Anda di halaman 1dari 32

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL

NOMOR 5 TAHUN 2015

TENTANG
PEDOMAN PEMBENTUKAN INSTANSI VERTIKAL
DI LINGKUNGAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL,

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 23


Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional, perlu
adanya pedoman pembentukan instansi vertikal di
lingkungan Badan Narkotika Nasional yang disesuaikan
dengan karakteristik jenis, sifat, dan beban kerja tugas dan
fungsi organisasi;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana huruf a,
perlu menetapkan Peraturan Kepala Badan Narkotika
Nasional tentang Pedoman Pembentukan Instansi Vertikal
di lingkungan Badan Narkotika Nasional.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5062);
2. Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 tentang Badan
Narkotika Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 60);
3. Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 16
Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan
Narkotika Nasional (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 2085);
4.Peraturan ….
2

4. Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 3 Tahun


2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Narkotika
Nasional Provinsi dan Badan Narkotika Nasional
Kabupaten/Kota (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 493);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL


TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN INSTANSI VERTIKAL
DI LINGKUNGAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL.

Pasal 1

Pedoman Pembentukan Instansi Vertikal di lingkungan Badan


Narkotika Nasional adalah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional ini dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala
Badan Narkotika Nasional ini.

Pasal 2

Pedoman Pembentukan Instansi Vertikal di lingkungan Badan


Narkotika Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
merupakan acuan dalam pembentukan intansi vertikal di
lingkungan Badan Narkotika Nasional.

Pasal 3 ….
3

Pasal 3

Pembentukan Instansi Vertikal di lingkungan Badan Narkotika


Nasional berdasarkan Peraturan Kepala Badan Narkotika
Nasional ini ditetapkan oleh Kepala Badan Narkotika Nasional
setelah mendapat persetujuan tertulis dari menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang aparatur
Negara.

Pasal 4

Penjelasan mengenai persyaratan, prosedur dan tata cara


penilaian pembentukan Instansi Vertikal di lingkungan Badan
Narkotika Nasional adalah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional ini dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala
Badan Narkotika Nasional ini.

Pasal 5

Pada saat Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional ini mulai


berlaku, Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 10
Tahun 2014 tentang Pedoman Pembentukan dan Pengembangan
Organisasi Instansi Vertikal Badan Narkotika Nasional, dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 6 ….
4

Pasal 6

Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional ini mulai berlaku


pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 15 Juni 2015
KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL

TTD

ANANG ISKANDAR

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 19 Juni 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

TTD

YASONNA H. LAOLY
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 912

Paraf :
1. Kasubbag Organisasi : ...
2. Kabag Ortala : ...
3. Karo Kepeg & Org : ...
4. Kabag TU : ...
5. Karo Umum :...
6. Sestama : ...
LAMPIRAN
PERATURAN KEPALA BADAN
NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 5
TAHUN 2015
TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN
INSTANSI VERTIKAL DI LINGKUNGAN
BADAN NARKOTIKA NASIONAL

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang


Narkotika, Badan Narkotika Nasional dibentuk dalam rangka pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika di Indonesia. Pembentukan Badan Narkotika Nasional
tidak terlepas dari keseriusan pemerintah dalam merespon perkembangan
permasalahan narkoba yang terus meningkat di Indonesia.

Untuk mempermudah pengawasan dan pengendalian serta terintegrasi dari


program pelaksanaan bidang pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, dan prekursor
serta bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol
(P4GN), maka Badan Narkotika Nasional mempunyai perwakilan di daerah
baik tingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten/Kota. Perwakilan Badan
Narkotika Nasional merupakan instansi vertikal Badan Narkotika Nasional.
Berdasarkan Pasal 31 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010
tentang Badan Narkotika Nasional, bahwa instansi vertikal Badan Narkotika
Nasional terdiri dari :
1. Badan Narkotika Nasional Provinsi yang selanjutnya disebut dengan
BNNP; dan
2. Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut
dengan BNNK/Kota.

