Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

SISTEM PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI


INDONESIA

TOMMY IRAWAN
Tommyirawan500@gmail.com
1710003600685

UNIVERSITAS EKA SAKTI


PADANG
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan sarana demokrasi

untukmewujudkan kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Karena

itu pilkada harus diselenggarakan secara lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat

yang seluas–luasnya, dan dilaksanakan dalam suasana kondisi yang diwarnai dengan

situasi dan kondisi yang tertib, tentram dan aman. “Adalah keniscayaan bahwa

pemilihan kepala daearah secara langsung oleh rakyat tidak serta-merta (taken for

granted) menjadikan kualitas demokrasi di daerah meningkat. Harapan untuk

meningkatkan kualitas demokrasi akan bisa mengaburkan pemahaman tentang

strategi demokratisasi dalam pilkada, jika tidak memiliki aspek-aspek penting

pilkada (Prihatmoko,2008:157).

Untuk penyelenggaraan pilkada tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU)

mendapat dana hibah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dari

masing-masing pemerintah daerah yang akan menyelenggarakan pilkada. Hal ini

sesuai dengan UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu dan UU

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Menurut Permendagri Nomor 44

Tahun 2015 yang diubah dengan Permendagri Nomor 51 Tahun 2015 Tentang

Pengelolaan Dana Kegiatan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan

Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota, pendanaan pilkada dibebankan

pada APBD, berupa dana hibah langsung kepada KPU sebagai lembaga

penyelenggara pemilu.
Fakta di berbagai negara demokrasi baru menunjukkan bahwa alokasi belanja

lembaga penyelenggara pemilu terutama yang menganut model lembaga di bawah

pemerintah/kementerian tidak bisa terlepas dari kepentingan politik (Zetra,2016:18).

Bahkan lembaga penyelenggara pemilu dengan model independen yang

pembiayaannya berasal dari APBN/APBD sering juga mengalami intervensi politik

dalam proses penganggarannya. Hal ini juga terjadi di Indonesia dalam pelaksanaan

pilkada yang pendanaannya berasal dari hibah APBD. Padahal Menteri Dalam

Negeri (Mendagri) periode 2009-2014 Gamawan Fauzi pernah mengusulkan agar

pilkada dibiayai dengan APBN. Tujuannya untuk menghindarkan politisasi APBD

oleh petahana demi kepentingan pilkada. APBD dijadikan alat tawar oleh kepala

daerah yang maju lagi di pilkada. Ide pilkada dibiayai APBN itu juga didasari

pertimbangan agar kepala daerah tidak menjadikan APBD sebagai alat untuk

menekan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Sehingga penyelenggaraan

pilkada tertunda bukan karena anggaran daerah tidak tersedia. Bahkan bukan hanya

kepala daerah saja yang melakukan politisasi APBD untuk pilkada. Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pun sering menggunakan APBD untuk alat tawar

menawar politik. Apalagi kalau ada kepentingan kepala daerah atau kekuatan-

kekuatan politik di DPRD yang ikut berkompetisi dalam pilkada.

Wacana anggaran pilkada dibiayai oleh APBN sampai pelaksanaan pilkada

serentak Tahun 2015 masih belum terwujud, sehingga KPU Provinsi dan KPU

Kabupaten/Kota harus terlibat dalam konflik kepentingan dalam penetapan

anggaran hibah pilkada dengan Pemerintah Daerah dan pihak terkait, yang

disebabkan oleh adanya faktor kepentingan pihak tertentu dalam penetapan anggaran

hibah pilkada sehingga sering terjadi tarik ulur antara Pemerintah Daerah dengan

KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.


Aturan-aturan teknis tentang pilkada 2015 yang terlambat ditetapkan juga menjadi

penyebab keterlambatan penetapan anggaran pilkada, yang dimulai dengan adanya

wacana pilkada tidak langsung yang ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR) melalui UU Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan

Walikota, yang mengubah tata cara pemilihan kepala daerah langsung menjadi tidak

langsung untuk alasan efisiensi anggaran dan mengurangi konflik. Namun, Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono pada akhir masa jabatannya justru mengeluarkan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2014

yang menolak ide sistem pilkada tidak langsung.

Ide tersebut dikukuhkan dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor

1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang

Nomor 1 Tahun 2014 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang baru

ditetapkan pada Bulan Maret 2015.

Proses tersebut menyebabkan tidak sinkronnya tahapan penyusunan APBD

dengan tahapan pilkada serentak sehingga yang terjadi di banyak daerah yang

melaksanakan pilkada tahun 2015 Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) belum

juga disahkan sementara tahapan pilkada sudah dimulai.


