan-
kepentingan golongan atau pihak-pihak tertentu dengan cara mendompleng pemerintah. Alasan yang
sering dipakai adalah pemanfaatan sumberdaya alam demi kepentingan nasional, yang dituangkan dalam
kebijakan pemerintah. Penggerusan eksistensi hak-hak adat tercermin dalam kebijakan pertambangan,
kehutanan, pemanfaatan pulau-pulau kecil, dan kebijakan pemerih pusat atau pemerintah daerah yang
lebih memihak kepentingan pemodal. Penggerusan eksistensi hak-hak adat dengan alasan kepentingan
nasional sering kali menimbulkan kerusakan lingkungan, hilangnya budaya, dan yang paling parah adalah
Asal – Muasal Hukum Nasioal dalam masyarakat adat Istilah masyarakat adat mulai mendunia, setelah pada
tahun 1950-an ILO, sebuah badan dunia di PBB mempopulerkan isu “indigenous peoples”. Setelah
dihembuskan oleh ILO sebagai isu global di lembaga PBB, World Bank (Bank Dunia) juga mengadopsi isu
tersebut untuk proyek pedanaan pembangunan di sejumlah negara, melalui kebijakan OMP (1982) dan OD
(1991), terutama di negara-negara ketiga, seperti di Amerika Latin, Afrika, dan Asia Pasifik. Mencuatnya isu
masyarakat adat berawal dari berbagai gerakan protes masyarakat asli “native peoples” di Amerika Utara yang
pertambangan beroperasi di wilayah kelola mereka, dan pengembangan sejumlah wilayah konservasi oleh
Komunitas Inuit di Alaska (negara bagian AS di dekat kutub utara) adalah korban dari ketidak adilan
pembangunan industri pertambangan di Amerika Serikat. Di Kanada, komunitas Inuit yang masuk dalam
wilayah negara tersebut juga memprotes kebijakan Kanada yang memaksa mereka harus meninggalkan
wilayah kelola menuju desa-desa di pinggiran kota, karena perusahaan Migas dan Batubara akan mengolah
komunitas pribumi Indian lainnya, seperti Mohak. Sedangkan pembangunan Taman Nasional Rocky
Mountain di sebalah barat juga mengancam kehidupan Indian Apache. Berbagai protes dari “native peoples”
di dataran Amerika Utara pada tahun 1950-an, memancing reaksi ILO sebagai lembaga PBB yang bergerak
dalam isu perlindungan tenaga kerja. Karena itu, ILO kemudian melakukan berbagai riset lapangan, dan pada
tahun 1957, ILO mengeluarkanKonvensi No.107 dan rekomendasi No.104 tentang “Perlindungan dan
Integrasi Penduduk Asli dan Masyarakat Suku”. Pada tahun 1989, Konvensi tersebut diperbaharui oleh ILO
Isu-isu ketidak-adilan yang dirasakan oleh berbagai komunitas “indie” (pribumi) ataupun “native
peoples” (masyarakat asli) berpengaruh bagi ILO untuk memunculkan isu generatifnya, “indigenous
peoples”. Oleh gerakan Ornop (organisasi non-pemerintah) di Indonesia, kemudian diadopsi dan
diterjemahkan menjadi kosa kata “masyarakat adat”, terutama pada pertemuan bertajuk “Lokakarya
Pengembangan Sumberdaya Hukum Masyarakat Adat Tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam Di Dalam
Kawasan Hutan”, yang berlangsung pada tanggal 25 – 29 Mei 1993, di Toraja, Sulawesi Selatan. Isu
“masyarakat adat” semakin memperoleh tempatnya dalam gerakan masyarakat sipil melalui pendeklarasian
pembentukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada tahun 1999 di Jakarta.
Realitas Sosial – Budaya Dari realitas sosial-budaya yang ada di Indonesia, keberadaan entitas
masyarakat adat ternyata cukup beragam, serta memperlihatkan dinamika perkembangan yang bervariasi.
