Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR

FRAKTUR

1. Pengertiaan
Fraktur atau patah tulang adalah ganguan dari kontinuitas yang normal dari suatu
tulang (Black 2014). Fraktur atau patah tulang adalah kondisi dimana kontinuitas jaringan
tulang dan atau tulang rawan terputus secara sempurna atau sebagian yang disebabkan
oleh rudapaksa atau osteoporosis (Smeltzer & Bare, 2013). Fraktur adalah hilangnya
kontinuitas tulang rawan baik bersifat total maupun sebagian, penyebab utama dapat
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik tulang itu sendiri dan jaringan lunak
disekitarnya (Helmi, 2012).
Fraktur dapat terjadi di bagian ekstremitas atau anggota gerak tubuh yang disebut
dengan fraktur ekstremitas. Fraktur ekstremitas merupakan fraktur yang terjadi pada
tulang yang membentuk lokasi ekstremitas atas (tangan, lengan, siku, bahu, pergelangan
tangan, dan bawah (pinggul, paha, kaki bagian bawah, pergelangan kaki). Fraktur dapat
meimbulkan pembengkakan, hilangnya fungsi normal, deformitas, kemerahan, krepitasi,
dan rasa nyeri (Ghassani, 2016).
Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu tulang. Jika
terjadi fraktur, maka jaringan lunak di sekitarnya juga sering kali terganggu. Radiografi
(sinar-x) dapat menunjukkan keberadaan cedera tulang, tetapi tidak mampu menunjukkan
otot atau ligamen yang robek, saraf yang putus, atau pembuluh darah yang pecah
sehingga dapat menjadi komplikasi pemulihan klien ( Black & Hawks, 2014).

2. Etiologi
Menurut Helmi (2012), hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur adalah:
A. Fraktur traumatik, disebabkan karena adanya trauma ringan atau berat yang
mengenai tulang baik secara langsung maupun tidak.
B. Fraktur stress, disebabkan karena tulang sering mengalami penekanan.
C. Fraktur patologis, disebabkan kondisi sebelumnya, seperti kondisi patologis
penyakit yang akan menimbulkan fraktur.
Tekanan berlebihan atau trauma langsung pada tulang menyebabkan suatu retakan
sehingga mengakibatkan kerusakan pada otot dan jaringan. Kerusakan otot dan
jaringan akan menyebabkan perdarahan, edema, dan hematoma. Lokasi retak
mungkin hanya retakan pada tulang, tanpa memindahkan tulang manapun. Fraktur
yang tidak terjadi disepanjang tulang dianggap sebagai fraktur yang tidak sempurna
sedangkan fraktur yang terjadi pada semua tulang yang patah dikenal sebagai fraktur
lengkap (Digiulio, Jackson & Keogh, 2014).

Penyebab fraktur menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2010) dapat dibedakan


menjadi:

A. Cedera traumatik Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :

1) Cedera langsung adalah pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang


patah secara spontan

2) Cedera tidak langsung adalah pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur sehingga menyebabkan fraktur
klavikula

3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak

B. Fraktur patologik Kerusakan tulang akibat proses penyakit dengan trauma minor
mengakibatkan :
1) Tumor tulang adalah pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali
2) Infeksi seperti ostemielitis dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat
timbul salah satu proses yang progresif
3) Rakhitis
4) Secara spontan disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus

3. Manifestasi Klinis
Menurut Black, (2014) mendiagnosis fraktur harus berdasarkan manifestasi klinis
klien, riwayat, pemeriksaan fisik, dan temuan radiologis. Beberapa fraktur sering
langsung tampak jelas; beberapa lainnya terdeteksi hanya dengan rontgen (sinar –x).
Pengkajian fisik
dapat menemukan beberapa hal berikut. Deformitas, Pembengkakan (edema), Echimosisi
(memar), Spasme otot , Nyeri, Ketegangan , Kehilangan fungsi, Pegerakan abnormal dan
krepitasi, Perubahan neurovaskular. Syok.
Mendiagnosis fraktur harus berdasarkan manifestasi klinis klien, riwayat,
pemeriksaan fisik, dan temuan radiologis.
Tanda dan gejala terjadinya fraktur antara lain:
a. Deformitas
Pembengkaan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas pada
lokasi fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan tungkai,
deformitas rotasional, atau angulasi. Dibandingkan sisi yang sehat, lokasi
fraktur dapat memiliki deformitas yang nyata.
b. Pembengkakan
Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan serosa
pada lokasi fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.
c. Memar
Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur.
d. Spasme otot
Spasme otot involuntar berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi
gerakan lebih lanjut dari fragmen fraktur.
e. Nyeri
Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi fraktur,
intensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda pada masing-masing klien.
Nyeri biasanya terus-menerus , meningkat jika fraktur dimobilisasi. Hal ini
terjadi karena spasme otot, fragmen fraktur yang bertindihan atau cedera
pada struktur sekitarnya.
f. Ketegangan
Ketegangan diatas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera yang terjadi.
g. Kehilangan fungsi
Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur atau karena
hilangnya fungsi pengungkit lengan pada tungkai yang terkena. Kelumpuhan
juga dapat terjadi dari cedera saraf.
h. Gerakan abnormal dan krepitasi
Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang atau gesekan
antar fragmen fraktur.
i. Perubahan neurovaskular
Cedera neurovaskuler terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau struktur
vaskular yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas atau kesemutan
atau tidak teraba nadi pada daerah distal dari fraktur.
j. Syok
Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau
tersembunyi dapat menyebabkan syok