Hal ini dapat dilihat dari data KPU RI tentang penetapan NPHD KPU

Provinsi se-Indonesia dan KPU Kabupaten/Kota se-Sumatera Barat yang

melaksanakan pilkada serentak 2015 pada Tabel 1.1 dan Tabel 1.2 :

Tabel 1.1 Penetapan NPHD KPU Provinsi se-Indonesia Pada Pilkada 2015

No KPU Provinsi Tanggal Penetepan NPHD

1 Sulawesi Utara 20 April 2015


2 Bengkulu 29 April 2015
3 Kepulauan Riau 29 April 2015
4 Kalimantan Tengah 6 Mei 2015
5 Sulawesi Tengah 6 Mei 2015

6 Kalimantan Utara 8 Mei 2015


7 Sumatera Barat 13 Mei 2015
8 Jambi 14 Mei 2015

9 Kalimantan Selatan 15 Mei 2015

Sumber : www.kpu.go.id

Tabel 1.2 Penetapan NPHD KPU Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Barat


Pada Pilkada 2015

No KPU Kab/ Kota Tanggal Penetepan NPHD

1 Kab Sijunjung 13 Mei 2015


2 Kota Solok 15 Mei 2015
3 Kab Solok Selatan 18 Mei 2015
4 Kab Pasaman 18 Mei 2015
5 Kab Dharmasraya 19 Mei 2015

6 Kab Padang Pariaman 21 Mei 2015


7 Kab Tanah Datar 26 Mei 2015
8 Kab Lima puluh Kota 26 Mei 2015

9 Kab Pasaman Barat 26 Mei 2015


10 Kab Solok 27 Mei 2015
11 Kab Agam 28 Mei 2015

12 Kab Pesisir Selatan 29 Mei 2015


13 Kota Bukittinggi 1 Juni 2015

Sumber : www.kpu.go.id

Dari Tabel 1.1 dan Tabel 1.2 terlihat bahwa penetapan NPHD KPU Provinsi

Sumatera Barat berada pada urutan ke tujuh jika dibandingkan dengan sembilan

provinsi yang melaksanakan pilkada serentak pada Tahun 2015, sedangkan

penetapan NPHD KPU Kabupaten/Kota se-Sumatera Barat yang melaksanakan

pilkda serentak Tahun 2015 terjadi setelah penetapan NPHD KPU Provinsi Sumatera

Barat. Hal ini menjadi dasar pemilihan lokasi penelitian, dimana politik anggaran

dalam penetapan aggaran hibah pilkada yang terjadi di KPU Provinsi Sumatera Barat

dapat mewakili daerah lain yang memiliki persoalan yang sama dalam pilkada

serentak Tahun 2015.

Ada banyak aktor yang berperan dalam politik anggaran antara lain pejabat

yang dipilih, badan anggaran parlemen, partai politik, tim anggaran birokrasi dan

lembaga penyelenggara pemilu serta agensi-agensi lain yang terkait dengan kegiatan

pemilu seperti Lembaga Pengawas Pemilu, Kepolisian dan sebagainya. Perumusan

anggaran pemilu dalam konteks politik anggaran sering mengalami dilema di tengah

tarik menarik kepentingan anggaran dari berbagai sektor terutama sektor prioritas.

Seperti di negara-negara yang mengalami keterbatasan anggaran dan masih

menghadapi berbagai masalah sosial seperti kemiskinan, infrastruktur, pendidikan

dan kesehatan (Zetra,2016:18). Penelitian terdahulu yang berhubungan dengan

penelitian ini dilakukan oleh Gayatri (2015:111) tentang Konflik Kekuasaan Dalam

Anggaran Pilkada Provinsi Bali, dengan tujuan mengungkap konflik kekuasaan

dalam anggaran pilkada Provinsi Bali. Pengumpulan data dilakukan melalui


observasi partisipan dan dialog dengan partisipan. Analisis data dilakukan dengan

menggunakan teori konflik Dahrendorf untuk menilai keteraturan yang terdapat

dalam masyarakat disebabkan oleh adanya tekanan kekuasaan dari golongan yang

berkuasa (super- ordinate) kepada golongan yang tidak berkuasa (sub ordinate).

Dalam penelitian ini dikemukakan ada tiga konflik anggaran yang terjadi

pada pilkada yaitu pada tahap perencanaan, tahap pelaksanaan dan tahap

pertanggungjawaban anggaran. Dalam tahap perencanaan anggaran konflik

kekuasaan yang terjadi lebih kepada masalah internal yang terjadi dalam organisasi

KPU antara komisioner dan sekretariat serta konflik antara KPU Provinsi dan KPU

Kabupaten/ Kota karena adanya kesenjangan honorarium yang diterima, yang

kemudian melibatkan pihak ekternal dalam penetapan anggaran yang berakhir

dengan kekuasaan tim anggaran untuk memotong honor penyelenggara

(Gayatri,2015:121-122). Konflik pelaksanaan anggaran ditunjukan dengan kekuasaan

incumbent dan kekuasaan komisioner yang berlebihan. Konflik ini terjadi karena

adanya intervensi komisioner dalam hal pengadaan barang dan jasa berupa

kebutuhan logistik, buku panduan dan pengadaan untuk sosialisai hingga surat suara

yang merupakan tugas dan wewenang sekretariat KPU, hingga konflik internal yang

terjadi di tubuh KPU Provinsi mengakibatkan terganggunya proses penyelenggaraaan

pilkada yang pada akhirnya juga melibatkan pihak ekternal (Gayatri,2015:122-123).

