Anda di halaman 1dari 10

PENGKAJIAN KESUSASTRAAN FRANKOFON

SEMESTER GASAL 2020-2021

PROGRAM STUDI PRANCIS FIB UI

REZQYA RAMADHINDA

1806211580

A. JAWABLAH PERTANYAAN-PERTANYAAN BERIKUT :

1. A. Uraikan karakteristik kesusastraan frankofon apabila dibandingkan dengan


kesusastraan Prancis. Jelaskan ambiguitas istilah teks sastra frankofon.

Sebagai kesusastraan yang juga ditulis menggunakan bahasa Prancis, kesusastraan


frankofon berbeda dengan kesusastraan Prancis khususnya terkait tema dan perspektif.
Meskipun sama-sama menggunakan bahasa Prancis, karya sastra frankofon menceritakan
kisahnya dengan mengambil sudut pandang negara-negara frankofon. Di satu sisi, perspektif
frankofon ini mempengaruhi penuangan gagasan dari segi struktur kalimat bahasa ibu penulis
franfokon dan dipengaruhi pula oleh budaya mereka. Misalnya orang indonesia dalam
menulis bahasa Prancis mungkin sekali menuangkan gagasan dengan struktur bahasa
Indonesia, hanya saja diterjemahkan ke dalam Prancis. Penulis frankofon asal Indonesia juga
dapat menyisipkan keramahtamahan khas orang Indonesia ke dalam tulisannya. Di sisi lain,
perspektif frankofon juga berarti melihat permasalahan tertentu bukan dengan ideologi
Prancis, melainkan melalui ideologi khas negara asalnya masing-masing. Selain itu, tema
kesusastraan frankofon salah satunya banyak diilhami oleh sejarah kolonialisme dan
dekolonisasi Prancis. Sebagai kesusastraan yang multikultur, kesusastraan frankofon juga
banyak membicarakan permasalahan identitas, permasalahan ailleur (diri sendiri) dan autre
(yang lain), masalah etnis dan budaya, dan hibriditas.

Di samping itu, sebenarnya terdapat ambiguitas istilah teks sastra frankofon apakah
teks tersebut yang datang dari negara-negara berbahasa Prancis, negara-negara tempat di
mana Prancis merupakan salah satu bahasa resmi atau di mana bahasa Prancis digunakan
sebagai salah satu bahasa untuk berkomunikasi. Untuk itu, akhirnya muncul 2 istilah terkait
teks sastra frankofon yaitu la littérature francophone berarti teks sastra yang ditulis
menggunakan bahasa Prancis baik oleh penulis Prancis atau berkewarganegaraan apapun, dan
les littératures francophones yang pada intinya menjelaskan multikulturalisme kesusastraan
frankofon dilihat dari ragam sastra terkait kekhasan budaya dari tempat asal teks sastra
tersebut.

B. Berikan satu contoh teks sastra Prancis yang Anda ketahui, uraikan tema utamanya,
kemudian bandingkan dengan tema-tema yang biasanya ditemukan dalam teks sastra
frankofon.

Salah satu teks sastra Prancis yang saya ketahui adalah En Attendant Godot dengan
tema krisis moralitas dan eksistensi manusia. Karya ini dibuat setelah Perang Dunia II dan
memunculkan tema pemikiran absurdisme menanggapi krisis akibat perang sehingga ada
pemikiran bahwa manusia tidak lagi mempunyai tujuan. En Attendant Godot adalah salah
satu dari teks sastra Prancis yang menunjukkan tema kesusastraan Prancis setelah Perang
Dunia II yang banyak membicarakan kehilangan akibat perang. Jika dibandingkan dengan
tema kesusastraan frankofon, pada saat itu negara-negara Frankofon belum mengalami
dekolonisasi sehingga kesusastraannya banyak diwarnai dengan kesusastraan kolonial.
Kesusastraan kolonial ini banyak membahas hubungan antara Eropa dan Afrika atau Asia
sehingga di sini terdapat permasalahan antara 2 budaya atau 2 masyarakat yang berbeda.
Menurut saya, tema En Attendant Godot menunjukkan bahwa Prancis sebagai negara yang
sudah merdeka sejak lama pada saat itu kemudian menghadapi permasalahan internal berupa
kesedihan akibat perang yang mereka setujui untuk ikut ambil bagian. Di samping itu, tema
kesusastraan frankofon khususnya yang bertema kolonial menunjukkan perlawanan
masyarakat frankofon terhadap penjajahan Prancis sebagai sesuatu yang tidak mereka terima
secara suka rela.