Berdasarkan ....
2

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010, kedudukan BNNP


berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan Narkotika
Nasional. BNNP mempunyai tugas melaksanakan tugas, fungsi, dan
wewenang Badan Narkotika Nasional dalam wilayah Provinsi. Dalam
melaksanakan tugas, BNNP menyelenggarakan fungsi:
a. pelaksanaan kebijakan teknis P4GN di bidang pencegahan,
pemberdayaan masyarakat, pemberantasan, dan rehabilitasi;
b. pelaksanaan penyiapan bantuan hukum dan kerja sama;
c. pelaksanaan pembinaan teknis di bidang P4GN kepada BNN
Kabupaten/Kota;
d. penyusunan rencana program dan anggaran BNNP;
e. evaluasi dan penyusunan laporan BNNP; dan
f. pelayanan administrasi BNNP.

Demikian pula dengan BNNK/Kota, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor


23 Tahun 2010, BNNK/Kota berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab
kepada Kepala Badan Narkotika Nasional melalui Kepala BNNP. BNNK/Kota
mempunyai tugas melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang Badan
Narkotika Nasional dalam wilayah Kabupaten/Kota. Dalam melaksanakan
tugas BNNK/Kota menyelenggarakan fungsi :
a. pelaksanaan kebijakan teknis P4GN di bidang pencegahan,
pemberdayaan masyarakat dan rehabilitasi;
b. pelaksanaan kebijakan teknis P4GN di bidang pemberantasan dalam
rangka pemetaan jaringan kejahatan terorganisasi penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor, dan bahan adiktif
lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol dalam
wilayah Kabupaten/Kota;
c. pelaksanaan penyiapan bantuan hukum dan kerja sama;
d. penyusunan rencana program dan anggaran BNNK/Kota;
e. evaluasi dan penyusunan laporan BNNK/Kota; dan
f. pelayanan administrasi BNNK/Kota.

Untuk mewujudkan organisasi instansi vertikal Badan Narkotika Nasional


yang proporsional, efektif dan efisien, maka perlu ditetapkan pedoman
tentang pembentukan instansi vertikal Badan Narkotika Nasional terutama
mengenai persyaratan, prosedur dan tata cara penilaian pembentukan
Instansi Vertikal di lingkungan Badan Narkotika Nasional.

B.MAKSUD ....
3

B. MAKSUD DAN TUJUAN

1. Maksud
Pedoman pembentukan Instansi Vertikal Badan Narkotika Nasional
dimaksudkan sebagai acuan pembangunan, perwujudan, dan
penyusunan organisasi instansi vertikal di lingkungan Badan Narkotika
Nasional.
2. Tujuan
Pedoman pembentukan Instansi Vertikal Badan Narkotika Nasional
bertujuan menciptakan landasan yang jelas dan baku dalam
pembentukan Instansi Vertikal di lingkungan Badan Narkotika Nasional.

C. RUANG LINGKUP

Ruang lingkup Pedoman Pembentukan Instansi Vertikal Badan Narkotika


Nasional ini diperuntukkan kepada Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota dan BNNP dalam pembentukan Instansi Vertikal
Badan Narkotika Nasional.

D. PENGERTIAN UMUM

Pengertian umum dalam Pedoman ini meliputi hal-hal sebagai berikut :


1. Badan Narkotika Nasional yang selanjutnya disingkat BNN adalah
Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang berkedudukan di bawah dan
bertanggung jawab kepada Presiden melalui koordinasi Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
2. Instansi Vertikal Badan Narkotika Nasional adalah Badan Narkotika
Nasional dalam wilayah Provinsi dan Badan Narkotika Nasional dalam
wilayah Kabupaten/Kota.
3. Badan Narkotika Nasional Provinsi yang selanjutnya disingkat BNNP
adalah instansi vertikal Badan Narkotika Nasional yang melaksanakan
tugas, fungsi, dan wewenang Badan Narkotika Nasional dalam wilayah
Provinsi.