Konflik anggaraan pada tahap pertanggungjawaban terjadi pada saat KPU

Provinsi Bali mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran hibah yang

diterimanya kepada Gubernur Provinsi Bali selaku pemberi hibah setelah seluruh

tahapan pilkada selesai dan sesuai aturan Permendagri 57 tahun 2009, tiga bulan

setelah seluruh tahapan penyelenggaraan pilkada berakhir maka Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK) harus melakukan pemeriksaan atas anggaran hibah pilkada. Konflik
pertanggungjawaban anggaran pilkada terjadi antara KPU Provinsi Bali dengan BPK

Provinsi Bali karena adanya perbedaan persepsi antara KPU Provinsi Bali dengan tim

pemeriksa BPK dalam melaksanakan anggaran yang berakhir dengan terbitnya

Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksaan Keuangan Provinsi Bali (super-

ordinate) Nomor 31/LHP/XIX.DPS/01/2014 tanggal 17 Januari 2014 dengan hasil

temuan KPU Provinsi Bali (sub-ordinate) harus mengembalikan kelebihan

perjalanan dinas ke kas daerah (Gayatri,2015:137).

Studi yang dilakukan oleh Ratih Nur Pratiwi (2010:6-7) tentang sebuah

fenomena atau persoalan tentang politisasi anggaran sektor publik, menemukan

bahwa proses perumusan kebijakan anggaran merupakan proses politik dan

melibatkan berbagai aktor yang memiliki kepentingan masing-masing yang saling

berbenturan sehingga muncul konflik kepentingan. Lemahnya kontrol masyarakat

dan masyarakat tidak diberi ruang untuk mengawal usulan program menyebabkan

kebijakan anggaran dipolitisasi oleh aktor-aktor yang terlibat dalam proses

penyusuan dan penetapan APBD sehingga masyarakat yang dirugikan.

Studi tentang Politics or Professionalism Budgeting for Bilingual Education

yang ditulis oleh Carla M. Flink dan Angel Luis Molina Jr. (2016:19)

mengemukakan bahwa keputusan anggaran bukan berdasarkan kebutuhan dan

permintaan saja, namun tekanan politik juga berpengaruh dalam hal alokasi sumber

daya keuangan untuk orang-orang dengan kekuasaan politik. Teori yang digunakan

dalam penelitian ini adalah teori alokasi anggaran berdasarkan pada interaksi antara

politik dan profesionalsisme. Profesionalisme disini dibagi atas dua bentuk dimensi

antara permintaan dan kebutuhan. Melalui analisis yang dilakukan oleh peneliti pada

penganggaran untuk pendidikan bilingual. Peneliti menemukan dukungan yang

terjadi tidak hanya pada interaksi antara politik melainkan tingkat profesionalisme
juga menentukan dalam keputusan anggaran. Ini ditandai dengan adanya dukungan

keuangan untuk program publik untuk masyarakat minoritas. Peneliti menemukan

bahwa politik dan profesionalme dalam kenyataannya bekerjasama untuk

mempengaruhi proses anggaran.

Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh (Gayatri,2015: Pratiwi,2010:

Flink&Molina,2016) sangat menarik namun belum ada yang menyentuh dan fokus

pada permasalahan yang terjadi dalam proses penetapan anggaran hibah pilkada

sehingga terjadi keterlambatan penetapan NPHD yang seharusnya sudah ditetapkan

sebelum tahapan pilkada dimulai. Fakta yang terjadi pada pilkada Provinsi Sumatera

Barat Pada Tahun 2015 NPHD baru ditetapkan pada Bulan Mei 2015 sedangkan

tahapan sudah dimulai dan harus dilaksanakan pada Bulan April 2015. Hal ini

seharusnya tidak terjadi karena KPU merupakan Electoral Management Body (EMB)

Indonesia yang bersifat independen, termasuk dalam penganggaran seharusnya tidak

dipengaruhi oleh kepentingan masing-masing aktor yang terlibat dalam penetapan

anggaran.

1.1 Rumusan Masalah

Proses penetapan Rencana Anggaran Biaya (RAB) pilkada tahun 2015 sudah

dimulai sejak bulan Maret tahun 2014 oleh KPU Provinsi Sumatera Barat dengan

beberapa kali perubahan. Pada tanggal 5 Desember 2014 RAB yang telah disusun

KPU disampaikan pada Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Pengajuan RAB Ini

sudah sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2014

Tentang Pedoman Penetapan APBD 2015 berisi antara lain tentang ketentuan

mengenai biaya pilkada yang masuk belanja wajib, yang besarannya masih perlu

pengaturan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dan kepala daerah.
Didukung juga dengan surat edaran KPU RI Nomor 1667/KPU/XI/2014 tertanggal 4

November 2014, yang meminta KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang masuk

pilkada serentak 2015 untuk berkoordinasi tentang alokasi anggaran sehingga masuk

APBD 2015. Namun RAB yang diajukan tersebut tidak langsung dibahas oleh Tim

Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) sehingga anggaran hibah pilkada yang

dianggarankan dalam APBD 2015 tidak sesuai dengan kebutuhan yang diajukan oleh

KPU Provinsi Sumatera Barat. Hal ini menyebabkan terjadinya keterlambatan

penetapan NPHD sampai dimulainya

pelaksanaan pilkada yang diawali dengan pembentukan badan penyelenggara ad

hoc (PPK dan PPS).