4. Patofisiologis Fraktur
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat patah ke dalam
jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami
kerusakan. Reaksi pendarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel darah putih dan
sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas
osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan
fibrin direabsorbsidan sel – sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk
tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang berkaitan
dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah ke
ekstrimitas dan mengakibatkan keursakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan
berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot.
Komplikasi ini dinamakan sindrom compartment (Brunner & Suddarth, 2002).
Patofisiolgi

Trauma (Langsung atau tidak


langsung), patologi

Fraktur (terbuka atau


tertutup

Perubahan fragmen Fraktur


Kehilangan tulang kerusakan terbuka tulang
integritas tulang pada jaringan menembus
pembuluh darah otot dan kulit

Ketidakstabilan
posisi fraktur Luka
apabila ogan Perdarahan lokal
fraktur di
gerakkan

Gangguan
Fragmen tulang yang Hematoma pada integritas kulit
patah menusuk organ daerah fraktur
sekitar

Kuman
Aliran darah ke mudah masuk
Gangguan rasa
daerah distal
nyaman nyeri
berkurang atau
terhambat
Sindroma Resiko tinggi
kompartemen infeksi
(Warna jaringan
keterbatasan
pucat, nadi lemas,
aktivitas
cianosis,
kecemasan)

Defisit Kerusakaan
perawatan diri neuromuskuler
Gangguan fungsi
organ distal

Gangguan mobilitas fisik

5. Klasifikasi Fraktur
Fraktur dapat diklasifikasikan menjadi fraktur tertutup dan fraktur terbuka.
Fraktur tertutup memiliki kulit yang masih utuh diatas lokasi cedera, sedangkan fraktur
terbuka dicirikan oleh robeknya kulit diatas cedera tulang. Kerusakan jaringan dapat
sangat luas pada fraktur terbuka, yang dibagi berdasarkan keparahannya :
a) Derajat 1 : Luka kurang dari 1 cm, kontaminasi minimal
b) Derajat 2 : Luka lebih dari 1 cm, kontaminasi sedang
c) Derajat 3 : Luka melebihi 6 hingga 8 cm, ada kerusakan luas pada jaringan
lunak, saraf, tendon, kontaminasi banyak. Fraktur terbuka dengan derajat 3
harus sedera ditangani karena resiko infeksi.

Menurut Wiarto, (2017) fraktur dapat dibagi kedalam tiga jenis antara lain:

