Anda di halaman 1dari 7

EVALUASI TENGAH SEMESTER

Nama : Bagus Riadi Putra

NIM : 2001114453

Jurusan : Sosiologi

Kelas : Teori Sosiologi klasik A

Dosen : Dra. Hj. Hesti Asriwandari, M.Si

1. Melalui sebuah proses empiric-historis dan intelektual yang panjang, lahirnya


sosiologi

menandai awal kelahiran ilmu sosial sebagai ilmu pengetahuan yang mandiri,

a. Bagaimana latar belakang historis dan intelektual lahirnya sosiologi sebagai

sebuah ilmu pengetahuan?

Jawab:

Ilmu pengetahuan pada dasarnya bersumber dari filsafat, yang dianggap sebagai induk dari
ilmu pengetahuan. Filsafat berkembang dan mempunyai berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Sesuai dengan perkembangan zaman, masing-masing cabang ilmu pengetahuan kemudian
memisahkan diri dan berkembang untuk mencapai tujuannya masing-masing. Pada awalnya,
astronomi dan fisika yang memisahkan diri dari filsafat kemudian disusul oleh ilmu
pengetahuan lain. Sosiologi sendiri secara “resmi” memisahkan diri dari filsafat pada abad 19
yang ditandai dengan terbitnya tulisan Auguste Comte.

Tulisan yang berjudul Positive Philosophy merupakan awal lahirnya sosiologi sebagai ilmu
pengetahuan. Tulisan yang terbit pada tahun 1842 ini mengukuhkan Comte sebagai bapak
sosiologi. Lahirnya tulisan Comte pada dasarnya adalah bentuk keprihatinan terhadap kondisi
masyarakat Eropa pada saat itu (Soekanto, 1982: 10-12). Pokok perhatian sosiologi di Eropa
adalah pada kesejahteraan masyarakat dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam
masyarakat. Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat dipengaruhi oleh
kekuatan sosial. Adapun kekuatan sosial yang berperan dalam perkembangan ilmu sosiologi,
antara lain revolusi politik, revolusi industri dan kemunculan kapitalisme, kemunculan
sosialisme, feminisme, urbanisasi, perubahan keagamaan, dan perkembangan ilmu
pengetahuan.

b. Bagaimana peran Auguste Comte dan Emile Durkheim dalam perkembangan

sosiologi sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang mandiri?

Jawab:

Aguste Comte ( Course de Philosophie Positive) adalah tokoh aliran positivisme, pendapat
aliran in adalah indera amatlah penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus
dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Karena kekurangan inderawi
dapat dikoreksi dengan eksperimen (Riyanto, 2011 : 53). Melihat dari pernyataan Aguste
Comte di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Comte lebih menekankan pada pengamatan
dan diperjelas dengan eksperimen.

Emile Durkheim ( The Rule Of Sociological Method) (1858-1917) dipandang sebagai


salah satu peletak dan pencetus sosiologi modern. Ia mendirikan fakultas sosiologi pertama di
sebuah universitas Eropa pada 1895 dan menerbitkan salah satu jurnal pertama yang
diabdikan kepada ilmu sosial, L‟Annee Sociologique (1896). Dalam bukunya tentang The
Division of Labor in Society (1893) misalnya, ia mengemukakan bahwa bidang industri
modern yang menggunakan mesin, modal dan tenaga kerja, telah mengakibatkan munculnya
pembagian kerja dalam bentuk spesialisasi dan pemisahan pekerjaan yang makin terperinci.
Tidak hanya di bidang pertanian, pembagian kerja tersebut juga terjadi di sektor perdagangan,
politik, hukum, kesenian dan keluarga. Tujuan kajian itu adalah mengetahui faktor penyebab
daan memahami fungsi pembagian kerja tersebut.

c. Jelaskan yang dimaksud dengan ‘positivisme’, dan pengaruhnya terhadap

perkembangan ilmu sosial, khususnya sosiologi

Jawab:

Positivisme merupakan pradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia
ilmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari paham ontologi yang menyatakan
bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural
laws). Upaya penelitian dalam hal ini adalah untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang
ada dan bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan. Positivisme muncul abad ke-19
dimotori oleh sosiolog Auguste Comte, dengan buah yang ada dan bagaimana realitas
tersebut senyatanya berjalan. Positivisme muncul abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste
Comte, dengan buah karyanya yang terdiri dari enam jilid dengan judul The course of
positive philosophy (1830-1842).

Positivisme lahir sebagai reaksi terhadap zaman pencerahan. Dalam buku Teori Sosiologi
karya George Ritzer dan douglas J. Goodman disebutkan, pengaruh pencerahan pada teori
sosiologi lebih bersifat tidak langsung dan negatif ketimbang bersifat langsung dan positif.

2. Bagaimana anda menjelaskan tentang kondisi masyarakat kelas menengah (middle

class) di Eropa Barat pada abad pertengahan?