Setelah KPU Provinsi Sumatera Barat mengajukan kembali RAB pilkada

pada awal tahun 2015 terjadi tarik ulur antara KPU dan TAPD dalam beberapa kali

pembahasan RAB, dimana TAPD meminta KPU melakukan efisiensi dalam

melakukan penyusunan RAB dengan alasan penambahan anggaran hibah pilkada

2015 berasal dari anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang dilakukan

pemangkasan pada tahun berjalan. Padahal menurut KPU sendiri sudah menyusun

RAB pilkada dengan efisiensi dan sesuai aturan yang ada. Terjadinya peningkatan

anggaran biaya pilkada dari periode sebelumnya disebabkan oleh KPU harus

menanggung biaya kampanye calon kepala daerah. Hal tersebut di atas berbeda

dengan pernyataan Gubernur Irwan Prayitno sebagai kepala daerah yang menjamin

tersedianya anggaran hibah pilkada 2015.

Berdasarkan paparan diatas tentang dinamika tentang penetapan dan

pencairan dana hibah pilkada dibeberapa daerah maka peneliti berasumsi bahwa

permasalahan yang terjadi dalam penetapan anggaran pilkada 2015 dibeberapa

daerah selain permasalahan terkait aturan-aturan teknis penetapan anggaran hibah


pilkada juga dipengaruhi oleh politik anggaran yang dimainkan oleh Pemerintah

Daerah. Penelitian ini bermaksud membuktikan asumsi ini. Dengan demikian fokus

penelitian ini adalah politik anggaran dalam penetapan anggaran hibah pilkada 2015.

Pertanyaan penelitian yang dirumuskan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana politik anggaran dalam penetapan anggaran hibah pilkada KPU

Provinsi Sumatera Barat Tahun 2015?

2. Bagaimana negosiasi anggaran dalam penetapan anggaran hibah pilkada

Tahun 2015?

1.2 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengeksplorasi politik anggaran dalam proses penetapan anggaran hibah

penyelenggaraan pilkada yang dibiayai oleh APBD.

2. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis proses negosiasi dalam proses

penetapan anggaran pilkada Tahun 2015.

1.3 Manfaat Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan pengembangan ilmu yang

baru tentang bagaimana aspek politik mempengaruhi proses penetapan anggaran

hibah pilkada dan siapa saja aktor yang terlibat serta bagaimana mereka

mempengaruhi proses penetapan anggaran tersebut. Selama ini penelitan tentang

politik anggaran hanya membahas dari segi tarik ulur kepentingan antara pihak

eksekutif dengan legislatif dalam penetapan APBD, sedangkan penelitian ini

lebih fokus membahas tarik ulur kepentingan pihak eksekutif dengan KPU

Provinsi sebagai penyelenggara pilkada dalam penetapan anggaran hibah

pilkada.
2. Mamfaat Praktis

Sebagai masukan bagi pemerintah untuk memilih mekanisme mana yang baik

digunakan dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pilkada apakah

menggunakan APBN atau masih seperti pemilihan sebelumnya tetap

menggunakan APBD.

BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian dan Fungsi Pemilihan Kepala daerah


Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau biasa disebut dengan

Pilkada atau Pemilukada adalah Pemilihan Umum untuk memilih pasangan calon

Kepala Daerah yang diusulkan oleh Partai Politik (Parpol) atau gabungan parpol dan

perseorangan.

Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) merupakan sebuah pemilihan yang dilakukan

secara langsung oleh para penduduk daerah administratif setempat yang telah

memenuhi persyaratan.

Di Indonesia, saat ini pemilihan kepala daerah dapat dilakukan secara langsung oleh

penduduk daerah administratif setempat yang sudah memenuhi syarat.

Pemilihan kepala daerah juga dapat dilakukan satu paket bersama dengan wakil kepala

daerah. Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dimaksud mencakup sebagai

berikut :

- Gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi.

- Bupati dan wakil bupati untuk kabupaten.


- Wali kota dan wakil wali kota untuk kota.

Pengertian Pilkada Menurut Para Ahli

*Suryo Untoro

Pilkada adalah suatu pemilihan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia. Terutama rakyat

yang telah memiliki hak pilihnya. Hak ini digunakan untuk memilih wakil-wakilnya di

MPR, DPR, dan DPRD.

*Harris G. Waren dkk

Pilkada adalah kesempatan rakyat memilih pempimpin mereka. Serta memutuskan,

apa yang ingin pemerintah lakukan untuk mereka. Keputusan rakyat ini juga

menentukan hak yang mereka miliki dan ingin mereka jaga.

Ramlan

Pilkada adalah sebuah mekanisme penyeleksian serta pendelegasian. Atau penyerahan

kedaulatan kepada orang atau partai yang dipercayai.

*Ali Moertopo

Pilkada adalah uatu Lembaga Demokrasi yang dipakai untuk memilih anggota-

anggota perwakilan rakyat. Seperti memilih anggota MPR, DPR, maupun DPRD yang

akan bertugas bersama-sama dengan pemerintah serta menetapkan politik dan jalannya

pemerintahan negara.

Sedangkan fungsi pilkada sebagai berikut

Selain memiliki tujuan strategis, pilkada serentak juga memiliki beberapa fungsi yang

membuatnya tetap dilaksanakan dalam rentang waktu ke depan. Fungsi-fungsi yang

terlampir di bawah ini menjadikan pilkada serentak sebagai alternatif terbaik dalam

hal pemilihan kepala daerah. berikut ini penjelasan dari beberapa fungsi dari adanya

pilkada serentak di Indonesia:


1. Penghematan Anggaran Penyelenggaraan Pemilu

Fungsi pertama dari pemilihan kepala daerah yaitu penghematan anggaran. Seperti

yang telah disampaikan sebelumnya, anggaran dan waktu untuk mengadakan

pemilihan kepala daerah dapat menjadi lebih efektif dan efisien. Fungsi ini lah yang

paling utama dari pilkada serentak, maka dari itu, pilkada serentak tetap diadakan

seterusnya.