4.Badan ....
4

4. Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota yang selanjutnya disingkat


BNN Kabupaten/Kota adalah instansi vertikal Badan Narkotika Nasional
yang melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang Badan Narkotika
Nasional dalam wilayah Kabupaten/Kota.
5. Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran gelap
Narkotika, psikotropika, dan prekursor serta bahan adiktif lainnya
kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol yang selanjutnya
disingkat dengan P4GN.
6. Kerawanan Daerah adalah hasil analisa dari data dukung yang terdiri
beberapa unsur dari daerah yang mengusulkan pembentukan Instansi
Vertikal di lingkungan Badan Narkotika Nasional.
7. Entry Point Narkoba adalah pintu rawan masuk Narkoba (Darat, Laut,
Perairan, Udara) di daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota.
8. Pecandu Narkoba adalah orang yang menggunakan atau
menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada
Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
9. Tindak Pidana Narkoba adalah perbuatan pidana atau perbuatan
kejahatan yang berhubungan dengan narkoba.
10. Tersangka Tindak Pidana Narkoba adalah seorang yang karena
perbuatannya atau keadaaannya berdasarkan bukti permulaan patut
diduga sebagai pelaku tindak pidana narkoba.
11. Tindak Pidana Lainnya keadaan yang sebenarnya dari suatu perkara
kriminalitas yang tidak terkait dengan narkoba.
12. Tingkat Prevalensi Daerah adalah hasil penelitian dari penyalah guna
narkoba berdasarkan jenis kelamin, kelompok umur dan jenis
penyalahgunaan zat.
13. Pembentukan adalah penyusunan, perwujudan, dan pembangunan
organisasi instansi vertikal di lingkungan Badan Narkotika Nasional.

E. DASAR DAN PRINSIP PEMBENTUKAN

Pembentukan organisasi instansi vertikal dilakukan dengan pertimbangan:


1. Perkembangan lingkungan strategis yang dinamis.
2. Tuntutan pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan kebijakan
pemerintah.
3. Penyesuaian terhadap volume dan beban kerja.
4. Penyesuaian terhadap struktur organisasi tingkat pusat.
5

BAB II

PERSYARATAN PEMBENTUKAN INSTANSI VERTIKAL

DI LINGKUNGAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL

A. REKOMENDASI GUBERNUR DAN/ATAU BUPATI/WALIKOTA

Rekomendasi Gubernur dan/atau Bupati/Walikota meliputi:


1. penyediaan sumber daya manusia pada tahap awal dalam waktu
tertentu.
2. pemberian fasilitasi kegiatan P4GN dan penyediaan sarana prasarana
dalam bentuk hibah dan/atau pinjam pakai dari
Gubernur/Bupati/Walikota sesuai dengan tanggung jawab yang telah
diatur dalam ketentuan yang berlaku.
3. penyediaan lahan diperuntukkan pembangunan gedung kantor BNNP
minimal seluas 2.500 m2 dan BNNK/Kota minimal seluas 1.000 m2 dan
ditetapkan sebagai lokasi pembangunan dalam bentuk hibah dan/atau
pinjam pakai selama diperuntukkan untuk program P4GN yang diatur
dalam Nota Kesepahaman.
4. dalam hal pelaksanaan rekomendasi, Gubernur dapat mengusulkan
calon Kepala BNNP dan Bupati/Walikota dapat mengusulkan calon
Kepala BNNK/Kota yang selanjutnya dilakukan Baperjakat oleh BNN.
5. terdapat ketersediaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang
dihibahkan ke instansi vertikal di lingkungan BNN.

B. NOTA KESEPAHAMAN DAN PERJANJIAN KERJA SAMA ANTARA


GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA DENGAN KEPALA BADAN NARKOTIKA
NASIONAL.

