I
DENGAN GANGGUAN ELIMINASI URINE DI BANGSAL RUHAMA RSIY
PDHI YOGYAKARTA
OLEH:
SINDI FEBRIYANA CAHYANINGRUM
P2105030
2. Penyebab/Faktor Predisposisi
a. Pertumbuhan dan Perkembangan
Seorang anak tidak dapat mengontrol pola berkemihnya secara
volunter sampai ia berusia 18-24 bulan. Proses penuaan juga
mengganggu proses eliminasi urin. Masalah mobilitas, kelemahan
dan lansia juga mungkin akan mengalami kehilangan kemampuan
untuk merasakan bahwa kandung kemihnya penuh. Perubahan
fungsi ginjal dan kandung kemih juga terjadi seiring dengan proses
penuaan. Kecepatan filtrasi glomerulus menurun disertai
penurunan kemampuan ginjal untuk memekatkan urin, sehingga
lansia sering mengalami nokturia (urinasi berlebihan pada malam
hari).
b. Faktor Psikologis
Ansietas dan stress emosional dapat menimbulkan dorongan
untuk berkemih dan frekuensi berkemih meningkat. Ansietas juga
dapat membuat individu tidak mampu berkemih sampai tuntas.
Ketegangan emosional membuat relaksasi otot abdomen dan otot
perineum menjadi sulit. Apabila sfingter uretra eksterna tidak
berelaksasi secara total , buang air dapat menjadi tidak tuntas dan
terdapat sisa urin di dalam kandung kemih.
c. Faktor sosiokultural
Adat istiadat tentang privasi berkemih berbeda-beda. Peraturan
sosial mempengaruhi waktu berkemih seperti istirahat sekolah.
d. Kebiasaan pribadi
Privasi dan waktu yang adekuat untuk berkemih. Beberapa
individu memerlukan distraksi seperti membaca untuk rileks.
e. Intake cairan dan makanan
Alkohol mengahambat Anti Diuretik Hormon (ADH) untuk
meningkatkan pembuangan urine, kopi, teh, coklat, cola
(mengandung kafein) dapat meningkatkan pembuangan dan
ekskresi urine.
f. Tonus Otot
Lemahnya otot abdomen dan otot dasar panggul merusak
kontraksi kandung kemih dan kontrol sfingter uretra eksterna.
Kontrol mikturisi yang buruk dapat diakibatkan oleh otot yang
tidak dipakai, yang merupakan akibat dari lamanya imobilitas,
peregangan otot selama melahirkan, atrofi otot setelah menopause,
dan kerusakan otot akibat trauma.
g. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan system perkemihan dapat mempengaruhi
berkemih. Pembatasan asupan cairan umumnya akan mengurangi
haluaran urine.
h. Kondisi Penyakit
Adanya luka pada saraf perifer yang menuju ke kandung
kemih menyebabkan hilangnya tonus kandung kemih,
berkurangnya sensasi penuh kandung kemih, dan individu
mengalami kesulitan untuk mengontrol urinasi. Misalnya diabetes
mellitus dan sklerosis multiple menyebabkan kondisi neuropatik
yang mengubah fungsi kandung kemih. Penyakit juga dapat
memperlambat aktivitas fisik mengganggu kemampuan berkemih.
Artritis reumatoid, penyakit sendi degeneratif, dan parkinson
merupakan contoh-contoh kondisi yang membuat individu sulit
mencapai dan menggunakan fasilitas kamar mandi. Penyakit-
penyakit yang menyebabkan kerusakan ireversible pada
glomerulus atau tubulus menyebabkan perubahan fungsi ginjal
yang permanen.
i. Obat – obatan
Diuretik mencegah reabsorpsi air dan elektrolit tertentu untuk
meningkatkan haluaran urin. Retensi urin dapat disebabkan oleh
penggunaan obat antikolinergik (mis. atropin), antihistamin (mis.
sudafed), antihipertensi (mis. aldomet), dan obat penyekat beta –
adrenergic (mis. Inderal).
j. Prosedur Bedah
Klien post bedah sering memiliki perubahan keseimbangan
cairan analgetik narkotik dan anestesi dapat memperlambat laju
filtrasi glomerolus, mengurangi haluaran urin. Anastesi spinalis
terutama menimbulkan risiko retensi urin. Perubahan struktur
panggul dan abdomen bagian bawah dapat merusak urinasi akibat
trauma local pada jaringan sekitar. Pembentukandiversi urinarius
melalui pembedahan di daerah kandung kemih atau uretra yang
bersifatsementara (kanker kandung kemih), memiliki stoma untuk
mengeluarkan urin.
