Oleh : SUPRIADI
lOKA PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU.
I. PENDAHULUAN
Setiap bahan organik, bahan-bahan hayati yang telah mati, akan mengalami proses
dekomposisi atau pelapukan. Daun-daun yang gugur ke tanah,batang atau ranting yang
patah,bangkai hewan, kotoran hewan, sisa makanan, dan lain sebaginya, semua akan
Wujud semula tidak dikenal lagi. Melalui proses dekomposisi terjadi proses daur ulang unsur
hara secara alami. Hara yang terkandung dalam bahan atau benda-benda organik yang telah
mati, dengan bantuan mikroba ( jasad renik), seperti bakteri dan jamur, akan terurai menjadi
hara yang lebih sederhana dengan bantuan manusia maka produk akhirnya adalah kompos (
compost).
agensia (perantara) yang merombak bahan organik menjadi bahan yang mirip dengan humus.
Hasil perombakan tersebut disebut kompos. Kompos biasanya dimanfaatkan sebagai pupuk
menyimpan air lebih lama dan mencegah terjadinya kekeringan pada tanah.
Disampaikan pada acara siaran radio RRI Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau pada tanggal 4 Mei
2014.
Menahan erosi tanah sehingga mengurangi pencucian hara.
Menciptakan kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan jasad penghuni tanah seperti
cacing dan mikroba tanah yang sangat berguna bagi kesuburan tanah.
penurunan tingkat kesuburan lahan akibat pupuk kimiawi, dan inefisiensi serta
masyarakat dan petani dalam meanfaatkan kompos sebagai pupuk dan pembenahan
Pengomposan merupakan proses yang dinamis yang dapat berlangsung cepat atau
lambat tergantung kepada bahan atau material yang diproses. Batang ranting memerlukan
waktu lebih lama dari pada daun untuk hancur menyeluruh, tetapi sisa-sisa makan akan jauh
Beberapa factor penting yang berpengaruh dalam pembuatan kompos adalah (1). C/N
ratio bahan yang dikompos, (2) ukuran bahan, (3) aerasi, (4) kelembaban, dan (5) suhu.
(1). C/N ratio dalam bahan : Setiap bahan organik mengandung unsur C (karbon)
dan N (nitrogen) dengan perbandingan (komposisi) yang berbeda-beda antara bahan yang
satu dengan bahan yuang lain. Perbandingan unsuh C dan N dalam suatu bahan dinyatakan
dengan C/N Ratio. Suatu bahan yang mengandung unsur C tinggi maka nilai C/N ratio-nya
akan tinggi, sebaliknya bahan yang mengandung unsur N yang tinggi nilai C/N ratio-nya
akan rendah. Nilai C/N ratio akan berpengaruh terhadap proses pengomposan. Semakin
tinggi C/N ratio suatu bahan maka semakin lambat untuk di ubah menjadi kompos.
Sebaliknya dengan C/N ratio yang rendah akan mempercepat proses pengomposan, tetapi
apabila nalai C/N ratio terlalu rendah maka pengomposan akan menghasilkan produk
Idealnya bahan-bahan yang akan dikomposkan bernilai C/N ratio 30:1. Pada nilai
tersebut diperlukan waktu lebih kurang 1 bulan untuk mengubah bahan menjadi kompos.
