Perbandingan Kebijakan Kependudukan Di China Dan Indonesia
Perbandingan Kebijakan Kependudukan Di China Dan Indonesia
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Budi Winarno, MA.
Randy Wirasta Nandyatama, SIP.
Oleh:
Ezka Amalia
09/283366/SP/23675
1
negara tersebut, apalagi kedua negara sama-sama memiliki wilayah yang besar,
demokratis, dan sedang berusaha mengejar ketinggalan dari negara-negara barat.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana perbandingan kebijakan demografi yaitu Family Planning di
India dan Indonesia?
C. Landasan Konsepual/Teori
1. Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi kebijakan publik merupakan pelaksanaan keputusan kebijakan oleh
berbagai aktor untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan tersebut. van Meter dan
van Horn membatasi implementasi kebijakan pada tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh individu-individu atau kelompok-kelompok pemerintah maupun
swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Menurut van Meter dan van
Horn, dalam model proses implementasi kebijakan ada enam variabel yang
membentuk ikatan atau linkage antara kebijakan dan kinerja.1 Enam variabel
tersebut adalah ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan, sumber-
sumber kebijakan, komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan
pelaksanaan, karakteristik badan pelaksana, kondisi ekonomi, politik dan social,
serta kecenderungan pelaksana.
1
B. Winarno, Kebijakan Publik: Teori dan Proses, Media Pressindo, Yogyakarta, 2007, p. 146.
2
Prof. I.B. Mantra, Ph.D, Demografi Umum, Edisi Kedua, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hal. 50.
2
proses kematian. Aliran ini didukung oleh negara-negara yang menganut sistem
kapitalis.
Sedangkan aliran Marxist berasal dari pemikiran Karl Marx dan Friedrich
Engels. Mereka menentang teori aliran Malthus dan mengemukakan bahwa
kemiskinan bukan berasal dari ledakan penduduk, tetapi karena adanya sistem
kapitalis. Oleh karena itu, sistem kapitalis harus dirombak menjadi sistem
sosialis, dan pertumbuhan penduduk tidak perlu dibatasi. Aliran ini mempunyai
pengikut yaitu negara-negara yang menganut sistem sosialis.
D. Argumen Utama
India dan Indonesia sama-sama memiliki permasalahan dalam membludaknya
jumlah penduduk. Tidak mengherankan jika kedua negara menerapkan kebijakan
family planning untuk mengontrol jumlah penduduk yang terus meningkat.
Perbandingan kebijakan kedua negara terletak pada proses implementasi
kebijakan tersebut yang menghasilkan lebih banyak persamaan dibandingkan
perbedaan.
3
BAB II
PEMBAHASAN
3
Government of India, Census of India: Provisional Population Totals, Office of the Register Gneral &
Census Commissioner, India, 2011, p. 160.
4
Times of India, India’s population rises to 1.2 billion: Census of India 2011, 31 Maret 2011,
<http://articles.timesofindia.indiatimes.com/2011-03-31/india/29365261_1_population-literacy-rate-
census-commissioner>, 17 Juni 2011.
5
NDTV, Census 2011: Indian population increased by 181 million, 31 Maret 2011,
<http://www.ndtv.com/article/india/census-2011-indian-population-increased-by-181-million-95387>, 17
Juni 2011.
6
Government of India, Census of India: Provisional Population Totals, p. 39.
7
GeoHive, Countries with highest population for 1950, 2010, and 2050,
<http://www.geohive.com/earth/population3.aspx>, 17 Juni 2011.
8
Government of India, Census of India: Provisional Population Totals, p. 39.
