0790561061-2-Tesis Final Bab I
0790561061-2-Tesis Final Bab I
PENDAHULUAN
1
Sidang yang berlangsung selama dua jam Mahkamah Konstitusi (MK) pada 24 Februari
2004 telah melahirkan sebuah keputusan penting. Selanjutnya dikatakan, putusan yang dibuat
benar-benar didasarkan pada pertimbangan hukum, hak asasi manusia (HAM) dan rasa keadilan
masyarakat. Di samping itu, seorang hakim menunjukkan independensinya dengan membuat
pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam Todung Mulya Lubis “Putusan Mahkamah Konstitusi
Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003 dari Perspekif Hukum Hak Asasi Manusia Internasional”
dalam Jurnal Konstitusi Vol.1, No 1, Juli 2004. Hlm 12-29; “Mahkamah Konstitusi telah
membuka lembaran “baru” dalam sejarah perlindungan hak-hak warga negara di Indonesia”
sekaligus “membuka dan merintis jalan untuk memulai rekonsiliasi demi masa depan Indonesia
yang lebih demokratis dan berkeadilan” Ifdhal Kasim “Analisis Putusan MK dalam Perspektif
Rekonsiliasi Nasional”; dalam Jurnal Konstitusi Vol.1 No 1, Juli 2004 hlm 30-44; “Putusan ini
tak urung menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat. Tetapi putusan MK ini telah mengurangi
1
2
Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
isolasi politik selama puluhan tahun terhadap para eks PKI” dalam Bambang Sutiyoso, 2009, Tata
Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi, Yogyakarta, UII Press, Hlm.
111.
2
Ada sejumlah hak asasi manusia (HAM) yang dijamin dalam UUD 1945, tetapi berdasarkan
Pasal 28J semua HAM itu dapat dibatasi dengan alasan tertentu, kecuali HAM yang disebutkan
dalam Pasal 28I. Ketujuh HAM yang terdapat dalam Pasal 28I itu adalah mutlak. Kemutlakan itu
mungkin saja tidak sejalan dengan deklarasi, kovenan, atau statuta yang dikeluarkan oleh lembaga
internasional. Namun demikian, tugas saya sebagai hakim konstitusi adalah menguji
konstitusionalitas suatu undang-undang terhadap UUD 1945, bukan menguji undang-undang dasar
terhadap hukum internasional. (Achmad Roestandi,“Mengapa Saya Mengajukan Dissenting
Opinion” dalam Refly Harun, dkk (Ed.), 2004, Menjaga Denyut Konstitusi, Jakarta, Konstitusi
Press, Hlm. 50-51).
3
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik
Undang Nomor 12 Tahun 2003 yang menyaratkan bukan bekas anggota organisasi
orang yang terlibat langsung atau tak langsung dalam G-30-S/PKI, atau organisasi
terlarang lainnya.
diskriminasi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1),
Pasal 28I ayat (2). Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia sebagai penjabaran ketentuan Pasal 27 dan Pasal 28
bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote
and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-
pelanggaran hak asasi dari warga negara. Dengan demikian, ketentuan Pasal 60
28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(baik aktif maupun pasif) dalam pemilihan umum lazimnya hanya didasarkan atas
pertimbangan ketidakcakapan misalnya faktor usia dan keadaan sakit jiwa, serta
putusan pengadilan yang tekah berkekuatan hukum tetap dan pada umumnya
tindakan yang bertentangan dengan hukum, rasa keadilan, kepastian hukum, serta
upaya rekonsiliasi nasional yang telah menjadi tekad bersama bangsa Indonesia
Undang Nomor 12 Tahun 2003 seolah-olah tidak selalu sejalan dengan semangat
ketentuan Pasal 28J ayat (2) dan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
refleksi atas kondisi sosial politik Indonesia di satu pihak dan kewenangan
pihak lain. Bila dirunut kontroversi atas keberadaan Pasal 60 huruf g dapat
pendapat tidak saja di antara anggota DPR melainkan juga pendapat yang
dikemukakan oleh para pakar, tokoh agama dan tokoh masyarakat. Dalam proses
tidak menyetujui adanya larangan bekas PKI dan partai terlarang ikut dalam
Pemilu.3
Dalam Negeri Hari Sabarno dan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra
Pemohon. Pemerintah berpendapat bahwa: 1) Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J
merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan,
sehingga pemahaman terhadap ketentuan HAM harus dipahami secara utuh kaitan
pasal demi pasal, dimana Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I memberi HAM bagi
warga negara Republik Indonesia dan Pasal 28J memberikan pembatasan hak asasi
terlarang PKI termasuk organisasi massanya atau terlarang lainnya dibatasi hak
terhadap anggota PKI untuk memilih dan dipilih tetap tidak berdasar karena
3
Todung Mulya Lubis. Loc. Cit.