Jawab:

Pengikut Marxism tak pernah menganggap kelas menengah sebagai sebuah kelas. Justru
dianggap kelas banci. Pengantar Eric Hiariej dimulai dari “apa yang disebut kelas menengah”
akan selalu merujuk pada perdebatan dua pemikiran. Pertama, pemikiran Marx. Marx
menggunakan dasar hubungan faktor produksi sebagai pembeda kelas, makanya Marx hanya
percaya dua kelas yang saling bertentangan, yakni borjuis/capital atau kaum pemilik modal
dan kaum buruh atau proletar/working class. Dalam kaca mata Marx, tidak ada kelas yang
berada di antara kedua kelas tersebut. Kelas menengah sama dengan kelas banci ini dalam
pengertian “plin-plan”; jika kepentingannya terpenuhi dengan mendekati capitalist class
maka kelompok ini menjadi capitalist class, atau jika kepentingannya lebih dekat dengan
kelas proletar maka kelas ini menjadi kelas proletar. Pada masa itu, teorisasi Marx tidak
menaruh perhatian khusus terhadap pertumbuhan kelas menengah. Ternyata dalam
perkembangan selanjutnya—bahkan setelah satu abad Marx—pertumbuhan kelas menengah
sedemikian cepat dan besar. Awal abad 20 Eropa memunculkan banyak teoritisi Marxism
baru mengenai studi kelas menengah. Nicos Poulantzas mengenalkan New petty bourgeoisie
(kelas menengah saat ini) yang dibedakan dari kelas pekerja dengan cara pembayarannya.
Jika kelas pekerja dibayar dengan upah, sedangkan new petty bourgeoisie dibayar
berdasarkan prosentase profit. Sederhananya white-collar merepresentasikan new petty
bourgeoisie dan blue-collar merepresentasikan kelas pekerja. Teorisasi ini cukup lama
digunakan.

Selanjutnya pemikiran kedua yaitu pemikiran Weber. Kelas menengah tidak harus diukur
melalui cara kepemilikan faktor produksi—justru Weber menggunakan cara berpikir BPS
(Badan Pusat Statistik, red). Ukuran yang digunakan bisa merupakan gabungan pendapatan,
pendidikan, status sosial atau semua hal yang bisa dikuantifikasi. Gampang-nya, penentuan
kelas menengah menggunakan data statistik—dilihat dari pendapatan yang berada di antara
kelompok pendapatan kaya dan di bawah garis kemiskinan.

Kedua pemikiran ini juga mempengaruhi perdebatan tradisi akademis. bagi yang belajar ilmu
social dengan tradisi Positivisme sangat kuat, maka pemikiran Weber digunakan. Sedangkan
bagi yang belajar ilmu social dengan tradisi ekonomi politik yang kuat, maka pemikiran Marx
yang dipilih. Perdebatan ini masih berlanjut hingga tahun 60an terdapat kritik terhadap Marx
maupun Weber. Kelas menengah tidak hanya bisa dilihat kepemilikan Faktor produksi dan
data statistik. Ada yang terlupa untuk melihat kelas menengah yaitu tabiat/ selera/ karakter
yang sifatnya sangat cultural. Kelas menengah menunjukkan tabiat yang seragam. Cara
berpikir “selera akan menentukan cara berpikir anda” ini bermula dari kelompok ilmuan
sosial yang belajar culture studies di Inggris. Salah satu tokohnya EP Thompson—dengan
temuan yang penting adalah “kelas, maka tabiatnya harus sama”. Perdebatan kelas menengah
hingga tahun 80an merujuk pada pertama cara pandang kelas menengah apakah memakai
Marx atau Weber.

3. Mengapa Sosiologi disebut sebagai ilmu yang multiparadigma?

Jawab:

Seperti yang kita ketahui, bahwa pengertian paradigma adalah konsensus yang paling luas
dalam suatu ilmu pengetahuan dan membantu membedakan satu komunitas ilmiah (atau
subkomunitas) dari yang lain. Paradigma juga merupakan suatu gambaran fundamental
mengenai pokok permasalahan dalam suatu ilmu pengetahuan, yang akan membantu dalam,
memberikan definisi apa yang harus dipelajari pertanyaan apa yang harus dikemukakan
bagaimana pertanyaan itu dikemukakan peraturan apa yang harus dipatuhi dalam
menginterpretasi jawaban yang diperoleh.

Sosiologi sebagai ilmu multipradigma yang:

1. Membahas tindakan sosial, bukan individual


2. Tindakan sosial yang berstruktur( mngidentifikasi akar, proses, dan implikasi dari
tindakan sosial)
3. Bersifat analitis, berlandaskan pada prinsip-prinsip teori dan metodologi penelitian
tertentu(scientific thought), tidak berdasarkan konsensus-konsensus yang hanya
berlaku khusus(common sense)
4. Penjelasan sosiologi adalah sistematis, artinya dalam memahami tindakan sosial harus
mengikuti aturan-aturan yang dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Sosiologi sebagai ilmu yang berparadigma majemuk, mempunyai tiga paradigma, yaitu
paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial.

1. Paradigma fakta sosial


Yaitu paradigma yang mempelajari apa yang nyata atau dianggap nyata. Fakta sosial
dapat berbentuk material yaitu barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap dan
diobservasi, yang merupakan bagian dari dunia nyata (external world). Fakta sosial
juga dapat berbentuk non material, sesuatu yang dianggap nyata (external) dan
merupakan fenomena yang bersifat inter subyektif yang hanya dapat muncul dari
dalam kesadaran manusia. Fakta sosial dapat dilihat dalam struktur sosial (social
structure) dan pranata sosial (social institution).
2. Paradigma Definisi Sosial
Yaitu paradigma yang menekankan hakekat kenyataan sosial yang bersifat subyektif
lebih daripada eksistensi obyektifnya yang terlepas dan berada di luar individu
kenyataan sosial didasarkan pada definisi subyektif individu dan penilaiannya.
Mencoba memberikan pemahaman interpretatif mengenai tindakan sosial yaitu semua
tindakan manusia apabila dan sejauh individu yang bertindak itu memberinya suatu
makna subyektif. Tindakan-tindakan individu serta pola-pola interaksinya dibimbing
oleh definisi bersama yang dikonstruksikan melalui proses interaksi.
3. Paradigma Perilaku Sosial
Yaitu paradigma yang menekankan pendekatan obyektif empiris terhadap kenyataan
sosial Bagi penganut paradigma ini, pendekatan yang diberikan oleh paradigma fakta
sosial terlalu abstrak sifatnya, sedang pendekatan paradigma definisi sosial terlampau
subyektif. Data empiris mengenai kenyataan sosial hanyalah perilaku-perilaku
individu yang nyata (overt behavior). Perilaku individu yang nyata ini hanya mungkin
dijelaskan dalam hubungannya dengan rangsangan lingkungan tertentu yang dapat
diukur secara empiris.

4. Bagaimana penjelasan anda mengenai konflik antar kelas yang ditulis oleh Karl
Marx

dalam Manifesto Komunis?

Jawab:

Sejarah masyarakat manusia adalah sejarah perjuangan kelas, yang mana melahirkan
kelompok borjuis dan kelompok proletar. Kelompok-kelompok yang menyadari bahwa
posisinya berada pada kaum proletar, kala itu mereka dengan sadar melakukan berbagai
macam upaya pemberontakan terhadap kaum borjuis. Konflik antarkelas inilah yang
kemudian melahirkan perubahan dalam masyarakat. Menurut Marx pula, suatu saat kaum
proletar akan memenangkan perjuangan kelas ini yang kemudian akan melahirkan
masyarakat tanpa kelas.

Masih dalam perspektif Marx memandang konflik, ia mengembangkan teori konflik dengan
beberapa konsepsi yakni konsepsi tentang kelas sosial, perubahan sosial, kekuasaan dan
negara dimana konsepsi-konsepsi tersebut saling berkesinambungan satu sama lain.

Negara tentunya memiliki kepentingan, oleh karenanya hal ini dimanfaatkan oleh para kaum
borjuis. Kelompok borjuis yang tentunya dapat memiliki dan juga memegang kendali atas
alat-alat produksi tentu meminta legitimasi atau bukti kepemilikan yang sah. Bukti
kepemilikan ini bisa didapatkan melalui negara.

Oleh karena itu, kelompok borjuis memiliki kekuasaan untuk menentukan apa yang akan
diproduksi dan didistribusi. Menurut Marx, dalam konteks ini hukum dan pemerintah lebih
banyak berpihak pada kaum borjuis dibanding proletar.
Teori konflik ini kemudian memunculkan apa yang dinamakan sebagai perspektif konflik.
Perspektif ini melihat masyarakat sebagai sesuatu yang selalu berubah, terutama sebagai
akibat dari dinamika pemegang kekuasaan yang terus berusaha menjaga dan meningkatkan
posisinya.

Dalam mencapai tujuannya, suatu kelompok seringkali harus mengorbankan kelompok lain.
Karena itu konflik selalu muncul, dan kelompok yang tergolong kuat setiap saat selalu
berusaha meningkatkan posisinya dan memelihara dominasinya.

Singkatnya, pandangan ini berorientasi pada struktur sosial dan lembaga-lembaga sosial di
masyarakat. Perspektif ini memandang masyarakat yang terus-menerus berubah dan masing-
masing bagian dalam masyarakat berpotensi untuk menciptakan perubahan sosial. Dalam
konteks pemeliharaan tatanan sosial, perspektif ini lebih menekankan pada peranan
kekuasaan.

Karl Marx memandang bahwa teori konflik lahir dengan beberapa konsepsi yakni konsepsi
tentang kelas sosial, perubahan sosial, kekuasaan dan negara dimana konsepsi-konsepsi
tersebut saling berkesinambungan satu sama lain.

Anda mungkin juga menyukai