Secara garis besar, entitas masyarakat adat tersebut dapat dikelompokkan ke dalam 4 tipologi; Pertama, adalah
kelompok masyarakat lokal yang masih kukuh berpegang pada prinsip “pertapa bumi” dengan sama sekali
tidak mengubah cara hidup seperti adat bertani, berpakaian, pola konsumsi, dan lain-lainnya. Bahkan meraka
tetap eksis dengan tidak berhubungan dengan pihak luar, dan mereka memilih menjaga kelestarian sumber
daya alam dan lingkungannya dengan kearifan tradisonal mereka. Entitas kelompok pertama ini, bisa dijumpai
seperti komunitas To Kajang (Kajang Dalam) di Bulukumba, dan Kanekes di Banten; Kedua, adalah
kelompok masyarakat lokal yang masih ketat dalam memelihara dan menerapkan adat istiadat, tapi masih
membuka ruang yang cukup bagi adanya hubungan “komersil” dengan pihak luar, kelompok seperti ini bisa
dijumpai, umpamanya pada komunitas Kasepuhan Banten Kidul dan Suku Naga, kedua-duanya berada di
lain-lain), dan mengembangkan sistem pengelolaan sumberdaya alam yang unik, tetapi tidak mengembangka
adat yang ketat untuk perumahan maupun pemilihan jenis tanaman jika dibandingkan dengan masyarakat
pada kelompok pertama dan kedua tadi. Komunitas masyarakat adat yang tergolong dalam tipologi ini, antara
lain Dayak Penan di Kalimantan, Pakava dan Lindu di Sulawesi Tengah, Dani dan Deponsoro di Papua Barat,
Krui di Lampung, dan Haruku di Maluku; Keempat, entitas masyarakat adat yang sudah tercerabut dari
tatanan pengelolaan sumberdaya alam yang “asli” sebagai akibat dari penjajahan yang telah berkembang
ratusan tahun. Masuk dalam kategori ini adalah Melayu Deli di Sumatra Utara, dan Betawi di Jabotabek.
Realitas seperti pengelompokkan tipologi masyarakat adat tersebut, sampai sekarang juga masih banyak
dijumpai di berbagai wilayah di Sulawesi Tengah. Misalnya, Taa Wana, Daa, Kahumamaun, Mansama,
Laudje, Tajio, Bolano, Bajo, Kulawi,Bada, Rampi, dan banyak lagi. Dari daftar numerasi di Depdagri,
diketahui bahwa Sulawesi Tengah termasuk urutan ketiga setelah propinsi Papua dan NTT dalam hal jumlah
kelompok etno-linguistik. Dari studi etnolog yang dilakukan Barbara Grimes, setidaknya lebih dari 20
kelompok etno-linguistik yang berbeda terdapat di Sulawesi Tengah. Tetapi, tidak semua kelompok etno-
linguistik tersebut dapat dikategorikan sebagai masyarakat adat. Sebab, pendefinisian masyarakat adat harus
Berangkat dari realitas tersebut tadi, sebenarnya, tidak ada alasan bagi pemerintah kita untuk tidak
mengakui eksistensi masyarakat adat, secara politik maupun hukum. Namun sayangnya, penantian untuk
adanya pengakuan secara politik dan hukum secara gencar baru terasa pasca bergulirnya reformasi. Termasuk
dalam perubahan atau amandemen Undang-Undang Dasar 1945, dalam bentuk amandemen yang ketiga dan
keempat. Bahkan jauh sebelumnya, sebanarnya telah ada UU Pokok Agraria tahun 1960 yang dikeluarkan
oleh pemerintahan Soekarno. Tapi, sayangnya lagi, UU Pokok Agraria tidak banyak bermakna bagi
Pengakuan Hukum Ada beberapa instrumen hukum nasional yang mengakui keberadaan masyarakat
adat di Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 (hasil amandemen), pengakuan dan penghormatan
terhadap masyarakat adat, termaktub dalam pasal 18B ayat (2), yaitu; “Negara mengakui dan menghormati
kestuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
undang-undang”. Pasal ini, memebrikan posisi konstitusional kepada masyarakat adat dalam hubungannya
dengan negara, serta menjadi landasan konstitusional bagi penyelenggara negara, bagimana seharusnya
komunitas diperlakukan. Dengan demikian pasal tersebut adalah satu deklarasi tentang ; (a) kewajiban
konstitusional negara untuk mengakui dan menghormati masyarakat adat, serta (b) hak konstitusional
masyarakat adat untuk memperoleh pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak tradisionalnya. Apa yang
termaktub dalam pasal 18B ayat (2) tersebut, sekaligus merupakan mandat konstitusi yang harus ditaati oleh
penyelenggara negara, untuk mengatur pengakuan dan penghormatan atas keberadaan maasyarakat adat dalam
suatu bentuk undang-undang. Pasal lain yang berkaitan dengan masyarakat adat, adalah pasal 281 ayat (3)
yang menyebutkan “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan
Sebelum amandemen terhadap UU Dasar 1945, TAP MPR No.XVII/1998 tentang Hak Azasi Manusia
(HAM) terlebih dahulu memuat ketentuan tentang pengakuan atas hak masyarakat adat. Dalam pasal 41
Piagam HAM yang menjadi bahagian talk terpisahkan dari TAP MPR itu, ditegaskan ; “Identitas budaya
masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman”.
Dengan adanya pasal ini, maka hak-hak dari amsyarakat adat yang ada, ditetapkan sebagai salah satu hak asasi
manusia yang wajib dihormati, dan salah satu hak itu menurut pasal ini adalah hak atas tanah ulayat.