2. Jelaskan terbentuknya gerakan Négritude sebagai sebuah gerakan sastra dan politik.
Sebutkan penggagas dan pendiri gerakan ini dengan ciri khasnya masing-masing.

Gerakan Négritude adalah gerakan intelektual kulit hitam yang memperjuangkan


kesetaraan kulit hitam dengan kulit putih, melawan tekanan superioritas bangsa Eropa
khususnya Prancis terhadap bangsa Afrika Hitam, dan sebagai bentuk kritik terhadap
dominasi bangsa Barat. Gerakan ini digagas oleh Leopold Sedar Senghor dari Martinique,
Aimé Césaire dari Sénégal, dan Leon Damas dari Cayenne. Ciri khas masing-masing tokoh
tersebut tergambar dari ideologi mereka yang berbeda-beda misalnya Sedar Senghor yang
berfokus utama pada perolehan penghargaan terhadap bangsa Afrika dan négritude sebagai
sarana ekspresi diri sebagai bangsa Afrika dengan semangat dan adat budayanya, Césaire
yang menjunjung penerimaan fakta sebagai kaum kulit hitam dan juga pengakuan terhadap
pengalaman bangsa Afrika sebagai budak serta Damas sebagai satu-satunya penggagas yang
memperjuangkan hak-hak kulit hitam dengan cara yang militan dan menolak segala bentuk
rekonsiliasi. Gerakan intelektual ini sendiri sebagai gerakan sastra bertujuan melawan
penjajahan oleh bangsa Barat, memanfaatkan sastra untuk memasukkan ideologi-ideologi
mereka ke dalam karya sastranya dan tentu saja menggunakan bahasa Prancis agar suara
mereka didengar oleh Prancis sendiri dan tersampaikan secara lebih luas berhubung bahasa
Prancis memiliki banyak penutur. Selain itu, négritude sebagai gerakan politik berkaitan
dengan fakta bahwa ketiga penggagas tersebut berandil dalam bidang politik dan juga sama-
sama memiliki pencapaian politik. Misalnya Senghor yang berhasil mengajar di Prancis
setelah memeroleh gelar doktornya, Césaire yang menjadi bagian dari parlemen Prancis
perwakilan dari Martinique, dan Damas yang mengajar di Amerika Serikat setelah
menempuh pendidikan di prancis. Pencapaian tersebut menandakan bahwa kelayakan bangsa
Afrika sebagai bangsa yang lebih dari sekadar bangsa budak akhirnya diakui oleh bangsa
Barat.

B. BUAT ANALISIS DARI TEKS BERIKUT:

Buat analisis dari teks esai di bawah ini. Tentukan topik tulisan Anda. Pertama,
identifikasikan unsur-unsur naratif yang ada, lalu kaitkan dengan topik yang dipilih.

Teks esai di bawah memiliki pengaluran linear karena tidak terdapat adegan kilas balik di
dalamnya. Sepanjang sekuen, narasi berdasar pada topik mengenai penggunaan bahasa
Prancis. Terdapat dua tokoh yaitu tokoh madame yang merupakan seorang wanita pedagang
bunga di pasar Dantokpa juga tokoh tanpa nama ‘il’. Penokohan secara keseluruhan dapat
diidenfitikasi dari sudut pandang orang ketiga maha tahu. Berkaitan dengan topik
penggunaan bahasa Prancis, tokoh madame dan tokoh il memiliki posisi yang terlihat
bertolak belakang. Penolakan tokoh madame untuk berbicara dengan tokoh il dengan
penekanan sebanyak dua kali, terlebih dalam bahasa Prancis diketahui lewat deskripsi narasi
bahwa madame ternyata tidak butuh berbahasa Prancis untuk mempertahankan bisnisnya
dapat dimaknai sebagai ketidaktahuan tokoh tersebut akan pentingnya berbahasa Prancis. Di
samping itu, tokoh il yang sebanyak kurang lebih 18 kali mengingatkan tokoh madame untuk
berbahasa Prancis bersignifikansi mengedukasinya akan pentingnya berbahasa Prancis. Lebih
lanjut, teks esai ini berlatar tempat di marché Dantokpa.