4
menghambat pembangunan ekonomi yang sedang dilakukan oleh pemerintah India. Pada
pertengahan tahun 1970an pemerintah mulai menerapkan program besar-besaran untuk
mengurangi tingkat kelahiran.9 Tepatnya pada tahun 1976, pemerintah India mengadopsi
National Population Policy yang mengintegrasikan kebijakan keluarga berencana dengan
tujuan meningkatkan kesejahteraan penduduk. Hal ini dikarenakan jumlah anggota
keluarga yang besar merupakan cerminan dan bagian dari kemiskinan sehingga harus
ditangani dengan strategi pembangunan umum.10 Bahkan kebijakan National Population
Policy tersebut juga masuk dalam kurikulum sekolah dengan mengharuskan adanya
pendidikan tentang masalah kependudukan di bawah Fifth Five-Year Plan pada tahun
1974 hingga 1978. Demi mencapai tujuan mengurangi tingkat pertumbuhan penduduk,
pemerintah India sendiri memberlakukan sterilisasi.
Pada tahun 1980an, pemerintah India meningkatkan jumlah program keluarga
berencana yang dilakukan dengan bantuan keuangan dari pemerintah pusat. Pada tahun
1991, India memiliki 15.000 fasilitas kesehatan publik yang menawarkan program
keluarga berencana. Setidaknya empat proyek khusus keluarga berencana dilakukan pada
Seventh Five-Year Plan antara tahun 1985 hingga 1989. Misalnya saja reorganisasi
fasilitas pelayanan kesehatan primer di daerah kumuh di perkotaan dan pembaharuan alat
intraurine atau IUD di pusat-pusat kesehatan keluarga di daerah pedesaan. Meskipun
demikian, hasil sensus India pada tahun 1991 menunjukkan India merupakan salah satu
negara dengan tingkat pertumbuhan penduduk tertinggi di dunia yaitu sekitar 2% antara
tahun 1981dan 1991.
Penerapan kebijakan keluarga berencana di India sendiri diterapkan secara
sentralisasi karena adanya ketergantungan terhadap dana dari pemerintah pusat.
Sentralisasi kebijakan ini menyebabkan adanya ketidakselarasan antara tujuan dan asumsi
program pengendalian populasi nasional dengan sikap lokal terhadap birth control.
Misalnya saja, di Maharashtra dibutuhkan tiga hingga empat tahun pendidikan melalui
kontak secara langsung dengan pasangan agar mereka menerima gagasan keluarga
berencana yang dilakukan oleh pemerintah. Namun, di daerah yang memiliki 175 desa
9
Country Studies, Population and Family Planning Policy, < http://www.country-
studies.com/india/population-and-family-planning-policy.html>, 19 Mei 2011.
10
Country Studies, Population and Family Planning Policy, 19 Mei 2011.
5
tersebut, program keluarga berencana dapat berhasil dengan membentuk klub perempuan
untuk terlibat dalam aktifitas atau kegiatan keluarga berencana.
Program keluarga berencana di India sendiri sebenarnya diterima secara positif
oleh para pasangan di India. Sayangnya, pola fertilitas perempuan di India menyimpang
dari apa yang dianggap ideal oleh pemerintah. Para perempuan di Inia biasanya
melakukan sterilisasi ketika mereka sudah memiliki empat orang anak dengan dua anak
laki-laki di dalamnya. Ini menunjukkan betapa insentif keuangan yang diberikan oleh
pemerintah bukan menjadi alasan utama mereka melakukan sterilisasi. Mereka memilih
melakukan sterilisasi setelah setidaknya mendapatkan dua anak laki-laki yang nantinya
dapat menyediakan keamanan di hari tua bagi mereka. Hal ini dikarenakan budaya di
India yang lebih memfavoritkan anak laki-laki dibandingkan anak perempuan sehingga
seringkali penduduk India melakukan aborsi maupun pembunuhan anak perempuan
ketika mereka tidak mendapatkan anak laki-laki.