Bahkan dalam TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan PSDA, hak-hak masyarakat
adat tersebut tidak hanya sebatas hak atas tanah ulayat, tetapi juga menyangkut sumberdaya
agraria/sumberdaya alam, termasuk keragaman budaya dalam pengelolaan dan pemanfaatannya. Hal itu
termaktub dalam pasal 4, bahwa ; “Pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan
sesuai dengan prinsip-prinsip:......j) mengakui, menghormati, dan melindungi hak amsyarakat hukum adat dan
Secara umum, TAP MPR No.IX/2001 itu, lahir karena situasi empirik pengelolaan sumber daya alam
yang sentralistik, eksploitatif, memiskinakan rakyat (termasuk masyarakat adat) dan ketimpangan struktur
penguasaan dan kepemilikan, serta kerusakan lingkungan hidup yang massif. Karena itu, TAP MPR ini,
prinsip-prinsip penghargaan atas HAM, demokratisasi, transparansi, dan partisipasi rakyat, keadilan
penguasaan dan kepemilikan, serta pengakuan, penghormatan, dan perlindungan terhadap masyarakat adat.
Pada tingkatan Undang-Undang, UUPA No. 5/1960 adalah produk hukum yang pertama kali
menegaskan pengakuannya atas hukum adat. Ketentuan ini bisa dilihat pada pasal 5 yang menyebutkan
bahwa: “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang didasarkan atas persatuan bangsa”.
Pasal 5 ini merupakan rumusan atas kesadaran dan kenyatan bahwa sebagian besar rakyat tunduk pada hukum
adat, sehingga kesadaran hukum yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kesadara hukum berdasarkan adat.
Hanya saja Memang semangat UU ini, dikemudian waktu banyak dibelakangi, karena pergeseran politik
ekonomi dan hukum agraria. Kendati demikian, UU ini hingga sekarang masih menjadi hukum yang positif
yang mengatur mengenai agraria. Karenanya masih menjadi alat legal dalam memperkuat hak-hak komunitas
adat. Namun seiring dengan arus reformasi, kesadaran terhadap pengakuan, peng-hormatan dan perlindungan
hak-hak masyarakat hukum adat menjadi salah satu isu politik yang mengemuka. Sejumlah Undang-Undang
telah diproduk menyertai UUPA, seperti yang akan diuraikan dibawah ini.
Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang HAM ini, boleh dibilang sebagai operasionalisasi dari TAP
MPR XVII/1998 yang menegaskan bahwa hak-hak masyarakat hukum adat sebagai bagian dari Hak Asazi
(1) Dalam rangka penegakkan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat
(2) Indentitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan
perkembangan jaman.
Penjelasan pasal 6 ayat (1) UU ini menyatakan bahwa “hak adat” yang secara nyata masih berlaku dan
dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka
perlindungan dan penegakakan Hak Asasi Manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan
memperhatikan hukum dan perundangan-undangan. Sedangkan penjelasan untuk ayat (2) dinyatakan bahwa
yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat tetap dihormati dan dilindungi
sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas hukum negara yang berintikan keadilan dan kesejahteraan
rakyat.
Lebih jauh, pasal 6 UU HAM ini sesungguhnya menegaskan pula keharusan bagi hukum, masyarakat
dan pemerintah untuk menghargai kemajemukan identitas dan nilai-nilai budaya yang berlaku pada komunitas
(uniformitas) nilai terhadap mereka merupakan suatu pelanggaran HAM, apalagi jika pengingkaran tersebut
disertai tindakan-tindakan pelecehan, kekerasan atau paksaan. Sudah tentu tindakan demikian bias
dikategorikan kejahatan serius dan berat, sehingga memung-kinkan untuk diselesaikan di pengadilan HAM.
Undang-Undang lain yang juga mengatur hak-hak masyarakat hukum adat adalah UU No. 41/1999
tentang Kehutanan. UU ini bahkan mengakui adanya wilayah masyarakat hukum adat, seperti dinyatakan
dalam pasal 1 angka 6: “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum
adat”. Sayangnya, pasal ini masih belum menunjukkan pengakuan hak komunitas adat atas sumber daya alam
dalam wilayahnya, karena ternyata hutan adat masih diklaim sebagai hutan negara, seperti dipertegas lagi
dalam pasal 5 ayat (2), bahwa: “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa
hutan adat”; dan bahwa “Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas
Untungnya, pasal 4 ayat (3) memberikan rambu-rambu kepada penyelenggara negara terutama bagi
otoritas kehutanan agar tetap memperhatikan hak-hak masyarakat hukum adat. Pasal ini menyatakan:
“Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya
masih ada dan diakui keberadaannya serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”. Penjelasan pasal
“Hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada
masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap). Hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutan ulayat, hutan
marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya… Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hutan
Dengan demikian, kemungkinan pengakuan hak masyarakat hukum adat untuk melakukan pengelolaan
hutan adatnya masih sangat terniscayakan. Hal ini dipertegas dalam pasal 67 ayat (1) bahwa:
“Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, berhak:
a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyarakat adat yang
bersangkutan;
b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan
Lantas, bagaimana membuktikan masyarakat hukum adat tersebut pada kenyataannya masih ada ? Dan
melalui apa pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat tersebut diupayakan sehingga hak-haknya dapat
ditegakkan ? Untuk pertanyaan yang terakhir, pasal 67 ayat (2) menyebutkan: “Pengukuhan keberadaan dan
hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah”.