Dari keseluruhan teks, topik dominasi pria terhadap wanita sangat hadir dari alasan-alasan
pentingnya berbahasa Prancis yang diberikan oleh tokoh il kepada tokoh madame. Untuk itu,
topik mengenai pendidikan sebagai langkah awal emansipasi wanita dapat diangkat. Sebelum
masuk ke bagian analisis, perlu diketahui konteks sosial di dalam teks. Pertama, teks esai ini
ditujukan bagi bangsa Afrika melalui pemakaian frasa société africaine pada bagian cette
société phallocratique typiquement africaine terutama kaum kulit hitam ditandai dengan
banyaknya pemakaian kata négresse, nègre, dan semacamnya. Berkaitan dengan unsur yang
menggerakkan alur yaitu topik pembicaraan mengenai penggunaan bahasa Prancis maka
keseluruhan teks salah satunya dapat dimaknai sebagai sarana edukasi akan kepentingan
berbahasa Prancis bagi masyarakat Afrika dalam hal ini terutama kaum wanita. Hal tersebut
terutama dapat terlihat dari pemakaian kalimat imperatif (il faut parler, parlez-donc,
exprimez-vous, rédigez, réclamez, dsb en français) dalam memberikan perintah untuk
berbahasa Prancis. Terdapat pola dalam teks bahwa kalimat imperatif ini disampaikan kepada
kaum wanita: à elle et à beaucoup d’atres femmes, vous madame, citadine salariée et mère
de famille, dan sebagainya. Dari sekian banyak wanita yang disebutkan, terlihat pula bahwa
pesan ini ditujukan kepada kaum wanita secara umum tanpa memandang kelas sosialnya.

Dalam teks, alasan-alasan penggunaan bahasa Prancis selalu dikaitkan dengan respons
pria dalam menindaki perilaku wanitanya. Bahwa jika wanita mengekspresikan diri dengan
bahasa Prancis, maka akan menerima perlakuan yang lebih baik. Misalnya jika menegur bos
yang melakukan pelecehan seksual dalam bahasa Prancis tidak akan dipecat, menyuruh
dalam bahasa prancis tidak akan ditolak, protes kepada pemerintah yang isinya kebanyakan
laki-laki akan didengar, dan sebagainya. Dengan demikian, penggunaan bahasa Prancis bagi
wanita Afrika penting untuk melawan dominasi laki-laki. Dominasi pria dalam teks dalam hal
ini ditandai terutama melalui kehadiran kata sexagénaire, phallocratie, dan domination.
Dominasi pria yang banyak dibahas ini bersignifikansi sebagai representasi budaya patriarki
yang masih melekat dengan budaya Afrika Hitam khususnya terkait poligami dan perkawinan
paksa bahwa peran wanita hanya sebatas menjadi istri yang bertugas untuk prokreasi.

Selain melalui teks yang banyak menyinggung masalah frankofon dan imperialisme
budaya Prancis, berkaitan dengan penggunaan bahasa Prancis sebagai bekal perlawanan
terhadap dominasi pria, kita dapat melihat signifikansinya melalui sejarah kolonialisme
Prancis yang berkaitan dengan bahasa. Bahwa Prancis mengajarkan bahasanya kepada
negara-negara jajahan dengan semangat membudayakan (civiliser) mereka seakan-akan
mereka sebelumnya bukanlah masyarakat yang berbudaya. Akibatnya, bahasa Prancis di
kalangan masyarakat yang terjajah oleh Prancis menjadi tolok ukur kadar kecerdasan mereka
atau sebagai penentu apakah mereka termasuk ke dalam orang-orang yang berbudaya dan
berpendidikan atau tidak. Budaya patriarki yang sangat kental di Afrika memaksa wanita
menjalankan perannya terutama sebagai ibu rumah tangga sehingga banyak berurusan di
rumah. Untuk itu, kemampuan berbahasa Prancis kaum wanita Afrika tidak begitu
dibutuhkan. Sementara kaum pria yang bekerja sangat membutuhkannya dan lebih banyak
mendapatkan pendidikan dalam berinteraksi dengan banyak orang. Oleh karena itu, dalam
kasus ini kaum pria lebih banyak diuntungkan.