3. Patofisiologi Terjadinya Penyakit
Miksi adalah proses pengosongan kandung kemih bila kandung
kemih terisi. Sistem tubuh yang berperan dalam terjadinya proses
eliminasi urine adalah ginjal, ureter, kandung kemih dan uretra.
Proses ini terjadi dari dua langkah utama yaitu : Kandung
kemih secara progresif terisi sampai tegangan di dindingnya
meningkat diatas nilai ambang, yang kemudian mencetuskan langkah
kedua yaitu timbul refleks saraf yang disebut refleks miksi (refleks
berkemih) yang berusaha mengosongkan kandung kemih atau jika ini
gagal, setidak-tidaknya menimbulkan kesadaran akan keinginan untuk
berkemih. Meskipun refleks miksi adalah refleks autonomik medula
spinalis, refleks ini bisa juga dihambat atau ditimbulkan oleh pusat
korteks serebri atau batang otak.
Kandung kemih dipersarafi saraf sakral (S-2) dan (S-3). Saraf
sensori dari kandung kemih dikirim ke medula spinalis (S-2) sampai
(S-4) kemudian diteruskan ke pusat miksi pada susunan saraf pusat.
Pusat miksi mengirim signal pada kandung kemih untuk berkontraksi.
Pada saat destrusor berkontraksi spinter interna berelaksasi dan
spinter eksternal dibawah kontol kesadaran akan berperan, apakah
mau miksi atau ditahan. Pada saat miksi abdominal berkontraksi
meningkatkan kontraksi otot kandung kemih, biasanya tidak lebih 10
ml urine tersisa dalam kandung kemih yang disebut urine residu. Pada
eliminasi urine normal sangat tergantung pada individu, biasanya
miksi setelah bekerja, makan atau bangun tidur. Normal miksi sehari
5 kali.
Gangguan pada eliminasi sangat beragam. Masing-masing
gangguan tersebut disebabkan oleh etiologi yang berbeda. Pada pasien
dengan trauma yang menyebabkan cedera medulla spinalis, akan
menyebabkan gangguan dalam mengkontrol urine/inkontinensia
urine. Gangguan traumatik pada tulang belakang bisa mengakibatkan
kerusakan pada medulla spinalis. Kerusakan pusat miksi di medulla
spinalis menyebabkan kerusaan saraf simpatis dan parasimpatis
sebagian atau seluruhnya sehingga tidak terjadi koneksi dengan otot
detrusor yang mengakibatkan tidak adanya atau menurunnya relaksasi
otot spingter internal.
Hipertrofi prostate, tumor atau kekakuan leher vesika, striktur, bekuan
darah, dan batu kencing menyebabkan obstruksi urethra sehingga
urine sisa meningkat dan terjadi dilatasi bladder kemudian distensi
abdomen. dapat merusak penghantaran impuls sensorik dan motorik
dan meyebabkan kemampuan otot detrusor dan spingter dalam
merespon keinginan tuntuk berkemih menjadi terganggu. Selain itu
analgesik narkotik dan anestesi dapat menyebabkan rusaknya impuls
sensorik dan motorik yang berjalan di antara kandung kemih, medula
spinalis, dan otak. Otot kandung kemih dan otot sfingter juga tidak
mampu merepons terhadap keinginan berkemih.