Sedangkan untuk pertanyaan pertama, penjelasan pasal 67 ayat (1), memberikan gambaran sebagai berikut:
“Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain:
d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan
e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari”.
dengan pengelolaan sumber daya alam sesuai identitas dan kekhasan budaya, UU No. 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah, lebih tertuju pada penegasan hak-hak masyarakat hukum adat untuk mengelola sistem
politik dan pemerintahannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum adat setempat. Pasal 203 ayat (3),
umpamanya menyebutkan:
“Pemilihan Kepala Desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam perda
Pasal ini sekaligus memberi makna bahwa masyarakat hukum adat sesuai perkembangannya dapat
dalam penjelasan Pasal 202 ayat (1): “Desa yang dimaksud dalam ketentuan ini termasuk antara lain Nagari di
Sumatera Barat, Gampong di provinsi NAD, Lembang di Sulawesi Selatan, Kampung di Kalimantan Selatan
E. Bagaimana Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi Menurut Peraturan Pemerintah
Tentang
UMUM
Dalam Undang – undang pokok agrarian ( Undang – undang No. 5 tahun 1960 Lembaran Negara tahun
1960), telah digariskan suatu prinsip bahwa “setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas
tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif dengan
pelaksanaan pembagian tanah – tanah sebagai kelajuaan daripada pelaksanaan Undang – Undang No. 56 Prp.
tahun 1960.
Di samping itu peraturan pemerintah tersebuh juga telah mengatur tentang Pembatasan – pembatasan adanya
pemilikan tanah – tanah pertanian yang terletak di luar Kecamatan tempat tinggal pemiliknya. Akan tetapi dalam
pelaksanaannya menunjukkan bahwa ketentuan – ketentuaan ini sebagaimana mestinya tentu akan memberikan
pengaruh yang negative baik dalam usaha penambahan produksi maupun terhadap tujuan Landreform sendiri.
Karena itu dipandang perlu untuk menghilangkan adanya penyimpangan – penyimpangan terhadap prinsip
tersebut di atas.
Pasal 1
Jika waktu untuk memindahkan hak milik atas tanah pertanian yang dimaksudkan perlu dibatasi, agar
supaya pemilik tanah yang bersangkutan tidak mengulur – ulur waktu dalam usahanya untuk memindahkan hak
miliknya tersebut. Karena perbuatan yang demikian itu hanya akan mengakibatkan tidak efisiennya penggarapan
atas tanah tersebut, lagi pula akan menimbulkan adanya pemerasan – pemerasan yang seharusnya tidak perlu
terjadi.
Jika karena sesuatu hal, misalnya pembagian warisan atas tanah tersebut menjadi suatu sengketa sehingga
dalam waktu 1 tahun tersebut pembagian warisan belum selesai, maka untuk melaksanakan kewajiban sebagai
ditentukan dalam pasal ini dengan bukti – bukti dan alasan – alasan yang cukup dapatlah jangka waktu tersebut
Sebenarnya tujuan daripada pasl 3 Peraturan Pemerintahan No. 224 tahun 1961 bukanlah hanya semata –
mata ditujukan kepada orang – orang yang telah memiliki tanah – tanah sebgai dimaksudkan, akan tetapi juga
mereka yang memperoleh hak milik baru atau tanah – tanah semacam itu sesudah berlakunya Peraturan
Pemerintah tersebut.
pemindahan hak baru atas tanah pertanian, yang mengakibatkan pemilik tanah yang bersangkutan memiliki
Pasal 2
a. berhubung dengan perkembangan keadaan, yang memerlukan didakannya perubahan yang lebih sesuai atas
b. untuk memberikan keringanan kepada para petani yang menerima bagian tanah.
Sejarah kepemilikan tanah di Indonesia berbeda dengan sejarah kepemilikan yang dikenal di negara – negara
kerajaan seperti Inggris dan Malaysia. Sekalipun belakangan Belanda memberlakukan model kepemilikan tanah
sama seperti di negaranya, itu hanya karena keinginan Belanda untuk memudahkannya menguasai tanah di
negara ini.
Sehubungan dengan misi dagangnya ( leverentien dan contugentent ). Belanda memberlakukan bahwa
raja adalah pemilik tanah yang dikenal dengan teori “semua yang terdapat di kolong langit adalah kepunyaan
raja” sehingga ketika dia akan membutuhkan tanah di negara ini mereka hanya menghubungi raja atau minta izin
kepada raja agar mereka dapat menguasai tanah untuk kepentingan usahanya itu di negara ini.
