Kelas: 1C
Nim: E1F021083
Jawaban:
1. Sebagai seorang guru yang profesional khususnya dalam Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD), kita harus mempelajari dan memahami mengenai sejarah dari PAUD. Dalam
Morrison (2012) mengungkapkan bahwa seorang guru akan jauh lebih pandai dan efektif
apabila mengetahui sejarah dari profesinya. Mengetahui sejarah dari profesi yang
ditekuni dapat menjadi pendukung bagi kita untuk menjadi seorang ahli. Ketika kita
mengetahui mengenai keyakinan, ide-ide, dan prestasi yang tersirat dalam cerita sejarah
dari tokoh-tokoh yang telah mendedikasikan hidupnya bagi perkembangan pendidikan
anak-anak, maka kita akan menyadari bahwa banyak program pendidikan bagi anak yang
ada di masa kini dibuat berdasarkan keyakinan tentang cara anak belajar, tumbuh, dan
berkembang yang telah ada dan berkembang sejak lama.
https://www.kompasiana.com/ayu41022/60960188d541df73d6624252/tokoh-tokoh-
ternama-dan-pengaruhnya-dalam-pendidikan-anak-usia-dini
2. Landasan Penyelenggaraan PAUD – Mengacu pada sejumlah landasan yang dibagi menjadi
tiga yakni : Landasan Yuridis, Landasan Filosofis, dan Landasan Keilmuan. Masing-masing
dapat dijelaskan sebagai berikut.
Berdasarkan pada Amandemen UUD 1945 pasal 28 B ayat 2 dinyatakan bahwa ”Setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi”. Dalam UU NO. 23 Tahun 2002 Pasal 9 Ayat 1 tentang
Perlindungan Anak dinyatakan bahwa ”Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan
pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasarnya sesuai dengan
minat dan bakatnya”.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab
1, Pasal 1, Butir 14 dinyatakan bahwa ”Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya
pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang dilakukan
melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan
jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut”.
Sedangkan pada pasal 28 tentang Pendidikan Anak Usia Dini dinyatakan bahwa ”(1) Pendidikan
Anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar, (2) Pendidkan anak usia dini
dapat diselenggarakan melalui jalur pendidkan formal, non formal, dan/atau informal, (3)
Pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal: TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat, (4)
Pendidikan anak usia dini jalur pendidikan non formal: KB, TPA, atau bentuk lain yang
sederajat, (5) Pendidikan usia dini jalur pendidikan informal: pendidikan keluarga atau
pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan, dan (6) Ketentuan mengenai pendidikan anak
usia dini sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.”
Pendidikan merupakan suatu upaya untuk memanusiakan manusia. Artinya melalui proses
pendidikan diharapkan terlahir manusia-manusia yang baik. Standar manusia yang “baik”
berbeda antar masyarakat, bangsa atau negara, karena perbedaan pandangan filsafah yang
menjadi keyakinannya. Perbedaan filsafat yang dianut dari suatu bangsa akan membawa
perbedaan dalam orientasi atau tujuan pendidikan. Bangsa Indonesia yang menganut falsafah
Pancasila berkeyakinan bahwa pembentukan manusia Pancasilais menjadi orientasi tujuan
pendidikan yaitu menjadikan manusia indonesia seutuhnya. Bangsa Indonesia juga sangat
menghargai perbedaan dan mencintai demokrasi yang terkandung dalam semboyan Bhinneka
Tunggal Ika yang maknanya “berbeda tetapi satu.” Dari semboyan tersebut bangsa Indonesia
juga sangat menjunjung tinggi hak-hak individu sebagai mahluk Tuhan yang tak bisa diabaikan
oleh siapapun. Anak sebagai mahluk individu yang sangat berhak untuk mendapatkan
pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Dengan pendidikan yang
diberikan diharapkan anak dapat tumbuh sesuai dengan potensi yang dimilkinya, sehingga kelak
dapat menjadi anak bangsa yang diharapkan. Bangsa Indonesia yang menganut falsafah
Pancasila berkeyakinan bahwa pembentukan manusia Pancasilais menjadi orientasi tujuan
pendidikan yaitu menjadikan manusia indonesia seutuhnya. Sehubungan dengan pandangan
filosofis tersebut maka kurikulum sebagai alat dalam mencapai tujuan pendidikan,
pengembangannya harus memperhatikan pandangan filosofis bangsa dalam proses pendidikan
yang berlangsung.
Konsep keilmuan PAUD bersifat isomorfis, artinya kerangka keilmuan PAUD dibangun dari
interdisiplin ilmu yang merupakan gabungan dari beberapa displin ilmu, diantaranya: psikologi,
fisiologi, sosiologi, ilmu pendidikan anak, antropologi, humaniora, kesehatan, dan gizi serta
neurosains atau ilmu tentang perkembangan otak manusia (Yulianai Nurani Sujiono, 2009: 10).