7
TAP MPRS tersebut bukan merupakan kesalahan apa pun, tidak menjadi
pelanggaran apa pun, kecuali mereka melakukan perbuatan yang melawan hukum
terhadap partisipasi politik warga negara karena dalam sistem demokrasi yang
dipahami sebagai popular control system over collective decision making, maka
terdapat pihak atau kelompok yang secara umum dilarang untuk berpartisipasi.
Tahun 1945. Kedua, pemerintah berpendapat Pasal 60 huruf g telah sesuai Pasal
28A sampai dengan Pasal 28I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 dan adanya pembatasan sesuai Pasal 28J meski harus dipahami secara utuh
8
pasal demi pasal sesuai Pasal 28A sampai Pasal 28I Undang-Undang Dasar
guardian and the sole interpreter of the constitution as well as the guardian of the
4
Jimly Asshiddiqie, 2006, Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, Jakarta,
Konstitusi Press, Cet. I, Hlm. 105.
5
Jenedjri M. Gaffar, 2012, Politik Hukum Pemilu, Jakarta, Konstitusi Press, Hlm. 7.
6
Todung Mulya Lubis, Loc. Cit.
9
of the citizen constitutional rights) dan sebagai pelindung hak asasi manusia (the
negara yang dimanifestasikan hak memilih dan dipilih. Hak memilih dan dipilih
sangat positif dimana Indonesia sebagai negara hukum sekaligus sebagai bentuk
masa depan. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi a quo tidak saja dapat
7
Maruarar Siahaan menyebutkan sejak di-inkorporasi-kannya hak-hak asasi manusia dalam
UUD 1945, fungsi pelindung (protector) konstitusi dalam arti melindungi hak-hak asasi
manusia (fundamental rights) juga benar adanya. Lihat dalam Maruarar Siahaan, 2005, Hukum
Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, Konstitusi Press, Hlm.11.
10
termasuk hak memilih dan dipilih sebagai hak politik yang nota bene sebagai
dilakukan. Pada saat bersamaan kewenangan politik legislatif terhadap eks anggota
terlarang PKI dimulai. Batas-batas apa yang dapat diatur terhadap hak-hak politik
yang bersifat final dan mengikat (Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
memperoleh kekuatan hukum sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang
dapat ditempuh9 dan putusannya bersifat final dan mengikat (final and binding).
8
Eko Prasojo, 2006, “Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Hukum dan Politik Indonesia”
dalam Jentera Jurnal Hukum, Jakarta, Edisi 11, Tahun III, Januari-Maret, Hlm. 26-37
9
Maruarar Siahaan, 2005, Ibid., Hlm. 208.
11
memerlukan upaya paksa serta tidak hanya mengikat pihak-pihak yang berperkara
norma melainkan normanya pun kabur. Hal ini ditandai dengan adanya
Konfliks norma antara norma dalam Pasal 60 huruf g dengan pasal-pasal yang
dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2). Selanjutnya dalam
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Pada bagian lain, ketentuan Pasal 60 huruf g memunculkan norma kabur atau
normanya tidak jelas, yakni ditandai dengan adanya multi interpretasi tentang
10
Jenedjri M. Gaffar, Ibid., Hlm. vi.
12
orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung11 dalam G-30-S/PKI, atau
organisasi terlarang lainnya” Dengan norma hukum seperti itu, khususnya kalimat
hukumnya dimana dalam putusannya memiliki sifat yang menentukan atau faktor-
faktor yang esensial (ratio decidendi) tidak dapat dilepaskan dari kewenangan dan
fungsi dimaksud.
Nomor 011-017/PUU-I/2003.”
11
Dalam Penjelasan atas Pasal 60 huruf g hanya dijelskan “cukup jelas”. Atas Penjelasan
tersebut dapat memunculkan multi interpretasi atas ktentuan norma tersebut.
