Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH GEOGRAFI KETENAGAKERJAAN

“MENGANALISIS HUBUNGAN INDUSTRIAL”

Dosen Pengampu :

Drs. Walbiden Lumbantoruan, M. Si

Disusun Oleh :

Kelompok 3

Dimas Hernowo (3193131003)

Devi Anggriani Br. S (3193131011)

Ferlianus Waruwu (3192131001)

Vera Yulina Saragih (3192431004)

Kelas : C/D

Mata Kuliah : Geografi Ketenagakerjaan

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN GEOGRAFI

FAKULTAS ILMU SOSIAL – UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

SEPTEMBER 2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Walbiden
Lumbantoruan, M. Si., selaku dosen pengampu mata kuliah Geografi
Ketenagakerjaan yang telah memberikan kami kesempatan untuk bekerja sama
dalam menyusun makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini kami mendapat tantangan untuk mencari
sumber informasi sesuai materi yang diberikan. Akan tetapi, atas kerja sama dari
setiap anggota, tantangan tersebut teratasi. Oleh karena itu, kami menyusun
makalah ini sebaik mungkin. Kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat
bagi kami maupun kepada para pembaca.
Kami juga mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penyusunan atau
penulisan makalah ini. Kami senantiasa mengharapkan masukan, baik berupa
saran atau kritik demi penyempurnaan makalah ini.

Medan, September 2021

Kelompok 3

1|Page
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................................1

DAFTAR ISI ...........................................................................................................................2

BAB I : PENDAHULUAN......................................................................................................3

A. Latar Belakang.............................................................................................................3
B. Tujuan...........................................................................................................................4
C. Manfaat.........................................................................................................................4

BAB II : PEMBAHASAN.......................................................................................................5

A. Hubungan Industrial.....................................................................................................5
B. Ciri-Ciri Hubungan Industrial......................................................................................8
C. Ruang Lingkup Hubungan Industrial...........................................................................9
D. Implementasi Kebijakan Hubungan Industrial.............................................................11
E. Sarana Hubungan Industrial.........................................................................................14
F. Perselisihan Hubungan Industrial dan Penyelesaiannya..............................................17

BAB III : PENUTUP................................................................................................................21

A. Kesimpulan...................................................................................................................21
B. Saran.............................................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................22

2|Page
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hubungan industrial merupakan suatu sistem hubungan yang terbentuk
antara para pelaku dalam produksi barang dan jasa yang terdiri unsur
pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasari nilai-nilai Pancasila
dan UUD Negara RI. Hubungan industrial Pancasila adalah hubungan antara
para pelaku dalam proses produksi barang dan jasa (pekerja, pengusaha dan
pemerintah) didasarkan atas nilai yang merupakan manifestasi dari
keseluruhan sila-sila dari Pancasila dan Undang-Undang 1945 yang tumbuh
dan berkembang di atas kepribadian bangsa dan kebudayaan nasional
Indonesia.
Dalam pelaksanaan hubungan industrial, pemerintah, pekerja/buruh atau
serikat pekerja buruh serta pengusaha atau organisasi pengusaha mempunyai
fungsi dan peranan masing-masing yang sudah digariskan dalam UUD.
Melalui penyusunan makalah ini, kami akan menjelaskan mengenai pengertian
hubungan industrial hingga perselisihan dalam hubungan industrial. Dengan
adanya hubungan industrial dalam suatu perusahaan, makan akan mampu
meningkatkan produktivitas dan kerjasama antar pekerja dan pengusaha
sehingga perusahaan dapat terus berjalan.

B. Tujuan
Setelah mempelajari makalah ini, pembaca diharapkan mampu:
1. Mengetahui Definisi Hubungan Industrial,
2. Mengetahui Ciri-Ciri Hubungan Industrial,
3. Mengetahui Ruang Lingkup Hubungan Industrial,
4. Mengetahui Implementasi Kebijakan Hubungan Industrial,
5. Mengetahui Sarana Hubungan Industrial,
6. Mengetahui Perselisihan Hubungan Industrial dan Penyelesaiannya.
C. Manfaat
Manfaat penulisan makalah meliputi:

3|Page
1. Memberikan wawasan kepadaa pembaca terkait dengan definisi
hubungan industrial,
2. Memiliki pengetahuan dan keterampilan, mampu mendeskripsikan
definisi hubungan industrial,
3. Melatih kemampuan berpikir kritis.