Tetapi untuk Indonesia, raja bukanlah pemilik tanah. Atas nama rakyatnya raja berkuasa untuk
mengawasi dan memberikan tanah tersebut bagi mendukung kehidupan dan hidup rakyatnya sehingga rakyatnya
sehingga rakyatnya benar – benar teranyomi oleh kekuasaan rakyat raja saat itu. Dengan demikian, terdapat di
beberapa kekuasaan rakyat ada raja yang berkuasa, namun untuk kepemilikan tanah tetap menjadi milik bersama
rakyat. Raja hanya sekedar melegalisasi tindakan rakyat terhadap penguasaan dan pengusahaan tanah. Namun,
karena bersama – sama bertanggung jawab dalam memanfaatkan tanah untuk kehidupan masyarakatnya, lalu
muncullah hubungan tak terpisahkan antara tanah dengan rakyat tersebut sebagai pertalian hukum
tindakan terhadap tanah selalu harus dengan restu atau bahkan harus seizing raja untuk dapat dikerjakan tanpa
Bahkan untuk mengalihkannya pun harus tetap mendapat restu raja atas nama rakyat sekawasan. Dalam
bahasa adat, untuk tindakan terhadap tanah harus dilakukan secara terang dan tunai. Maka tindakan terhadap
tanah dan juga tindakan yang berhubungan dengan tanah harus tetap minta izin dan dibuatkan secara terang,
Tindakan terang dan tunai sebagai ciri khas tindakan dalam hukum adat mewarnai pola legalnya tanah
tersebut diusahakan atau dikelola oleh warganya, sehingga sesama warga tidak saling mengambil lagi tanah yang
sudah diusahakan oleh kawan sedesa atau sekawasannya. Bagi yang mengusahakannya pun akan selalu membuat
tanda sebatas mana tanah itu dapat diusahakannya dan inilah yang akhirnya disebut hak kepemilikan komunal,
yang lama – kelamaan atas pertambahan keluarga dengan berbagai kepentingannya terhadap tanah lalu tanah
yang komunal tadi terindividualisasi menjadi hak individu dari seorang warga desa.
Namun, yang tidak diusahakan tetap menjadi kepemilikan bersama yang sifatnya terus sebagai hak
masyarakat sekawasan atau sedesa dengan sifat kepemilikannya publiekrechtelijke, dan yang terakhir diberi
nama menjadi tanah ulayat. Tanah kaum atau oleh Belanda dahulu disebut dengan beshciking rech ( hak
pertuanan ). Hingga sekarang untuk beberapa desa kepemilikan ini terpelihara dengan baik, dan kepemilikan
Kenyataan kepemilikan komunal yang demikian ini, berakibat bahwa pendaftaran tanah tidak menjadi
bagian penting daripadanya. Apalagi memang saat itu kebutuhan tanah bagi perkembangan manusia masih tetap
terpenuhi. Akan tetapi, dengan kenyataan yang berkembang di belahan dunia atau bahkan tidak terkecuali di
wilayah negara ini, kepemilikan tanah bersama terus menjadi kepemilikan yang individual.
Dengan kata lain akibat terindividualisasinya tanah – tanah di tengah masyarakat, maka pendaftaran
tanah ini semakin menjadi tuntunan demi menjaga kelangsungan kepemilikan yang terlindungi atas
namun karena secara alamiah kepemilikan bersama yang semakin runtuh, tuntunan mendaftarkan tanah ini
menjadi hak atas tanah yang dilindungi tentunya tidak lagi dapat dielakkan bahwa pendaftaran tanah sudah
menjadi keharusan. Sebab sebagai hak individu yang bersifat keperdataan diakui dengan hak yang utuh dengan
segala kewenangan dan konsekuensinya pada si pemilik harus terjamin atas hak dan fungsinya.