Karena penanaman bahasa Prancis sebagai bentuk pembudayaan masyarakat Afrika,


maka bahasa Prancis menjadi standard kepintaran atau seberapa terdidiknya mereka. Di
masyarakat Afrika di mana masih terdapat budaya patriarki yang memposisikan wanita di
bawah pria, emansipasi wanita dibutuhkan. Sejalan dengan ide tersebut, pentingnya
pemakaian bahasa Prancis oleh kaum wanita Afrika mengutamakan pendidikan dalam rangka
menyetarakan derajat mereka dengan kaum pria yang sudah banyak terpapar bahasa Prancis
terlebih dahulu berkat tuntutan pekerjaan di luar rumah. Dalam melawan budaya patriarki dan
memperjuangkan emansipasi wanita, pendidikan atau pengetahuan penting untuk
mengindikasikan bahwa kaum wanita Afrika memahami substansi dan hak-hak yang ingin
diperjuangkan dihadapan pihak yang mendominasi. Bahwa ketika tiba saatnya melakukan
protes dalam memperjuangkan hak-hak tersebut, mereka dapat mempertahannya dengan
alasan-alasan yang relevan. Tentunya harus dilakukan dalam bahasa Prancis karena sebagai
bahasa yang memiliki banyak penutur dan diposisikan lebih tinggi atas hegemoni Prancis,
suara mereka pun akan didengar, didengar dengan lebih luas, dan ditanggapi dengan serius.

Tokoh madame yang menolak berbicara dalam bahasa Prancis di awal teks
merepresentasikan kaum wanita Afrika yang tidak begitu sadar bahwa dirinya sedang dijajah
oleh kaum pria. Lebih lanjut, dalam menolak berbahasa Prancis, pemakaian kata ventre dan
tête dalam ujaran parlez à mon ventre, ma tête est malade berfungsi merujuk kepada apa yang
terkandung di dalam perut yaitu rahim dan yang ada di kepala yaitu otak. Sejalan dengan
budaya patriarki, lagi-lagi di sini terdapat gagasan bahwa yang lebih penting adalah rahim
atau kemampuan wanita dalam menjadi istri dan menghasilkan anak daripada otak yang
mengindikasikan tingkat kepintarannya. Untuk menjadi seorang istri, dapat menghasilkan
anak saja sudah sangat cukup dan untuk menjadi istri yang menuruti suami tidak perlu pintar
agar tidak berkemampuan membantah. Di sini lah tokoh il berperan untuk menyadarkan
tokoh madame sekaligus para wanita Afrika lainnya.

Di samping itu, dalam teks terdapat pula kritik hegemoni Prancis terhadap bangsa Afrika
Hitam (paragraf ketiga sebelum terakhir). Hal yang sama terjadi kepada masyarakat Prancis
berkaitan dengan hegemoni budaya Amerika. Selain pemahaman bahasa Prancis sebagai
standard pendidikan, hal tersebut juga menjadi indikator adaptasi terhadap budaya yang
sedang berkembang saat itu. Masyarakat Afrika yang kala itu mendapat paparan budaya baru
yang lebih tinggi yakni budaya Prancis khususnya bahasa, dituntut untuk menyesuaikan diri
dengan mempelajari bahasa tersebut agar lebih mendapatkan tempat di masyarakat. Masalah
penerimaan terkait dihadirkan dalam teks dengan ujaran the look, in the wave. Dengan alasan
yang sama, muda-mudi Prancis mulai mengkonsumsi budaya Barat Amerika dan mulai
kehilangan ke’prancisan’nya. Gagasan dalam teks memandang hal tersebut sebagai kegagalan
Prancis dalam mempertahankan budayanya. Sama halnya dengan Afrika yang awalnya tidak
menerima paparan kebudayaan Prancis, Prancis juga demikian terhadap budaya Amerika.
Meskipun begitu, masyarakat Afrika yang telah menyerap bahasa Prancis ke dalam
budayanya tidak berkekuatan untuk ikut mempertahankan hal tersebut di depan dunia. Sebab,
ketidaksetaraan gender akibat tidak meratanya distribusi pendidikan dalam hal ini
pemahaman bahasa Prancis sebagai standard kepintaran masih eksis di dalam masyarakat
Afrika dan butuh diselesaikan terlebih dahulu.

METTEZ-VOUS AU GOÛT DU JOUR, MADAME LA NÉGRESSE: EXPRIMEZ-


VOUS EN FRANÇAIS!

Gisèle Hountondji

"Parlez à mon ventre, ma tête est malade" répondait alors une bonne femme du marché
Dantokpa qui n'avait que faire de la langue française pour tenir sa comptabilité et mener à
bien son commerce déjà florissant. Aussi fallait-il la persuader en ces termes :

Parlez français madame, votre mari fermera définitivement son quatrième bureau... "Parlez à
mon ventre, ma tête est malade" continuait-elle de répondre obstinément ... Il lui manquait
manifestement des arguments plus convaincants. Aussi s'évertua-t-on à lui expliquer, à elle et
à beaucoup d'autres femmes mais en vain:

N'avez-vous pas compris qu'il faut parler français madame, pour que votre mari vous aide
dans les tâches domestiques si passionnantes parce qu'exclusivement féminines ? Il ne vous
dira plus : "La bonne est là !" pour filer à l'anglaise.

Parlez-donc français, madame : il ne rentrera plus tard le soir et vous aurez enfin le temps de
lui soumettre les problèmes du foyer qui vous tiennent tant à coeur, avant de vous endormir,
épuisée par une double journée de travail.

Ne le dites-pas avec des fleurs, madame, faites-mieux : dites le en français. Votre mari vous
comprendra enfin ; il sera plus doux et plus attentionné à votre égard.

Exprimez-vous en français. Demandez-lui d'aller promener les gosses au jardin, de leur faire
faire leurs devoirs de maison ou de les tenir tranquilles pendant que vous vous faites votre
shampooing ... Il ne vous répondra pas: "C'est impossible ... Les enfants sont embêtants...
Moi j'ai une réunion ! " D'ailleurs impossible n'est pas français. Aussi s'exécutera-t-il illico-
presto.

[...]

N'avez-vous donc pas compris, madame, que le français résonne mieux à ses oreilles de nègre
enraciné dans sa phallocratie séculaire ?

Je l'espère pour vous car, paraît-il, c'est parler français qui nous guérira de nos maux, écrasées
que nous sommes sous le poids de la domination de nos chers mâles tout puissants ou trop
puissants.

Exigez de votre Gouvernement que désormais l'allocation familiale vous soit versée à vous,
plutôt qu'à votre mari qui semble peu doué pour une gestion saine des biens de la famille. Et
vous verrez que ce sera chose faite. Donnez-vous seulement la peine de rédiger votre texte en
français : vous serez satisfaite automatiquement.

Rédigez en français des projets de loi sur l'abolition de la polygamie, de la dot, du mariage
forcé, etc, et soumettez-les au Parlement de votre pays qui compte probablement plus
d'hommes que de femmes, et vous verrez que ce sera chose faite: l'abolition du mariage forcé
ne sera plus que pour demain.
Vous qui êtes citadine salariée et mère de famille, réclamez en français davantage de crèches
ou de garderies pour vos enfants, et ce sera chose faite. Dites à votre patron que votre fils
était souffrant et qu'il vous a fallu rester 72 heures à la maison pour le nurser - ni le papa, ni
la bonne n'étant capables de s'en occuper valablement - et en français s'il vous plaît ! Ainsi il
ne vous licenciera pas.