2. Penguatan Demokrasi dalam Sistem Bernegara

Keberadaan dari pemilihan kepala daerah serentak juga memiliki fungsi yaitu

penguatan demokrasi di tengah sistem bernegara kita, yaitu sistem pemerintahan

presidensial. Sebelum diadakan pilkada serentak, presiden sangat terikat dengan

kemauan dari koalisi partai-partai yang mengusungnya. Hal ini tentu

mencederai prinsip-prinsip demokrasi Pancasila yang telah diperjuangkan sejak dulu.

Setelah adanya pilkada serentak, presiden menjadi lebih memiliki daya untuk

melakukan pengambilan keputusan yang berdasarkan nilai-nilai dasar Pancasila.

3. Pengendalian Konflik Sosial

Fungsi terakhir dari adanya pemilihan kepala daerah yang selanjutnya yaitu

pengendalian konflik sosial. Seperti yang kita ketahui bersama, jika perbedaan

pendapat tentang panutan politik dapat menyebabkan terjadinya konflik sosial yang

tentunya harus dihindari.

Dengan adanya pilkada serentak yang dapat mengurangi waktu penyelenggaraan

pilkada, maka konflik horizontal di tengah masyarakat dapat dikurangi sehingga

ketertiban dan keamanan dapat senantiasa terjaga sekalipun tengah berada dalam

kondisi pesta demokrasi yang cukup besar.

Uraian yang telah disampaikan di atas merupakan penjelasan secara lengkap mengenai

Tujuan dan Fungsi Pilkada Serentak di Indonesia  yang dapat penulis sampaikan
kepada pembaca dalam kesempatan yang indah kali ini. Semoga dengan membaca

artikel ini pembaca dapat memahami secara lebih baik apa saja yang menjadi tujuan

dan fungsi dari pilkada serentak itu sendiri. Perlu kita pahami bersama bahwa adanya

pilkada serentak dan fungsi serta tujuannya dalam masyarakat merupakan hal yang

tidak akan pernah lepas dari usaha pencapaian tujuan pembangunan

nasional Indonesia. sampai jumpa pada kesempatan yang lain dan semoga kesuksesan

senantiasa mengiringi langkah pembaca dalam menjalani hidup

B.Sistem RUU Pilkada

DPR tengah mengusulkan revisi UU Pemilu untuk segera dibahas dalam Prolegnas

2021. Revisi UU ini diyakini akan membenahi keserentakan Pilkada dan Pemilu.

Pilkada dan Pemilu nasional akan diselenggarakan terpisah.

Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, pihaknya setuju

pemisahan rezim Pemilu. Perludem memang merekomendasikan. Pertimbangannya

dipercaya sistem ini akan memperkuat sistem presidensial dan menyederhanakan

beban penyelenggaraan Pemilu.

"Perludem memang merekomendasikan hal itu. Pemilu nasional dan pemilu daerah.

Beberapa pertimbangannya, antara lain memperkuat sistem presidensial dan

menyederhanakan beban penyelenggaraan pemilu," ujar Khoirunnisa kepada

wartawan, Kamis (17/12).

Perludem memandang, pembenahan keserentakan perlu dilakukan bukan hanya untuk

Pemilu nasional. Tetapi juga Pemilu di tingkat daerah. Pemisahan dua rezim Pemilu

itu diperlukan.

"Hal ini tidak hanya didorong di tingkat nasional, tapi juga di tingkat daerah. Sehingga

perlu dipisahkan antara pemilu nasional dan pemilu daerah," kata Khoirunnisa.
Sehingga, perlu ada penyesuaian jadwal Pemilu di tingkat daerah. Apakah itu

pemilihan kepala daerah atau pemilu legislatif tingkat daerah.

"Memang perlu ada penyesuaian jadwal pemilu daerahnya. Baik itu jadwal pilkada

dan jadwal pemilu DPRD-nya,” katanya.

Khoirunnisa memandang, untuk Pilkada setelah tahun 2020 perlu dinormalkan lebih

dahulu. Perludem setuju apabila Pilkada diserentakan di antara Pemilu 2024 dan 2029.

Menurut Khoirunnisa, sebaiknya Pilkada seluruhnya diserentakan dimulai di 2026

atau 2027.

"Kami setuju pilkada dinormalkan dulu. Kalau saya tidak salah, didraft RUU Pemilu,

Pilkada serentak baru akan dilakukan setelah 2029. Menurut kami tidak perlu sampai

2029. Sudah bisa dilakukan di 2026 atau 2027

C.Pro dan Kontra RUU Pilkada

terkait beberapa poin yang terkandung dalam substansi draf RUU Pemilu. Salah satu

yang dipersoalkan adalah aturan baru terkait pelaksanaan pilkada serentak yang

dinormalisasi dan diadakan pada 2022 atau 2023.