4|Page
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hubungan Industrial
Secara etimologis, istilah hubungan industrial dibahas dari
dua sisi, pertama tentang istilah hubungan, dan kedua istilah industrial. Istilah
hubungan memiliki konotasi adanya dua atau lebih
unsur/anasir/elemen/komponen, konsep atau orang, yang satu
sama lain saling berkaitan (interaksi), saling berhubungan
(interelasi), saling ketergantungan (interdependensi) dan pengaruh
mempengaruhi. Dimana aksi dari satu pihak akan mempengaruhi
pihak lain secara sepihak, atau sama-sama saling mempengaruhi.
Istilah industrial berasal dari kata industri (industry), yang
sedikitnya memiliki tiga konotasi. Pertama, sebagai sebuah proses
produksi, yaitu proses perubahan yang bersifat transformasional dari
bahan baku menjadi bahan jadi, baik barang maupun jasa. Kedua,
menggambarkan sebuah tempat, dimana proses produksi tersebut
berlangsung. Ketiga, menggambarkan rangkaian kegiatan dari
orang-orang yang sedang melakukan proses produksi (supply chain
process).
Untuk menjalankan proses produksi diperlukan berbagai
faktor produksi (production factors), yaitu adanya manusia, biaya,
bahan baku, sarana/alat kerja, sistem atau aturan, serta kelompok
sasaran yang akan menikmati hasil produksi. Manusia merupakan
faktor produksi yang memiliki peran paling besar dan menentukan, karena
manusialah yang merencanakan, melaksanakan, mencari/menciptakan,
menggunakan, bahkan menikmati faktor-faktor produksi yang lain, sehingga
disebut sebagai para pelaku produksi (production actors)
Hubungan industrial merupakan tatanan yang menunjukkan
keterhubungan (interelasi, interaksi) diantara para pelaku produksi
(production actors), yang satu sama lain saling ketergantungan dan
pengaruh mempengaruhi, untuk mencapai tujuan bisnis organisasi

5|Page
dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat baik barang
maupun jasa. Ada tiga kelompok aliran pemikiran berkaitan
dengan para aktor produksi yang membentuk pola hubungan industrial.
1. Sudut Pandang Luas dan Komprehensif
Kelompok pertama memandang dari sudut pandang luas dan
komprehensif, bahwa aktor produksi dalam hubungan industrial
meliputi semua pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung
dalam suatu proses produksi. Meliputi unsur majikan/pengusaha
(employer), pekerja (labour), penanam modal (investor), pemasok
(supplier), konsumen (consumer), penjual (distributor), pemerintah
(government), bahkan para pesaing (competitor). Aliran pemikiran ini
seringkali menamakan hubungan industrial sebagai hubungan
ketenagakerjaan (employment relations), dengan model hubungan
multipartit (multipartism). Hal tersebut karena meliputi semua pihak
yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam suatu proses
produksi.

Gambar 1. Bagan Hubungan Industrial Model Multipartit

6|Page
2. Sudut Pandang Sempit
Kelompok kedua memandang para aktor produksi dari sudut yang
sempit, yaitu hanya meliputi pihak-pihak yang terlibat langsung dalam
proses produksi, terdiri dari majikan (pengusaha) sebagai pemberi
kerja dan pekerja/buruh sebagai pelaksana pekerjaan. Aliran ini
menamakan hubungan industrial dengan hubungan perburuhan
(employee relations), dengan model hubungan yang bersifat bipartit
(bipartism).

Gambar 2. Bagan Hubungan Industrial Model Bipartit


3. Sudut Pandang Kompromistis-Fragmatis
Kelompok ketiga memandang hubungan industrial dengan lebih
kompromistis-fragmatis, yaitu bahwa aktor-aktor produksi dalam
hubungan industrial terdiri dari unsur majikan (pengusaha) serta
pekerja/buruh, tetapi ditambah unsur pemerintah. Pertimbangannya
bahwa dibandingkan dengan aktor-aktor produksi yang lain,
pemerintah memiliki peranan yang paling besar dan lebih
menentukan dalam proses hubungan industrial, sehingga
mempengaruhi bentuk dan proses hubungan industrial. Aliran
pemikiran ini menggunakan istilah hubungan industrial (industrial
relations), dengan pola hubungan tripartit (tripartism).
Dalam Pasal 1 angka 16 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan disebutkan bahwa pengertian istilah hubungan industrial
adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses
produksi barang dan jasa yang terdiri atas unsur pengusaha, pekerja/buruh,