13
Bahwa untuk mencegah pembahasan dalam penelitian ini meluas dan tidak
fokus, maka dipandang perlu untuk melakukan pembatasan terhadap ruang lingkup
Dalam penelitian ini, peneliti membatasi pada; Pertama, kajian mengenai konsep
perlindungan hukum hak untuk dipilih dari segala bentuk diskriminasi dalam sistem
Bahwa dalam penelitian ini mempunyai dua (2) tujuan, yaitu: 1) tujuan umum,
Indonesia.
ketatanegaraan Indonesia.
negara.
Nomor 011-017/PUU-I/2003.
3. Praktisi hukum atau penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan advokat)
Kepala Daerah” (Skripsi) ditulis pada tahun 2012 oleh Gugun Ridho
Pada intinya skripsi ini mengkaji hak dipilih mantan narapidana sebagai
hak politik. Hak dipilih bagi mantan narapidana dalam beberapa peraturan
dari 5 (lima) tahun dan putusan mana telah berkekuatan hukum tetap
12
Gugun Ridho Putra, 2012, “Hak Mantan Narapidana untuk Dipilih dalam Pemilihan Umum
Kepala Daerah” (Skripsi), Depok, Fakultas Hukum Program Studi Hukum Kekhususan Hukum
Tata Negara, Universitas Indonesia.
18
Baru, dan Era Reformasi)” (Skripsi) ditulis oleh Nugraha Widya Putra
sebagai berikut:
13
Nugraha Widya Putra, 2012, “Pengaturan Hak Pilih TNI dan Polri dalam Sistem Demokrasi
di Indonesia (Studi Perbandingan Pemilihan Umum Tahun 1955, Orde Baru, dan Era Reformasi).”
(Skripsi), Yogyakarta, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
19
3. Bagaimanakan hak pilih TNI dan Polri dalam sistem demokrasi pada
Era Reformasi?
Pada intinya dalam skripsi ini diuraikan bahwa pada Pemilu tahun 1955
(disingkat ABRI belakangan disebut TNI) dan Polri diatur dalam Undang-
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada Pasal 3 ayat (1). Sedangkan hal
ini berbeda pada masa Orde Baru yang diatur dalam Undang-Undang
dalam Jurnal Konstitusi, Vol. 1 No. 1 Juli 2004. Dalam artikel tersebut
ada tiga (3) masalah yang dikedepankan, yaitu:14 a) Pro dan kontra putusan
perundangan lainnya.
yang berkembang dalam masyarakat. Ternyata sikap pro dan kontra ini
14
Todung Mulya Lubis., Ibid.
21
4. Muhardi Hasan dan Estika Sari “Hak Sipil dan Politik” dalam Jurnal
semua orang dari suatu negara, baik domestik maupun internasional. Selain
itu, artikel ini juga akan menguraikan faktor-faktor penentu hak-hak sipil
Putusan Hakim Agung Amerika Serikat, Earl Warren dalam kasus Brown
“rekonsiliasi nasional” yang hendak diraih bangsa ini ke depan. Hal ini
merupakan implikasi yang lebih luas lagi adalah kepada seluruh rakyat
konstruk (konsep), definisi, dan preposisi yang berfungsi untuk melihat fenomena
teori berfungsi sebagai pisau bedah dalam suatu penelitian. Dalam penelitian ini,
landasan teoretis yang digunakan dalam melakukan kajian atau analisis terhadap
obyek penelitian dengan judul: ”Perlindungan Hukum Hak Dipilih dari Segala
dimaksud meliputi Teori Kedaulatan Hukum dan Teori Hak Asasi Manusia
(HAM). Demikian pula, dalam uraian berikut ini beberapa batasan, pengertian atau
15
Sugiyono, 2013, Cara Mudah Menyusun Skripsi, Tesis dan Disertasi, Bandung, Alfabeta,
Hlm. 55-56.
23
konsep dan istilah akan digunakan sepanjang relevan dengan penelitian ini,
peraturan hukum.16
bahwa negara berada di atas hukum karena negaralah yang membuat hukum.
Menurut Teori Kedaulatan Hukum, bukan hukum yang ditentukan oleh negara
tetapi sebaliknya negaralah yang ditentukan oleh hukum dan karena itu negara
adalah produk hukum, jadi negara harus tunduk pada hukum. Mengapa demikian?