Terjamin atas nama hak tanah sebagaimana di dalam UUPA disebutkan dalam pasal 16 UUPA yang
dijabarkan lebih lanjut eksistensinya dari Pasal 20 hingga 43 UUPA. Akan tetapi, sekalipun pendaftaran tanah
bukan tradisi negara namun diikut dalam tuntutan pembangunan. Untuk hal demikian menurut Muchtar
Kusumaatmadja harus diperhatikan bahwa tidak harus mengambil begitu saja segala sesuatu yang dianggap
modern karena kemodernannya, juga tidak dengan secara membabi buta mempertahankan segala sesuatu yang
Sebagaimana dikemukakan di atas, bagi tanah – tanah yang pemiliknya terdiri dari beberapa orang seperti
tanah adat ( tanah yang bersifat publiekrechtelijke ), awalnya pendaftaran bukan sebagai hal yang penting
dilalukan atasnya. Sebab yang diprioritaskan adalah fungsi haknya yakni bagaimana supaya dapat memberikan
manfaat bagi seluruh anggota keluarga sekawasan yang hidup di atas tanah. Namun akibat perkembangan
kehidupan manusia yang satu sama lain tidak mempunyai nasib yang sama lain tidak mempunyai nasib yang
sama dalam mengembangkan hidupnya, sudah barang tentu tanah milik bersama akan menjadi sasaran untuk
Proses seperti ini bahkan semakin lama semakin menjadi kegiatan manusia yang tidak terletakkan di atas
tanah – tanah adat. Akhirnya, milik bersama yang sifatnya pupbliekrechtelujke pun, semakin
terindividualisasikan menjadi milk privat. Tidak mungkin ditahan untuk menjadi benda/barang milik yang tidak
dapat dialihkan dan beralih dari kepemilikan bersama tersebut. Di tengah – tengah terindividualisasinya hak –
hak yang pada awalnya hak bersama, lembaga pendaftaran tanah menjadi alat yang paling utama dan mendasar
untuk menegakkan individualisasi kepemilikan hak atas tanah tersebut. Sebaliknya, dengan pendaftaran tanah ini
dilakukan akan dapat mengamankan hak – hak atas tanah perseorangan atau milik sekelompok masyarakat dan
Di Indonesia pendaftarn tanah masih baru atau bahkan boleh disebutkan tidak tumbuh bersama adanya
hak milik masyarakat di negara ini. Dalam catatan sejarah pendaftaran tanah di Indonesia dikenal sejak
overscrijvings ordonantie (ordonansi balik nama) mulai diperkenalkan pada tanggal 2 April 1834 (Stb 1834 No.
27), dengan ketentuan inilah pendaftaran tanah dengan balik nama mulai diaktifkan. Itu pun Belanda dengan
model cadaster landmeter kennis. Namun ke depan mengadministrasi tanah, demi untuk mengamankan hak –
hak seseorang atas tanah dan demi terwujudnya penatagunaan tanah serta administrasi yang akurat dan terjamin.
Sekalipun di beberapa daerah, hukum masyarakat adat seperti Kesultanan Siak dan Kesultanan
Yogyakarta sudah pernah memperkenalkan percatatan tanah, namun jika ini dianggap sebagai pendaftaran tanah,
hanya sekedar pencatatan dalam memudahkan pengambilan pajaknya (landrente) sebagai kewajiban desa
Douglas J. Williem merupakan pekerjaan yang kontinu dan konsisten atas hak – hak seseorang, sehingga
memberikan infomasi dan data administrasi atas bagian – bagian tanah yang didaftarkan. Lengkapnya di
sebutkan :
The register consists of the individual grant, certificates of folios contained whitin it at anygiven time.
Adden to these are documents that may bedeemed to be embodied in the register upon registration.
Together these indicated the parcel of land in a particular title, the person entitle to interests. There also
ancillary register wich assist in the orderly administration of the system such as a parcel index, a nominal
index losting registered proprietors and a day book in wich documents are enterd pending final
registration.
Dengan terdaftarnya bagian tanah tersebut sebenarnya tidak semata – mata akan terwujudnya jaminan
keamanan akan kepemilikannya dalam menuju kepastian hukum. Bahkan seseorang pemilik akan mendapatkan
e. Dengan biaya yang bisa dijangkau oleh semua orang yang hendak mendaftarkan tanah (cheapness), dan daya
jangkau ke depan dapat diwujudkan terutama atas harga tanah itu kelak (suitable).
Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus – menerus
berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta
pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang – bidang tanah dan
satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya dan hak milik atas satuan rumah susun seta
Objektif pendaftaran tanah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 UUPA (UU No. 5 Tahnu 1960)
semakin disempurnakan posisinya untuk memberikan jaminan yuridis dan jaminan teknis dalam arti kepastian
batas – batas fisiknya. Kegiatan pendaftaran tanah seperti yang disebutkan dalam Pasal 19 UUPA, hanya
meliputi pengukuran dan pembukuan tanah, pendaftaran ha katas tanah dan peralihan hak – hak tersebut,
pemberuan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat, pembuktian yang kuat.
Dengan keluarnya ketentuan PP No. 24 Tahun 1997 sebagai pengganti PP No. 10 Tahun 1961 telah
terjadi kesempurnaan atas pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia. Di mana menurut A.P. Parlindungan telah
a. Dengan diterbitkannya sertifikat ha katas tanah, maka kepada pemiliknya diberikan kepastian hukum dan
perlindungan hukum.
b. Dengan informasi pertanahan yang tersedia di kantor pertanahan maka pemerintah akan mudah merencanakan
pembangunan negara yang menyangkut tanah, bahkan bagi rakyat sendiri lebih mengetahui kondisi
c. Dengan administrasi pertanahan yang baik akan terpelihara masa depan pertanahan yang terencana.
Untuk menggiatkan peningkatan administrasi pertanahan ini dengan benar dan tuntas, memang masih
4. The laws that govern the conduct of land administration such as the regulation that control the operation
of the cadaster.