Et vous grand'mère qui allez bientôt à la retraite, exigez qu'à votre mort, l'Etat verse votre
pension à vos parents restés au village et dont vous êtes actuellement le seul soutien
financier... en français bien sûr! et ce sera chose faite.

Quant à vous, jeune secrétaire victime des harcèlements sexuels de votre patron sexagénaire,
envoyez-lui une lettre explicative en français: il comprendra aussitôt que le secrétariat et la
prostitution sont deux métiers différents.

Vous aussi, femme battue, adressez vos plaintes en français au tribunal le plus proche de
votre domicile: votre mari ne vous frappera plus parce qu'il aura bu un verre de trop.

Adolescentes amoureuses qui êtes confrontées aux boutades du Planning Familial de votre
quartier, réclamez en français à votre médecin l'accès libre à la contraception : il vous
délivrera une ordonnance efficace sans essayer de vous culpabiliser ou de vous faire la
morale auparavant.

Et vous, chère madame qui désespérez de mettre au monde l'enfant mâle tant désiré, voire
exigé par votre semi-analphabète de mari... Expliquez-lui en français que vous n'y êtes pour
rien dans le sexe de vos enfants; du coup, il vous fichera la paix et ne pensera plus à aller
essayer une deuxième femme.

Apprenez-donc à dire: "Non papa, non chéri, non patron, non tonton" en français, et vous
serez une négresse comblée.

Comprenez, madame, que plus vous parlerez français, mieux vous vous sentirez au sein de
cette société phallocratique typiquement africaine, faite par les nègres pour les nègres. Car
voyez-vous, parler français rendrait la négresse heureuse... Alors, vous qui courez jour après
jour après votre bonheur et celui de votre foyer, parlez français ! A bon entendeur salut !

Cette nouvelle recette du bonheur nous vient tout droit d'Outre- Méditerranée et on l'appelle
la Francophonie. Ne soyez-donc pas en reste ! Ne vous laissez-pas devancer par certains qui
se sont déjà lancés dans cette course effrontée au bonheur dit francophone.
Soyez absolument in the wave !

Ayez le look! ... Votre mari ne vous résistera plus.

Car madame, pour assurer un bel avenir à vos négrillons, il vous suffit aujourd'hui de leur
parler français : ils seront "branchés" pour la vie ! Quant à leur éducation, vous trouverez une
réponse à toutes vos questions (si vous vous les posez en français bien sûr )

Parlez français! tous vos soucis disparaîtront comme par enchantement. Aussi vous trouverez
une solution à tous vos problèmes.

Eh oui madame la négresse, la francophonie, c'est la découverte du Siècle !

Rêvez-donc en français: vos rêves deviendront réalités

Mais est-ce de notre faute...

Si devant la montée du péril franglais, ce produit culturel qu'est la langue française se trouve
injustement menacé ?

Si aujourd'hui les jeunes Français préfèrent jouer aux cow-boys plutôt qu'à la marelle,
regarder des sketches ou des westerns...

[...]

Que faire s'ils ne lisent que des best-sellers parce qu'ils tiennent à avoir le look, se sentir cool
et être absolument in the wave ? Leurs aspirations ne sont pas top-secrets : ils entendent
donner ainsi à leur vie un label de qualité ; car voyez-vous, ce qui compte aujourd'hui pour
ces jeunes Français, c'est la qualité de la vie, et ils ont bien raison.

Si la France voit d'un mauvais oeil ou supporte mal l'impérialisme culturel américain, que
dire de l'Afrique qu'elle a si longtemps colonisée et qui continue de subir malgré elle
l'impérialisme culturel français ?

La civilisation romaine a connu son apogée, puis son déclin; la civilisation française suit sa
pente, n'en déplaise aux chauvins et aux esprits chagrins. Après tout, ce ne serait qu'une
justice de l'Histoire. La défense de la langue française est bien loin de nos préoccupations
quotidiennes de négresses.

Et si seulement l'usage du Français pouvait nous tirer d'affaire dans cette bataille désespérée
que continue d'être l'Emancipation de la Femme africaine.

Anda mungkin juga menyukai