Format Nota Kesepahaman dan Perjanjian Kerja Sama dapat di lihat pada
Contoh 1 dan Contoh 2.
6

CONTOH 1
FORMAT NOTA KESEPAHAMAN
7

CONTOH 1
FORMAT NOTA KESEPAHAMAN
8

CONTOH 1
FORMAT NOTA KESEPAHAMAN
9

CONTOH 1
FORMAT NOTA KESEPAHAMAN
10

CONTOH 2

FORMAT PERJANJIAN KERJASAMA


11

CONTOH 2

FORMAT PERJANJIAN KERJASAMA


12

CONTOH 2

FORMAT PERJANJIAN KERJASAMA


13

CONTOH 2

FORMAT PERJANJIAN KERJASAMA


14

CONTOH 2

FORMAT PERJANJIAN KERJASAMA


15

CONTOH 2

FORMAT PERJANJIAN KERJASAMA


16

BAB III

PROSEDUR PEMBENTUKAN INSTANSI VERTIKAL

DI LINGKUNGAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL

Tahapan prosedur pembentukan instansi vertikal terdiri atas :


1. Kepala Badan Narkotika Nasional mengirimkan surat permohonan dukungan
pembentukan Instansi Vertikal Badan Narkotika Nasional kepada Kepala
Pemerintah Daerah, yaitu Gubernur dan/atau Bupati/Walikota.
2. Pemerintah Daerah memberikan tanggapan dengan mengirimkan dukungan
penyediaan lahan, bantuan sumber daya manusia, sarana prasarana dan
fasilitasi kegiatan P4GN serta naskah akademik pembentukan instansi
vertikal Badan Narkotika Nasional. Format sistematika penyusunan naskah
akademik dapat di lihat pada Contoh 3.
3. BNNP melakukan pemetaan di wilayahnya untuk diusulkan daerah yang akan
dibentuk instansi vertikal ke Badan Narkotika Nasional dengan
mempertimbangkan skala prioritas pembentukan Instansi Vertikal Badan
Narkotika Nasional di daerah.
4. Badan Narkotika Nasional melakukan survei ke daerah yang akan dibentuk
instansi vertikal Badan Narkotika Nasional dan menentukan daerah yang
akan dibentuk Instansi Vertikal Badan Narkotika Nasional.
5. Penentuan skala prioritas pembentukan Instansi Vertikal Badan Narkotika
Nasional di daerah berdasarkan analisis organisasi yang meliputi :
a. Pemetaan Kategori Karakteristik Kerawanan Daerah.
b. Pemetaan Prevalensi Penyalahgunaan Narkoba.
c. Penyediaan Lahan Pembangunan Kantor.
d. Fasilitasi Kegiatan P4GN.
e. Penyediaan Sarana dan Prasarana.
f. Rekomendasi Personel yang akan dipekerjakan.
6. Manajemen Puncak (Top Management) Badan Narkotika Nasional
menyelenggarakan rapat mengenai finalisasi penentuan daerah prioritas
pembentukan Instansi Vertikal Badan Narkotika Nasional.
7. Prosedur pengusulan secara berjenjang, terdiri atas :
a. Untuk tingkat BNNP, surat usulan ditandatangani oleh Kepala BNNP dan
ditujukan kepada Kepala BNN.

b.Untuk ….
17

b. Untuk tingkat BNNK/Kota, surat usulan ditandatangani oleh Kepala


BNNK/Kota dan ditujukan kepada Kepala BNNP untuk disampaikan
kepada Kepala Badan Narkotika Nasional.
8. Hasil analisis dan evaluasi kebutuhan organisasi.
9. Naskah akademik.
10. Badan Narkotika Nasional dan Pemerintah Daerah menandatangani Nota
Kesepahaman dan Perjanjian Kerja Sama setelah mendapat persetujuan
pembentukan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang aparatur Negara.
11. Badan Narkotika Nasional mengajukan surat usulan pembentukan Instansi
Vertikal di lingkungan Badan Narkotika Nasional beserta rancangan
peraturan kepala Badan Narkotika Nasional.