5. The laws on “inibetual” property that affect such matters as the ownership of information and ideas, the
Tujuan ditelitinya alas hak ini ternyata akan memperkokoh data yuridis dan data teknis nantinya, sehinga
1. bahwa tanah yang dimohon untuk didafta tersebut baik dan jelas tanpa keraguan untuk memberikan
haknya nanti;
3. bahwa tanah yang dimohon diyakini sepenuhinya oleh tim ajidukasi untuk dapat diberikan haknya sesuai
4. dan begitu tanah itu diadministrasikan dengan pemberian bukti haknya, tidak ada yang bersengketa lagi
Indikator ini berarti atau bermakna mendukung asas publisitas dan asas spesialitas dari pelaksanaan
Keberadaan sistem pendaftaran tanah model Torrens ini, persis apa yang disebutkan atas permohonan
seseorang untuk memperoleh hak milik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 UUPA berikut.
1. Terjadinya hak milik menurut hak adat diatur dengan peraturan pemerintahan.
2. Selesai menurut carasebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini hak milik terjadi :
a. Penepatan Pemerintah,
b. Menurut cara dan syarat – syarat yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah, dan
merekam bagian – bagian dari tanah tersebut. Jadi, kalau dalam kadaster ini termasuk didalamnya seperti
dikemukakan diatas, juridical cadastre, yakni a register of ownership of parcels of land; fiscal cadastre, yakni of
properties recording their value. Kemudian land use cadaster yakni a register including many attributesn of land
parcels.
Keenam kegiatan yang dilakukan dalam pendaftaran tanah tersebut adalah sebagai berikut.
a. konversi dan penegasan atas tanah bekas hak – hak lama dan milik adat,
3. pendaftaran balik nama karena peralihan hak (jual beli, hibah waris, lelang, tukar menukar, inbreng, dan
merger).
Pendaftaran tanah yang baik harus melakukan pekerjaan antara kegiatan teknis dan kerangka kerja
kelembagaan yang alamatnya tidak hanya pengaturan secara mekanik, survey, dan rekaman dari bagian – bagian
tanah tersebut, tetapi juga hukum, financial, administrasi, aspek social, dan issue politiknya yang dirangkai atau
Di mana inti yang terpenting dalam jangka kerja pendaftaran tanah akan meliputi prinsip – prinsip dasar
1. pemberian status hukum dari tanah dan hak – hak atas tanah.
6. survei cadastral.
Ad.1 Dengan dilaksanakan pendaftaran tanah atas tanah tersebut tentu ketika itu juga diberikan status hak pada
Jadi, baik pendaftaran pertama (awal) maupun pendaftaran balik nama yang dilakukan dikantor
pertanahan setempat adalah pekerjaan administrasi negara dalam memberikan status hukum atas tanah dimaksud,
sehingga dengan adanya pemberian status hukum ini diatas tanah yang terdaftar, si pemilik menerima status hak
Ad.2 Land tenure dimaksud adalah kegiatan aktivitas tanah bagi pemiliknya, sering disebut pengungsian dari
peruntukan tanah dalam kegiatan sehari – hari dari pemiliknya. Fokus kegiatan bukan pada haknya, tetapi
Hak milik dapat digunakan untuk pertanian, nonpertanian, dan kegunaan lain yang tidak melanggar
undang – undang, namun HGU dan HGB hanya digunakan sebagai peruntukan HGU dan HGB itu saja.
Ad.3 pendaftaran tanah adalah pendaftaran akta dan pendaftaran haknya (registration of deeds dan title
registration).
Pendaftaran tanah yang berkesinambungan (continuous recording) ini adalah pendaftaran hak, artinya
diatas tanah itu telah ada hak (baik HM, HGB, HGU, dan lain – lain), namun karena terjadi peralihan lalu dibuat
penftaran peralihan tersebut atau sering disebut balik nama atau pendaftaran balik nama dari hak atas hak tanah.
Ad. 4 Ajudikasi
Pada Pasal 1 ayat (8) PP No. 24 Tahun 1997 disebut ajudikasi adalah kegiatan yang dilaksanakan dalam
rangka proses pendaftaran pertama kali, meliputi pengumpulan dan penempatan kebenaran data fisik dan data
yuridis mengenai sesuatu beberapa objek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya.
pemberian hak pakai tidak dapat melampaui sebatas hak pakai. Si pemegang hak pakai tidak dapat menggunakan
hak yang diberikan terbatas sebesar jenis hak yang diperoleh. Pada saat ada batasan inilah kita dapat melihat
kesempurnaan hak milik disbanding dengan hak – hak lain atas tanah.