Secara sederhana jawabannya karena hukum muncul dari kesadaran hukum setiap
16
Kaligis, O.C, 2006, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan
Terpidana, Bandung, Alumni, Hlm. 17.
24
orang. Tugas negara adalah menjelmakan kesadaran hukum itu dalam bentuk
ketentuan hukum positif berupa peraturan hukum yang dibuat oleh masyarakat
yang hidup di dunia ini, termasuk badan hukum maupun negara sebagai sebuah
entitas beserta para penyelenggara negara harus tunduk kepada hukum. Untuk
menjelmakan Kedaulatan Hukum atas negara, maka dalam suatu negara harus ada
Lebih daripada itu sebagai inti dari Teori Kedaulatan Hukum yang
setiap kekuasaan yang ada dalam negara harus tunduk terhadap hukum. Jadi
hukum merupakan kekuasaan tertinggi dalam negara. Oleh karena itu berpegang
pada Teori Kedaulatan Hukum, maka kekuasaan kehakiman pun harus tunduk
negara hukum juga harus tunduk pada hukum.19 Pada bagian lain, Krabbe juga
hukum, keadilan hukum, dan kegunaan hukum. Kesemuanya ini bersumber pada
17
Bander Johan Nasution, 2011, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung,
Mandar Maju, Hlm. 48.
18
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, 2012, Memahami Ilmu Negara & Teori Negara,
Bandung: Refika Aditama, Cet, II, Hlm. 114.
19
Bander Johan Nasution, Op.Cit, Hlm. 49.
25
kesadaran hukum masyarakat. Oleh karena itu, rakyat maupun negara tidak boleh
masyarakat. Karena setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama dalam
hukum.20
Teori atau ajaran tersebut, dikemukakan oleh Krabbe melalui beberapa buku
tersebut, dapat disimpulkan bahwa “kedudukan hukum berada di atas negara dan
oleh karena itu negara harus tunduk pada hukum”.22 Dengan kalimat lain, dalam
20
Hardjono, 2009, Legitimasi Perubahan Konstitusi: Kajian Terhadap Perubahan UUD
1945, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Hlm. 105.
21
I Made Pasek Diantha, 2000, “Batas Kebebasan Kekuasaan Kehakiman” (Disertasi),
Surabaya, Universitas Airlangga, Program Pascasarjana, Hlm. 214.
22
Ibid.
26
Teori Kedaulatan Hukum berkait erat dengan doktrin negara hukum sesuai
dengan prinsip The Rule of Law dalam tradisi Inggris ataupun berkaitan dengan
sebagai konsep kekuasaan oleh nilai atau norma (nomoi).23 Dengan kalimat lain,
Pada awalnya pemikiran negara hukum muncul sejak zaman Yunani Kuno
penyelenggaraan negara yang baik adalah didasarkan pada pengaturan yang baik
disebut istilah Nomoi. Gagasan Plato tentang negara hukum ini semakin tegas
ketika didukung oleh muridnya, yakni Aristoteles (384-322 SM) dengan karya
Politica. Menurut Aristoteles suatu negara yang baik adalah negara yang
23
Jimly Asshiddiqie, 2004, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta, Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum, Universitas
Indonesia, Hlm. 112.
24
Jimly Asshiddiqie, 2009, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta, PT Bhuana
Ilmu Populer, Hlm. 211.
25
Bander Johan Nasution, Op.Cit., Hlm. 50. Istilah Rechtsstaat pertama kali digunakan oleh
Rudolf von Gneist, Guru Besar Universitas Berlin dalam karangannya yang berjudul Das
Englische Verwaltungscrecht (1857). Dalam Karangannya itu digunakan istilah Rechtsstaat untuk
menunjukkan hukum yang berlaku di Inggris. Lihat dalam I Made Pasek Diantha, 2000, Op.Cit.,
Hlm. 66.
27
Rule of Law.26 Paham Rechtsstaats pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum
Eropa Kontinental. Ide tentang Rechtsstaats mulai populer pada Abad XVII
sebagai akibat dari situasi sosial politik Eropa didominasi oleh absolutisme raja.
