YOPHI JULFIANTO
Universitas Terbuka
yophiephinie@gmail.com
Abstrak
Perceraian pernikahan beda agama saat ini menjadi suatu problematika yang cukup unik untuk
diperbincangkan. Pada umumnya masyarakat masih sangat awam mengetahui tentang
pemberlakuan hukum jika terjadi perceraian beda agama. Perceraian beda agama dapat
diselesaikan dilembaga peradilan Indonesia yang dimana lembaga peradilan Indonesia itu sendiri
terdiri atas 4 (empat) wilayah hukum, yang secara resmi diakui dan berlaku di Indonesia yaitu
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Masing-
masing peradilan tersebut memiliki kewenangan absolut dan kewenangan relatif. Berkaitan
dengan kewenangan absolut suatu peradilan, Peradilan agama dan Peradilan umum memiliki
kewenangan yang sama yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara-perkara di tingkat pertama salah satunya di bidang Perkawinan. Pengadilan menerima
perceraian beda agama karena berdasarkan Pasal 66 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan memberlakukan Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de
Gemengde Huwelijken, Stb.1898 No.158) yang biasa disingkat dengan GHR, Hakim Pengadilan
menyatakan bahwa perkawinan beda agama termasuk kedalam perkawinan campuran. Namun
peraturan peraturan Indonesia masih terdapat kekosongan hukum dalam mengatur pernikahan
beda agama dan akibat hukum perceraiannya sehingga hal tersebut menjadi suatu permasalahan
dalam memutuskan keabsahan sahnya perkawinan.
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubung
antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga.
Dalam membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan suatu komitmen yang kuat diantara
pasangan tersebut. Tentang Perkawinan, yang berlaku secara resmi di Indonesia sejak tanggal
diundangkan, yaitu tanggal 2 januari 1974, kemudian berlaku secara efektif pada tanggal 1
Oktober 1975, melalui peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 19741. Sehingga dalam hal ini Undang-Undang
Perkawinan No. 1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat
dinyatakan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan
pasangan yang melakukan pernikahan2.
Landasan hukum agama dalam melaksanakan sebuah perkawinan merupakan hal yang
sangat penting dalam UU No. 1 Tahun 1974, sehingga penentuan boleh tidaknya perkawinan
tergantung pada ketentuan agama3. Hal ini berarti juga bahwa hukum agama menyatakan
perkawinan tidak boleh, maka tidak boleh pula menurut hukum Negara. Jadi dalam perkawinan
berbeda agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada ketentuan agama.
Tentu sebagai sepasang individu yang telah melakukan ikatan pernikahan memiliki
harapan besar agar bahtera rumah tangga yang mereka jalani dapat berjalan harmonis hingga
maut yang memisahkan. Tapi tidak dapat dipungkiri bahwa didalam pernikahan sering terjadinya
permasalahan-permasalahan yang tidak dapat diselesaikan secara damai oleh kedua pasangan
suami istri tersebut. Dan akhirnya jalan terbaik yang ditempuh adalah dengan melakukan
Perceraian. Dasar hukum Proses Perceraian di Indonesia diatur didalam UU No. 1 Tahun 1974
Pasal 39 UU Perkawinan4. Perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami istri
1
Mr Martiman Prodjohamidjojo, MM, MA, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, PT Abadi 2002, hal 1
2
Ibid, hal 2
3
Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika 2013, hal 228
4
Musthofa Sy, Dualisme Kewenangan Pencatatan Perceraian, Malang Jatim, Intelegensi Media 2015, hal 102
dengan keputusan pengadilan dan ada cukup alasan bahwa diantara suami istri tidak akan dapat
hidup rukun lagi sebagai suami istri5.
Perceraian beda agama saat ini menjadi suatu problematika yang cukup unik untuk
diperbincangkan. Pada umumnya masyarakat masih sangat awam mengetahui tentang
pemberlakuan hukum jika terjadi perceraian beda agama. Oleh sebab itu Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 justru memberikan peranan yang sangat menentukan sah atau tidaknya suatu
perkawinan kepada hukum agama dan kepercayaan masing-masing calon mempelai, disamping
unsur-unsur lain seperti unsur biologis, sosial, dan unsur hukum adat 6. Hal tersebut dapat
ditemukan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang menentukan bahwa perkawinan adalah
sah apabila dilaksanakan menurut hukum agama masing-masing calon mempelai. Akan tetapi,
timbul persoalan apabila salah satu pihak dari calon mempelai menundukkan diri pada stelsel
hukum agama pasangannya padahal ia tidak berpindah agama. Hal tersebut dapat terjadi apabila
kedua stelsel hukum agama mengatur hal yang berlainan dimana salah satu agama
memperbolehkan namun agama yang lain tidak memperbolehkan.