Aturan tersebut tidak ada dalam UU Pemilu dan Pilkada sebelumnya. Dalam Undang-

undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, pilkada 2022 dan 2023 akan dilakukan

serentak pada 2024.

Beberapa fraksi menegaskan penolakannya terhadap usulan gelaran pilkada digelar

pada 2022 dan 2023. PDIP dan PPP menyatakan menolak pilkada digelar pada 2022

dan 2023 sesuai draf RUU Pemilu. Mereka sepakat pilkada tetap digelar serentak pada

2024.

"Saya pikir di draf RUU Pemilu belum tentu dibahas dan kami Fraksi PPP

berpendapat bahwa RUU [Pemilu] belum relevan untuk diubah," kata politikus PPP

Nurhayati Monoarfa kepada CNNIndonesia.com, Selasa (26/1).


Begitu pula Ketua DPP PDI Perjuangan, Djarot Syaiful Hidayat yang menyatakan

pilkada tak perlu digelar pada 2022 atau 2023. Menurutnya, pilkada serentak tetap

harus dilaksanakan pada 2024 bersamaan dengan gelaran pemilihan legislatif dan

presiden.

"Sebaiknya pilkada serentak tetap diadakan pada 2024. Hal ini sesuai dengan desain

konsolidasi pemerintahan pusat dan daerah," ujar Djarot.

Meski demikian, banyak fraksi di parlemen yang mendukung usulan agar pilkada tetap

digelar di tahun 2022 dan 2023 berdasarkan draf RUU Pemilu. Fraksi yang

mendukung di antaranya Nasdem, Golkar hingga Demokrat.

Bahkan, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria berharap gelaran pemilihan

pilkada dilaksanakan pada 2022.

"Tetapi kalau kita lihat periodisasinya, itu harusnya di tahun 2020 kemarin dan 2019

sudah ada pilkada, idealnya nanti gelombang kedua di tahun 2022," kata Riza.

Tak hanya soal jadwal pilkada, salah satu poin dalam draf RUU Pemilu yakni

pelarangan eks anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) untuk mencalonkan diri

menjadi peserta pemilihan pemilu nasional dan daerah juga menjadi polemik.

Beberapa pihak mendukung dan sebaliknya justru menolak keras.

Anggota Komisi II DPR RI dari PDIP, Junimart Girsang mengaku tidak setuju dengan

usulan tersebut. Menurutnya, setiap orang berhak maju menjadi peserta pemilu

sepanjang pengadilan tidak mencabut hak politiknya.

"Sepanjang pengadilan tidak memutuskan siapapun setiap orang yang tidak dicabut

hak politiknya di pengadilan maka dia berhak untuk maju," kata Junimart.

Pendapat yang berlawanan turut disampaikan oleh Anggota Komisi II DPR RI Fraksi

PKB, Luqman Hakim. Luqman menilai HTI patut disetarakan dengan eks anggota

Partai Komunis Indonesia (PKI) yang selama ini sudah dilarang dalam UU Pemilu.
"Tujuan politik HTI sama persis dengan komunisme, yakni menciptakan kekuasaan

politik internasional yang akan merobohkan bangunan negara-bangsa," kata Luqman,

Rabu (27/1).

Selain itu, poin lain yang menuai polemik terkait draf RUU Pemilu yakni soal ambang

batas presiden. RUU Pemilu tetap mencantumkan ambang batas presiden

atau presidential threshold sebesar 20 persen. Angka ini tak berubah dari ketentuan

UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Angka itu lantas ditolak dan didukung oleh beberapa pihak. Kepala Badan

Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra menjadi salah satu

pihak yang menolak usulan tersebut. Putra mengusulkan ambang batas pencalonan

presiden turun menjadi 0 persen.

Ia menerangkan, penurunan presidential threshold menjadi 0 persen akan membuat

masyarakat memiliki lebih banyak pilihan calon pemimpin.

"Demokrat [mengusulkan] presidential threshold 0 persen," kata Herzaky dalam

keterangan yang diterima CNNIndonesia.com, Selasa (26/1).

Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengaku tak mempersoalkan

bila ambang batas pemilu menjadi 20 persen atau berapapun. Dasco mengatakan

Gerindra menerima dan ikut ambang batas presiden yang diputuskan.

"Kalau presidential threshold juga kita sedang komunikasikan. Prinsipnya mau 20

persen, 25 persen kami (Gerindra) ikut saja," ujar Dasco.


BAB II
PENUTUP

A.Kesimpulan Sistem Pemilihan Kepala Daerah

Kesimpulan

Dalam meningkatkan partisipasi pemilih dalam pemilihan Kepala Daerah Serentak

tidak saja ditentukan oleh sosialisasi kandidat, akan tetapi juga ditentukan oleh proses

sosialisasi oleh KPUD sebagai penyelenggara pemilu. Proses sosialisasi oleh KPUD

dalam pilkada serentak ini mencakup perihal tahapan pilkada, tahapan seleksi

kandidat, tahapan mengenalkan kandidat, tahapan pemilihan dan perhitungan.

Diselenggarakannya Pilkada Serentak pertama kali pada taun 2015, menjadikan

pilkada gubernur dan wakil gubernur Sumatera Barat menjadi KPUD Sumatera Barat

beserta KPUD Kota/Kabupaten se Sumatera Barat sebagai penyelenggara pilkada

serentak tahap I.