Sedangkan paham The Rule of Law mulai dikenal setelah Albert Venn Dicey
pada tahun 1885.27 Paham The Rule of Law bertumpu pada sistem hukum Anglo
Menurut Friedrich Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebut dengan
26
Agussalim Andi Gadung, 2007, Pemerintahan Daerah: Kajian Politik dan Hukum,
Jakarta, Ghalia Indonesia, Hlm. 33.
27
Buku Introduction to the Study of the Law of the Constitution karya A.V. Dicey
diterjemahkan dalam edisi Indonesia A.V. Dicey, 2008, Pengantar Studi Hukum Konstitusi
(Penerjemah Nurhadi), Bandung, Cet. II, Nusamedia.
28
Firdaus Arifin Suharizal, 2007, Refleksi Reformasi Konstitusi, 1998-2002, Bandung, Citra
Aditya Bakti, Hlm. 59.
29
Jimly Asshiddiqie, 2009, Menuju Negara Hukum yang Demokrati, Jakarta, PT. Bhuana
Ilmu Populer, Hlm., 199., Bdk. Jimly Asshiddiqie, 2011, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar
Demokrasi, Jakarta, Sinar Grafika, Edisi Kedua, Hlm.130.
28
A.V. Dicey sebagaimana dikutif oleh Jimly Asshiddiqie menyebut tiga ciri
Kesamaan Dihadapan Hukum (Equality Before the Law); dan 3) Asas Legalitas
dikembangkan oleh F.J. Stahl tersebut, pada intinya dapat digabungkan dengan
ketiga prinsip Rule of Law yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai
yang dianggap ciri penting negara hukum menurut The International Commission
30
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya, PT.
Bina Ilmu, Hlm. 76.
31
Jimly Asshiddiqie, 2009, Ibid.
29
antara Rule of Law dalam arti formal, yaitu dalam arti organized public power dan
Rule of Law dalam arti material, yaitu the rule of just law. Perbedaan ini
keadilan tidak serta merta akan terwujud secara substantif, terutama karena
pengertian orang mengenai hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran
pengertian hukum formal dan dapat pula dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum
material. Jika hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti peraturan
dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin
keadilan substantif.33
Pada bagian lain, Brian Tamanaha (2004) sebagaimana dikutif oleh Marjane
Termoshuizen-Art membagi konsep Rule of Law dalam dua kategori, fomal and
substantive. Setiap kategori, yaitu Rule of Law dalam arti formal dan Rule of Law
32
Jimly Asshiddiqie, 1999, Op.Cit., Hlm. 198-99.
33
Jimly Asshiddiqie, 2009, Op.Cit., Hlm. 200.
30
negara hukum atau Rule of Law mempunyai enam bentuk. Adapun hal tersebut
2) bersifat umum dalam arti berlaku untuk semua orang, 3) jelas (clear), 4)
publik, dan 5) relatif stabil. Artinya, dalam bentuk yang formal legality itu
legality, rezim demokrasi juga dapat menghasilkan hukum yang buruk dan
tidak stabil Karena itu dalam suatu sistem demokrasi yang berdasar atas
34
Brian Tamanaha (2004) dalam Marjanne Termoshuizen-Art, “The Concept of Rule of
Law” dalam Jentera, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta, Edisi 3-Tahun II.,
November 2004, Hlm, 83-92.
31
hukum dalam arti formal atau Rule of Law dalam arti formal sekali pun
saja dianggap menjadi lebih buruk daripada rezim otoriter yang lebih
terpenting dari negara hukum. Adapun keempat unsur tersebut, yaitu:35 1) bahwa
asasi manusia (warga negara), 3) adanya pembagian kekuasaan dalam negara, dan
utama menyangga berdiri tegaknya Negara Republik Indonesia yang modern dan
demokratis sehingga dapat disebut sebagai negara hukum (The Rule of Law atau
pun Rechtsstaat). Adapun ketiga belas prinsip pokok negara hukum dimaksud
35
Sri Sumantri M, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung, Alumni,
Hlm, 29-30.
32
(Equality Before the Law); 3) Asas legalitas (Due Process of Law); 4) Pembatasan
tujuan bernegara (Welfare Rechtsstaat); 12) Transparan dan kontrol sosial, dan 13)
36
Jimly Asshiddiqie, 2011, Op.Cit., Hlm. 13.
37
Jimly Asshiddiqie, 2009, Ibid., Hlm. 212.