Undang-undang perkawinan disini tidak mengatur secara tegas tentang perkawinan yang
berbeda agama, sehingga masih menimbulkan kebingungan jika perkawinan beda agama terjadi
bagaimana proses dan keabsahan perceraian mereka dalam menjalani proses perceraian, dimana
akan dilakukannya proses perceraian juga masih menjadi ketidaktahuan masyarakat. Karena
kasus perceraian beda agama disini tentu sangat sulit menentukan pengadilan manakah yang
akan berwenang memutus perkara perceraian kedua pasangan yang menikah beda agama
tersebut. Apabila terjadi suatu perceraian tentunya akan menimbulkan hak dan kewajiban bagi
pasangan suami istri dan anak apabila memiliki keturunan.
Oleh sebab itu, pemilihan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Ketentuan Hukum
Perceraian Pernikahan Beda Agama Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974”. Penting
untuk diangkat sebagai sebuah penelitian hukum mengingat belum ada regulasi terkait dalam
masalah hukum perceraian antar agama.
5
Soemiyati, 1982:12
6
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama, Jakarta, PT. Dian Rakyat 1986, hal 6
B. Rumusan Masalah
Bagaimana ketentuan hukum dalam mengatur proses perceraian pernikahan beda agama
dilihat dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974?
C. Metode Penelitian
1. Jenis Penulisan
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,
sistematika, dan pemikiran yang konsisten, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya. Tahap awal yang
dilakukan penulis dalam melakukan penelitian hukum adalah mencari tema penelitian
yang didapatkan dari masalah-masalah hukum yang terjadi di dalam masyarakat. Dalam
penelitian ini, penulis mengangkat tema Tinjauan Yuridis Terhadap Ketentuan Hukum
Perceraian Pernikahan Beda Agama Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 .
Penulis memilih metode penelitian normatif sebagai metode yang dipergunakan dalam
melakukan penelitian. Berdasarkan metode penelitian normatif yang dipilih penulis
sangat mempengaruhi tipe penelitian yang dilakukan, jenis data yang diperlukan, serta
alat pengumpul data yang dipergunakan. Dari sudut sifatnya, penelitian ini bersifat
deskriptif. Penulis mencari, menemukan, dan mengumpulkan fakta-fakta yang
berhubungan dengan perceraian pernikahan beda agama dan tingkat keabsahan
perceraian tersebut dari buku dan literatur maupun penelitian. Pengolahan dan analisis
data dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Data yang didapat oleh penulis disajikan
dalam bentuk deskripsi analitis. Penulis melihat fakta-fakta mengenai perceraian
pernikahan beda agama masih menjadi masalah yang cukup besar dialami oleh
masyarakat di Indonesia yang dimana pasangan yang melakukan pernikahan beda agama
tersebut tidak mengetahui hukum agama apa yang harus mereka gunakan untuk
melakukan proses perceraian pernikahan beda agama jika melihat ketentuan dari Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 Ayat (1).
2. Alat Penulisan
Dalam penulisan pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung
dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Yang diperoleh langsung dari masyarakat
dinamakan data primer, sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya
dinamakan data sekunder. Data dalam penulisan ini adalah data sekunder, yaitu bahan
pustaka yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku perpustakaan, peraturan
perundang-undangan, artikel-artikel, serta dokumen yang berkaitan dengan materi
penulisan.
PEMBAHASAN
Perceraian berasal dari kata dasar cerai, yang berarti pisah dan talak 9. Mendapat
awalan “per” dan akhiran “an” yang mempunyai fungsi sebagai pembentuk kata benda
abstrak, kemudian menjadi perceraian yang berarti hasil dari perbuatan cerai 10. Perceraian
dalam istilah fiqih disebut talak atau furqah berarti bercerai, kedua istilah tersebut oleh
ahli fiqih diartikan sebagai perceraian antara suami istri11.