Pada tahun 2000, ketika India memiliki jumlah penduduk sebanyak
1,004,124,224 jiwa, pemerintah India menginiasi kebijakan baru berkaitan dengan
pengontrolan jumlah penduduk yaitu National Population Policy 2000 untuk
membendung pertumbuhan penduduk negara tersebut. Salah satu tujuan utama kebijakan
tersebut adalah mengurangi tingkat fertilitas hingga angka 2,1% pada tahun 2010. Namun
sayangnya tujuan tersebut tidak tercapai karena India saat ini memiliki tingkat fertilitas
2,62% pada tahun ini.11 Pada tahun 2009 sendiri, PBB menganggap kebijakan pemerintah
India dalam pertumbuhan penduduk di India masih dikategorikan rendah, begitu juga
dalam kebijakan yang berkaitan dengan fertilitas dan keluarga berencana.
6
Pertumbuhan penduduk di Indonesia mencapai angka tertinggi pada rentang
waktu 1930-1971 yaitu di kisaran 2,13%-2,15% per tahun. 12 Sebelum tahun 1957 sendiri
pembatasan kelahiran dilakukan secara tradisional, misalnya dengan ramuan dan pijet.
Kemudian pada tahun 1957, pemerintah Indonesia memperkenalkan program Keluarga
Berencana dengan ruang lingkup dan cara-cara yang masih sederhana, yaitu dengan
memperkenalkan kontrasepsi cara India13. Saat itu, Soekarno yang menjabat sebagai
presiden tidak menghalangi penyebarluasan program tersebut dengan syarat program
tersebut bukan untuk mengurangi laju pertambahan penduduk. Soekarno merasa
kekayaan alam Indonesia tetap akan mampu menghidupi 250 juta penduduknya.
Meskipun tersendat-sendat, program keluarga berencana pertama tersebut berjalan
dengan sukses.
Pada Februari 1967, diadakan kongres nasional pertama oleh Perkumpulan
Keluarga Berencana Indonesia yang dibentuk tanggal 23 Desember 1957. Kemudian
pada April 1967, didirikan Proyek Keluarga Berencana DKI dan merupakan proyek
pertama yang dilaksanakan oleh pemerintah. Satu tahun kemudian, tepatnya pada bulan
November, pemerintah Indonesia mendirikan Lembaga Keluarga Berencana Nasional
(LKBN) yang di tahun 1970 diganti menjadi BKBN. Secara resmi, pada tahun 1969
program KB masuk ke dalam Pelita I dan merupakan bagian dari program pembangunan
nasional. Pelaksanaan program KB akan menentukan berhasil tidaknya perwujudan cita-
cita Nasional yaitu kesejahteraan bangsa Indonesia yang juga berkaitan erat dengan
pembangunan ekonomi yang sedang diusahakan.
Untuk pertama kali, program KB diterapkan di Jawa dan Bali yang padat
penduduk. Target pemerintah adalah mencegah 600.000 – 700.000 kelahiran. Kemudian
pada Pelita II, program KB diperluas hingga ke 16 propinsi di luar pulau Jawa dan Bali
dengan kode LJB I karena program KB pertama mengalami kesuksesan. Di Pelita III,
program KB kembali diperluar ke area dengan kode LJB II dan seluruh propinsi
Indonesia tercakup dalam program.
12
Republika Online, 2010, Penduduk Indonesia Capai 237,56 Juta, 18 Oktober 2010,
<http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/10/10/19/141061-2010-penduduk-indonesia-
capai-23756-juta>, 3 Januari 2011.
13
Prof. Dr. M. Singarimbun, HonLLD, Penduduk dan Perubahan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hal.
11.