Namun demikian, dialam tidaklah begitu mudah memperoleh bahan yang memiliki C/N ratio
30:1. Untuk memperoileh bahan-bahan dengan C/N ratio mendekati angka tersebut,
dengan bahan-bahan yang mengandung N tinggi sehingga diperoleh campuran bahan yang
nilai C/N rationya mendekati 30:1. Dengan demikian diharapkan proses pengomposan dapat
ditambahkan kotoran hewan atau pupuk urea kedalam campuran. Tabel dibawah menyajikan
Bahan C / N Ratio
Sisa makan 15 : 1
Jerami. 80 : 1
Dedaunan. 50 : 1
Sisa-sisa buah-buahan. 35 : 1
Bonggol jagung. 60 : 1
(2). Ukuran bahan yang dikompos: Faktor kedua yang berpengaruh terhadap cepat
lambatnya pengemposan adalah ukuran bahan yang dikompos. Semakin kecil ukuran bahan
organik yang dikompos maka proses pengomposanpun akan berlangsung lebih cepat, sebab
semakin kecil ukuran bahan maka semakin luas pula permukaan yang dapat dirombak oleh
mikroba pengurai. Oleh sebab itu untuk menyiasati agar proses pengomposan berlangsung
(3). Aerasi: Faktor berikutnya yang dapat mempersepat proses pengomposan adalah
aerasi. Proses pengomposan dapat berlangsung dalam suasana aerob dan anaerob. Dalam
aktivitasnya merombak bahan organik pada suasana aerob, mikroba aerob memerlukan
oksigen, sedangkan mikroba anaerob tidak memerlukan oksigen. Proses pengomposan yang
berlangsung tanpa oksegen (anaerob), biasanya akan menimbulkan bau busuk yang
disebabkan terlepasnya gas-gas seperti amoniak. Selain itu waktunyapun lebih lama.
Untuk memberikan cukup aerasi dalam proses pengomposan dapat dilakukan dengan
telah diberi lubang aerasi untuk memudahkan sirkulasi udara. Cara lainnya adalah dengan
membalikkan tumpukan secara berkala, setiap seminggu sekali sampai kompos terbentuk.
(4) Kelembaban: Keadaan lingkungan yang lembab sangat diperlukan dalam aktivitas
kompos. Bahan yang kering akan menghentikan aktivitas mikroba yang akan menghambat
proses dekomposisi. Bahan yang terlalu basah akan menghambat aerasi yang pada akhirnya
juga akan menghanbat proses penguraian oleh mikroba. Kelembaban optimal yang
disarankan adalah 40 – 60 %. Jika bahan terlalu kering, air perlu ditambahkan, tetapi jika
ternyata bahan-bahan yang dikompos banyak mengandung air, maka perlu diupayakan
drainase yaitu dengan cara menempatkan bahan pada dasar yang miring.
(5) Suhu: Proses dekomposisi bahan organik menghasilkan panas sebagai akibat dari
terjadinya metabolisme pada mikroba pengurai. Pada awal pengomposan suhu tumpukan
bahan akan berada pada kisaran 32 oC dan akan terus naik sampai 60 oC bahkan 78 oC. Tinggi
rendahnya suhu tergantung dari bahan-bahan yang dikompos. Bahan dengan C/N Ratio tinggi
akan sulit mencapai suhu tinggi, sebaliknya bahan-bahan dengan C/N Ratio rendah akan
dengan cepat mencapai suhu tinggi. Semakin tinggi suhu yang bisa dicapai akan semakin
cepat pula proses pengomposan. Kecenderungan tersebut digunakan untuk menyiasati agar
proses pengomposan dapat berlangsung lebih cepat yaitu dengan cara menutup bahan yang
dikompos dengan terpal sehingga panas yang dihasilkan tidak keluar tetapi bertahan di
dalam. Dalam suhu tinggi yang stabil mikroba pengurai akan bekerja dengan lebih cepat.
Pengomposan akan berlangsung efisien jika dapat mencapai suhu sekurang-kurangnya 60 oC.
Proses pembuatan kompos dapat berlangsung dari enam bulan sampai dua tahun,
namun dengan melakukan pengelolaan terhadap kelima factor tersebut diatas, kompos dapat
disiapkan dalam satu bulan, bahkan dalam dua minggu untuk kompos dari bahan sampah
pasar dan tiga minggu untuk bahan yang berasal dari limbah kandang ternak. Ciri-ciri
keberhasilan pembuatan kompos adalah selama proses tidak menimbulkan bau busuk dan
kompos yang dihasilkan berwarna coklat-kehitaman seperti warna tanah (humus) yang
lembab.