Pengertian Perceraian yang dijelaskan secara tegas dalam Pasal 117 KHI yang
menyebutkan bahwa perceraian adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama
yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Berdasarkan uraian tersebut dapat
diperoleh pemahaman bahwa perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami
dan istri yang sah dengan menggunakan lafadz talak atau semisalnya, selanjutnya
dipertegas oleh ketentuan Pasal 38 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa
perkawinan dapat putus disebabkan karena kematian, perceraian dan putusan pengadilan,
yang mana akibat hukum yang ditimbulkan dari ketiga sebab tersebut berbeda-beda.
Dalam Peraturan di Indonesia dalam hal perceraian dikenal adanya cerai gugat
dan cerai talak. Cerai talak adalah perceraian yang terjadi atas inisiatif dari pihak suami,
sedangkan cerai gugat adalah perceraian atas inisiatif dari pihak istri12.
Keberadaan Perceraian juga diatur dalam ketentuan hukum positif, yaitu Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan, diantaranya:
9
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dalam Undang-undang Perkawinan cet.ke-2 (Yogyakarta:Liberty,1986),
hlm.81-83)
10
Gorys Keraf, Tata Bahasa Indonesia, cet 9 (Jakarta: Nusa Indah,1982), hlm. 115
11
Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 156
12
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata, cet Ke-1 (Yogyakarta: Pustaka Palajar, 1996), hlm. 203
2) Pasal 39 ayat 1, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menentukan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
3) Pasal 39 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menentukan bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan,
bahwa antara suami dan istri tidak akan dapat hidup rukun sebagai pasangan
suami istri. Konsekuensinya adalah perceraian dapat terjadi apabila usaha dan
upaya untuk mendamaikan kedua belah pihak tidak berhasil sehingga
perceraian sebagai jalan keluar terakhir.
Perceraian yang dilakukan antar suami istri yang memiliki agama dan keyakinan
yang sama tidak ada masalah dalam pengajuan permohonan/gugatannya kepada
pengadilan, karena jelas jika perceraian itu dilakukan oleh mereka yang memiliki agama
islam maka pengadilan agama yang akan memutusnya, namun jika perceraian dilakukan
oleh mereka yang menganut agama di luar islam maka pengadilan Negeri yang akan
memutuskannya karena sesuai dengan kewenangan absolut suatu pengadilan.
Hukum Positif di Indonesia telah mengatur lembaga peradilan mana yang berhak
dan berwenang dalam menyelesaikan masalah perceraian. Maka dari itu kita sebagai
subjek hukum harus mengikuti dan menaati hukum yang berlaku di pengadilan.
Kewenangan mengadili atau kompetensi yuridiksi pengadilan adalah untuk menentukan
13
Neng Djubaidah. S.H. M.H Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat menurut hukum tertulis di
Indonesia dan hukum Islam, Jakarta, Sinar Grafika 2010. Hal 177
14
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama, (Jakarta : PT Dian Rakyat Jakarta, 1986), hlm 50
pengadilan mana yang berwenang memeriksa dan memutus suatu perkara, sehingga
pengajuan perkara tersebut dapat diterima dan tidak ditolak dengan alasan pengadilan
tidak berwenang mengadilinya. Kewenangan mengadili merupakan syarat formil sahnya
gugatan, sehingga pengajuan perkara kepada pengadilan yang tidak berwenang
mengadilinya menyebabkan gugatan tersebut dapat dianggap salah alamat dan tidak
dapat diterima karena tidak sesuai dengan kewenangan absolut atau kewenangan
relative suatu pengadilan15.
Menurut Yahya Harahap ada dua patokan yang lazim dipergunakan dalam
penerapan asas ini yaitu patokan umum dan patokan saat terjadi hubungan hukum.
Patokan umum berarti apabila seseorang telah mengaku beragama islam yang faktanya
dapat ditemukan dalam identitas formal, tanpa mempersoalkan kualitas keislamannya,
maka pada dirinya melekat asas personalitas keislaman. Sedangkan patokan yang
didasarkan pada saat terjadinya hubungan hukum ditentukan dengan dua syarat:
15
Retnowulan Sutantio Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, (Bandung Mandar Maju, 2005), hlm, 11
16
Lihat Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
a. Pada saat terjadi hubungan hukum kedua belah pihak sama-sama beragama
Islam.
b. Hubungan hukum yang dilaksanakan oleh para pihak didasarkan pada
hukum Islam.