CONTOH 3
SISTEMATIKA NASKAH AKADEMIK
PEMBENTUKAN INSTANSI VERTIKAL
DI LINGKUNGAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL

JUDUL

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

b. Dasar Hukum

c. Maksud dan Tujuan

BAB II POTENSI STRATEGIS WILAYAH BNNP dan/atau BNNK/KOTA

a. Aspek Geografis

b. Aspek Sumber Daya Manusia

c. Aspek Pemerintahan

d. Aspek Pendidikan

BAB III ….
18

CONTOH 3
SISTEMATIKA NASKAH AKADEMIK
PEMBENTUKAN INSTANSI VERTIKAL
DI LINGKUNGAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL

BAB III KONDISI SEKARANG

a. Bentuk Organisasi

b. Dana Operasional

c. Tempat/Lahan Kantor

d. Sumber Daya Manusia

e. Tingkat Prevalensi Penyalahgunaan Narkoba

BAB IV KONDISI DIHARAPKAN

a. Bentuk Organisasi

b. Dana Operasional

c. Lahan/Kantor

d. Sumber Daya Manusia

e. Tingkat Prevalensi Penyalahgunaan Narkoba

BAB V ANALISA URGENITAS PEMBENTUKAN

a. Unsur Pokok

(1) Jumlah Entry Point Narkoba


(2) Jumlah Pecandu Narkoba
(3) Jumlah Kasus Tindak Pidana Narkoba
(4) Jumlah Tersangka Tindak Pidana Narkoba
(5) Jumlah Kasus Tindak Pidana Lainnya
b. Unsur Pendukung
(1) SDM
(2) Anggaran
(3) Sarana Prasarana
(4) Angka Prevalensi

BAB VI ….
19

CONTOH 3
SISTEMATIKA NASKAH AKADEMIK
PEMBENTUKAN INSTANSI VERTIKAL
DI LINGKUNGAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL

BAB VI PENUTUP

a. Kesimpulan

b. Saran

c. Lampiran-lampiran
20

BAB IV
TATA CARA PENILAIAN PEMBENTUKAN INSTANSI VERTIKAL
DI LINGKUNGAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL

Pembentukan Instansi Vertikal di lingkungan Badan Narkotika Nasional berupa


penentuan nilai terhadap seluruh komponen yang berpengaruh terdiri dari:
1. Grand Design vertikalisasi BNN.
2. Keterwakilan setiap Provinsi yang mengusulkan dengan skala prioritas.
3. Beban kerja.
4. Alokasi anggaran Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
5. Kriteria penilaian pembentukan Instansi Vertikal Badan Narkotika Nasional.

Kriteria penilaian akan menjadi acuan terhadap penentuan pembentukan Instansi


Vertikal Badan Narkotika Nasional.

A. UNSUR POKOK

Dalam menentukan Unsur Pokok terhadap kriteria penentuan pembentukan


Instansi Vertikal terdiri dari:
1. Jumlah Entry Point Narkoba, dilihat dari jumlah pintu rawan masuk
narkoba (darat, laut, perairan, udara) di daerah Provinsi atau
Kabupaten/Kota didukung data pengungkapan oleh Beacukai atau
tempat rawan yang tidak terjaga.
2. Jumlah pecandu narkoba, dilihat dari data pecandu narkoba di daerah
Provinsi atau Kabupaten/Kota tersebut.
3. Jumlah kasus tindak pidana narkoba, dilihat dari jumlah kasus Narkoba
yang terjadi di daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota.
4. Jumlah tersangka tindak pidana narkoba, dilihat dari data tersangka
yang ditangkap di daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota tersebut.
5. Jumlah kasus tindak pidana lainnya, di lihat dari jumlah kasus
kriminalitas lainnya.

B. UNSUR PENUNJANG

Dalam menentukan Unsur Penunjang ditentukan berdasarkan ketersediaan


dukungan dari pemerintah daerah berupa sumber daya manusia, anggaran,
sarana prasarana, dan angka prevalensi Provinsi berdasarkan hasil penelitian
BNN.