7|Page
dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Landasan hubungan industrial terdiri atas:
1) Landasan idiil ialah Pancasila,
2) Landasan konstitusional ialah Undang-Undang Dasar Tahun 1945,
3) Landasan operasional GBHN yang ditetapkan oleh MPR serta
kebijakan-kebijakan lain dari pemerintah.
Berdasarkan hasil seminar HIP tahun 1974 (Shamad, 1995: 12) tujuan
hubungan industrial adalah mengembang cita-cita Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia 17 Agustus 1945 di dalam pembangunan nasional untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang berdasarkan Pancasila serta
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial melalui penciptaan ketenangan,
ketentraman, dan ketertiban kerja serta ketenganan usaha, meningkatkan
produksi dan meningkatkan kesejahteraan pekerja serta derajatnya sesuai
derajat manusia. Sedemikian berat dan mulianya tujuan tersebut, maka semua
pihak yang terkait dalam hubungan industrial harus memahami untuk
terwujudnya pelaksanaan hubungan industrial dengan baik.
Tujuan hubungan industrial Pancasila adalah:
1) Mensukseskan pembangunan dalam rangka mengemban cita-cita
bangsa Indonesia yaitu masyarakat adil dan makmur.
2) Ikut berperan dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
3) Menciptakan ketenangan, ketentraman dan ketertiban kerja serta
ketenangan usaha.
4) Meningkatkan produksi dan produktivitas kerja.
5) Meningkatkan kesejahteraan pekerja serta derajatnya sesuai dengan
martabatnya manusia.
B. Ciri-Ciri Hubungan Industrial
Hubungan industrial memiliki ciri-ciri diantaranya sebagai berikut:

8|Page
1) Mengakui dan meyakini bahwa bekerja bukan sekadar mencari nafkah
saja, melainkan juga sebagai pengabdian manusia kepada Tuhannya,
sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara.
2) Menganggap pekerja bukan hanya sekedar faktor produksi belaka,
melainkan sebagai manusia pribadi dengan segala harkat dan
martabatnya.
3) Melihat antara pekerja dan pengusaha bukan mempunyai kepentingan
yang bertentangan, melainkan mempunyai kepentingan yang sama
untuk kemajuan perusahaan.
4) Setiap perbedaan pendapat antara pekerja dan pengusaha harus
disesuaikan dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat yang
dilakukan secara kekeluargaan.
5) Adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban untuk kedua belah
pihak, atas dasar rasa keadilan dan kepatutan.
C. Ruang Lingkup Hubungan Industrial
Heidjrahman berpendapat bahwa hubungan industrial secara garis besar
dibedakan menjadi dua, yaitu masalah man power marketing dan masalah
man power management (Heidjrahman, 2002: 1-2). Dari kedua kategori ini
dapat dirinci lagi menjadi bagian-bagian yang lebih detil.
Secara garis besar ruang lingkup hubungan industrial dibedakan menjadi
dua, yaitu man power marketing dan man power management. Kemudian dari
kedua garis besar pembagian ini dapat diuraikan lagi sebagai berikut.
1. Man Power Marketing
Man Power Marketing atau pemasaran tenaga kerja secara umum
membahas penentuan syarat-syarat kerja yang akan diterapkan dalam
pelaksanaan ikatan kerja yang ada. Proses ini terjadi setelah karyawan
dinyatakan diterima oleh pihak perusahaan. Penentuan syarat-syarat
kerja ini dapat dilaksanakan oleh pekerja secara individual yang
selanjutnya disebut dengan individual bargaining maupun oleh wakil-
wakil pekerja yang tergabung, yang disebut dengan collective
bargaining.