33
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam Pasal 1 ayat (3)
Negara Indonesia adalah negara hukum. Dalam salah satu uraian terkait dengan
negara hukum, Palguna menyatakan bahwa salah satu gagasan mendasar yang
Indonesia Tahun 1945 adalah gagasan untuk menegakkan paham negara hukum.
Paham negara hukum sebagaimana tertuang dalam rumusan Pasal 1 ayat (3)
dengan paham demokrasi, yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedemikian eratnya kaitan
terletak pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar
perlindungan hukum terhadap hak dipilih dari segala bentuk diskriminasi dalam
38
I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Upaya
Hukum terhadap Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Jakarta, Sinar Grafika, Hlm . 25-26.
34
nilai-nilai hak asasi manusia berlaku umum di semua negara) atau partikular
(artinya nilai-nilai hak asasi manasia pada suatu negara sangat kontekstual yaitu
memunyai kekhususan dan tidak berlaku untuk setiap negara karena ada
keterikatan dengan nilai-nilai kultural yang tumbuh dan berkembang pada suatu
negara) terus berlanjut. Berkaitan dengan nilai-nilai hak asasi manusia, paling
tidak menurut Peter Davies ada tiga teori yang dapat dijadikan kerangka, yaitu: 1)
39
Teori hak asasi manusia yang dikemukakan Peter Davies (1994) dijadikan landasan teori
dalam penelitian ini. Lihat dalam Abdul Rozak (Ed,), 2005, Demokrasi, Hakl Asasi Manusia &
Masyarakat Madani, Jakarta, Prenada Media, Cet. III, Hlm. 217-19 Bandingkan juga dalam
Scott Davidson, 1994, Hak Asasi Manusia: Sejarah, Teori, dan Praktek dalam Pergaulan
Internasional (Penerjemah: A. Handyana Pudjaatmaka), Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, Hlm.
32-53 menguraikan empat teori hukum hak asasi manusia, yaitu: Hukum Kodrati dan Hak
Kodrati, 2) Positivisme, 3) Realisme Hukum, dan 4) Marxisme. Sedang Rhona KM. Smith, dkk
(Ed.), Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta, Pusham UII, Hlm. 18-24 menguraikan teori hak
asasi manusia meliputi: 1) Teori Universalisme (Universalist Theory) Hak Asasi Manusia, 2)
Teori Relativisme Budaya (Cultural Relativism Theory), dan 3) Teori Memadukan Universalime
dan Pluralisme Lihat juga dalam Andrey Sujatmoko, 2015, Hukum HAM dan Hukum
Humaniter, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, Hlm. 7-10.
35
moral yang dimiliki setiap individu tidak dapat berlaku dan berfungsi.
budaya bersifat partikular (khusus). Hal ini berarti bahwa nilai-nilai moral
hak asasi manusia bersifat lokal dan spesifik, sehingga berlaku khusus pada
suatu negara. Dalam kaitan dengan penerapan hak asasi manusia menurut
teori ini ada tiga model penerapan hak asasi manusia, yaitu:
36
a) Penerapan hak asasi manusia yang lebih menekankan pada hak sipil, hak
b) Penerapan hak asasi manusia yang lebih menekankan pada hak ekonomi
ekonomi.
nilai-nilai hak asasi manusia adalah bersifat universal dan tidak bisa
paket pemahaman mengenai hak asasi manusia bahwa nilai-nilai hak asasi
manusia berlaku sama di semua tempat dan di sembarang waktu serta dapat
terhadap nilai-nilai hak asasi manusia berlaku sama dan universal bagi
Dalam kaitan dengan ketiga teori tentang nilai-nilai hak asas manusia
tersebut, ada dua arus pemikiran dan pandangan yang saling tarik menarik
a) Strong Relativist
Strong relativis beranggapan bahwa nilai hak asasi manusia dan nilai-
b) Weak Relativist
universal.
Terkait dengan ketiga teori tersebut di atas, Teori Universal Radikal (Radical
Indonesia. Teori ini berpandangan bahwa hanya satu hak asasi manusia dan
sekaligus bagi semua bangsa. Meski demikian, ada pandangan bahwa nilai-nilai
hak asasi manusia dan nilai-nilai lainnya secara prinsip ditentukan oleh budaya
dan lingkungan tertentu. Sedangkan universalitas nilai hak asasi manusia hanya
menjadi pengontrol dari nilai hak asasi manusia yang didasari oleh budaya lokal.