7
Dalam upaya menurunkan angka kesuburan sebanyak 50% dari tahun 1971
pada tahun 2000, BKBN mengajukan program demografis 10 tahun lebih awal yaitu pada
tengah Pelita V atau sekitar tahun 1991. Untuk memenuhi target tersebut, BKBN
setengah memaksa para pasangan usia subur misalnya dengan pernyataan bahwa anak
ketiga bukan anak pemerintah, dan penghentian jatah 10 kg beras. 14 Kebijakan setengah
memaksa pemerintah ini dianggap berlawanan dengan Tindakan Kependudukan Dunia
yang telah disepakati di Bucharest tahun 1974. Program Keluarga Berencana seharusnya
lebih bersifat sukarela dengan menyediakan akses terhadap alat kontrasepsi yang murah
harganya dan mudah didapat serta meningkatkan pendidikan perempuan. Namun, pada
kenyataannya, tuntutan BKBN berefek positif. Angka kesuburan mengalami penurunan
yang cukup berarti. Selain itu, semakin banyak pasangan yang menggunakan alat
kontrasepsi atau menjadi akseptor dan sebanyak 84% membiayai pengadaan kontrasepsi
secara mandiri.15
Namun, seiring terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia, harga dan
pengadaan kontrasepsi menjadi mahal dan kemampuan ekonomi masyarakat menurun
yang kemudian menyebabkan skala prioritas bergeser dalam membelanjakan uang. 16 Hal
ini mengakibatkan terjadinya peningkatan kasus untuk tidak menggunakan alat
kontrasepsi atau tetap menggunakan kontrasepsi tetapi dengan kualitas yang tidak efektif.
Penggunaan alat kontrasepsi yang tidak efektif tentunya akan meningkatkan probabilitas
seorang wanita untuk hamil. Pada saat krisis, terbukti jumlah penduduk Indonesia
meningkat menjadi 204,4 juta pada tahun 1998 setelah sebelumnya berada di angka 201,4
juta pada tahun 1997.17 Ketika kehamilan tersebut tidak diinginkan, aborsilah yang
kemudian menjadi jalan keluar. Hal ini juga dipicu dengan adanya norma baru yaitu
keluarga kecil bahagia sejahtera yang menyarankan untuk memiliki anak sedikit yang
sebenarnya bertentangan dengan norma tradisi dimana banyak anak itu akan
mendatangkan keuntungan.
14
Tukiran, “Penduduk dan Pembangunan Berkelanjutan”, dalam Faturochman & A. Dwiyanto (ed.),
Reorientasi Kebijakan Kependudukan, Aditya Media, Yogyakarta, 2001, hal 19.
15
Tukiran, “Penduduk dan Pembangunan Berkelanjutan”, hal 18.
16
Sukamdi, “Memahami Masalah Kependudukan di Indonesia: Telaah Kritis terhadap Kondisi
Kependudukan Dewasa Ini”, dalam Faturochman & A. Dwiyanto (ed.), Reorientasi Kebijakan
Kependudukan, Aditya Media, Yogyakarta, 2001, hal 45.
17
Sukamdi, “Memahami Masalah Kependudukan di Indonesia: Telaah Kritis terhadap Kondisi
Kependudukan Dewasa Ini, hal 47.
8
C. Analisis Perbandingan
India dan Indonesia merupakan dua negara yang memiliki masalah yang
sejenis dalam kependudukan. Adanya ledakan jumlah penduduk membuat pemerintah di
kedua negara mengambil tindakan dengan mengeluarkan kebijakan berkaitan dengan
pengontrolan kelahiran atau birth control dengan program keluarga berencana.
Perbandingan kebijakan kependudukan antara India dan Indonesia menggunakan model
proses implementasi kebijakan milik van Meter dan van Horn dengan membandingkan
empat variabel dari enam variabel yang membentuk ikatan antara kebijakan dengan
kinerja yaitu ukuran-ukuran dasar dan tujuan kebijakan, komunikasi antar organisasi
dan kegiatan pelaksanaan, kondisi ekonomi, politik dan social serta kecenderungan
pelaksana.
Variabel pertama adalah ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan.
Ukuran-ukuran dasar dan tujuan kebijakan antara kebijakan National Population Policy
India dengan Keluarga Berencana Indonesia sama satu sama lain yaitu untuk mengurangi
tingkat pertumbuhan penduduk dengan mengontrol tingkat kelahiran muncul karena
ketakutan pemerintah pada akibat yang akan ditimbulkan oleh jumlah penduduk yang
masiv. Pemerintah Indiadan Indonesia sama-sama takut ketika jumlah penduduk semakin
banyak, reformasi atau pembangunan ekonomi yang sedang coba digalakkan akan gagal.
Hal ini juga berkaitan dengan ketakutan pemerintah kedua negara akan kemiskinan. Baik
Indiamaupun Indonesia sama-sama menganggap jumlah penduduk yang banyak akan
memicu terjadinya persaingan kerja, dan ketika kuota yang dibutuhkan telah tercapai
padahal masih banyak orang yang belum mendapatkan pekerjaan, maka sangat
dimungkinkan banyak warga akan hidup dalam kemiskinan karena tidak mendapatkan
pekerjaan atau karena pekerjaan yang hasilnya tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Ketakutan pemerintah India maupun Indonesia dapat dihubungkan dengan
teori penduduk dari Malthus maupun Marx. India yang sejak kemerdekaannya pada tahun
1947 hingga tahun 1991 sebagai negara sosialis, menganggap bahwa penduduk yang
banyak adalah sebuat aset bagi India meskipun dengan sumber daya yang terbatas.
Namun hal ini berubah pada tahun 1980an dimana pemerintah mulai menganggap
9
tingginya pertumbuhan penduduk akan menghambat pembangunan ekonomi dan
menyebabkan kemiskinan dan konflik sosial.
Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Mekipun dikatakan sebagai
negara yang tidak memihak salah satu blok, ketika di bawah kepemimpinan Soekarno
Indonesia cenderung bergerak ke arah sosialis. Tidak mengherankan jika pendapat
Soekarno sejalan dengan apa yang dipikirkan oleh Mao yaitu pengurangan laju
pertambahan penduduk tidak diperlukan karena jumlah penduduk yang besar adalah
sebuah aset bagi negera dan sumber daya di Indonesia mampu memenuhi kebutuhan
hidup seluruh penduduk di Indonesia. Namun, ketika Indonesia yang berada di bawah
kepemimpinan Soeharto menggalakkan adanya pembangunan ekonomi yang sejalan
dengan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat Indonesia, maka pemerintah secara
resmi mengeluarkan kebijakan Keluarga Berencana. Hal ini sejalan dengan teori
Malthusian yang menekankan bahwa laju pertambahan penduduk harus dibatasi untuk
menghindari adanya kemiskinan. Di India dan Indonesia, pembatasan laju pertambahan
penduduk sama-sama menggunakan preventive checks yaitu dengan menekan angka
kelahiran dan diwujudkan dalam sebuah kebijakan publik atau sebuah output yaitu
National Population Policy dan Keluarga Berencana.
Variabel kedua adalah komunikasi antar organisasi dan kegiatan pelaksanaan.
Di India sendiri, kebijakan National Population Policy telah disosialisasikan oleh
pemerintah India secara luas beserta tujuan kebijakan. Hal ini terlihat dengan banyaknya
cara yang digunakan oleh para pelaksanaan kebijakan terutam instansi terkait dimana
mereka melakukan sterilisasi untuk mencapai tujuan dari kebijakan tersebut. Sayangnya,
sistem sentralisasi kebijakan di India menyebabkan tidak selarasnya pemahaman tujuan
kebijakan. Sedangkan di Indonesia sendiri pemerintah memang mensosialisasikan
kebijakan KB secara bertahap yaitu pada awal penerapan kebijakan dikonsentrasikan di
Jawa dan Bali baru setelah itu di sosialisasikan di luar kedua pulau tersebut. Tujuan-
tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah disampaikan melalui BKBN dan dilaksanakan
dengan setengah memaksa para pasangan usia subur.