a) Fraktur tertutup
Fraktur terutup adalah jenis fraktur yang tidak disertai dengan luka pada bagian
luar permukaan kulit sehingga bagian tulang yang patah tidak berhubungan dengan
bagian luar.
b) Fraktur terbuka
Fraktur terbuka adalah suatu jenis kondisi patah tulang dengan adanya luka pada
daerah yang patah sehingga bagian tulang berhubungan dengan udara luar,
biasanya juga disertai adanya pendarahan yang banyak. Tulang yang patah juga
ikut menonjol keluar dari permukaan kulit, namun tidak semua fraktur terbuka
membuat tulang menonjol keluar. Fraktur terbuka memerlukan pertolongan lebih
cepat karena terjadinya infeksi dan faktor penyulit lainnya.
c) Fraktur kompleksitas
Fraktur jenis ini terjadi pada dua keadaan yaitu pada bagian ekstermitas terjadi
patah tulang sedangkan pada sendinya terjadi dislokasi.
Menurut Wiarto, (2017) jenis fraktur berdasarkan radiologisnya antara lain:
a) Fraktur transversal
Fraktur transversal adalah frktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu
panjang tulang. Fraktur ini, segmen-segmen tulang yang patah direposisi atau
direkduksi kembali ke tempat semula, maka segmen-segmen ini akan stabil dan
biasanya dikontrol dengan bidai gips.
b) Fraktur kuminutif
Fraktur kuminutif adalah terputusnya keutuhan jaringan yang terdiri dari dua
fragmen tulang.
c) Fraktur oblik
Fraktur oblik adalah fraktur yang garis patahnya membuat sudut terhadap tulang.
d) Fraktur segmental
Fraktur segmental adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang yang
menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai darahnya, fraktur jenis ini
biasanya sulit ditangani.
e) Fraktur impaksi
Fraktur impaksi atau fraktur kompresi terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang
yang berada diantara vertebra.
f) Fraktur spiral
Fraktur spiral timbul akibat torsi ekstermitas. Fraktur ini menimbulkan sedikit
kerusakan jaringan lunak dan cenderung cepat sembuh dengan imobilisasi.
6. Pemeriksaan Penunjang
a) X-ray, menentukan lokasi/luasnya fraktur.
b) Scan tulang, memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan
jaringan lunak
c) Arteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler
d) Hitung darah lengkap, hemokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada
pendarahan, peningkatan leukosit sebagai respon terhadap peradangan. Profil
koagulasi, perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi atau cidera hati
e) Kretinin trauma otot meningkatkan kreatinin untuk klirens ginjal. (NIC NOC,
2015).

7. Penatalaksanaan Fraktur
Menurut Muttaqin, (2013) konsep dasar penatalaksanaan fraktur yaitu:
a) Fraktur terbuka. Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh
bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period).
Kuman belum terlalu jauh meresap dilakukan: Pembersihan luka, eksisi jaringan
mati atau debridement, hecting situasi dan pemberian antibiotik.
b) Seluruh fraktur. Rekognisi (Pengenalan). Riwayat kejadian harus jelas untuk
menentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya.
- Reduksi (Reposisi) terbuka dengan fiksasi interna (Open Reduction and
Internal Fixation/ORIF). Merupakan upaya untuk memanipulasi fragmen
tulang sehingga kembali seperti semula secara optimum. Dapat juga diartikan
reduksi fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada
kesejajaran dan rotasi anatomis.
- Reduksi tertutup dengan fiksasi eksterna (Open Reduction and Enternal
Fixation/ORIF), digunakan untuk mengobati patah tulang terbuka yang
melibatkan kerusakan jaringan lunak. Ekstremitas dipertahankan sementara
dengan gips, bidai atau alat lain. Alat imobilisasi ini akan menjaga reduksi dan
menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Alat ini akan
memberikan dukungan yang stabil bagi fraktur comminuted (hancur dan
remuk) sementara jaringan lunak yang hancur dapat ditangani dengan aktif
(Smeltzer & Bare, 2013).
- Retensi (Immobilisasi). Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang
sehingga kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi,
fragmen tulang harus dimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi
kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan
dengan fiksasi eksternal meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin,
dan teknik gips, atau fiksatoreksternal. Implant logam dapat digunakan untuk
fiksasi internal yang berperan sebagia bidai interna untuk mengimobilisasi
fraktur.
- Graf tulang, yaitu penggantian jaringan tulang untuk menstabilkan sendi,
mengisi defek atau perangsangan dalam proses penyembuhan. Tipe graf yang
digunakan tergantung pada lokasi yang terkena, kondisi tulang, dan jumlah
tulang yang hilang akibat cidera. Graft tulang dapat berasal dari tulang pasien
sendiri (autograft) atau tulang dari tissue bank (allograft) (Smeltzer & Bare,
2013).
- Rehabilitasi adalah upaya menghindari atropi dan kontraktur dengan
fisioterapi. Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan.
Status neurovaskuler (missal: Pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan,
gerakan) dipantau, dan ahli bedah orthopedi diberitahu segera bila ada tanda
gangguan neurovaskuler. Kegelisahan ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol
dengan berbagai pendekatan (misalnya: menyakinkan, perubahan posisi,
stageri peredaan nyeri, termasuk analgetik). Latihan isometric dan setting otot
diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran
darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk
memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri. Pengembalian bertahap pada
aktivitas semula diusahakan sesuai batasan terapeutik.
8. Penatalaksanaan Medis
a) Diagnosis dan penilaian fraktur
Anamnesis pemeriksaan klinis dan radiologi dilakukan dilakukan untuk
mengetahui dan menilai keadaan fraktur. Pada awal pengobatan perlu
diperhatikan lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang sesuai untuk
pengobatan komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan.
b) Reduksi
Tujuan dari reduksi untuk mengembalikan panjang dan kesejajaran garis
tulang yang dapat dicapai dengan reduksi terutup atau reduksi terbuka. Reduksi
tertutup dilakukan dengan traksi manual atau mekanis untuk menarik fraktur
kemudian, kemudian memanipulasi untuk mengembalikan kesejajaran garis
normal. Jika reduksi tertutup gagal atau kurang memuaskan, maka bisa dilakukan
reduksi terbuka.Reduksi terbuka dilakukan dengan menggunakan alat fiksasi
internal untuk mempertahankan posisi sampai penyembuhan tulang menjadi solid.
Alat fiksasi interrnal tersebut antara lain pen, kawat, skrup, dan plat. Alat-alat
tersebut dimasukkan ke dalam fraktur melalui pembedahan ORIF (Open
Reduction Internal Fixation). Pembedahan terbuka ini akan mengimobilisasi
fraktur hingga bagian tulang yang patah dapat tersambung kembali.
c) Retensi
Imobilisasi fraktur bertujuan untuk mencegah pergeseran fragmen dan
mencegah pergerakan yang dapat mengancam penyatuan. Pemasangan plat atau
traksi dimaksudkan untuk mempertahankan reduksi ekstremitas yang mengalami
fraktur.
d) Rehabilitasi
Mengembalikan aktivitas fungsional seoptimal mungkin.Setelah
pembedahan, pasien memerlukan bantuan untuk melakukan latihan. Menurut
Kneale dan Davis (2011) latihan rehabilitasi dibagi menjadi tiga kategori yaitu :
- Gerakan pasif bertujuan untuk membantu pasien mempertahankan rentang
gerak sendi dan mencegah timbulnya pelekatan atau kontraktur jaringan lunak
serta mencegah strain berlebihan pada otot yang diperbaiki post bedah.
- Gerakan aktif terbantu dilakukan untuk mempertahankan dan meningkatkan
pergerakan, sering kali dibantu dengan tangan yang sehat, katrol atau tongkat
- Latihan penguatan adalah latihan aktif yang bertujuan memperkuat otot.
Latihan biasanya dimulai jika kerusakan jaringan lunak telah pulih, 4-6
minggu setelah pembedahan atau dilakukan pada pasien yang mengalami
gangguan ekstremitas atas
Daftar Pustaka