Pandangan ini mengakui nilai-nilai lokal (partikular) dan nilai-nilai hak asasi
bertransformasi menjadi hak konstitusional warga negara. Dalam kaitan ini, ada
dua teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan transferabilitas nilai dan norma
hak asasi manusia dari nilai-nilai dan norma-norma lintas negara bangsa menjadi
norma nasional atau negara. Pertama, teori ratifikasi dalam hukum internasional.
yang mengikat secara hukum (legally binding). Kedua, teori transplantasi hukum
transfer norma hak asasi manusia dari satu instrumen internasional hak asasi
secara informal Indonesia telah melakukan adaptasi atau transfer norma universal
hak asasi manusia, meskipun tidak secara eksplisit disebutkan. Ratifikasi yang
dilakukan atas berbagai instrumen internasional hak asasi manusia yang secara
hukum mengikat. Di antara sekian banyak instrumen hak asasi manusia yang telah
diratifikasi adalah kovenan induk hak asasi manusia, yaitu: ICCPR (International
Berdasarkan uraian Teori Hak Asasi Manusia tersebut, maka Teori Universal
Radikal (Radical Universal Theory) yang strong relativist digunakan untuk membahas
masalah kedua, yaitu apa akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-
data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.41 Adapun metode penelitian ini
40
Ismail Hasani (Ed.), 2013, Dinamika Perlindungan Hak Konstitusional Warga:
Mahkamah Konstitusi sebagai Mekanisme Nasional Baru Pemajuan dan Perlindungan Hak
Asasi Manusia, Jakarta, Pustaka Masyarakat Setara, Hlm. 49-51.
41
Sugiyono, Ibid., Hlm. 18.
40
berdasarkan logika ilmu hukum dari sisi normatif, terutama berkaitan dengan
hak dipilih dari mantan anggota partai politik atau organisasi massa (ormas)
42
Johnny Ibrahim, 2006, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang.
Bayumedia Publishing, Hlm. 57
41
(konvensi dan deklarasi) yang berkembang dalam ilmu hukum guna membangun
argumentasi hukum terkait dengan perlindungan hukum hak dipilih dari segala
017/PUU-I/2003.
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber
bahan hukum primer, sumber bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier:
Marxisme-Lenninisme.
Manusia.
Konstitusi.
Undang-Undang.
Peraturan Perundang-Undangan.
(ICESCR) 1966.
2. Bahan Hukum Sekunder meliputi buku hukum (text books), jurnal hukum,
karya tulis ilmiah (makalah), dan artikel di media massa yang semuanya
3. Bahan Hukum Tersier meliputi kamus hukum dan kamus lain (Black’s Law
terhadap sumber bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan
hukum tertier.
atau kutipan dengan menggunakan sistem kartu. Kartu yang digunakan terdiri atas
tiga macam kartu, yaitu: kartu ikhtisar, kartu kutipan dan kartu analisis.
dipilih dari segala bentuk diskriminasi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dan
Pengolahan dan penganalisan bahan hukum yang terkumpul, baik dari bahan
1. Teknik deskriptif, yaitu uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau
tidak tepat, benar atau tidak benar, sah atau tidak sah terhadap suatu
Konstitusi.
putusan dimaksud.
Sistematiasi penulisan dalam penelitian ini meliputi lima bab, yaitu: Bab I
sampai dengan Bab V. Bab I merupakan “Pendahuluan” berisi uraian tentang Latar
Teori Kedaulatan Hukum dan Teori Hak Asasi Manusia (HAM), dan Metode
Manusia (HAM)”, serta diuraikan tentang Definisi Hak Dipilih, Sejarah Hak
Dipilih, Perkembangan Hak Dipilih, dan Kaitan Hak Dipilih dengan Hak Asasi
Manusia.
Indonesia, Hak Dipilih dalam Perspektif Hak Asasi Manusia: Demokrasi sebagai
47
Dasar Hak Asasi Manusia untuk Hak Dipilih dan Bentuk-Bentuk Hak Asasi
dalam Bidang Politik untuk Hak Dipilih, dan Perspektif Negara Hukum dan Hak
Asasi Manusia.
Pada Bab V merupakan “Penutup” sekaligus berisi Simpulan dan Saran terkait