Hingga saat ini banyak metoda pengomposan yang telah berkembang. Metoda
pengomposan ini banyak dipengaruhi oleh budaya dan kondisi perkembangannya. Namun
demikian masing-masing metoda tersebut merupakan usaha untuk memanipulasi agar faktor-
faktor yang mampu mempercepat laju proses pengomposan dapat tercapai. Idealnya,
teknologi yang mampu meningkatkan laju pengomposan yang cepat merupakan teknologi
yang dianggap lebih baik. Tetapi pemilihan teknologi dan modifikasinya akan lebih banyak
tergantung pada jenis bahan yang akan dikompos, ketersediaan tenaga kerja, ketersediaan
Metoda ini dibedakan menjadi dua, Yakni 1) Indore heap method (bahan dikompos di
atas tanah) dan 2). Indore pit method ( bahan dipendam di dalam tanah). Metoda indore
sesuai diterapkan di daerah yang bercurah hujan tinggi. Lama proses pengomposan lebih-
kurang tiga bulan. Bahan dasar yang biasa digunakan adalah campuran sisa tanam, kotoran
– 25 cm dan bagian atasnya ditutupi kotoran ternak yang tipis untuk mengaktifkan proses,
kemudian disiram dengan campuran pupuk kandang, dan abu. Ukuran tumpukan berkisar 2,5
x 2,5 meter dengan tinggi 60 cm. Untuk mempercepat laju pengomposan dilakukan
pembalikan pada hari ke 15, 30, dan 60. Tiga bulan kemudian kompos biasanya sudah jadi
Indore pit method: Pengomposan dilakukan pada lubang tanah dengan melakukan
penggalian tanah pada tempat yang relatif tinggi dan mempunyai pengaturan yang baik.
Ukuran lubang galian lebar 150 – 200 cm, kedalaman 80 – 100 cm, dan panjang tergantung
kebutuhan. Bahan dasar kompos yang mudah terdekomposisi disebar secara merata di dalam
lubang dengan ketebalan 10 – 15 cm, diikuti dengan 4,5 kg kotoran ternak, 3,5 kg tanah, dan
4,5 kg kompos jadi. Bahan dasar kompos tersebut disusun berlapis-lapis dan dilakukan
pembasahan secukupnya. Pembalikan dilakukan pada hari 15, 30 dan 60. Setiap pembalikan
2. METODE BARKELEY.
Metoda ini ditujukan untuk bahan kompos yang berselulosa tinggi (C/NB Ratio
tinggi) seperti jerami, alang-alang, serbuk gergaji, dll, yang dikombinasikan dengan bahan
Lapisan paling bawah adalah bahan kompos yang C/N rationya rendah, diikuti oleh bahan
yang ber C/N rationya tinggi, begitu seterusnya sampai mencapai ketinggian yang diinginkan.
Pada hari ke dua atau ketiga suhu tumpukan kompos akan mencapai 60o C, kemudian
dilakukan pembalikan. Pembalikan selanjutnya dilakukan pada hari ketujuh dan kesepuluh,
3. METODA JEPANG.
Pada metoda jepang pengomposan juga dilakukan penumpukan seperti halnya pada
metoda pit, namun sebagai pengganti lubang galian digunakan bak penampung yang terbuat
dari kawat, atau bambo atau kayu yang disusun secara bertingkat. Dinding bak dirancang
sedemikian rupa sehingga aerasi berjalan lancar. Bagian dasar bak dilapisi bahan kedap air
guna menghindarkan terjadinya pencucian unsur hara ke dalam tanah di bawahnya. Bahan
dasar kompos terdiri dari kotoran ternak, rumput atau limbah rumah tangga.
tanah akan memudahkan pengadukan, sedangkan dasar yang kedap air dapat mengurangi
4. METODA BIASA/UMUM.
1. Sediakan ruangan untuk pembuatan pupuk organik, lengkap dengan atap untuk
2. Limbah kandang sapi, berupa kotoran ternak tercampur dengan urine dan sisa
ketebalan + 30 – 40 cm.
3. Taburkan campuran pRiMaDec C-15 dan urea diatas tumpukan limbah kandang
5. Buatlah lapisan berikutnya diatas lapisan pertama, dan ulangi pekerjaan nomor
2, 3 dan 4.
6. Setelah tumpukan berlapis-lapis, hingga tinggi tumpukan mencapai > 100 – 150
Pada waktu membalik tumpukan ini, perlu dilakukan penambahan air agar kadar
air terjaga + 45 – 55%. Pembalikan dilakukan setiap minggu, sampai tiga kali
pembalikan. Setelah pekerjaan ini selesai, tumpukan bahan organik dibiarkan dalam
tumpukan selama seminggu, baru kemudian pupuk organik ini siap digunakan.