C.TATA ….
21

C. TATA CARA PENILAIAN

1. Data unsur unsur pokok dan penunjang untuk setiap komponen diberi
bobot persentase (%) secara proporsional berdasarkan pengaruhnya
terhadap beban kerja masing-masing Provinsi, dan Kabupaten/Kota yang
akan dibentuk.
2. Komponen unsur pokok diberikan nilai maksimal sebesar 80 sedangkan
unsur penunjang diberikan nilai maksimal sebesar 20.
3. Setiap subunsur diberikan bobot berbeda-beda dengan
mempertimbangkan pengaruh terhadap beban kerja masing-masing
BNNP dan BNNK/Kota.
4. Tata cara perhitungan nilai untuk setiap unsur dan subunsur
menggunakan rumus sebagai berikut :

a. Nilai Unsur Pokok = Jumlah nilai 5 Subunsur


(Nilai Entry Point +
Nilai Pecandu Narkoba +
Nilai Kasus Tindak Pidana Narkoba +
Nilai Tersangka Tindak Pidana Narkoba
+ Nilai Kasus Tindak Pidana Lainnya)

b. Nilai Unsur Penunjang = Jumlah nilai 4 Subunsur


(Nilai SDM + Nilai Anggaran +
Nilai Sarana Prasarana +
Nilai Prevalensi)

c. Cara untuk perhitungannya sebagai berikut :


Nilai Unsur Pokok dan Unsur Penunjang dijumlahkan dan dibuatkan
ranking sesuai ambang batas yang telah ditentukan untuk penentuan
layak atau tidak daerah tersebut menjadi Instansi Vertikal di
lingkungan Badan Narkotika Nasional.

D.RINCIAN….
22

D. RINCIAN NILAI UNTUK MASING-MASING UNSUR DAN SUBUNSUR PADA


PERHITUNGAN PEMBENTUKAN INSTANSI VERTIKAL DI LINGKUNGAN
BADAN NARKOTIKA NASIONAL

1. UNSUR POKOK
Unsur tersebut terdapat 5 (lima) subunsur, terdiri atas:
a. Jumlah Entry Point Narkoba
Jumlah Entry Point Narkoba Nilai
1 sampai dengan 2 4
3 sampai dengan 4 8
5 sampai dengan 6 12
7 sampai dengan 8 16
Lebih dari 8 20

b. Jumlah Pecandu Narkoba


Jumlah Pecandu Narkoba (2 tahun terakhir) Nilai
1 sampai dengan 15 4
16 sampai dengan 30 8
31 sampai dengan 45 12
46 sampai dengan 60 16
Lebih dari 60 20

c. Jumlah Kasus Tindak Pidana Narkoba


Jumlah Kasus Tindak Pidana Narkoba yang Nilai
berada di dalam wilayah (2 tahun terakhir)
1 sampai dengan 25 3
26 sampai dengan 50 6
51 sampai dengan 75 9
76 sampai dengan 100 12
Lebih dari 100 15

d.Jumlah….
23

d. Jumlah Tersangka Tindak Pidana Narkoba


Jumlah Tersangka Tindak Pidana Narkoba di Nilai
dalam wilayah (2 tahun terakhir)
1 sampai dengan 20 3
21 sampai dengan 30 6
31 sampai dengan 40 9
41 sampai dengan 50 12
Lebih dari 50 15

e. Jumlah Kasus Tindak Pidana Lainnya


Jumlah Kasus Tindak Pidana Lainnya berada di Nilai
dalam wilayah (2 tahun terakhir)
1 sampai dengan 25 2
26 sampai dengan 50 4
51 sampai dengan 75 6
76 sampai dengan 100 8
Lebih dari 100 10

2. UNSUR PENUNJANG
a. Sumber Daya Manusia
Keberadaan SDM yang dipekerjakan atau ditugaskan oleh
pemerintah daerah ke instansi vertikal di lingkungan BNN.
SDM Nilai

0 sampai dengan 3 orang 1

4 sampai dengan 8 orang 2

Lebih dari 8 orang 3

b.Anggaran….
24

b. Anggaran
Terdapat ketersediaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)
yang dihibahkan ke instansi vertikal di lingkungan BNN.
Anggaran Nilai

≤ Rp.100.000.000,- 1

Rp. 100.000.000,- sampai dengan Rp. 300.000.000,- 2

Lebih dari Rp. 300.000.000,- 3

c. Sarana Prasarana
Ketersediaan tanah, gedung, kendaraan dan meubelair dari
pemerintah daerah ke instansi vertikal di lingkungan BNN.
Sarana Prasarana Nilai
(Luas Tanah + Luas Gedung + Kendaraan + Meubelair)
≤5 1

6 sampai dengan 8 2

9 sampai dengan 10 3

Lebih dari 10 4

Dengan rincian sebagai berikut :


1) Tanah
Luas Tanah Nilai

≤ 500 m2 1

501 m2 sampai dengan 1.000 m2 2

lebih 1.000 m2 3

2)Luas….
25

2) Luas Gedung
Luas Gedung Nilai

≤ 500 m2 1

501 m2 sampai dengan 1.000 m2 2

lebih 1.000,- m2 3

3) Kendaraan
Roda Dua Roda Empat Nilai

1 Kendaraan 1 Kendaraan 1

2 kendaraan 2 kendaraan 2

Lebih dari 2 kendaraan Lebih dari 2 kendaraan 3

4) Meubelair
Meubelair Nilai

Tidak Tersedia 1

Tersedia 2

d. Angka prevalensi
Penentuan prevalensi daerah berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan oleh satuan kerja Pusat Penelitian, Data, dan
Informasi BNN pada tahun 2014, yang menghasilkan data
prevalensi sebagai berikut :

PROVINSI % PREVALENSI
Aceh 2,08

Sumatera Utara 3,06


Sumatera Barat 1,80
Sumatera Selatan 1,69
Jambi 1,89
Riau 1,99
Bengkulu 1,88

Lampung ….
26

PROVINSI % PREVALENSI
Lampung 1,52

Kepulauan Bangka Belitung 1,85

Kepulauan Riau 2,94

Banten 2,02

DKI Jakarta 4,74

Jawa Barat 2,34

Jawa Tengah 1,88

Daerah Istimewa Yogyakarta 2,37

Jawa Timur 2,01

Kalimantan Barat 2,01

Kalimantan Selatan 2,01

Kalimantan Tengah 1,95

Sulawesi Barat 2,09

Sulawesi Selatan 2,08

Sulawesi Tengah 2,11

Sulawesi Tenggara 1,59

Sulawesi Utara 2,19

Gorontalo 1,68

Bali 2,22

Nusa Tenggara Barat 1,50

Nusa Tenggara Timur 1,49

Maluku 2,32

Maluku Utara 1,85

Papua 1,23

Papua Barat 1,57

Dengan penilaian sebagai berikut :


Prevalensi Nilai

0 sampai dengan 1,49 2

1,50 sampai dengan 2,99 5

Lebih dari 3,00 10

E.Penetapan….
27

E. PENETAPAN PEMBENTUKAN INSTANSI VERTIKAL BADAN NARKOTIKA


NASIONAL
Total nilai akhir yang layak dipertimbangkan untuk dibentuk menjadi Instansi
Vertikal Badan Narkotika Nasional dengan ambang batas nilai minimal 50 –
100 (lima puluh sampai dengan seratus).
28

BAB V
PENUTUP

1. Penguatan kelembagaan dan pembentukan Instansi Vertikal di lingkungan


Badan Narkotika Nasional, merupakan kebutuhan yang mendesak dalam
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika.
2. Pedoman ini disusun sebagai acuan dalam pembentukan Instansi Vertikal di
lingkungan Badan Narkotika Nasional.
3. Usulan pembentukan Instansi Vertikal Badan Narkotika Nasional agar tetap
memperhatikan, tingkat kerawanan daerah dan tingkat prevalensi kerawanan
daerah.

Pedoman ini bersifat dinamis, dalam arti ketentuan-ketentuan di dalamnya


dapat diubah sesuai kebutuhan berdasarkan perkembangan lingkungan strategis
yang ada.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 15 Juni 2015
KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL

ttd

ANANG ISKANDAR

Paraf :
1. Kasubbag Organisasi : ...
2. Kabag Ortala : ...
3. Karo Kepeg & Org : ...
4. Kabag TU : ...
5. Karo Umum :...
6. Sestama : ...

Anda mungkin juga menyukai