Aisyah ,S., & Sofiah, W., Asuhan Keperawatan Pada Klien Yang Mengalami Post Operasi
Fraktur Femur Dengan Gangguan Rasa Nyaman Nyeri di RSUD Koja Jakarta Utara.
Jurnal Seminar Nasional Multi Disiplin Ilmu Volume 1. 2017.

Agustin, A (2017). Upaya peningkatan mobilisasi pada pasien post operasi fraktur
intertrochanter femur. Jurnal Keperawatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Helmi, Z.N. (2012). Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.

Hernawilly. (2012). Faktor-faktor yang berkontribusi pada pelaksanaan ambulasi dini pasien
fraktur ekstermitas bawah. Jurnal Keperawatan. Volume VIII, No. 2.

Hoppenfeld, S. & Murthy, L. (2011). Terapi & rehabilitasi fraktur. Jakarta: EGC.

Lestari, Y. E. (2014). Pengaruh rom exercise dini pada pasien post operasi fraktur ekstermitas
bawah (fraktur femur dan fraktur cruris) terhadap lama harirawat di ruang bedah rsud
gambiran kota kediri. Jurnal Ilmu Kesehatan. Vol. 3, No. 1 November 2014.

Lukman & Ningsih. (2012). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Media.

Mubarak, W. I., Indrawati, L. & Susanto, J. (2015). Buku ajar ilmu keperawatan dasar, Buku 2.
Jakarta: Salemba Medika.

Mue DD., Salihu MN., Awonusi FO., Yongu WT, Kortor JN., Elachi IC. (2013). Outcame of
treatment of fracture neck of femur using hemiarthroplasty versus dynamic hip scre
Rahayu, U. (2015). Tingkat kecemasan pasien post operasi yang mengalami fraktur
ekstermitas. Volume 3, No. 2 Agustus 2015.w. Journal of The West African College Of
Surgeons. Volume 3 Number 2.

Wahid & Abdul. (2013). Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal.
Jakarta: Trans Info Media.

Anda mungkin juga menyukai