Kadar air harus dipertahankan 45 – 55% dengan cara menyiramkan air pada
saat pembalikan (jika diperlukan). Kadar air yang terlalu tinggi menyebabkan
Pupuk organik yang telah matang , mempunyai C/N < 15 dan kadar mitrogen
> 1,8%. Pupuk yang telah matang tidak berbau kotoran ternak, berwarna
kembangkan oleh BPTP Yogyakarta, metoda ini dititik beratkan pada penghematan tenaga
kerja. Pada metoda umum proses aerasi dilakukan dengan sistem pembalikan setiap minggu,
pada metoda bumbung proses aerasi diubah melalui celah bumbung. Bumbung yang terbuat
dari paralon atau bambu dibuatkan beberapa lubang pada bagain sisinya kemudian
dipasangkan atau ditancapkan pada tumpukan bahan yang sedang diproses pengomposan
Bahan kompos yang berupa limbah kandang terdiri dari kotoran ternak, sisa hijauan
dan urin dicampur menjadi satu ditambah dekomposer (Probiotik) dan urea 0,5 – 1% dari
bahan dicampur hingga merata, kemudian disiram dengan air untuk menjaga kelembaban
60%. Pemasangan bumbung dapat dilakukan sebelum tumpukan dibuat, dengan cara
diberdirikan pada tempat yang akan digunakan untuk penumpukan bahan kompos atau
bumbung dipasang setelah ada tumpukan bahan yang akan dikomposkan, dengan cara
dibuatkan lubang jalan untuk pemasangan bumbung, bumbung dipasang pada setiap jarak 30
- 50 cm pada bahan yang akan dikomposkan dengan ketinggian sesuai yang diinginkan.
Bagian atas bumbung tidak terhalangi untuk kelancaran proses aerasi. Untuk menjaga
temperatur agar tetap stabil pada bagian atas tumpukan bahan ditutup dengan terpal.
Tabel 2. Rata-rata hasil analisis pupuk kompos (penelitian BPTP Yogyakarta TA 2008 di
Gunungkidul).
Uraian Perlakuan / Petani
Kontrol Dibalik setiap Dibalik setiap Tidak dibalik,
minggu (3 x) 10 hari (2x) dipasang bumbung
FISIK
Warna Coklat Hitam Kecoklatan Kecoklatan
Tekstur Berkongkah Gembur Gembur Ada bongkahan
Bau Menyengat Tidak berbau Tidak berbau Tidak berbau
KIMIA
C organik (%) 22.74 15.65 17.58 14.69
N Organik (%) 0.99 1.94 1.75 2.12
C/N ratio (%) 38 14 19 12
P2O5 total (%) 1.84 2.23 1.19 1.20
K2O total (%) 1.31 6.34 2.99 4.45
Keunggulan metoda bumbung adalah tidak perlu dilakukan pembalikan/pengadukan,
sehingga dapat menghemat tenaga kerja. Dapat dilakukan pada tempat terbuka atau dalam
bak seperti pada metoda jepang atau pada metoda indor, sehingga metoda bumbung
Untuk bisa menjual produk organik secara resmi harus mendapatkan izin dari pusat
perizinan dan investasi departemen pertanian. Berikut syarat teknis minimal pupuk organik
untuk bisa didaftarkan ke pusat perizinan dan investasi departemen pertanian.
6 pH - 4-8 4-8
7 Kadar Total %
- P2O5 <5 <5
- K2O <5
8 Mikroba Patogen cell/ gr Dicantumkan Dicantumkan
(E.coli, Salmonella sp)
9 Kadar Unsur Hara Mikro %
Zn Maks 0,500 Maks 0,2500
Cu Maks 0,500 Maks 0,2500
Mn Maks 0,500 Maks 0,2500
Co Maks 0, 002 Maks 0,0005
B Maks 0,250 Maks 0,1250
Mo Maks 0, 001 Maks 0,0010
Fe Maks 0,400 Maks 0,0400
Keterangan: