Anda di halaman 1dari 9

Nama : Rora Amelia

Nim : 044045231

1. Faktor-faktor yang dapat memperngaruhi keberhasilan otonomi daerah di Indonesia

Era reformasi saat ini memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional
dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan
pembangunan secara lebih adil dan berimbang. Perubahan paradigma ini antara lain
diwujudkan melalui kebijakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah
yang diatur dalam satu paket undang-undang yaitu Undang-Undang No. 22
tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 tahun 1999 (yang
kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 33
Tahun 2004) tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua
undang-undang ini pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan

pemerintah daerah yang lebih

mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi, baik berkaitan dengan masalah desentralisasi


kewenangan (power sharing) maupun desentralisasi keuangan (fiscal decentralization).
Pemberian otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dari pemerintah pusat ke daerah
dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan daerah agar dapat tercipta, antara lain:

a. Peningkatan pelayanan dan kesejahteraan seluruh masyarakat di daerah

b. Berkembangnya kehidupan yang demokratis yang disertai dengan

peningkatan peran serta masyarakat dalam perencanaan pembangunan di daerah

c. Terpeliharanya hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antardaerah dalam
rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Soedjito dalam Mulyanto,
2002: 1-2).

Dengan ditetapkannya UU No.22/1999 dan UU No.25/1999 yang ditindak lanjuti

1
dengan diundangkannya UU No.25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional

(Propenas) Tahun 2000-2004;

mengisyaratkan adanya 4 (empat) pilar yang mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal, yaitu:

a. Kapasitas aparat daerah;

b. Kapasitas kelembagaan daerah;

c. Kapasitas keuangan daerah, dan

d. Kapasitas lembaga nonpemerintah di daerah.

Secara umum, faktor-faktor yang akan menentukan dan mempengaruhi

keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, antara lain yaitu (Kaho, 2002:60):

1. Faktor manusia sebagai subjek penggerak (faktor dinamis) dalam penyelenggaraan


otonomi daerah.

2. Faktor keuangan yang merupakan tulang

punggung bagi terselenggaranya aktivitas pemerintahan daerah aktor peralatan

yang merupakan sarana pendukung bagi terselenggaranya aktivitas pemerintahan

daerah.

3. Faktor organisasi dan manajemen yang merupakan sarana untuk melakukan


penyelenggaraan pemerintahan daerah secara baik, efisien, dan efektif.

Dari paparan di atas jelaslah bahwa faktor kemampuan untuk mengelola keuangan daerah
merupakan faktor yang sangat menentukan bagi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah.
Dengan kata lain, salah satu ciri dari daerah otonom terletak pada kemampuan self
supporting-nya dalam bidang keuangan, termasuk di dalamnya adalah kemampuan daerah
dalam menggali sumber-sumber keuangan dengan baik dan menggunakannya secara tepat

2
dan benar. Daerah harus mempunyai sumbersumber keuangan yang memadai untuk
membiayai penyelenggaran otonominya.

2. Faktor hambatan dalam melaksanakan otonomi daerah di Indonesia

Sedikitnya ada tiga faktor utama yang telah menyebabkan mengapa capaian reformasi
desentralisasi dan otonomi daerah tersebut cenderung bernuansa kuantitas. Koinsidensi dari
tiga faktor inilah selanjutnya telah melahirkan bias-bias kebijakan yang pada gilirannya telah
dijadikan sebagai kambing hitam untuk membangun citra buruk atas kinerja desentralisasi
dan otonomi daerah dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir.Secara singkat,tiga faktor
yang dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut: .

• Pertama, ada ambivalensi pada tataran konseptual orientasi ideologis vs orientasi teknis.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pendulum relasi kewenangan antara pemerintah pusat
dan daerah di Indonesia sejauh ini lebih cenderung mengarah ke kutub sentralisasi daripada
desentralisasi. Kendati UU No 22/1999 pada tingkat yang minimal telah mencoba untuk
menggeser pendulum sen-tralisasi tersebut ke arah kutub desentralisasi, UU No 32/2004
cenderung untuk mengembalikannya ke posisi semula (sentralisasi). .

Di antara penyebab terjadi gerak balik pendulum relasi kewenangan tersebut adalah karena
konsep dasar dari desentralisasi itu sendiri belum terbebas dari adanya ambivalensi antara
orientasi ideologis vs orientasi teknis . Secara ideologis, desentralisasi dan otonomi daerah
diaplikasikan dengan tujuan antara lain untuk mewujudkan tatanan penyelenggaraan
pemerintahan yang demokratis. .

Meski demikian, orientasi ideologis ini harus banyak berbenturan dengan orientasi teknis,
terutama terkait tuntutan untuk menciptakan pemerintahan yang stabil dan efisien. Akibatnya,

3
kendati pada tingkat pernyataan sering dikemukakan bahwa kebijakan desentralisasi di
Indonesia bertujuan untuk mempercepat proses demokratisasi di tingkat lokal,pada tingkat
kenyataan wewenang yang diserahkan kepada daerah sangat dibatasi dan kontrol pemerintah
pusat atas daerah juga terlihat sangat ketat. .

• Kedua, ada bias relasi antarelite sebagai implikasi dari pergeseran relasi negara dan
masyarakat.Realitas implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah juga harus
didudukkan dan dipahami pada konteks pergeseran relasi negara-masyarakat (statesociety
relation) pada periode pasca- Orde Baru.Dengan demikian,akan diketahui bahwa bias
implementasi kebijakan yang terjadi sejauh ini bukan sepenuhnya merupakan dampak
langsung dari reformasi desentralisasi dan otonomi daerah, melainkan juga sebagai implikasi
dari pergeseran pola interaksi antara negara dan masyarakat (statesociety relation) pada
periode pasca- Orde Baru..

Satu di antara karakteristik penting dari perubahan pola interaksi state-society tersebut adalah
masyarakat (society) tidak lagi sepenuhnya terpinggirkan, baik dalam proses pengambilan
keputusan maupun dalam pelaksanaan kebijakan. Namun,peran masyarakat dalam hal ini
belum dalam arti civil society,tetapi lebih banyak diwakili oleh elite masyarakat (societal
actors). .

Dalam kondisi seperti ini, sulit dihindari jika kemudian proses pengambilan keputusan,baik
di tingkat nasional maupun pada tingkat daerah, telah lebih banyak diwarnai oleh koalisi dan
tawarmenawar kepentingan antara societal actors pada satu sisi dan state actors (para elit
penyelenggara negara) pada sisi lain.Pada konteks inilah, desentralisasi dan otonomi
daerah,serta berbagai produk turunannya, seperti pemekaran daerah dan pemilihan kepala
daerah (pilkada) harus didudukkan dan dimaknai. .

• Ketiga, agenda reformasi yang lebih menekankan pada upaya membangun citra negara,
namun minus perbaikan kapasitas. Realitas implementasi desentralisasi dan otonomi daerah
juga tidak dapat dilepaskan dari adanya bias agenda reformasi yang berlangsung di Tanah

4
Air. Dalam kurun waktu sepuluh tahun pertama (1999-2009), fokus perhatian dari agenda
reformasi lebih banyak dicurahkan pada upaya memperbaiki dan membangun institusi negara
(state institutional reform). .

Sementara upaya untuk membangun dan memperkuat kapasitas negara (state capacity) relatif
belum mendapat perhatian yang seimbang. Akibatnya, dapat dimengerti bila kemudian
kehadiran negara dalam praktik kehidupan sehari-hari (state in practice) menjadi samar-samar
atau bahkan dalam beberapa kasus justru absen . Reformasi desentralisasi dan otonomi
daerah yang berlangsung di Tanah Air dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir harus
dipahami dan dimaknai sebagai bagian dari state institutional reform minus state capacity. .

Karena itu, juga dapat dimengerti bila kemudian kehadiran desentralisasi dan otonomi daerah
terlihat sangat nyata dalam bentuk institusi, tetapi tidak kentara dalam fungsi. Desentralisasi
dan otonomi daerah juga sangat nyata hadir dengan kemasan demokrasi,namun roh yang
terkandung di dalamnya masih sangat kental bernuansa sentralisasi.

Selain tiga fator tersebut masih ada faktor-faktor lain seperti:

1. Tidak semua daerah otonom di Indonesia memiliki sumber daya manusia yang tinggi,
sehingga masih memerlukan bantuan dari pusat atau daerah lain.

2. Tidak semua daerah otonom di Indonesia memiliki sumber daya alam yang memadai,
sehingga sulit untuk menggali dana dari potensi alam.

3. Masih adanya daya tarik menarik antar pemerintah pusat dan daerah tentang kewenangan
masalah tertentu.

4. Adanya kebiasaan sentralisasi atau terpusat, sehingga kreativitas daerah sulit berkembang.

5. Sebagian besar daerah otonom masih membiasakan diri tergantung kepada pusat terutama
masalah dana atau keuangan, sehingga sulit untuk mandiri.

6. Timbulnya kesulitan dalam mengatur sumber daya alam yang dimiliki beberapa daerah
yang berbatasan.
5
3. Solusi nyata kita sebagai masyarakat untuk menanggulangi hambatan pelaksanaan otonomi
daerah

Sedikitnya ada empat langkah mendasar yang harus dilakukan ke depan.

• Pertama, rekonstruksi konsep. Di antara langkah fundamental yang harus diambil dalam
rangka rekonstruksi konsep ialah mendudukkan secara tegas eksistensi desentralisasi dan
otonomi daerah sebagai instrumen (bukan tujuan akhir) untuk mendekatkan state dengan
society, agar di antara keduanya dapat berinteraksi secara dinamis, baik pada proses
pengambilan keputusan maupun dalam implementasi kebijakan. Oleh karena itu, konsep
kebijakan desentralisasi di Indonesia, yang sejauh ini lebih bersifat decentralization within
the state, harus direformulasi menjadi decentralization within the state and society.

• Kedua, rekonstruksi pendekatan kebijakan. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa


pendekatan kebijakan yang harus diterapkan ialah pendekatan yang bersifat holistik. Dalam
arti:

a) Kebijakan desentralisasi tidak dapat berdiri sendiri, tapi harus terkait dan sejalan dengan
kebijakan-kebijakan pada bidang lainnya.

b) Implementasi kebijakan desentralisasi harus memperhatikan karakteristik, potensi, dan


kekhususan-kekhususan yang dimiliki daerah masing-masing.

• Ketiga, pengelolaan bias relasi antarelite. Berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan politik
yang muncul di daerah saat ini juga harus diartikulasi sebagai implikasi dari adanya bias

6
relasi antarelite. Oleh karena itu, reformasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah ke
depan seyogianya juga harus diarahkan pada upaya mengendalikan 'bias relasi' antarelite,
baik pada proses pengambilan keputusan maupun pada implementasi kebijakan. Hanya
menyebut satu contoh, untuk mengendalikan 'syahwat politik' para elite dalam
'memprovokasi' pemekaran daerah, misalnya, tidak cukup hanya dengan memberlakukan
kebijakan status bertahap bagi daerah otonom baru, tetapi juga menghendaki
direalisasikannya ketentuan tentang penggabungan dan penghapusan daerah.

• Keempat, reformasi institusi plus penguatan kapasitas, mengingat dalam kurun waktu 19
tahun terakhir reformasi desentralisasi dan otonomi daerah lebih bernuansa 'reformasi
kelembagaan minus kapasitas'. Maka, agenda ke depan seyogianya harus lebih ditekankan
pada upaya membangun dan memperkuat empat pilar utama dari state capacity, yaitu
kapasitas institusional, kapasitas teknis, kapasitas administratif, dan kapasitas politik. Upaya
membangun kapasitas negara ini, tentunya, juga harus disertai dengan upaya membangun
kapasitas masyarakat sipil.Akhirnya, pada penghujung tulisan ini perlu ditegaskan bahwa
reformasi konsep ataupun kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang bersifat
pragmatis-parsialistik, karena dibangun atas dasar penggalan peristiwa, dapat dipastikan akan
sangat sulit untuk menjawab persoalan bangsa.Solusi konseptual ataupun kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah yang tepat untuk kepentingan bangsa (bukan kuasa) harus
bersifat holistik, dan oleh karena itu harus dibangun atas dasar rangkaian peristiwa.

4. Peran mahasiswa dalam upaya mewujudkan praktek good governance

Mahasiswa memiliki peran penting dalam kemajuan bangsa Indonesia diantaranya :

• Agen of change

Dengan adanya mahasiswa sebagai kaum intelektual, maka mahasiswa di tuntut untuk
melakukan suatu perubahan ke arah yang lebih baik mahasiswa tidak hanya diam melihat
kondisi di sekitar nya. Mahasiswa harus merubah kondisi sekitarnya menjadi lebih baik .

7
• Agent of control

Mahasiswa juga berperan sebagai kontrol terhadap kebijakan yang di buat menyakut hajat
hidup orang banyak. Mahasiswa dapat menjadi peran penting dalam mewujudkan good
governance dalam sistem pemerintahan.

• Iron stock

Mahasiswa adalah aset atau cadangan untuk masa depan. Mahasiswa di harapkan menjadi
generasi yang tangguh dan juga harus memiliki kemampuan dan moralitas yang baik
sehingga dapat menggantikan generasi sebelumnya. Hal ini dapat di buktikan dengan adanya
organisasi yang setiap akhir kepengurusan akan di tandai dengan pergiliran tongkat estafet
dari golongan tua yang sudah pernah memimpin ke golongan muda yang mempunyai jiwa
kepemimpinan. Dan disinilah saatnya yang mudah yang memimpin.

Selain itu mahasiswa sebagai kaum terpelajar juga memiliki peran dalam mewujudkan Good
Governance yaitu :

• Memberikan pencerahan kepada seluruh masyarakat supaya berpartisipasi dalam pemilu


dengan menggunakan hak pilih sebaik-baiknya, guna membawa bangsa dan NKRI maju
seperti negara lain di dunia.

• Mendorong dan memandu Masyarakat secara langsung ataupun tidak untuk memilih parpol
dan calon wakil rakyat yang jujur amanah, cerdas, pejuang , berani , dan mempunyai track
record yang baik di masyarakat.

• Memberikan informasi kepada masyarat tentang parpol kepada masyarakat dan parpol serta
calon dan wakil rakyat yang baik dan pantas untuk di pilih, supaya hasil pemilu dapat
membawa bangsa ini semakin maju dibawah pemimpin yang tepat.

8
9

Anda mungkin juga menyukai