1. Penggunaan bahasa Indonesia yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia
merupakan hal yang harus diperbaiki.
Mengingat media sosial digunakan oleh masyarakat dunia sehingga, sangat mudah
bagai Negara lain untuk dapat melihat bahasa yang digunakan di berbagai Negara.
Seperti yang kita ketahui, di Indonesia memiliki ragam bahasa, suku, agama, ras, dan
golongan. Sebagai bentuk persatuan dalam hak berbahasa, maka sudah ditetapkan
bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan rakyat Indonesia. Selain sebagai bentuk
rasa bangga terhadap bahasa Indonesia, juga untuk memudahkan komunikasi antar
daerah dan sebagai sarana melatih diri agar dapat berbahasa Indonesia yang baik dan
benar sesuai kaidah yang berlaku. Karena banyaknya pengguna sosial media dari
berbagai daerah di Indonesia, maka bukan hanya penggunaan bahasa saja yang
menjadi perhatian. Namun, banyaknya unsur SARA yang sering sekali disinggung
oleh pengguna sosial media merupakan bentuk kesalahan dalam menginterpretasikan
sebuah persatuan. Pengguna harusnya lebih cerdas dalam menempatkan candaan dan
sebagainya tanpa harus menyinggung kelompok tertentu sehingga tidak menyebabkan
perpecahan serta harus mempunyai kesadaran atas keberagaman di Indonesia.
Tidak hanya di Indonesia, media sosial menjadi sebuah wadah bagi masyarakat dunia
untuk menuangkan pikirannya. Dengan keterhubungan ini, diharapkan bahasa
Indonesia menjadi indentitas bangsa yang dikenal dunia melalui sosial media sebagai
bentuk rasa bangga terhadap bahasa Indonesia sesuai dengan yang tertuang dalam
sumpah pemuda.
Penggunaan bahasa Indonesia yang benar di sosial media juga sebagai sarana
komunikasi antar Negara karena akan mudah untuk diterjemahkan.
Arbitrer bermakna tidak adanya hubungan wajib antara suatu tertentu dengan sesuatu
yang dinamai. Misalnya bola, tidak ada acuan khusus dalam menamai benda tersebut
sebagai “bola” atau “ball”, setiap kelompok memiliki sistem yang berbeda sesuai
dengan ketentuan yang dibuatnya. Sehingga bahasa dikatakan bersifat arbitrer karena
setiap kelompok bebas menamai sesuatu dengan tidak ada ketentuan apapun dalam
mensistem penamaannya.
Onomatope merupakan kata atau ujaran yang berasal dari tiruan bunyi. Onomatope
mengacu pada bunyi-bunyi yang didengar sehingga diucapkan sesuai dengan bunyi
yang didengar pula. Jika dengan begini, onomatope tidak dapat dikatakan sebagai
arbitrer. Karena paling tidak, terdapat acuan dalam menyatakan hubungan itu.
Namun, setiap onomatope di berbagai Negara berbeda. Misalnya pada hewan anjing
di Indonesia “gonggong” sedangkan di Korea “meng-meng”.
Perbedaan onomatope yang dihasilkan di berbagai Negara ini bukan disebabkan
karena bunyi hewan (re: anjing) itu berbeda. Karena bunyi hewan di setiap Negara
sama. Namun yang menjadikan onomatope berbeda di setiap Negara disebabkan oleh
perbedaan interpretasi penutur di setiap Negara terhadap bunyi-bunyi tertentu.
Onomatope memang memiliki hubungan antar lambang dan konsep yang dijadikan
acuan, namun karena penutur dari berbagai Negara memiliki interpretasi yang
berbeda maka, penutur dari kelompok/Negara itu bebas mengucapkan tiruan bunyi itu
sesuai dengan keinginannya. hal ini menyebabkan onomatope memiliki kesesuaian
dengan sifat bahasa yaitu arbitrer.