PATHWAY
4. Klasifikasi
a. Retensi Urine
Retensi urine adalah akumulasi urine yang nyata di dalam
kandung kemih akibat ketidakmampuan mengosongkan kandung
kemih. Urine terus berkumpul di kandung kemih, merenggangkan
dindingnya sehingga timbul perasaan tegang, tidak nyaman, nyeri
tekan pada simfisis pubis, gelisah, dan terjadi diaphoresis
(berkeringat). Tanda – tanda retensi urine akut ialah tidak adanya
haluaran urine selama beberapa jam dan terdapat distensi kandung
kemih. Pada retensi urine yang berat, kandung kemih dapat
menahan 2000 – 3000 ml urine . Retensi terjadi terjadi akibat
obstruksi uretra, trauma bedah, perubahan stimulasi saraf sensorik
dan motorik kandung kemih, efek samping obat dan ansietas.
b. Infeksi Saluran Kemih Bawah
Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang didapat di rumah
sakit. Penyebab paling sering infeksi ini ialah dimasukkannya
suatu alat ke dalam saluran perkemihan. Misalnya pemasukkan
kateter melalui uretra akan menyediakan rute langsung masuknya
mikroorganisme. Kebersihan perineum yang buruk merupakan
penyebab umum ISK pada wanita. Faktor predisposisi terjadinya
infeksi pada wanita diantaranya adalah praktik cuci tangan yang
tidak adekuat , kebiasaan mengelap perineum yang salah yaitu dari
arah belakang ke depan setelah berkemih atau defekasi. Klien yang
mengalami ISK bagian bawah mengalami nyeri atau rasa terbakar
selama berkemih (disuria).
c. Inkontinensia Urine
Inkontinensia urine ialah kehilangan kontrol berkemih. Klien
tidak lagi dapat mengontrol sfingter uretra eksterna. Lima tipe
inkontinensia adalah inkontinensia fungsional, inkontinensia
refleks, Inkontinensia stress, inkontinensia urge, dan inkontinensia
total. Inkontinensia yang berkelanjutan memungkinkan terjadinya
kerusakan pada kulit, sifat urine yang asam mengiritasi kulit. Klien
yang tidak dapat melakukan mobilisasi dan sering mengalami
inkontinensia terutama berisiko terkena luka dekubitus.
d. Enurisis
Merupakan ketidaksanggupan menahan kemih (mengompol) yang
diakibatkan tidak mampu mengontrol spinter eksterna. Biasanya terjadi pada
anak-anak atau pada orang tua.
5. Gejala Klinis
a. Urgensi : merasakan kebutuhan untuk berkemih
b. Disuria : merasa nyeri atau sulit berkemih
c. Frekuensi : berkemih dengan sering
d. Poliuria : mengeluarkan urine yang banyak
e. Oliguria : haluaran urine yang menurun dibandingkan dengan yang
masuk
f. Nokturia : berkemih yang sering pada malam hari
g. Hematuria : terdapat darah dalam urine
h. Dribling (urine yang menetes) : kebocoran/rembesan urine walaupun
ada kontrol terhadap pengeluaran urine
i. Retensi : akumulasi urine di kandung kemih disertai ketidakmampuan
mengosongkan kandung kemih
j. Residu urine : volume urine yang tersisa setelah berkemih (volume
100 ml atau lebih)
6. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
- Perawat mengkaji kondisi mukosa mulut untuk mengetahui
c. Perkusi
- Perawat memperkusi sudut kostovertebra, peradangan
menimbulkan nyeri selama perkusi dilakukan.
d. Auskultasi
- Perawat melakukan auskultasi untuk mendeteksi adanya
7. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Urinalisis
2) Kultur Urine
b. Radiologi
1) Rontgenogram Abdomen
2) Pielogram Intravena
3) Pemindaian (scan) ginjal
4) Computerized Axial Tomography
5) Ultrasound ginjal
6) Sistoskopi
7) Biopsi ginjal
8) Angiografi (arteriogram)
8. Theraphy/Tindakan Penanganan
a. Mempertahankan kebiasaan eliminasi
Perawat mempelajari waktu saat klien berkemih normal,
seperti saat bangun tidur atau sebelum makan. Klien biasanya
memerlukan waktu untuk berkemih. Kebutuhan untuk berespons
terhadap keinginan berkemih klien juga merupakan hal yang
penting. Penundaan dalam membantu klien ke kamar mandi dapat
mengganggu proses berkemih normal dan menyebabkan
inkontinensia.