Sekalipun survey cadastralnya hanya dilakukan dengan peralatan yang masih sederhana, namun tidak ada
ukuran yang tegas pelaksanaan survey cadastral dimaksud di atas tanah yang akan didaftarkan. Oleh karena itu,
begitu pentingnya survey cadastral dalam pendaftaran tanah, bahkan oleh pemerintah diciptakan suatu lembaga
atasnya, dan diberikan kepada lembaga swasta untuk proses percepatan dan akurasi yang baik. Hal ini
sebagaimana diatur dalam PMNA/KBPN No. 2 Tahun 1998, di mana telah ditetapkan bahwa untuk survey
cadastral dapat dilakukan oleh surveyor berlisensi. Disebutkan bahwa surveyor cadastral adalah seseorang yang
mempunyai kemampuan beroganisasi pekerjaan pengukuran dan pemetaan kadasteral, yang diberi wewenang
untuk melakukan pekerjaan pengukuran dan pemetaan kadasteral tertentu dalam rangka pendaftaran tanah, baik
sebagai usaha pelayanan masyrakat sendiri maupun sebagai pegawai badan hukum yang berusaha di bidang
pengukuran dan pemetaan. Lingkup pekerjaannya adalah melakukan usaha jasa pelayanan kepada masyarakat
dengan:
1. pengukuran dan penataan bidang tanah dalam rangka pendaftaran tanah untuk pertama kali secara sporadik;
2. melaksanakan pengukuran dan penataan bidang tanah dalam rangka pemisahan, pemecahan, dan
Pekerjaannya juga meliputi pelaksanaan pekerjaan bidang tertentu dalam pengukuran dan pemetaan seperti:
1. pengukuran dan pemetaan bidang – bidang tanah dalam rangka pendaftaran untuk pertama kali secara
sitematik;
2. pengukuran dan pemetaan bidang – bidang tanah yang luasnya lebih daripada 1.000 ha dalam rangka
Dengan informasi tentang tanah yang sudah terekam dalam buku tanah ini, sangat banyak memanfaatnya
bila akan dilihat dari berbagai kepentingan, baik bagi diri pemilik, dari pemerintah, maupun dari stakeholder lain
yang menginginkan tanah itu untuk dikembangkan kelak. Secara umum informasi yang diberikan atas dasar
Tidak terwujudnya kepastian hukum ini didorong oleh beberapa faktor, seperti berikut.
Hambatan bagi negara ketika pendaftaran tanah masih diabaikan dan dianggap tidak menjadi penting,
sehingga saat ini pendaftaran tanah itu tidak dianggap sebagai kewajiban yang dapat mengemukakan ha
katas tanah.
Masyrakat tidak memahami suatu perbedaan yang berarti antara ada setifikat dengan tidak ada sertifikat
atas tanah.
Sampai saat ini, banyak masyarakat yang tidak tahu tentang aturan pendaftaran tanah.
Dalam hal ingin mendaftarkan tanah saat ini, di samping harus memenuhi biaya pemohon yang
ditetapkan aturan pendaftaran tanah, masih ada biaya – biaya lain atas perintah undang – undang yang
tidak dapat diabaikan, seperti Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang BPHTB, dan undang –
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hukum merupakan bagian dari objek pendidikan dan disiplin ilmu. Oleh karena itu, ilmu hukum merupakan
salah satu disiplin ilmu yang banyak kaitannya dengan kehidupan manusia. Untuk memahami hukum pada
umumnya dapat dilakukan dengan pendekatan normative, empiris, normative empiris, pendekatan historis,
antropologis, dan sosiologis. Masalah hukum tidak dapat dilepaskan dari norma – norma hukum (perundang
– undangan, hukum adat, dan lainnya) sehingga pendekatan terhadap hukum dapat dimulai dengan
pendekatan sosiologis.
Pengantar ilmu hukum tentang eksistensi yaitu mengenai tentang mengatasi masalah tentang mengikuti
perkembangan didalam masyarakat kehidupan sehari – hari dan cara mengatasi masalah dalam pengantar
ilmu hukum di dalam hukum adat dibidang pertanahan mengenai permasahalan dari pengurusan sertifikat
tanah yang resmi serta mempunyai hak kewajiban dalam pertanahan didaerah.
B. SARAN
Dalam memenuhi informasi tentang tanah yang sudah terekam dalam buku tanah ini, sangat banyak
memanfaatnya bila akan dilihat dari berbagai kepentingan, baik bagi diri pemilik, dari pemerintah, maupun
dari stakeholder lain yang menginginkan tanah itu untuk dikembangkan kelak. Hak – hak atas tanah yang
dikeluarkan terbatas pada jenis ha katas tanah tersebut. Kewenangan atas pemberian hak pakai tidak dapat
http://www.ymp.or.id/content/view/107/35/
http://zalirais.wordpress.com/2013/09/12/eksistensi-hukum-adat-dalam-bidang-pertanahan/
http://irwanasanisa91.wordpress.com/2013/05/04/eksistensi-hukum-dalam-masyarakat/
Wright, Warren L. Final Repot on The Review of The Basic Agrarian Law 1960. TA Land Adviser