Berdasarkan tinjauan secara psikologi dan ilmu pendidikan, masa usia dini merupkan masa
peletak dasar atau fondasi awal bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Apa yang diterima
anak pada masa usia dini, apakah itu makanan, minuman, serta stimulasi dari lingkungannya
memberikan kontribusi yang sangat besar pada pertumbuhan dan perkembangan anak pada masa
itu dan berpengaruh besar pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya.
Pertumbuhan dan perkembangan anak tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan perkembangan
struktur otak. Secara empiris, begitu banyak penelitian yang menghasilkan kesimpulan betapa
pentingnya PAUD atau pendidikan anak usia dini, karena pada waktu manusia dilahirkan,
menurut Clark (dalam Yuliani Nurani Sujono, 2009) kelengkapan organisasi otaknya mencapai
100 – 200 milyard sel otak yang siap dikembangkan dan diaktualisasikan untuk mencapai tingkat
perkembangan optimal, sementara sejumlah hasil penelitian menyatakan bahwa hanya 5%
potensi otak yang terpakai karena kurangnya stimulasi yang berfungsi untuk mengoptimalkan
fungsi otak.
https://pustakapaud.blogspot.com/2016/05/landasan-penyelenggaraan-paud-pendidikan-anak-
usia-dini.html?m=1
http://repository.ut.ac.id/4728/1/PAUD4503-M1.pdf
4. Salah satu konsep yang relevan dengan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan anak
adalah konsep Developmentally Appropriate Practice (DAP) atau dalam bahasa Indonesia berarti
”Pendidikan yang patut sesuai dengan tahapan perkembangan anak” (Megawangi, 2005 : 1).
Berdasarkan konsep ini, para pendidikan harus mengerti bahwa setiap anak adalah unik
mempunyai bakat, minat, kelebihan, dan kekurangan, dan pengalaman yang berbeda-beda. Oleh
karena itu, para pendidikan hendaknya dapat menyesuaikan diri dengan keunikan-keunikan
tersebut. Konsep atau pendekatan DAP ini telah menjadi acuan dalam pelaksanaan program
pendidikan anak usia dini dan dalam pengembangan selanjutnya diadaptasi dalam program
pendidikan dasar terutama untuk kelas rendah. Makalah ini diarahkan untuk mengkaji dan
membahas tentang teori DAP tersebut serta bagaiamana menerapkannya pada sistem pendidikan
anak usia dini dan sekolah dasar. Konsep DAP muncul karena banyaknya kurikulum yang
dikembangkan di sekolah-sekolah Amerika pada kurun waktu tehuan 1960-an sampai 1970-an
yang tidak sesua dengan tahapan perkembangan anak, khususnya untuk anak usia di bawah 8
tahun. Kurikulum-kurikulum tersebut dianggap telah gagal menghasilkan siswa yang dapat
berpikir kritis dan dapat menyelesaiakn berbagai permasalahan dalam kehidupan (Bredekamp,
et.al., 1992, dalam Megawangi, 2005). Kritikan terhadap kurikulum terus berlanjut pada tahun
1980-an terutama dipelopori oleh para pakar yang terhimpun dalam organisasi NAEYC
(National Association for the Education of Young Children) yang menganggap telah mematikan
semangat dan kecintaan anak untuk belajar. NAEYC akhirnya membuat sebuat petisi untuk
mereformasi pendidikan agar sesuai dengan konsep DAP, yang dimotori oleh Sue Bredekamp.
Oleh karena itu, sejak tahun 1980-an sekolah-sekolah di AS sudah melakukan perbaikan untuk
menerapkan konsep lama. NAEYC mengembangkan prinsip-prinsip pelaksanaan DAP untuk
rentang usia sampai 8 tahun, yang tertuang dalam Bredekamp (1987). Prinsip-prinsip ini
kemudian dikembangkan oleh NAEYC seiring dengan perkembangan dan penerapan konsep
DAP dalam program-program pendidikan anak usia dini. Menurut Sue Bredekamp (1987),
konsep dari DAP memiliki dua dimensi, yiatu : patut menurut usia (age appropriate) dan patut
menurut anak sebagai individu yang unik (individual appropriate). Sementara Gary Glassenapp
(Megawangi, 2005 : 5) menambahkan 1 dimensi lagi, yaitu : patut menurut lingkungan dan
budaya.
5. Keberadaan PAUD di indonesia tidak terlepas dari sejarah berdirinya PAUD di dunia
international. Lahirnya PAUD di dunia di prakarsai oleh Friedrich Wilhelm August Frobel pada
sekitar tahun 1800 di kota Blankerburg Jerman ditandai dengan berdirinya Kinder Garten
(Kinder=Anak, Garten=Taman) atau juga dikenal dengan Frobel School. Menurut Frobel Anak
Usia Dini ibarat tunas tumbuh-tumbuhan yang masih memerlukan perhatian dan pemeliharaan
penuh dari sang “juru tanam”. Berdirinya Frobel School, berpengaruh terhadap perkembangan
PAUD pada dunia internasional. Konsep Kindergarten dengan cepat menyebar ke seluruh dunia,
hal tersebut ditandai dengan kemunculan PAUD versi lain. Pada tahun 1907 di pemukiman
kumuh San Lorenzo, Italia, Maria Montessori yang berlatar belakang pendidikan kedokteran
mendirikan Casa dei bambini yang berarti rumah untuk perawatan anak yang selanjutnya dikenal
sebagai rumah anak. Setelah mengetahui sekilasi sejarah panjang lahir dan berkembangnya
PAUD di dunia internasional, ada baiknya kita juga mengetahui sejarah PAUD di Indonesia.
Mengetahui sejarah PAUD di indonesia, sama halnya dengan memahami perjalanan panjang
dinamika serta pasang surutnya pendidikan di indonesia. Untuk mengetahui sejarah berdirinya
PAUD di Indonesia kita akan bagi ke dalam 3 tahap, yaitu : 1. Pada masa penjajahan belanda 2.
Pada masa penjajahan jepang 3. Pada masa kemerdekaan indonesia.
Pada masa penjajahan hindia belanda, pemerintahan hindia belanda membawa konsep Frobel
School ke indonesia khusus diperuntukkan bagi pendidikan anak-anak mereka. Sejalan dengan
berjalannya waktu dengan hadirnya kebangkitan nasional yang ditandai dengan lahirnya
pergerakan budi utomo, kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi para kaum bumi putera
semakin kuat dirasakan.Forbel School yang awalnya hadir hanya untuk anak-anak hindia
belanda, dan para bangsawan akhirnya mulai dikenal oleh cendikiawan muda pribumi. Persatuan
wanita aisyiyah pada tahun 1919 akhirnya mendirikan Bustanul Atfhal yang pertama di
yogyakarta, kurikulum dan materi pendidikannya menanamkan sikap nasionalisme dan nilai-nilai
agama. Bustanul Atfhal ditujukan untuk merespon popularitas lembaga PAUD yang berorientasi
pada pola pendidikan eropa. Sepulang diasingkan dari belanda (1913-1915), Ki Hajar Dewantoro
pada tahun 1922 mendirikan Taman Lare atau taman anak atau kindertuin yang kemudian pada
akhirnya berkembang menjadi Taman Indria.
Pada masa penjajahan jepang, lembaga-lembaga pendidikan sejenis PAUD terus berlanjut namun
keberadaannya semakin berkurang. Pemerintahan jepang tidak begitu perduli dan mengawasi
secara formal penyelenggaraan pendidikan setingkat PAUD, namun pemerintahan jepang
melengkapi kegiatan pendidikan PAUD ini dengan menambahkan nyanyian-nyanyian jepang
pada kegiatan kelasnya.
https://pauddikmassumbar.kemdikbud.go.id/artikel/67/perjalanan-panjang-pendidikan-anak-usia-
dini
Usia balita dan kanak-kanak adalah masa yang paling menyenangkan bagi seorang anak,
karena di waktu itu mereka dapat belajar banyak hal sambil bermain. Namun di
Indonesia, pengenalan pendidikan sejak dini sudah mulai diterapkan. Bahkan ada yang
masih dalam masa balita, seperti memasukkannya ke playgroup dan Taman Kanak-kanak
sampai dengan pemberian kursus privat.
Berkurangnya masa-masa bermain anak [image source]Hal ini disebabkan ada persyaratan
khusus ketika seorang anak akan masuk Sekolah Dasar, minimal sudah dapat membaca.
Hal yang cukup baik, karena tujuannya agar seorang anak dapat belajar bersosialisasi dan
melatih motorik dan daya pikir mereka. Namun satu imbas yang secara tidak langsung
didapatkan adalah masa kanak-kanak mereka akan hilang di usia yang masih terlalu dini
tersebut, mereka akan mulai mengenal stres.
Bagaimana dengan di luar negeri? Salah satu contohnya di Finlandia, seorang anak dapat
mulai masuk ke jenjang pendidikan dasar ketika mereka sudah menginjak usia 7 tahun.
Sebelum itu, maka mereka dapat mengeksplorasi apa yang mereka inginkan, salah
satunya adalah bermain.