b. Penggunaan obat-obatan
Terapi obat-obatan yang diberikan secara tersendiri atau
yang bersamaan dengan terapi lain dapat membantu masalah
inkontinesia dan retensi. Terdapat 3 tipe obat-obatan. Satu obat
merelaksasi kandung kemih yang mengalami ketegangan atau
spasme sehingga meningkatkan kapasitas kandung kemih. Satu
obat menstimulasi kontraksi kandung kemih sehingga
meningkatkan pengosongan kandung kemih. Dan satu obat lainya
menyebabkan relaksasi otot polos prostat, mengurangi obstruksi
pada aliran uretra.
c. Kateterisasi
Kateterisasi kandung kemih dilakukan dengan memasukan
selang plastic atau karet melalui uretra kedalam kandung kemih.
Kateter memungkinkan mengalirnya urine yang berkelanjutan
pada klien yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau klien
yang mengalami obstruksi. Kateter juga menjadi alat yang
digunakan untuk mengukur haluan urine per jam pada klien yang
status hemodinamiknya tidak stabil.
d. Pencegahan infeksi
Klien yang dikateterisasi dapat mengalami infeksi melalui
berbagai cara. Mempertahankan drainase urine tertutup,
merupakan tindakan yang penting untuk mengotrol infeksi.
System yang rusak dapat menyebabkan masuknya organism.
Daerah yang memiliki resiko ini, adalah daerah insersi kateter,
kantung drainase, clap, dan sambungan antara selang dan
kantung. Irigasi dan instilasi kateter diperlukan untuk
mempertahankan kepatenan urine menetap, kadang-kadang perlu
untuk mengirigasi atau membilas kateter.
e. Menguatkan otot dasar panggul
Latihan dasar panggul meningkatkan kekuatan otot dasar
panggul yang terdiri dari kontraksi kelompok otot yang berulang.
f. Bladder retraining
Tujuan bladder retraining ialah untuk mengembalikan pola
normal perkemihan dengan menghambat atau menstimulasi
pengeluaran air kemih.
6) Pengkajian Fisik
- Keadaan umum pasien
- Kesadaran
- Pemeriksaan TTV
7) Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan Laboratorium
- Pemeriksaan radiologic
Analisa data:
a. Data subjektif :
- Klien mengatakan sulit untuk berkemih
- Klien merasakan nyeri ketika sedang berkemih
- Klien merasakan perutnya kembung (distensi kandung kemih)
- Klien mengatakan tidak dapat merasakan keinginan berkemih
- Klien mengatakan tidak dapat menghambat berkemih secara
volunter
b. Data objektif :
a. Inspeksi
- Mukosa mulut kering
- Terlihat adanya pembengkakan pada abdomen bagian bawah.
b. Palpasi
- Palpasi ginjal selama untuk mengetahui adanya masalah
seperti tumor.
- Palpasi abdomen bagian bawah, kandung kemih dalam
keadaan normal teraba lunak dan bundar
c. Auskultasi
- Adanya bunyi bruit di arteri ginjal
- Kandung kemih yang penuh menimbulkan bunyi perkusi yang
tumpul
d. Intake dan output cairan
- Kaji intake dan output cairan dalam sehari
- Kaji karakteristik urine (warna , kejernihan, bau)
- Kaji perubahan volume urine untuk mengetahui
ketidakseimbangan cairan
Arslantas D, Gokler ME, Unsal A, Baseskioglu B. 2017. Prevalence of Lower Urinary Tract
Symptoms Among Individuals Aged 50 Years and Over and Its Effect on the Quality of Life in a
Semi-Rural Area of Western Turkey. LUTS: Lower Urinary Tract Symptoms. 9(1):5–9.
Bruno, L. (2019). karakteristik lansia yang mengalami inkontinensia urin. Journal of Chemical
Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Dermawan, D. (2012). Proses Keperawatan Penerapan Konsep & Kerangka Kerja (1st ed.).
Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Jakarta : EGC.
Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI). (2015). Pembesaran Prostat Jinak ( Benign
Prostatic Hyperplasia / BPH ). 8–33.