9|Page
Syarat-syarat kerja yang akan ditentukan dalam proses tersebut
biasanya meliputi jam kerja, hari kerja, tempat kerja, upah, jaminan
soial, dan sebagainya.
2. Man Power Management
Man Power Management membahas pelaksanaan syarat-syarat kerja
dan berbagai permasalahan serta pemecahannya. Oleh karena itu,
proses ini terjadi setelah karyawan bergabung dengan perusahaan.
Pelaksanaan syarat-syarat kerja dengan berbagai permasalahan dan
pemecahannya dapat diterapkan kepada pekerja secara individual
maupun kepada keseluruhan karyawan melalui organisasi pekerja.
Dalam praktiknya pelaksanaan syarat-syarat kerja ini berlaku umum,
namun dalam penanganan pelaksanaan syarat kerja beserta
permasalahan dan pemecahannya diterapkan secara individu. Dalam
kasus seperti ini berarti menyangkut personal management.
Penanganan permasalahan dan pemecahannya juga dapat dilakukan
secara berkelompok, melalui organisasi buruh. Dalam hal seperti ini,
maka kelompok pekerja tersebut akan mewakilkan pelaksanaan syarat-
syarat kerja, penanganan permasalahan dan pemecahannya ke
organisasi pekerja, yang selanjutnya disebut labour relation. Sebagai
konsekuensinya, para pekerja tersebut harus menerima pelaksanaan
syarat-syarat kerja dan pemecahan permasalahannya kepada serikat
pekerja.
Secara terperinci pelaksanaan syarat-syarat kerja, permasalahan yang
dihadapi dan pemecahannya yang diwakilkan kepada serikat pekerja
meliputi penarikan tenaga kerja, pengembangan tenaga kerja,
kompensasi, integrasi, pemeliharaan.
Penjelasan Man Power Marketing Man Power Management
Meliputi Individual Collective Personal Labour
Bargaining Relation Management Relation
Penjelasan Calon Buruh Organisasi Buruh Organisasi
Individu VS VS Individu VS Buruh VS

10 | P a g e
Manajemen Manajemen Manajemen Manajemen
Menentukan Syarat-syarat kerja yang akan Pelaksanaan syarat kerja dan
berlaku berbagi persoalannya
Contoh 1. Jam kerja 1. Penarikan tenaga
2. Hari kerja kerja
3. Upah 2. Pengembangan
4. Jaminan sosial tenaga kerja
5. Tempat kerja 3. Kompensasi
4. Integrasi
5. Pemeliharaan
Sumber: Heidjrahman, 2002: 6.

D. Implementasi Kebijakan Hubungan Industrial


Materi kebijakan hubungan industrial telah ditetapkan berdasarkan
konstruksi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 serta berbagai peraturan
pelaksanaannya. Pada bagian pertama Bab XI UU No. 13 Tahun 2003
dijelaskan tentang peran dan fungsi Pemerintah, Pekerja, dan Pengusaha
dalam melaksanakan hubungan industrial, dimana ketiganya memiliki fungsi
yang spesifik sesuai dengan peran masing-masing dalam mempertahankan dan
mengembangkan perusahaan, yang ditetapkan dalam Pasal 102 ayat (1), (2)
dan (3).
1. Pemerintah
“Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai
fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan
pengawasan dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan”. Representasi
pemerintah dalam Undang-Undang tersebut adalah Menteri, dalam hal
ini adalah Menteri Tenaga Kerja. Definisi tersebut secara eksplisit
menunjukkan bahwa sebagaimana halnya penyelenggara negara,
pemerintah memilki fungsi-fungsi spesifik dalam pelaksanaan
hubungan industrial dan ketenagakerjaan, yaitu:
1) Fungsi Pengaturan (Regulating)

11 | P a g e
Negara/pemerintah menetapkan kebijakan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan untuk mengatur hubungannya dengan
anggota masyarakat (para pelaku produksi), serta hubungan
diantara para pelaku produksi itu sendiri. Kebijakan harus bersifat
objektif dan katalistik serta mengarah pada tujuan yang lebih baik
untuk kepentingan bersama. Sehingga dengan kebijakan tersebut
terwujud keteraturan dan keseimbangan yang dinamis,
pertumbuhan dan pengembangan usaha, serta meningkatnya
kesejahteraan pekerja beserta keluarganya.
2) Fungsi Pelayanan (Services)
Merupakan fungsi negara/pemerintah dalam melaksanakan
kebijakan yang memerlukan kehadiran pemerintah, seperti
bimbingan dan pembinaan, pelayanan perizinan, lisensi dan
akreditasi, membantu penyelesaian konflik hubungan industrial
melalui mediasi/arbitrasi atau rekonsiliasi, perumusan/penetapan
dan pengesahan perjanjian kerja bersama, analisis risiko-risiko
kerja, pelatihan dan pengembangan kerja dan sebagainya.
3) Fungsi Pengawasan (Control)
Merupakan fungsi pemerintah untuk memastikan
terselenggara/terlaksananya kebijakan dengan efektif dan efisien,
agar tujuan kebijakan tercapai melalui kontrol dan penegakan
hukum yang ketat. Fungsi ini secara struktural dan fungsional telah
diatur dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan,
dimana secara definitif dikatakan “Pengawasan ketenagakerjaan
adalah kegiatan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-
undangan di bidang ketenagakerjaan”.
4) Fungsi Penindakan
Merupakan fungsi represif dari pemerintah jika ditemukan
pelanggaran yang dinilai fatal atau sudah tidak bisa ditangani
secara preventif-edukatif secara berulang-ulang. Untuk
menghindari dampak yang lebih luas dan masif, maka dilakukan

12 | P a g e
tindakan penegakan hukum yang bersifat represif yustisial melalui
penyidikan (Pasal 182 UU No. 3 Tahun 2003). Ketentuan pidana
ketenagakerjaan diatur secara khusus pada Pasal 183 sampai Pasal
189 UU No. 13 Tahun 2003, sedangkan sanksi administratif di atur
di dalam Pasal 190 UU No. 13 Tahun 2003.
2. Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Buruh
“Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat
pekerja/buruh mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai
kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi,
menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan
keterampilan dan keahliannya, serta ikut memajukan perusahaan dan
memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya”.
Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain. Sedangkan serikat pekerja/buruh
adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/buruh
baik di tingkat perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat
bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggungjawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan
pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya.
3. Pengusaha
Dalam satu hubungan kerja pengusaha memiliki kedudukan sebagai
pemberi kerja, yaitu perseorangan, pengusaha, badan hukum atau
lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain. Sedangkan status/kedudukan
pengusaha sendiri meliputi tiga kualifikasi, yaitu perseorangan,
persekutuan atau badan hukum yang menjalankan perusahaan miliki
sendiri/menjalankan perusahaan bukan miliknya/mewakili pemiliki
perusahaan yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
“Dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha dan organisasi
pengusaha mempunyai fungsi menciptakan kemitraan,

13 | P a g e
mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, memberikan
kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis dan
berkeadilan.”
E. Sarana Hubungan Industrial
Tidak mudah menyelenggarakan hubungan industrial yang efektif dan
harmonis, karena terdapat hambatan faktor-faktor ekonomis, psikologis,
sosiologis, yuridis, demografis bahkan politik dan keamanan yang kompleks
dan komprehensif. Oleh karena itu, diperlukan institusi yang dapat mewadahi
struktur, fungsi dan proses komunikasi antara pekerja dan pengusaha, yang
pada dasarnya merupakan sarana bagi terwujudnya tujuan hubungan
industrial. Dalam Pasal 103 UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, telah
ditetapkan delapan kelembagaan yang dapat mengambil peran positif sebagai
sarana yang efektif, antara lain.
1. Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Kehadiran serikat pekerja/buruh dinilai penting dan dapat digunakan
sebagai alat dan wadah untuk menampung dan menyalurkan aspirasi
pekerja sebagai anggotanya. Aspirasi anggota organisasi akan
senantiasa hadir dan berkembang sejalan dengan hadir dan
berkembangnya keinginan, harapan dan cita-cita pekerja yang sudah
dapat dipastikan sebjektif dan beraneka ragam. Oleh karena itu,
diperlukan pengorganisasian aspirasi serta cara penyampaian yang baik
dan beradab, sehingga tidak menimbulkan kekacauan dan dampak yang
bersifat merusak (destruktif) dan merugikan bagi organisasi dan seluruh
stakeholders yang terlibat.
2. Organisasi Pengusaha
Organisasi pengusaha yang dimaksud dalam UU Ketenagakerjaan
adalah organisasi yang mewadahi para pengusaha khusus untuk
menangani bidang sumberdaya manusia serta ketenagakerjaan dan
hubungan industrial. Organisasi tersebut selama ini hanya ada satu yaitu
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Apindo dibentuk seiring
dengan meningkatnya isu di bidang ketenagakerjaan dan hubungan