Telah terselenggaranya pilkada serentak Gubernur dan wakil gubernur Sumatera Barat

ini menyisakan rendahnya tingkat partisipasi pemilih terutama di Kota

Padang.Berdasarkan PKPU No 5 dan PKPU No 7, dalam membantu KPUD Provinsi,

KPUD Kota Padang sebagai penyelenggara di Kota Padang berkewajiban melakukan

sosialisasi kepada pemilih di Kota Padang. KPUD Kota Padang yang merupakan

perpanjang tanganan KPUD Provinsi, telah melakukan proses sosialisasi di Kota

Padang berdasarkan strategi sosialisasi yang disusun dan dirancang oleh KPUD

Provinsi Sumatera Barat.


Adapun proses sosialisasi tersebut mencakup 104 kegiatan di seluruh Keluruhan di

Kota Padan sekaligus 2 kali pertemuan akbar yang dilakukan di Kota Padang.

Meskipun telah dilaksanakan kewajiban sosialisasi oleh KPUD Kota Padang, tingkat

partisipasi di Kota Padang pada pilkada serentak Gubernur dan Wakil Gubernur

Sumatera Barat tersebut merupakan tingkat partisipasi terendah sejak

diselengrakannya pemilihan umum di Kota Padang yakni hanya 52,55 %. Rendahnya

tingkat partisipasi di Kota Padang ini dikarenakan kurang optimalnya KPUD Kota

Padang dalam mensosialisasikan Pilkada Serentak kepada Pemilihnya. Hal ini

dikarenakan adanya pengakuan langsung Ketua Komisioner KPUD Kota Padang

tentang masih adanya pemilih yang tidak terdaftar di TPS yang dikarenakan

perpindadahan penduduk dalam Kota Padang, serta dengan adanya perpindahan

penduduk seperti pelajar ataupun karyawan yang berKTP Kota Padang ke luar Kota

Padang (merantau).

Meskipun demikian, sebagai perpanjangtanganan KPUD Provinsi dalam

penyelenggaraan pilkada Serentak di Kota Padang, KPUD Kota Padang telah

melakukan proses sosialisasi yang diamanatkan oleh PKPU dan UU Pemilu.

Rendahnya tingkat partisipasi di Kota Padang ini dapat dikarenakan oleh tidak adanya

kandidat yang merupakan preferensi pemilih di Kota Padang.Tentunya persoaln ini

harus dicermati kembali oleh KPUD Kota Padang ataupun KPUD Provinsi serta Partai

Politik pengusung kandidat kepala daerah.


B.Saran Penelitian

Peran KPUD Kota dalam Pilkada Serantak Gubernur dan Wakil Gubernur 2015

merupakan dalam rangka mendukung kegiatan KPUD Provinsi sebagai penyelenggara

utama. Meskipun demikian, KPUD Kota Padang diberikan wewenang dan tugas

dalam
melakukan sosialisasi di daerah pemilihan Kota Padang, 104 kelurahan sebagai

prioritas. Turunnya tingkat partisipasi yang tidak disebabkan oleh adanya PKPU,

menurut KPUD Kota Padang yang disebabkan oleh adanya kendala-kendala teknis

berupa tidak terdaftarnya pemilih sebagai DPT, perpindahan penduduk tanpa laporan

menjadi penentu rendahnya tingkat partispasi pemilih. Oleh karenanya, melalui

penelitian ini dapat menjadi masukan dan saran bagi KPUD Kota Padang berupa :

Peningkatan kinerja dalam perihal pendataan pemilih tetap di Kota Padang, sekaligus

mensosialisasikan pentingnya bagi masyarakat Kota Padang untuk terdaftar sebagai

pemilih tetap dalam pemilihan- pemilihan umum.

Kerjasama dengan RT/RW terkait dengan pelaporan perpindahan penduduk baru,

pendatang maupun keluar dari Kota Padang. Hal ini juga perlu di sosialisasikan bagi

pelajar atau mahasiswa Kota Padang yang sedang menempuh pendidikan di luar Kota

Padang.

Adanya pendidikan politik yang berkesinambungan oleh KPUD Kota Padang dalam

meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilihan- pemilihan umum.

Saran tersebut, penting dalam mencegah rendahnya tingkat partisipasi atau terdatanya

secara menyeluruh pemilih di Kota Padang.Selain saran kepada KPUD Kota Padang

tersebut, peneliti melihat pentingnya pendidikan politik dan sosialisasi politik oleh

Partai Politik sebagai peserta pemilu kepada masyarakat.Hal ini tidak dapat dilakukan

ketika menjelang berlangsungnya pemilihan-pemilihan umum, namun


berkesinambungan.Sekaligus memunculkan kandidat-kandidat yang berkualitas agar

sampainya preferensi politik pemilih.

Dari saran-saran ini, tentunya bagi penelitian berikutnya dapat menjadi data awal

dalam meneliti lebih dalam tentang keterkaitan kandidat yang dimunculkan partai

politik dengan preferensi politik pemilih, karena keengganan pemilih datang ke TPS

karena menganggap bahwa kandidat yang maju tidak mewakili aspirasi

mereka.Tentunya menjadi salah satu faktor rendahnya tingkat partisipasi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Afan Gaffar. 2006. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Alfian. 1986. Masalah dan Prospek Pembangunan Politik Indonesia. Jakarta:
Gramedia.
Alfian. 1985. Politik, Kebudayaan, dan Manusia Indonesia. Jakarta: LP3ES. Alfian dan
Nazaruddin Sjamsuddin. 1991. Profil Budaya Politik Indonesia.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
A. Rahman H.I. 2007. Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Arifin Rahman. 2002. Sistem Politik Indonesia. Surabaya: Penerbit SIC. Basrowi dan
Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka
Cipta.
Bondan Gunawan S. 2000. Apa Itu Demokrasi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Budi
Winarno. 2008. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Yogyakarta: Media
Pressindo.

Burhan Bungin. (2008). Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke


Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Catherine Dawson. 2010. Metode Penelitian Praktis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Cholisin dan Nasiwan. 2012. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Yogyakarta: Penerbit
Ombak.
Deddy Supriady Bratakusuma dan Dadang Solihin. 2002. Otonomi Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama.
Donni Edwin, dkk. 2005. Pilkada Langsung : Demokratisasi Daerah dan Mitos Good
Governance. Jakarta : Partnership.
Eman Hermawan. 2001. Politik Membela Yang Benar: Teori, Kritik dan Nalar.
Yogyakarta: LKIS.

Firmanzah. 2008. Marketing Politik Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta:


Yayasan Obor Indonesia.

Gabriel A. Almond dan Sidney Verba. 1984. Budaya Politik, Tingkah Laku Politik dan
Demokrasi di Lima Negara. Jakarta: Bina Aksara.

Hadari Nawawi. 2002. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.

Joko J. Prihatmoko. (2008). Mendemokratiskan Pemilu: Dari Sistem Sampai Elemen


Teknis. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

Joko J. Prihatmoko. 2005. Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Filosofi, Sistem dan
Problem Penerapan Di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Julia Brannen. 2005. Memadu Metode Penelitian: Kualitatif & Kuantitatif.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kacung Marijan. (2010). Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca- Orde
Baru. Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Media Group.

Kras, S. J. Januari 1995. "Attitudes and Prediction of Behavior," Personality and Social
Psychology. Bulletin.

Leo Agustino. 2009. Pilkada Dan Dinamika Politik Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Lexy J. Moleong. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja


Rosdakarya.

Lili Romli. (2007). Potret Otonmi Daerah dan Wakil Rakyat Di Tingkat Lokal.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mar’at. 1984. Sikap Manusia: Perubahan serta Pengukurannya. Jakarta: Ghalia


Indonesia.

Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Muhammad Asfar. 2006. Pemilu dan Perilaku Memilih 1955-2004. Surabaya: Pustaka
Eureka.

Ramlan Surbakti. 2010. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana


Indonesia
Riswanda Imawan dan Affan Gaffar. 1993. Analisis Pemilihan Umum 1992 di
Indonesia. Laporan Penelitian Fakultas ISIPOL, Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada Press.

Ronaldh H. Chilcote. 2007. Teori Perbandingan Politik. Jakarta: PT.


RajaGrafindo Persada.

Rusadi Kantaprawira. 2006. Sistem Politik Indonesia, Suatu Model Pengantar.

Bandung: Sinar Baru Algensindo.

S.H. Sarundajang. 2005. Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah. Jakarta:


Kata Hasta.

Sanapiah Faisal. 2008. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: PT.


RajaGrafindo Persada.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suharsimi Arikunto. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.

Jakarta: PT. Rineka Cipta.

W. Gulo. 2002. Metodologi Penelitian Edisi Revisi. Jakarta: PT. Gramedia


Widiasarana Indonesia.

Jurnal Ilmiah, Skripsi, dan Makalah

Lili Romli. Kecenderungan Pilihan Masyarakat Dalam Pilkada. Jurnal


POELITIK. Volume 1. Nomer 1. 2008.

Septi Meliana. 2011. Budaya Politik dan Partisipasi Politik (Suatu studi:
Budaya Politik dan Partisipasi Politik Masyarakat Di Dalam Pemilu
Legislatif 2009 Di Desa Aek Tuhul Kecamatan Batunadua Padang
Sidimpuan). Skripsi. USU.

Eko Puspita Sari. 2011. Pengaruh Pelembagaan Partai Golkar Yogyakarta


Terhadap Pola Perilaku Memilih Dalam Pemilu Legislatif 2009.
Skripsi. UNY.

Internet

https:// www.kpu.go.id, diakses tanggal 12 Januari 2013.

.
http://id.wikipedia.org/wiki/, Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia, diakses 2
Februari 2013.

http://id.wikipedia.org/wiki/, Pemilihan kepala daerah di Indonesia#terbit undang-


undang baru mengenai penyelenggaran pemilihan umum yaitu
Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2011, diakses 2 Februari 2013.

http://id.wikipedia.org/wiki/, Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia#Undang-


Undang Nomor 32 Tahun 2004, diakses 2 Februari 2013.

http://http://kpu-patikab.go.id/, diakses 10 Januari 2013.

Undang-undang

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang


Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan

Umum. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua

atas UU No. 32
Tahun 2004 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan,
pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala
daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005 tentang Perubahan atas


Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005.

Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas


Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005.

Anda mungkin juga menyukai