Variabel ketiga adalah kondisi ekonomi, sosial, dan politik. Di India, kondisi
ekonomi saat itu berada dalam tahap perkembangan ekonomi di bawah rancangan
reformasi ekonomi setelah kemerdekaan India tahun 1947. Hal tersebut menyebabkan
10
kebijakan ini menjadi prioritas utama pemerintah karena ketakutan pemerintah terhadap
jumlah penduduk yang masiv akan menyebabkan reformasi ekonomi yang sedang
digalakkan oleh pemerintah gagal dilaksanakan. Kondisi sosial yang ada di India saat itu
tidak memungkinkan untuk diterapkannya kebijakan ini. Hal ini dikarenakan budaya di
India yang memfavoritkan anak laki-laki dibanding anak perempuan sehingga ketika
suatu keluaga belum mendapatkan anak perempuan mereka akan berusaha mendapatkan
anak laki-laki. Hal tersebut juga didukung oleh kondisi politik yang menerapkan
sentralisasi dalam setiap kebijakan pemerintah sehingga tujuan kebijakan tidak dipahami
secara selaras antara pusat dengan lokal. Hal tersebut juga berlaku di Indonesia yang
sedang berada dalam reformasi ekonomi di bawah kepemimpinan Soeharto.
Variabel terakhir adalah kecenderungan pelaksana terkait respon terhadap
kebijakan dan intensitas respon tersebut. Respon awal terhadap kebijakan National
Population Policy yang menganjurkan adanya family planning sangat positif. Meskipun
demikian, kebijakan yang melaksanakan sterilisasi tersebut baru dipahami setelah tiga
hingga empat tahun sosialisasi secara tatap muka. Hal tersebut juga terjadi di Indonesia.
Respon terhadap kebijakan KB cenderung positif meski dilaksanakan secara bertahap dan
saat ini terhalang krisis ekonomi yang menimpa Indonesia.
Secara keseluruhan, kebijakan keluarga berencana baik di India maupun di
Indonesia mempunyai persamaan dalam hal tujuan dan ukuran dasar kebijakan.
Perbedaannya terletak pada cara pemerintah melaksanakan kebijakan. Misalnya saja, di
Indonesia kebijakan dilakukan dengan setengah memaksa, namun di India tidak ada
unsure pemaksaan dalam pelaksanaannya. Pemerintah India cenderung tidak begitu
peduli terhadap pelaksanaan kebijakan karena hingga saat ini memiliki anak lebih dari
dua masih umum di India.
BAB III
11
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
12
Pustaka Literatur
Almond, Gabriel A, G. Bingham Powell Jr, Russel J. Dalton, & Kaare Strøm. 2008.
Comparative Politics Today: A World View. New York: Pearson Longman.
Department of Economic and Social Affairs. 2010. World Population Policies 2009. New
York: United Nations.
Faturochman dan Agus Dwiyanto. 2001. Reorientasi Kebijakan Kependudukan.
Yogyakarta:Aditya Media.
Haub, Carl. 2009. India’s Population Policy. Berlin: Berlin Institut.
Government of India. 2011. Census of India: Provisional Population Totals. India:
Office of the Register Gneral & Census Commissioner.
Mantra, Prof. Ida Bagoes, Ph.D. 2009. Demografi Umum. Edisi ke-2. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Miró, Carmen A and Joseph A. Potter. 1980. Population Policy: Research Priorities in
the Developing World. Londong: Frances Pinter (Publisher).
Muslimin, Prof. H. Amrah, S.H. 1986. Keluarga Berencana (Pantang Berkala): Aspek
Masalah Kependudukan. Jakarta: CV. Akademika Pressindo.
Singarimbun, Prof. Dr. Masri, HonLLD. 1996. Penduduk dan Perubahan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Winarno, Budi. 2007. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta: Media
Pressindo.
Pustaka Online
Central Intelligent Agency. The World Fact Book, Country Comparison: Population.
Diunduh dari <https://www.cia.gov/library/publications/the-world-
factbook/rankorder/2119rank.html?
countryName=Indonesia&countryCode=id®ionCode=eas&rank=4#id> pada 3
Januari 2011.
Country Studies. Population and Family Planning Policy. Diunduh dari
<http://www.country-studies.com/india/population-and-family-planning-
policy.html> pada 19 Mei 2011.
13
GeoHive. Countries with highest population for 1950, 2010, and 2050. Diunduh dari
<http://www.geohive.com/earth/population3.aspx> pada 17 Juni 2011.
14