14 | P a g e
industrial, yang berperan sebagai forum komunikasi dan bertukar
pikiran diantara pengusaha tentang isu-isu ketenagakerjaan dan
hubungan industrial, salah satunya dengan melindungi, memberdayakan
dan membela seluruh pelaku usaha Indonesia terutama anggota Apindo.
3. Lembaga Kerjasama Bipartit dan Tripartit
Keduanya merupakan sarana hubungan indsutrial yang berfungsi
sebagai forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan dan hubungan industrial.
Perbedaannya LKS Bipartit berada di satu perusahaan yang anggotanya
terdiri dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh
pekerja/buruh secara demokratis, dimana perusahaan yang
mempekerjakan pekerja 50 orang atau lebih, wajib membentuknya.
Sedangkan LKS Tripartit merupakan lembaga yang berada di luar
perusahaan yang kedudukannya berjenjang mulai dari tingkat nasional,
tingkat provinsi, hingga tingkat kabupaten/kota. Keanggotaannya terdiri
dari organisasi pengusaha, gabungan serikat pekerja serta pemerintah.
4. Peraturan Perusahaan
Peraturan perusahaan (PP) atau company regulation adalah seperangkat
peraturan yang dibuat, disusun dan menjadi tanggungjawab pengusaha
secara sepihak, yang isinya mengatur pola hubungan kerja antara
pekerja dengan perusahaan dan hubungan antar pekerja, termasuk
penetapan hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha yang bersifat
kolektif, serta syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan. Tujuan
dibuatnya peraturan perusahaan adalah untuk terwujudnya ketertiban
dan kepastian hukum bagi pengusaha dan seluruh pekerja/buruh,
berbeda dengan isi perjanjian kerja yang meskipun tujuannya sama
untuk kepastian hukum tetapi bersifat perorangan (individual
agreement).
5. Perjanjian Kerja Bersama
Perjanjian kerja bersama (PKB) atau Collective Labour Agreement
(CLA) adalah “bentuk perjanjian yang merupakan hasil perundingan

15 | P a g e
antara serikat pekerja atau beberapa serikat pekerja yang secara resmi
tercatat pada instansi pemerintah di bidang ketenagakerjaan dengan
pengusaha atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang
memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak”. Hal
yang membedakan secara spesifik dengan PP adalah, PKB disusun
secara bersama-sama dengan pekerja yang diwakili oleh serikat
pekerja/buruh melalui proses perundingan dengan menggunakan asas
musyawarah untuk mufakat. Dengan pola penyusunan seperti ini maka
aspirasi pekerja/buruh dapat diperjuangkan untuk masuk ke dalam
materi perjanjian, sehingga pekerja terpuaskan dan ikut
bertanggungjawab dalam pelaksanaannya.
6. Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan
Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan merupakan sejumlah
peraturan yang merupakan produk kebijakan negara/pemerintah sebagai
wujud kehadirannya untuk mengatur hubungan antara pekerja/buruh
dengan pengusaha serta hubungan antara pemerintah dengan pekerja
dan pengusaha.
Materi yang diatur biasanya berbentuk standar-standar minimal yang
harus dipenuhi, karena apabila tidak terpenuhi maka dapat
menimbulkan dampak negatif yang tidak hanya merugikan secara
langsung bagi pekerja, namun juga merugikan perusahaan dan bahkan
masyarakat serta konsumen secara tidak langsung. Beberapa contoh
peraturan yang telah ditetapkan seperti UU RI No. 13 Tahun 2003
tentang Undang-Undang Pokok Ketenagakerjaan, UU No. 1 Tahun
1970 tentang Keselamatan Kerja, UU RI No. 21 Tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/Serikat Buruh, serta peraturan-peraturan
pelaksanaannya.
7. Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Sarana yang digunakan untuk mewujudkan hubungan industrial yang
harmonis adalah tersedia dan berfungsinya dengan Lembaga
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI). Perselisihan