Mungkin di seluruh negara di luar negeri tidak mengenal sistem pembagian kelas yang
berisikan anak-anak pintar saja atau disebut kelas unggulan dan kelas yang berisikan
siswa atau mahasiswa biasa dengan grade standar. Rata-rata semua orang akan
dikumpulkan dalam satu kelas yang hanya dibedakan berdasarkan jumlahnya saja. Seperti
kelas 1A, 1B dan seterusnya. Sedangkan di Indonesia ada pembagian kelas unggulan dan
non-unggulan yang justru secara tidak langsung dapat menciptakan celah atau tembok
pembatas antara siswa pintar dan yang biasa.
Memang dilihat dari sudut pandang pendidikan, salah satu tujuannya adalah agar fokus
siswa atau mahasiswa yang pintar tidak terpecah ketika dicampur dengan yang biasa dan
mereka dapat bersaing dengan sesama orang cerdas dalam kelasnya. Namun secara tidak
langsung, sisi psikologis dari yang menempati kelas unggulan dan non-unggulan tercipta.
Akan ada rasa canggung dan tembok sosial dari siswa atau mahasiswa yang ditempatkan
dalam dua jenis kelas berbeda tersebut.
Di luar negeri, jam belajar untuk hal-hal yang berbau teori sangat terbatas dan selebihnya
akan diisi dengan professional development dan praktik. Selain itu, tambahan-tambahan
ekstrakurikuler sampai dengan kursus atau bimbingan belajar juga menambah panjang
jam belajar seseorang yang mengakibatkan penat dan capek tidak hanya fisik saja,
melainkan juga pikiran.
4. Masa orientasi di awal masuk sekolah
Tentunya hampir semua orang di Indonesia pernah mengalami MOS atau Masa Orientasi
Sekolah atau OSPEK atau Orientasi Pengenalan Kampus. Walaupun sudah banyak kasus
dan pernah diwacanakan untuk dilarang diberlakukan di semua sekolah atau universitas di
Indonesia, namun kegiatan ini tetap saja dilakukan.
Di Indonesia MOS dan OSPEK selalu diisi dengan aktivitas-aktivitas yang didominasi
untuk mempermalukan para orang baru. Seperti mengenakan topi dari tas plastik sampai
dengan memakai kaos kaki berbeda warna. Banyak panitia yang akan mengatakan bahwa
tujuannya agar orang baru tersebut dapat kuat mental dan fisik sebelum benar-benar
menjadi siswa atau mahasiswa di suatu sekolah atau universitas.
Akan tetapi ditilik dari sisi fungsinya yang benar-benar berguna, apakah ada manfaat dari
MOS dan OSPEK tersebut? Bahkan para orang tua juga kerap khawatir ketika anak-anak
mereka akan berangkat mengikuti kegiatan tersebut.
Jika di Indonesia orientasi pengenalannya seperti itu, di luar negeri, salah satu contohnya
di Amerika Serikat justru dilakukan dengan cara yang lebih positif. Para siswa atau
mahasiswa baru akan diajak berkeliling kampus dan mengikuti beberapa seminar juga
kajian agar mereka lebih mengenal sekolah dan kampusnya. Tidak hanya pengenalan
kampus dan sekolah saja, ada pula pemberian informasi terkait segala hal yang diberikan.
Memang segala macam ujian akan dinilai dengan hasil akhir sebagai penentunya. Hal ini
diterapkan di semua jenjang pendidikan di Indonesia. Bahkan sampai ada standarisasi
khusus yang banyak membuat para siswa pada khususnya stres dan depresi karena harus
mencapai nilai minimal setara standarisasi sesuai dengan yang ditentukan pemerintah.
Di kebanyakan jenjang pendidikan di luar negeri, contohnya saja di Australia, hasil akhir
bukanlah segala-galanya. Semua pendidik akan lebih menitikberatkan pada sektor
prosesnya daripada hasil akhir. Jika dalam prosesnya saja berantakan, maka dapat
diketahui bahwa hasil akhirnya juga amburadul.
Selain hasil akhir, dengan banyaknya materi yang diberikan dengan jam belajar yang
cukup lama juga membuat seseorang tidak dapat mencerna pelajaran atau segala
informasi yang diberikan karena otak terlanjur ‘panas’ dan susah untuk digunakan
mengingat secara detail. Sedangkan di luar negeri, materi yang diberikan hanyalah yang
berupa poin khususnya saja dan jam pendidikannya akan lebih dititikberatkan pada
praktik, sehingga seorang siswa atau mahasiswa akan lebih mengerti dan paham secara
langsung daripada hanya menghafal teori dan materi.
https://kampusyuk.com/artikel/perbedaan-sistem-pendidikan-di-indonesia-dan-luar-negeri-54