Apabila kedua syarat tersebut terpenuhi, pada kedua belah pihak telah melekat
asas personalitas keislaman, dan sengketa yang terjadi di antara mereka tunduk menjadi
kewenangan Peradilan Agama. Tidak menjadi soal apakah di belakang hari atau pada
saat terjadi sengketa, salah seorang diantara mereka telah pindah agama.
Perkawinan beda agama adalah suatu perbuatan yang tidak diatur didalam
Undang-undang perkawinan sehingga Regeling op de Gemengde Huwalijken (GHR)
menjadi tetap berlaku. Jika terjadi perceraian maka hal pertama kali yang harus dilihat
adalah pada saat pasangan tersebut melangsungkan pernikahan. Sehingga peradilan di
Indonesia dapat menerima perceraian beda agama karena berdasarkan pasal 66 Undang-
undang no. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Oleh sebab itu karena pernikahan beda
agama tidak diatur didalam undang-undang maka banyak orang berasumsi bahwasannya
pernikahan beda agama tersebut dapat dilakukan dengan cara salah satu pasangan harus
menundukkan keyakinannya pada salah satu stelsel keyakinan pasangannya agar
pernikahan dapat dilakukan. Padahal jika ditelaah lebih jauh pernikahan beda agama
17
Antara lain Putusan MA tanggal 15-12-1977 No. 726 K/Sip/1976, putusan-putusan yang menyangkut masalah
perkawinan, MARI, proyek yurisprudensi
18
M. Yahya Harap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Hlm, 39
disini cukup menghadirkan kebingungan pada status agama sang anak dan kejelasan
kepercayaan keyakinan pasangan yang melangsungkan pernikahan. Dan lembaga
peradilan tidak dapat menolak kasus perceraian beda agama karena menganggap
perkawinan beda agama adalah perkawinan campuran sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 57 Undang - undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sehingga
pengadilan menerimanya karena perceraian perkawinan beda agama termasuk
kompetensi absolut suatu pengadilan untuk menyelesaikannya.
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Perceraian beda agama pada dasarnya adalah suatu perceraian yang hampir
sama dalam penyelesaiannya dengan perceraian pada umumnya. Hal tersebut
karena Perkawinan beda agama di Indonesia diatur berdasarkan pada Pasal 66
Undang - undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dimana
undang-undang tersebut belum mengatur perkawinan beda agama. Sehingga
seseorang dapat mengajukan permohonan cerai atau gugatan cerainya
kelembaga peradilan di Indonesia. Hanya saja yang membedakannya adalah
putusan perceraian dapat diputuskan oleh lembaga peradilan dilihat pada saat
awal pelaksanaan pernikahan. Jika pada saat pelaksanaan pernikahan
dilakukan atas dasar kepercayaan hukum islam maka lembaga pengadilan
agamalah yang berhak memutuskannya begitu pun sebaliknya jika
pelaksanaan pernikahan diluar ketentuan hukum islam maka pengadilan
negeri yang berhak memutuskannya.
2. Alasan suatu Peradilan di Indonesia menerima perkara perceraian perkawinan
beda agama karena berdasarkan Pasal 66 Undang - undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Dimana Regeling op de Gemengde Huwelijken
(GHR) menjadi berlaku karena Undang - undang perkawinan tidak mengatur
perkawinan beda agama sehingga Regeling op de Gemengde Huwelijken
(GHR) menjadi tetap berlaku.
3. Peraturan Indonesia masih terdapat kekosongan hukum dalam mengatur
pernikahan beda agama dan akibat hukum perceraiannya. Sehingga dengan
tidak adanya peraturan yang tegas dan jelas dalam mengatur pernikahan beda
agama masih banyak orang-orang berasumsi bahwa pernikahan beda agama
itu dapat dilakukan. Padahal dampak dari pernikahan beda agama lah adalah
pada saat ia mempunyai keturunan dan pembagian harta benda pada saat
terjadi perceraian.
DAFTAR PUSTAKA
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama, Jakarta, PT. Dian Rakyat 1986
Sekali Lagi.com, “Tentang Perkawinan Antar Agama” diakses tanggal 3 November 2010
Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1993)
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata, cet Ke-1 (Yogyakarta: Pustaka Palajar, 1996)
Neng Djubaidah. S.H. M.H Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat
menurut hukum tertulis di Indonesia dan hukum Islam, Jakarta, Sinar Grafika 2010
Retnowulan Sutantio Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, (Bandung Mandar
Maju, 2005)