16 | P a g e
diantara pekerja dengan pengusaha, sebagaimana juga perselisihan yang
terjadi diantara manusia (human conflict) merupakan hal yang natural
dan kodrati yang dapat terjadi karena berbagai penyebab yang juga
bersifat manusiawi.
8. Kesepakatan Kerja Bersama
Kesepakatan kerja bersama (KKB) merupakan kesepakatan yang dibuat
antara Serikat Pekerja yang telah terdaftar pada Departemen Tenaga
Kerja dengan pengusaha yang berbadan hukum. Kesepakatan kerja
bersama harus dibuat secara resmi/tertulis yang ditandatangani oleh
kedua belah pihak yaitu organisasi pekerja dan pengusaha. Kesepakatan
kerja bersama sekurang-kurangnya memuat (1) hak dan kewajiban
pengusaha, (2) hak dan kewajiban serikat pekerja serta pekerja, (3) tata
tertib perusahaan, (4) jangka waktu berlakunya, (5) tanggal mulai
berlakunya KKB, (6) tandatangan para pihak pembuat KKB.
F. Perselisihan Hubungan Industrial dan Penyelesaiannya
Perselisihan hubungan industrial mendapat posisi dan perhatian yang
sangat besar dalam konteks ketenagakerjaan di Indonesia. Hal tersebut karena
secara filosofis maupun strategis terlalu besar biaya yang harus dikorbankan
untuk mengatasi apabila perselisihan sudah terjadi. Biaya tersebut sangat
kompleks, tidak hanya kerugian material secara langsung, tetapi juga kerugian
waktu, kesempatan, biaya sosial maupun biaya psikologis.
Untuk itu pandangan hubungan industrial Pancasila memandang bahwa
konflik hubungan industrial merupakan sesuatu yang manusiawi dan bahkan
biasa konstruktif tergantung kemampuan untuk mengelolanya. Selain itu
penanganan konflik lebih ditekankan pada tindakan preventif (pencegahan)
dan promotif (melalui dialog), daripada penyelesaian secara represif setelah
konflik terjadi.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial selain di atur secara umum
di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, secara khusus telah ditetapkan
dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial. Di dalam Undang-Undang tersebut diatur tata cara

17 | P a g e
penyelesaian perselisihan hubungan industrial, meskipun lebih bersifat
represif melalui jalur judisial.
Adapun jenis-jenis perselisihan hubungan industrial, antara lain sebagai
berikut.
1. Perselisihan Hak
Perselisihan hak adalah perselisihan yang berkaitan dengan
pelaksanaan hak yang telah diperjanjikan dalam Peraturan Perusahaan
(PP) dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Sedangkan hak-hak yang di
atur dalam peraturan perundang-undangan (hukum publik), tidak dapat
diselesaikan dengan cara perselisihan hubungan industrial, tetapi
diselesaikan melalui proses hukum pidana, karena merupakan
pelanggaran peraturan perundang-undangan.
2. Perselisihan Kepentingan
Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang berkaitan dengan
ketidaksesuaian paham tentang syarat-syarat kerja yang tidak di atur
dalam perjanjian, perjanjian kerja, maupun perjanjian kerja bersama.
3. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Perselisihan PHK adalah perselisihan yang terjadi berkaitan dengan
ketidaksesuaian paham dalam pelaksanaan pemutusan hubungan kerja
yang akan dilakukan oleh perusahaan kepada pekerja/buruh, baik
persetujuan tentang PHK-nya sendiri, proses PHK, maupun besar
pesangon.
4. Perselisihan Antar Serikat Pekerja
Perselisihan antar serikat pekerja merupakan perselisihan yang terjadi
antar serikat pekerja atau gabungan serikat pekerja dalam satu
perusahaan mengenai keanggotaan, serta pelaksanaan hak dan
kewajiban keserikatkerjaan.
Ada lima cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana
di atur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, antara lain sebagai berikut.
1. Penyelesaian Perselisihan Secara Bipartit

18 | P a g e
Merupakan cara penyelesaian yang mutlak harus dilakukan untuk
setiap jenis perselisihan menyangkut perselisihan kepentingan,
perselisihan hak, perselisihan PHK maupun perselisihan antar SP/SB.
Wajib dilaksanakan secara langsung oleh pihak-pihak (pekerja dan
pengusaha/manajemen) secara musyawarah, tanpa melibatkan pihak
ketiga dan merupakan langkah awal penyelesaian. Apabila tidak
berhasil dicapai persetujuan bersama, maka pihak-pihak dapat
bersepakat untuk melanjutkan penyelesaian ke tahap kedua, dimana
ada tiga opsi penyelesaian, yaitu melalui cara mediasi, konsiliasi, atau
cara arbitrase.
2. Penyelesaian Perselisihan Secara Mediasi
Merupakan penyelesaian perselisihan tingkat kedua apabila
penyelesaian secara bipartit tidak berhasil mencapai persetujuan
bersama, dilaksanakan melalui jasa mediator (penengah) sebagai pihak
ketiga yang merupakan pegawai pemerintah di bidang
ketenagakerjaan, setelah mendapat limpahan perkara dari pihak-pihak
yang berselisih. Cara ini dapat menangani semua jenis perselisihan
(kepentingan, hak, PHK, antar SP/SB). Hasil penyelesaian berupa
Persetujan Bersama (PB), sedangkan apabila tidak tercapai
kesepakatan, maka mediator mengeluarkan produk yang disebut
anjuran tertulis. Apabila anjuran tidak diterima oleh salah satu atau
kedua pihak (melalui jawaban anjuran), maka pihak-pihak dapat
mengajukan penyelesaian ke Peradilan Hubungan Industrial.
3. Penyelesaian Perselisihan dengan Menggunakan Cara Konsiliasi
Merupakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial tingkat
kedua dengan menggunakan jasa pihak ketiga yaitu jasa konsiliator
(juru damai), yang ditunjuk dengan kesepakatan oleh masing-masing
pihak.
4. Penyelesaian Perselisihan dengan Menggunakan Cara Arbitrase
Merupakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial tingkat
kedua dengan menggunakan jasa arbiter (wasit atau juru runding),

19 | P a g e
yang berasal dari kalangan profesional dan yang ditunjuk melalui
kesepakatan masing-masing pihak. Produk yang dihasilkan berupa
nota kesepakatan, apabila dari perundingan diperoleh kesepakatan.
Sedangkan apabila tidak dicapai kesepakatan, maka arbiter
mengeluarkan putusan yang bersifat final dan mengikat kedua belah
pihak, kecuali apabila dalam putusan tersebut dinilai ada unsur-unsur
yang bertentangan, maka pihak-pihak dapat mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung.
5. Penyelesaian Perselisihan Melalui Peradilan Hubungan Industrial
Merupakan cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang
dilaksanakan oleh lembaga peradilan, setelah mendapat limpahan
kasus perselisihan yang tidak berhasil diselesaikan oleh lembaga
bipartit, cara-cara mediasi maupun konsiliasi. Peradilan ini merupakan
salah satu bentuk peradilan hukum yang berada pada lembaga
pengadilan negeri, dengan susunan hakim yang terdiri hakim ad hoc
dan hakim karier. Putusan PPHI dapat dikasasi oleh pihak-pihak ke
Mahkamah Agung.

20 | P a g e
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hubungan industrial merupakan tatanan yang menunjukkan
keterhubungan (interelasi, interaksi) diantara para pelaku produksi
(production actors), yang satu sama lain saling ketergantungan dan
pengaruh mempengaruhi, untuk mencapai tujuan bisnis organisasi
dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat baik barang
maupun jasa. Hubungan industrial memiliki ciri-ciri diantaranya (1)
mengakui dan meyakini bahwa bekerja bukan sekadar mencari nafkah saja,
melainkan juga sebagai pengabdian manusia kepada Tuhannya, sesama
manusia, masyarakat, bangsa dan negara, (2) menganggap pekerja bukan
hanya sekedar faktor produksi belaka, melainkan sebagai manusia pribadi
dengan segala harkat dan martabatnya, (3) melihat antara pekerja dan
pengusaha bukan mempunyai kepentingan yang bertentangan, melainkan
mempunyai kepentingan yang sama untuk kemajuan perusahaan, (4) setiap
perbedaan pendapat antara pekerja dan pengusaha harus disesuaikan dengan
jalan musyawarah untuk mencapai mufakat yang dilakukan secara
kekeluargaan, dan (5) adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban untuk
kedua belah pihak, atas dasar rasa keadilan dan kepatutan.
B. Saran
Meskipun kami sebagai penulis menginginkan kesempurnaan dalam
menyusun makalah ini, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak
kekurangan yang perlu kami perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya
pengetahuan kami. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari
pembaca sangat kami harapkan sebagai bahan evaluasi untuk kedepannya.

21 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Endang. 2002. Fungsi Kesepakatan Kerja Bersama dalam Penyelesaian


Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Thesis Universitas Airlangga.
Gatiningsih dan Sutrisno, Eko. 2017. Kependudukan dan Ketenagakerjaan.
Jatinangor-Sumedang: Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia,
Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Fakultas Manajemen Pemerintahan.
Kartawijaya, Adjat Daradjat. 2018. Hubungan Industrial Pendekatan
Komprehensif-Inter Disiplin Teori-Kebijakan-Praktik. Bandung: Penerbit
Alfabeta.
Wardiningsih, Suprihatmi Sri. 2011. Strategi Pengelolaan Hubungan
Industrial Dalam Meminimisasi Konflik Industri. Jurnal Ekonomi dan
Kewirausahaan, 11 (1), 23405.

22 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai