Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH KULTUR JARINGAN

Media Tanam Kultur Jaringan


(Jenis Media,Komposisi Media, Unsur Hara, ZPT, Komtaminan)

Dosen Pengampu :
Dr. Dasumiati, M.Si.
Ardian Khairiah, M.Si.

Kelas : 5A Biologi
Disusun Oleh Kelompok 4 :
Dita Ayu Kurnia sari 11190950000003
Widad Hanifah 11190950000033
Zulfanida Musyaffa 11190950000030

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021
Daftar Isi

Daftar Isi....................................................................................................................................................2
BAB I. PENDAHULUAN.........................................................................................................................3
1.1Latar Belakang.............................................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................................4
1.3 Tujuan.........................................................................................................................................4
BAB II. PEMBAHASAN..........................................................................................................................5
2.1 Media Tanam..............................................................................................................................5
2.2 Jenis-Jenis Media Kultur Jaringan.............................................................................................6
2.3 Komposisi Media Tanam............................................................................................................7
2.4 Unsur Hara Media Tanam..........................................................................................................7
2.5 ZPT............................................................................................................................................12
2.6 Kontaminan...............................................................................................................................14
2.7 Contoh jurnal …………………………………………………………………………………….17
BAB III
3.1 Kesimpulan ......................................................................................................................................21
3.2 Daftar Pustaka …………………………………………………………………………………….22

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan (in vitro) adalah salah satu cara yang
digunakan untuk mengatasi masalah tersebut. diharapkan dengan metode kultur jaringan akan
diperoleh bibit dalam jumlah yang banyak, cepat, seragam (Juanda dan Bambang, 2000). Kultur
jaringan secara umum dapat diartikan sebagai metode untuk mengisolasi bagian tanaman,seperti
protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan, dan organ, dan menumbuhkannya dalam kondisi
aseptik sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi
individu tanaman lengkap (Gunawan, 1987). Kultur jaringan dilakukan menggunakan media
buatan yang ditambahkan dengan beberapa zat pengatur tumbuh (ZPT) tertentu untuk
menghasilkan tanaman seperti yang diharapkan. Prinsip dasar kultur jaringan tumbuhan adalah
teori totipotensi sel yang dikemukakan oleh Gamborg dan Skyluk (1981). Teori tersebut
menyatakan bahwa suatu sel merupakan unit biologis terkecil yang dapat melakukan aktivitas
hidup seperti metabolisme, reproduksi, dan tumbuh. Kultur jaringan saat ini dikembangkan untuk
membantu mengeliminasi patogen yang terdapat dalam tumbuhan, berguna juga untuk
memperbanyak tanaman secara cepat, biotransformasi, dan manipulasi genetik.
Teknik kultur jaringan memiliki dua kegunaan utama. Pertama adalah untuk perbanyakan
cepat dalam jumlah yang banyak dan seragam sesuai induknya, dan yang kedua untuk
menghasilkan bibit-bibit baru yang unggul dalam perbaikan tanaman (Mattjik, 2005). Sedangkan
menurut Welsh (1981) penciptaan tanaman-tanaman baru secara efisien, murah dan bebas dari
virus maupun cendawan. Kultur jaringan akan lebih besar persentase keberhasilannya bila
menggunakan jaringan meristem. Jaringan meristem adalah jaringan muda, yaitu jaringan yang
terdiri dari sel-sel yang selalu membelah, dindingnya tipis belum mempunyai penebalan dari zat
pektin, plasmanya penuh dan vakuolanya kecil-kecil (Hendaryono dan Wijayanti, 1994). Salah
satu bagian jaringan meristem pada tanaman terdapat pada bagian tunas. Eksplan berupa tunas
pucuk merupakan eksplan yang paling tinggi persentasenya menghasilkan planlet, terutama jika
ditumbuhkan pada media tanpa auksin (Irawati, 2000). Menurut Dinyunita (1999) tunas yang
akan dijadikan eksplan harus berasal dari pohon induk yang fisiknya sehat. Selain itu eksplan
harus melalui tahap sterilisasi terlebih dahulu. Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan
diaplikasikan terutama pada tanaman-tanaman yang sulit dikembangbiakan secara generatif
seperti lada, jati, kapolaga, abaka, berbagai tanaman obat dan tanaman hortikultura, pada
berbagai tanaman tahunan seperti (jati, manggis, cendana) dan tanaman buah-buahan. Pada

3
tanaman-tanaman tersebut perbanyakan melalui kultur jaringan, bila berhasil dapat lebih
menguntungkan karena sifatnya akan sama dengan induknya, seragam, dalam waktu yang
singkat bibit dapat diproduksi dalam jumlah banyak dan bebas penyakit (Anonim, 2007).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja jenis media dalam kultur jaringan?
2. Komposisi ......
3. Unsur hara ......
4. Apa yang dimaksud ZPT ?
5. Bagaimana peranan ZPT dalam kultur jarigan ?
6. Apa yang dimaksud kontaminan ?
7. kontaminan apa saja yang terdapat dalam kultur jaringan ?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui jenis-jenis media tanaman kultur jaringan
2. Mengetahui komposisi pada media tanam kultur jaringan
3. Mengetahui unsur hara yang terkandung dalam media tanam kultur jaringan
4. Mengetahui dan memahami peranan ZPT dalam kultur jaringan
5. Mengetahui mecam-macam kontaminan pada kultur jaringan

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Media Tanam


Media kultur jaringan adalah media tanam yang terdiri dari berbagai komposisi dan
macam unsur hara dan sebagainya (Nursetiadi, 2008). Menurut Ryugo (1988) media tanam pada
kultur jaringan berisi kombinasi dari asam amino essensial, garam-garam anorganik, vitamin-
vitamin, larutan buffer, dan sumber energi (glukosa). Media kultur jaringan merupakan salah
satu faktor penentu keberhasilan dalam perbanyakan tanaman secara in vitro (Yusnita, 2003).
Dikarenakan media merupakan faktor penting dalam penentu keberhasilan in vitro maka menurut
Rahardja (1994) untuk membuat media dengan jumlah zat seperti yang ditentukan, diperlukan
penimbangan dan penakaran bahan secara tepat. Ketidaktepatan ukuran dapat menyebabkan
terjadinya proses yang tidak dikehendaki
Menurut Rahardja dan Wahyu (2003), media tanam kultur jaringan terdiri dari dua jenis
berdasarkan yaitu, media cair dan media padat.
1. Media cair digunakan untuk menumbuhkan eksplan sampai terbentuk PLB (protocorm
like body) yaitu eksplan yang akan tumbuh jaringan seperti kalus berwarna putih.
2. Media padat digunakan untuk menumbuhkan PLB sampai terbentuk planlet

Contoh :
Pada banyak literatur mengenai embriogenesis somatik secara tidak langsung, contoh
yang sering diberikan adalah tanaman wortel (Daucus carota). Eksplan yang berasal dari
jaringan pada umbi wortel (misalnya empulur) disterilisasi dan ditanam pada media dasar MS
padat yang mengandung 1mg/liter 2,4-D untuk menginduksi kalus. Kalus yang terbentuk
kemudian disubkultur ke media MS cair tanpa hormon untuk menginduksi sel-sel (massa sel)
yang embriogenik (sel-sel yang memiliki potensi membentuk embrio) yang selanjutnya
membentuk embrio somatik. Kultur sel dalam media cair ini dilakukan dengan shaker
(penggoyangan). Selanjutnya embrio somatik ini disubkultur ke media MS padat yang
mengandung 0,025 mg/liter ABA (absicic acid) untuk pematangan embrio (membentuk mature
embryos). Dari embrio ini selanjutnya terbentuk plantlet (Dwiyani, 2015).
Terdapat beberapa media dasar yang banyak digunakan dalam kultur jaringan yaitu
(Widyastuti, 2002) :
a) Media dasar Murashige dan Skoog (1962) yang dapat digunakan untuk hampir semua
jenis kultur,
b) Media dasar B5 untuk kultur sel kedelai dan legume lainnya,
c) Media dasar White (1934) sangat cocok untuk kultur akar tanaman tomat,
d) Media dasar Vacin dan Went (1949) digunakan untuk kultur jaringan anggrek,

5
e) Media dasar Nitsch dan Nitsch (1969) digunakan dalam kultur tepung sari (pollen) dan
kultur sel,
f) Media dasar Schenk dan Hildebrandt (1972) untuk kultur jaringan tanaman monokotil
g) Media dasar WPM (Woody Plant Medium, 1981) khusus untuk tanaman berkayu.

2.2 Jenis-Jenis Media Kultur Jaringan


1. Media MS (Murashige dan Skoog 1962)
Pertama kali digunakan oleh Skoog dalam penumbuhan kultur tembakau. Kemudian
oleh Murashige disempurnakan dengan cara mengatur komposisi garam anorganiknya.
Media MS mengandung 40 mM N dalam bentuk NO3 dan 29 mM dalam bentuk NH4+.
Konsentrasi ini lebih besar dibandingkan dengan media-media lainnya. Walaupun unsur-
unsur makro dalam media MS dibuat untuk kultur kalus tembakau, namun komposisinya
mampu mendukung kultur jaringan tanaman lain (George dan Sherington 1993).

2. Media Gamborg B5 (media B5)


Media B5 pertama kali dikembangkan untuk kultur kalus kedelai dengan
konsentrasi nitrat dan amonium lebih rendah dibandingkan media MS. Untuk
selanjutnya media B5 dikembangkan untuk kultur kalus dan suspensi, serta sangat baik
sebagai media dasar untuk meregenerasi seluruh bagian tanaman. Pada masa ini media
B5 juga digunakan untuk kultur-kultur lain (Silalahi, 2014). Media ini menggunakan
konsentrasi NH4+ yang rendah, karena konsentrasi yang lebih tinggi dari 2 mM menghambat
pertumbuhan sel kedelai. Konsentrasi fosfat yang diberikan pada media tersebut adalah 1
mM , Ca+ antara 1-4 mM, dan Mg antara 0,5-4 mM ( George dan Sherington 1993,
Gunawan 1987).

3. Media White
Media White dikembangkan oleh Hildebrant untuk keperluan kultur jaringan tumor
bunga matahari, ditemukan bahwa unsur makro yang dibutuhkan kultur tersebut, lebih
tinggi dari pada yang dibutuhkan oleh kultur tembakau. Unsur F, Ca, Hg dan S pada media
untuk tumor bunga matahari ini, sama dengan media untuk jaringan normal yang
dikembangkan kemudian. Konsentrasi NO3- dan K+ yang digunakan Hildebrant ini lebih
tinggi dari media white, tetapi masih lebih rendah dari pada media-media lain yang umum
digunakan sekarang (Silalahi, 2014).

4. Media Nitsch & Nitsch


Media Nitsch & Nitsch, menggunakan NO 3- dan K+ dengan kadar yang cukup
tinggi untuk mengkulturkan jaringan tanaman artichoke Jerussalem. Penambahan
ammonium khlorida sebanyak 0.1 mM, menghasilkan pertumbuhan jaringan yang menurun.
Mereka mengambil kesimpulan, bahwa NH 4+ sangat menunjang pertumbuhan kalus
tembakau (Silalahi, 2014).

6
5. Media Schenk & Hildebrant
Media Schenk & Hildebrant (SH) merupakan media yang juga cukup terkenal, untuk
kultur kalus tanaman monokotil dan dikotil. Konsentrasi ion-ion dalam komposisi
media SH sangat mirip dengan komposisi pada media Gamborg dengan perbedaan
kecil yaitu level Ca2+, Mg2+, dan PO4- yang lebih tinggi. Schenk & Hildebrant
mempelajari pertumbuhan jaringan dari 37 jenis tanaman dalam media SH dan
mendapatkan bahwa: 32 % dari spesies yang dicobakan, tumbuh dengan sangat baik,
19% baik, 30% sedang, 14% kurang baik, dan 5% buruk pertumbuhannya. Tetapi
karena zat tumbuh yang diberikan pada tiap jenis tanaman tersebut berbeda. Media SH
ini cukup luas penggunaannya, terutama untuk tanaman legume (Silalahi, 2014).

6. Media WPM (Woody Plant Medium)


Media WPM (Woody Plant Medium) yang dikembangkan oleh Lioyd & Mc
Coen pada tahun 1981, merupakan media dengan konsentrasi ion yang lebih rendah dari
media MS. Media diperuntukkan khusus tanaman berkayu, dan dikembangkan oleh ahli
lain, tetapi sulfat yang digunakan lebih tinggi dari sulfat pada media WPM. Saat ini WPM
banyak digunakan untuk perbanyakan tanaman hias berperawakan perdu dan pohon-
pohon. Pada umumnya media kultur jaringan dibedakan menjadi media dasar dan
media perlakuan. Resep media dasar adalah resep kombinasi zat yang mengandung
hara esensial (makro dan mikro), sumber energi dan vitamin. Dalam teknik kultur
jaringan dikenal puluhan macam media dasar. Penamaan resep media dasar pada
umumnya diambil dari nama penemunya atau peneliti yang menggunakan pertama kali
dalam kultur khusus dan memperoleh suatu hasil yang penting artinya (Silalahi, 2014).

7. Media Vacin and Went (VW)


Vacin and Went (VW) adalah media dasar yang digunakan dalam kultur jaringan
tanaman anggrek. Media ini merupakan media sederhana yang hanya terdiri dari senyawa-
senyawa yang mengandung unsur hara makro dan mikro yang dalam penggunaannya untuk
media tanam anggrek sering ditambahkan N-organik (Sucandra et al., 2015)
Kultur jaringan memerlukan media buatan yang terdiri dari unsur makro dan mikro dalam
bentuk garam, asam amino, vitamin, suplemen organik lain, sumber karbon, dan ZPT. Media
yang akan digunakan bergantung pada tujuan dan jenis tanaman serta jenis dan umur
jaringan yang akan dikulturkan. Media yang tepat untuk digunakan dalam kultur jaringan
belum dapat dipastikan karena masih ada faktor-faktor yang berpengaruh, seperti jenis
tanaman yang dikulturkan, umur tanaman induk, umur eksplan, jenis eksplan yang
digunakan, kebutuhan zat pengatur tumbuh, dan proses yang dilakukan dalam kultur
jaringan (Wetherell, 1982).

2.3 Komposisi Media Tanam


Media kultur jaringan terdiri dari beberapa atau semua komponen-komponen yaitu (George
dan de Clark, 2008):

1. Hara makro: Selalu digunakan

7
2. Hara mikro: Hampir selalu digunakan walaupun hanya besi atau kelat besi yang
digunakan.
3. Vitamin: Umumnya terintegrasi, walaupun terdapat juga yang diberikan senyawa-
senyawa yang diberikan dengan variasi yang sangat besar.
4. Asam Amino atau supplement nitrogen lainnya: kadang-kadang digunakan jika
bermanfaat.
5. Senyawa-senyawa supplement kompleks misalnya air kelapa, dan lain-lain yang jika
digunakan menyumbangkan bahan-bahan di atas dan zat tumbuh tanaman.
6. Gula: Selalu digunakan walaupun untuk tujuan-tujuan tertentu tidak digunakan.
7. Buffer: jarang digunakan
8. Bahan pemadat media: digunakan jika media semipadat yang akan digunakan dan
biasanya jenis agar.
9. Zat pengatur tumbuh: hampir selalu digunakan
10. Arang aktif: hanya untuk tujuan tertentu
Banyak resep-resep media yang berbeda komponen-komponen penyusunnya

2.4 Unsur Hara Media Tanam


Penumbuhan tanaman secara In vitro membutuhkan zat-zat yang sama dengan
tumbuhan yang ditanama secara in vivo. Makronutrient merupakan kelompok zat yang
dibutuhkan dalam konsentrasi besar hingga lebih dari 0.5 mM/l. Makronutrien 18 antara lain
nitrogen, potassium, phosphorus, calcium, magnesium and sulphur. Makronutrien lainnya
dibutuhkan dengan konsentrasi 1-3 mM/l. Micronutrient merupakan nutrien yang
dibutuhkan dengan konsentrasi kurang dari 0.05 mM/l. Beberapa diantaranya iron,
manganese, zinc, boron, copper and molybdenum.
1. Unsur hara makronutrient
Unsur makro dibutuhkan dalam jumlah cukup besar, pada umumnya diberikan dalam
bentuk persenyawaan. Beberapa persenyawaan makronutrien yang umum digunakan pada
medium kultur jaringan, antara lain: KNO3; NH4NO3; Ca(NO3).4H2O; NaNO3;
CaCl2.2H2O; MgSO2.7H2O; KCl; KH2PO4; NH4H2PO4; NaH2PO4.2H2O; Na2SO4;
(NH4)2SO4; NH4Cl; K2SO4.
a.) Nitrogen
Nitrogen diberikan dalam bentuk persenyawaan yang bermacam-macam, antara
lain: KNO3; NH4NO3; Ca(NO3).4H2O; NaNO3; NH4H2PO4; (NH4)2SO4; NH4Cl.
Kebutuhan N terbesar adalah untuk menyusun asam-asam nukleat, protein, sebagai
koenzym atau persenyawaan lain yang mengandung N seperti klorofil, alkaloid, derivat
purin dan pirimidin dan beberapa hormon endogen. Sumber nitrogen pada medium kultur
adalah ion ammonium (NH4) + dan nitrat (NO3) - . Jumlah ion ammonium yang

8
digunakan berkisar antara 2-8 mM, sedangkan nitrat berkisar antara 25-40 mM.
Pengambilan unsur nitrat memerlukan pH rendah, sebaliknya pengambilan ammonium
menyebabkan pembebasan H+ sehingga medium menjadi asam. Medium Murashige dan
Skoog (MS) menyediakan nitrogen dalam bentuk garam NH4NO3, ini merupakan
strategi yang baik dan mempunyai keuntungan ganda, karena selain sumber N nya
lengkap juga dalam bentuk garam effeknya terhadap penurunan pH medium berkurang.
b.) Fosfor
Fosfor diberikan pada medium kultur jaringan dalam bentuk persenyawaan
KH2PO4 atau K2HPO4; NH4H2PO4; NaH2PO4. Ion POtotal yang diberikan pada
medium bervariasi antara 0,5 - 20 mM/1. Unsur P didalam sel diubah menjadi
persenyawaan RNA dan DNA, zat-zat yang sangat penting yang bertanggung jawab 19
atas sifat-sifat keturunan. Unsur P diperlukan sebagai aktifator ensim untuk memacu
pertumbuhan pada jaringan meristematik. Kelebihan unsur P dapat menghambat
pertumbuhan eksplan, karena akan terjadi persaingan penyerapan dengan unsur lain
seperti seng (Zn), besi (Fe) dan tembaga (Cu).
c.) Kalium
Kalium diberikan pada medium dalam bentuk KNO3; KH2PO4 atau K2HPO4,
KCl; dan K2SO4. Ion K+ total yang diberikan pada medium bervariasi antara 1,837-
25.18 mM/1. Unsur K sangat diperlukan untuk memacu pembelahan sel, sintesa
karbohidrat dan protein, pembuatan klorofil serta untuk mereduksi nitrat. Kalium
berpengaruh pada hidratasi, menambah atau mengurangi hidratasi pada misel seiiingga
mempengaruhi keluar masuknya nutrien ke dalam sel.
d.) Sulfur
Sulfur atau belerang diberikan pada medium dalam bentuk MgSO4.7H2O;
(NH4)2SO4; K2SO4; FeSO4.7H2O; MnSO4.4H2O; ZnSO4.7H2O; CuSO4. 5H2O.
Pemberian belerang berkisar antara 0,75 - 3 mM/1. Sulfur ada didalam beberapa molekul
protein dan koenzym. Memacu perkembangan akar, juga berguna untuk ketahanan atau
proteksi tubuh tumbuhan. Belerang diserap dalam bentuk SO4=, antara lain dijadikan
aneurin, biotin, persenyawaan asam amino yang ada belerangnya misalnya, cystein,
methionin.
e.) Calcium
Calcium atau kapur diberikan pada medium dalam bentuk Ca(NO3).4H2O;
CaCl2.2H2O; Ca3(PO4)2. Pemberian ion Ca berkisar antara 1-3 mM/l. Pemakaian
Canitrat ada kelemahannya karena sangat higroskopis, sehingga didalam wadahnya
seringkali (dijumpai kristalnya berair. Sebaiknya Ca-nitrat dibuat larutan stok dan
disimpan didalam kulkas. Ca-fosfat juga ada kelemahannya yaitu tidak mudah larut.
Untuk melarutkannya, sejumlah tertentu Ca-fosfat dimasukan kedalam Erlenmeyer 50 ml,
kemudian diberi beberapa tetes HCl 0,1 N campuran ini digojok sambil dipanasi sampai
larut (tampak jemih). Calcium diperlukan untuk pembentukan dinding primitive, sebagai

9
Capectatyaitu bagian integral dari dinding sel, penting sebagai kation selular dan kofaktor
enzym. Calcium mempengaruhi hidratasi, permeabilitas dan penyerapan nutrient.
Calcium juga mempengaruhi tingginya pH, menetralisir racun, misalnya pada asam
oksalat. Asam oksalat dengan Ca akan menjadi Ca-oksalat 20 berbentuk kristal dan
diisolasi atau dimumifikasikan ikklam sel tertentu menjadi sel sel kristal.
f.) Magnesium
Magnesium terutama diberikan pada medium dalam bentuk MgSO4.7H2O.
Magnesium diperlukan sebagai elemen utama dalam pembentukan klorofil, berperan
penting sebagai aktivator ensim terutama dalam proses fosforilasi dan sintesis protein
dengan cara membentuk komplek ensim-substrat.
2. Unsur hara mikronutrient
Unsur hara maro adalah unsur yang diperlukan dalam jumlah sedikit. Fungsinya
belum diketahui secara pasti, tetapi tidak adanya zat-zat ini dapat menyebabkan kelainan
pertumbuhan. Air dan bahan kimia yang tingkat kemurniannya rendah seringkali
terkontaminasi oleh unsur hara mikro. Bentuk persenyawaan hara mikro yang umum
digunakan pada beberapa medium kultur : MnSO4.4H2O; ZnSO4. 7H2O; H3BO3; KI;
CuSO4.5H2O; NaMoO4.2H2O; CoCl2. 6H2O; FeCl3.6H2O; Fe III citrate; FeSO4.7H2O;
NaFeEDTA; Na2EDTA.2H2O; Fe(SO4)3; Fe III tartrate.
a.) Besi
Besi diperlukan dalam jumlah sedikit lebih banyak daripada unsur mikro yang
lain, diberikan dalam bentuk chelat. Pemberian Fe bersama-sama dengan NaEDTA
dimaksudkan agar besi tetap pada jangkauan pH yang luas dalam jangka waktu yang
lama sehingga dapat diserap oleh jaringan tanaman. Fe berperan penting dalam sintesis
klorofll, konfersi energi pada fotosintesis dan respirasi dengan melakukan reduksi
oksidasi, bagian dari sitokrom. Besi diberikan pada medium kultur jaringan berupa
FeCl3.6H2O; Fe III citrate; FeSO4.7H2O; NaFeEDTA 2H2O; Fe(SO4)3; Fe III tartrate.
b.) Boron
Boron diberikan pada medium kultur sebagai asam borak (boric acid, H3BO3).
Berperan dalam translokasi karbohidrat, juga terlibat dalam difsrensiasi seluler dan
perkembangan. Ikatan boron organis memungkinkan adanya diferensiasi dan penyusunan
struktur halus dari dinding sel sehingga memudahkan transport karbohidrat dan
penyerapan ion kedalam sel; sebagai aktifator dan inaktifator bagi zat pengatur tumbuh.
Kalau boron kurang zat pengatur tumbuh menjadi terlalu banyak sehingga menghambat
pertumbuhan. 21 Molybdenum diberikan pada medium sebagai sodium molybdat
(Na2MoO4. 2H2O) berpartisipasi pada konfersi nitrogen ke ammonia dan fiksasi
nitrogen, ikut dalam metabolisme protein, sintesis asam askorbat, kofaktor enzim.
c.) Manganese

10
Manganese merupakan elemen esensial yang terdapat pada membran kloroplas,
berperan sebagai aktifator ensim dengan bertindak sebagai perantara pada proses
fosforilasi atau sebagai gugus redok Mn2+ . Bahan pembentuk klorofil dan aktip dalam
fotosintesa, metabolisme protein dan pembentukan vitamin C. Pada medium kultur
diberikan dalam bentuk MnSO4. Cobalt merupakan elemen dari molekul vitamin B
komplek, esensial untuk fiksasi nitrogen. Pada medium kultur jaringan diberikan dalam
bentuk persenyawaan Cobalt Oiloride (CoCl2).
d.) Zincum
Zincum berperan sebagai aktifator ensim, penyusun khlorofil, pemacu
pembentukan zat pengatur tumbuh terutama IAA. Pada medium kultur jaringan diberikan
dalam bentuk one sulfate (ZnSO4).
e.) Cuprum
Cuprum merupakan bagian dari ensim, Cu bereaksi menjadi komponen phenolase,
lactase dan askorbat oksidase. Ikut ambil bagian dalam proses fotosintesis dan reduksi
nitrit. Cuprum diberikan pada medium kultur jaringan dalam bentuk Cupric sulfate
(CuSO4 5H20).
f.) Chlorine
Chlorine sebagai ion berpengaruh terhadap aktifitas ensim, memacu proses
fotosintesis. Chlorine diberikan pada medium kultur jaringan berupa calcium chloride
(CaCl2).
Klasifikasi hara mineral berdasarkan fungsi-fungsi biokimia:

Hara Mineral Fungsi


Grup 1. Hara yang merupakan bagian senyawa-senyawa Karbon
Komponen penyusun asam-asam amino, protein, nukleotida-
Nitrogen nukleotida, koenzim, hexoamina, dan lain-lain
Komponen penyusun sistein, sistin, metionin, dan protein. Penyusun
Sulfur asam lipoat, , koenzim A, thiamin pirofosfat, glutation, biotin,
adenosine-5- fosfosulfat, dan fosfoadenosin.
Grup 2. Hara mineral yang penting dalam penyimpanan energy dan integritas struktur
Komponen gula fosfat, asam-asam nukleat, nukleotida-nukleotida,
koenzim, fosfolipid, asam fitat, dan lain-lain. Senyawa-senyawa
Phosfor tersbut berperan penting pada reaksi-reaksi yang melibatkan ATP
(Adenosin Tri Phosphat).
Terdapat sebagai silica-silika dalam dinding sel yang menyumbang
Si terhadap sifat-sifat mekanik dinding sel termasuk rigiditas dan
elastisitas.
Boron Membentuk kompleks dengan manitol, mannan, asam
polimanuronat dan penyusun-penyusun lain dinding sel, terlibat
dalam pemanjangan sel dan metabolism asam nukleat
Grup 3. Hara-hara yang dalam bentuk ion

11
Diperlukan sebagai kofaktor untuk lebih dari 40 enzim. Secara
prinsip cation untuk kestabilan turgor sel dan menjaga
Kalium (K) elektronetralitas sel.
Penyusun lamella tengah dari dinding sel.
Calsium (Ca) Diperlukan sebagai kofaktor oleh enzim-enzim yang terlibat dalam
hidrolisis ATP dan fosfolipid. Berperan sebagai messenger kedua
Magnesium (Mg) dalam regulasi metabolic.
Diperlukan oleh banyak enzim yang terlibat dalam transfer fosfat.
Khlor (Cl) Penyusun molekul klorofil. Diperlukan untuk reaksi-reaksi
fotosintetik terlibat dalam evolusi O2.
Mangan (Mn) Diperlukan untuk aktifitas beberapa enzim-enzim dehidrogenase,
dekarboksilase, kinase, oxidase dan peroksidase. Terlibat dengan
Natrium (Na) enzim-enzim yang diaktifkan cation dan evolusi O2 fotosintetik.
Na terlibat dalam regenerasi fosfoenolpiruvat (PEP) pada tanaman
C4 dan CAM. Menggantikan untuk kalium dalam beberapa fungsi.
Grup 4. Hara yang terlibat dalam reaksi Redox
Fe
Penyusun citokhrom-citokrom dan protein-protein besi nonheme
yang terlibat fotosintesis, fiksasi N2 dan respirasi.
Zn
Penyusun alcohol dehidrogenase, glutamik dehidrogenase, karbinik
anhidrase dan lain-lain.
Komponen asam ascorbic oxidase, tirosinase, monoamine oxidase,
Cu
uricase, citokkrom oxidaase, fenolase, laccase dan plastocianin.
Penyusun urease. Pada bakteri pemfixasi N2, sebagai penyusun
hydrogenase.
Ni
Penyusun nitrogenase, nitrate reduktase, and xanthine
dehydrogenase
Mo
Sumber: (Geoge dan deKark, 2008)

2.5 ZPT
Zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik bukan nutrisi yang dalam
konsentrasi rendah mampu mendorong, menghambat atau secara kualitatif mengubah
pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Moore, 1989 cit. Santoso dan Fatimah, 2003).
Hal serupa dikemukakanoleh Hendaryono dan Wijayanti (2004) zat pengatur tumbuh (ZPT)
pada tanaman adalah senyawa organik bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat
mendukung, menghambat dan dapat merubah proses fisiologis tumbuhan.

Zat pengatur tumbuh (ZPT) mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis kultur sel,
organ, dan jaringan. Jika konsentrasi auksin lebihbesar daripada sitokinin maka kalus akan
tumbuh, dan bila konsentrasi sitokinin lebih besar dibanding auksin maka tunas akan
tumbuh (Gunawan,1987 cit. Sudarmadji, 2003). Konsentrasi ZPT pada medium sangat
berperan dalam morfogenesis (Ali et al., 2007). Ada 2 jenis hormon tanaman (auksin dan
sitokinin) yang sekarang banyak dipakai dalam propagasi secara in vitro (Wetherell, 1982).

12
Auksin menurut Kusumo (1984) zat yang memiliki sifat khas, yaitu mendorong
perpanjangan sel pucuk. Meskipun dapat mempengaruhi proses lain namun pengaruh
utamanya adalah memperpanjang sel pucuk. Zat pengatur tumbuh lain selain auksin adalah
sitokinin. Sitokinin adalah zat pengatur tumbuh yang ditemukan oleh Haberlandt pada tahun
1913

Sitokinin mempunyai peranan dalam proses pembelahan sel. Bentuk dasardari sitokinin
adalah adanya gugus adenin (6-amino purine) yang menentukan kerja sitokinin yakni
meningkatkan aktivitas dalam proses fisiologis tanaman. Dalam penelitian kultur jaringan,
apabila konsentrasi sitokinin lebih besar dari auksin, maka akan terjadi stimulasi
pertumbuhan tunas dan daun,sebaliknya bila sitokinin lebih rendah daripada auksin,maka
terjadi stimulasi pertumbuhan akar. Sebaliknya, bila perbandingansitokinin dan auksin
berimbang, maka pertumbuhan tunas, akar dan daun akan berimbang pula (Abidin, 1994).
Sitokinin merupakan ZPT yang berperan dalam mendorong pembelahan sel atau jaringan
dan merangsang perkem-bangan tunas (Wareing dan Phillips, 1970). Menurut Pierik (1987),
sitokinin dalam konsentrasi rendah dan sedang dapat meng-inisiasi pertumbuhan tunas
lateral sedangkan konsentrasi tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan tunas aksilar. Meta-
Topolin (mT) merupakan sitokinin aromatik yang diketahui dapat meningkatkan
pembelahan sel, inisiasi tunas dan pertumbuhan, dominansi apikal, penuaan dan
perkembangan fotomorfogenetik (Serap dan Narçin, 2003).

Beberapa peranan ZPT dalam kultur in vitro menurut Widyastuti dan Donowati (2001)
sebagai berikut :
1. Senyawa sintetik yang disintesa diluar jaringan tanaman dan mempunyai sifat fisiologis
dan biokimia yang serupa dengan hormon tanaman adalah ZPT. Hormon tanaman dan ZPT
pada umumnya mendorong terjadi sesuatu pertumbuhan dan perkembangan.
2. Peranan auksin dalam kultur in vitro terutama untuk pertumbuhan kalus, suspensi sel, dan
pertumbuhan akar. Bersama-sama sitokinin dapat mengatur tipe morfogenesis yang
dikehendaki.
3. Pengaruh sitokinin di dalam kultur in vitro antara lain berhubungan dengan proses
pembelahan sel, proliferasi tunas ketiak, penghambatan pertumbuhan akar tanaman dan
induksi umbi mikro kentang.
Salah satu jenis ZPT dari golongan sitokinin yang sering dipakai dalam kultur
jaringan yaitu BAP (6-benzylaminopurine). Menurut George & Sherrington (1984) 6-
Benzilaminopurine (BAP) merupakan salah satu sitokinin sintetik yang aktif dan daya
merangsangnya lebih lama karena tidak mudah dirombak oleh enzim dalam tanaman.
Sedangkan menurut Noggle dan Fritz (1983) BAP memiliki struktur yang mirip dengan
kinetin dan juga aktif dalam pertumbuhan dan proliferasi kalus. sehingga BAP merupakan
sitokinin yang paling aktif. Selain itu kultur tunas pucuk pada medium MS, baik yang
mengandung sitokinin (BAP) tunggal maupun kombinasi menunjukkan respon yang

13
bervariasi. Walaupun konsentrasi BAP 2,0 mg/L paling aktif menginduksi tunas, kombinasi
dari BAP (2 mg/L) dan IAA (0,5 mg/L) memberikan penggandaan tunas maksimum (Rajore
dan Batra, 2005). Menurut Salisbury dan Ross (1995) IBA lebih lazim digunakan untuk
memacu perakaran dibandingkan NAA ataupun auksin lainnya. IBA bersifat lebih aktif,
sekalipun cepat dimetabolismekan menjadi IBA aspartat dan sekurangnya menjadi satu
konjugat dengan peptide lain.

Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) merupakan faktor yang sangat perlu diperhatikan dalam
penggunaannya dalam kultur jaringan. Jenis ZPT yang umum digunakan adalah golongan
auksin seperti Indole Acetic Acid (IAA), Napthalene Acetic Acid (NAA), dan 2,4-D.
Sedangkan golongan sitokinin yang sering digunakan adalah Kinetin, Benzyladenin (BA),
dan Thidiazuron. Auksin memiliki peran untuk merangsang pertumbuhan akar dan
menghambat pertumbuhan tunas, sedangkan sitokinin berperan untuk menginduksi
pertumbuhan tunas dan menghambat pertumbuhan akar (Yuliarti, 2010). Zat pengatur
tumbuh berfungsi untuk merangsang pembelahan sel dan mengatur pertumbuhan dan diffrensiasi
akar dan taruk (shoot) pada eksplan. Zat pengatur tumbuh yang banyak digunakan dalam kultur
jaringan yaitu auxins, cytokinin, gibberellins dan abscissic acid.

1. Auxins

Auksin berfungsi menginduksi pembelahan sel, pemanjangan sel, apikal dominansi,


pembentukan akar adventif, dan embriogensis somatis. Pada saat konsentrasi auksi rendah
maka auksin akan menginduksi inisiasi akar dan pada konsentrasi tinggi akan merangsang
pembentukan kalus. Auksin sintetis yang banyak digunakan seperti 1-naphthaleneacetic
acid (NAA). 2,4 dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D), indole-3 acetic acid (IAA), dan
indolebutyric acid (IBA) IBA dan IAA bersifat photosensitive (sentitif terhadap cahaya)
sehingga larutan stoknya harus dismpan dalam keadaan gelap. 2,4-D digunakan untuk
menginduksi dan mengatur embriogenesis somatis.

2. Cytokinins

Citokinin berfungsi merangsang pembelahan sel dan merangsang inisiasi dan pertumbuhan
shoot secara in vitro. Citokinin sintetik yang banyak digunakan dalam kultur jaringan antara
lain: Zeatin, 6- benzylaminopurine (BAP), dan kinetin, 2-iP . Sitokinin bertindak mengatur
dominansi apikal dengan merangsang pembentukan taruk aksiler. Ketika digunakan dalam
konsentrasi yang tinggi, sitokinin akan menghambat pembentukan akar dan menginduksi
pembentukan taruk. Rasio auksin dan sitokinin dalam kutur akan menentukan arah
morfogenesis. Rasio auksin dan sitokiknin akan menentukan morfogenesis, jika rasio rendah
akan menginisiasi pembentukan kalus maupun akar dan jika rasionya tinggi maka akan
menginisasi pembentukan shoot.

14
3. Gibbrellins dan abscissic acid

Gibbrellins dan abscissic acid: merupakan kelompok Zat pengatur tumbuh yang jarang
digunakan. Gibbrellic acid (GA3) banyak digunakan untuk pemanjangan internodus dan
pertumbuhan meristem. Abscissic acid (ABA) digunakan hanya untuk embriogenesis
somatis dan kultur spesies tumbuhan berkayu.

2.6 Kontaminan
Kontaminasi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan gangguan pertumbuhan dan
perkembangan, bahkan eksplan dapat mati sebelum tumbuh menjadi plantlet. Jenis
kontaminan yang ditemukan adalah jamur dengan hipa yang berwarna putih sedikit merah
muda, jamur yang berwarna hijau kehitaman, bakteri berwarna putih susu, dan bakteri
berwarna kuning susu. Jenis kontaminan tersebut dapat dikenali dari bakteri licin, sedangkan
pada jamur kasar dan kadang-kadang terdapat serat hipa. Kontaminan yang paling banyak
ditemukan pada kultur adalah bakteri berwarna putih susu. Bakteri tersebut tidak mematikan
plantlet, tetapi proses kontaminasi berlangsung lambat sesuai dengan pertumbuhan bakteri,
sehingga plantlet untuk jangka waktu tertentu dapat tumbuh secara normal. Kecepatan
terjadinya kontaminasi dipengaruhi oleh tingkat sterilisasi dari proses yang dilakukan (Litz
1994,Hussey 1978).

Adapun kontaminasi yang sering terjadi pada kultur jaringan tanaman terdiri atas 2
jenis yaitu kontaminasi oleh bakteri atau kontaminasi oleh jamur. Untuk membedakan kedua
jenis kontaminasi ini, dapat dilihat dari ciri-ciri fisik yang muncul pada eksplan maupun
media kultur. Bila terkena kontaminasi bakteri maka tanaman akan basah atau menyebabkan
lendir, hal ini dikarenakan bakteri langsung menyerang terhadap jaringan dari tubuh
tumbuhan itu sendiri. Sedangkan bila terkontaminasi oleh jamur, tanaman akan lebih kering,
dan akan muncul hifa jamur pada tanaman yang terserang dan biasanya dapat dicirikan
dengan adanya garis-garis (seperti benang) yang berwarna putih sampai abu-abu.

Menurut Juarna (2016) eksplan daun lebih rentan terhadap munculnya kontaminasi
dibanding organ tumbuhan yang lain. Widiastoety (2001), bahwa kontaminasi pada eksplan
yang ditanam dapat terjadi karena infeksi secara eksternal maupun internal. Kontaminasi
eksternal akan muncul dua sampai tiga hari setelah tanam, sedangkan kontaminasi secara
internal akan terjadi setelah empat hari setelah tanam. Pada penelitian ini rata-rata tumbuh
jamur tiga hari setelah tanam. Kontaminan pada kultur jaringan dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya kebersihan alat, bahan serta eksplan yang digunakan, perbedaan jamur
kontaminan yang tumbuh pada beberapa kultur diduga karena jenis eksplan yang berbeda.
Menurut Juarna (2016) adanya perbedaan karakter jamur kontaminan yang tumbuh pada
kultur eksplan daun dan eksplan tangkai daun. Persamaan karakter jamur kontaminan pada
setiap kultur diduga disebabkan karena perlakuan dan penggunaan media tumbuh yang
sama. Menurut Waluyo (2004) mikroorganisme membutuhkan nutrien untuk kelangsungan

15
hidupnya yang berperan sebagai sumber energi dan bahan pembangun sel. Bahan makanan
yang diperlukan adalah air, sumber energi, sumber karbon, sumber mineral, dan nitrogen.
Kebutuhan akan zat-zat nutrisi bervariasi dari setiap mikroorganisme. Oratmangun et al,
(2017) terdapat kesamaan karakter jamur kontaminan pada penggunaan media medium MS
(Murashige dan Skoog).
Kontaminasi pada eksplan yang ditanam dapat terjadi karena infeksi secara eksternal
maupun internal. Kontaminasi eksternal dapat berasal dari alat dan bahan yang tidak steril,
hewanhewan kecil yang masuk ke dalam botol kultur serta dari udara. Kontaminasi internal
berasal dari dalam jaringan tanaman. mikroba yang berasal dan berasosiasi di dalam jaringan
tanaman disebut dengan mikroba endofit merupakan jamur( Joko et al, 2021)
Kontaminasi pada media dan eksplan terjadi karena adanya jamur ataupun bakteri
yang tidak mati pada saat sterilisasi media maupun yang masuk dalam media pada saat
proses penanaman, atau saat pemeliharaan. Pada media atau eksplan yang terkontaminasi
oleh jamur maka akan terdapat jamur yang berwarna putih yang akan terus tumbuh
menutupi botol kultur. Ketika jamur tumbuh pada media atau eksplan maka embrio
pertumbuhannya akan terhambat bahkan dapat menyebabkan kematian pada embrio.
Terjadinya kontaminasi hampir merata terdapat pada setiap perlakuan media. Adapun
kombinasi perlakuan yang terkontaminasi oleh jamur yang terdapat pada media adalah
B0N0(3), B1N0(3), B2N0(2), B3N0(3), B0N1(6), B0N2(6), dan B3N2(2). Kontaminasi
jamur pada eksplan terdapat pada perlakuan B1N1(6) dan B2N1(2). Kontaminasi yang
disebabkan oleh bakteri pada media menunjukan ciri-ciri diantaranya media menjadi
berwarna lebih keruh atau berwarna kecoklatan dan media menjadi lebih cair. Apabila pada
media terdapat bakteri maka embrio kebiul tidak dapat tumbuh dengan baik. Embrio kebiul
bahkan bisa mati seiring dengan pertumbuhan bakteri. Adapaun media yang terkontaminasi
oleh bakteri terdapat pada perlakuan B2N1(1) dan B2N2(4).

Contoh jurnal

16
1. Alat dan bahan :
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah media MS, alkohol 70%, akuades
steril, planlet kentang in vitro sebagai sumber eksplan, HCl, NaOH, agar dan sukrosa, dan ZPT
meta-Topolin, spiritus. Alat-alat yang akan digunakan seperti botol kultur, cawan petri, skapel,
Erlenmeyer, pinset dan gelas ukur, pipet,autoklaf.
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
faktor tunggal yang terdiri dari 12 perlakuan berupa kombinasi media modifikasi MS dengan
konsentrasi meta-Topolin. Media modifikasi MS yang digunakan terdiri dari ½ MS, ¾ MS dan
MS penuh, sedangkan konsentrasi mT terdiri dari 0, 1, 2, dan 3 ppm. Masing-masing perlakuan
kombinasi diulang sebanyak 3 kali.
2. Cara kerja :
1. Alat-alat yang akan digunakan seperti botol kultur, cawan petri, skapel, Erlenmeyer,
pinset dan gelas ukur, pipet setelah dicuci bersih, kemudian dikeringkan dan disterilisasi
menggunakan autoklaf pada tekanan 1,5 psi (kg/cm2), pada suhu 1210C selama 20 menit.
2. Untuk membuat media perlakuan, larutan stok media dan vitamin dipipet dengan volume
sesuai komposisi media MS yang menjadi perlakuan (½ MS, ¾ MS dan MS penuh), lalu
dimasukkan ke dalam Erlenmeyer. Selanjutnya ditambahkan ZPT meta-topolin dengan
konsentrasi sesuai perlakuan (1, 2 dan 3 ppm), sukrosa, dan aquades sesuai dengan
banyaknya media yang akan dibuat. Pengaturan pH media dilakukan dengan
menggunakan NaOH atau HCl hingga mencapai 5,8. Agar sebagai pemadat ditambahkan
kemudian larutan medium dipanaskan sampai mendidih. Media dituangkan ke dalam
botol-botol kultur ± 15 mL dan ditutup menggunakan alumunium foil, lalu disterilisasi
dalam autoklaf dengan tekanan 1,5 atm selama 45 menit.
3. Penanaman eksplan dilakukan di dalam laminar air flow cabinet. Eksplan yang
digunakan berupa tunas dari planlet in vitro dipotong dengan ukuran panjang 1 cm.

17
Kemudian eksplan ditanam dalam media perlakuan. Kultur diinkubasi dengan intensitas
penyinaran 1.000 lux, suhu 20-22oC dan kelembaban 80%.
4. Pengamatan dilakukan pada 40 hari setelah tanam (HST) terhadap parameter tinggi
planlet, panjang tunas, jumlah tunas, jumlah daun, panjang akar dan jumlah akar. Data
dianalisis menggunakan Analisis Varians (Anava) dan jika terdapat perbedaan nyata
dilakukan uji lanjut menggunakan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.

3. Hasil dan pembahasan

 Hasil Analisis Varians (Anava) menunjukkan bahwa kombinasi media modifikasi MS


dengan ZPT meta-Topolin berpengaruh nyata terhadap tinggi planlet, panjang tunas,
jumlah tunas dan jumlah daun. Untuk melihat perbedaan antar perlakuan, dilakukan uji
jarak berganda Duncan yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 1.
 Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata tinggi planlet, panjang tunas, jumlah tunas dan
jumlah daun tertinggi berturut-turut sebesar 5,07 cm; 3,37 cm; 7 tunas dan 29,67 helai
terdapat pada kombinasi ½ MS + 2 ppm meta-Topolin, namun penambahan meta-Topolin
3 ppm menyebabkan penurunan semua parameter tersebut. Salisbury dan Ross (1995)
menyatakan bahwa konsentrasi ZPT yang terlalu tinggi untuk suatu jenis tanaman

18
tertentu akan mendorong sintesis etilen yang kemudian menghambat pemanjangan sel,
dalam hal berakibat pada hambatan pertambahan tinggi planlet.
 ZPT meta-Topolin sebagai golongan sitokinin berperan penting dalam pembelahan dan
perkembangan sel sehingga mampu meningkatkan pembentukan tunas dengan
konsentrasi tertentu pada tanaman tertentu (Teklehaymanot, 2010). Hal ini sesuai dengan
pendapat Yuswindasari (2010) yang mengemukakan bahwa penggunaan sitokinin
mempunyai peranan penting yaitu merangsang pembelahan sel dalam jaringan eksplan
serta merangsang pertumbuhan tunas dan daun.
 Pada media ¾ MS dan MS penuh, terjadi penurunan rata-rata tinggi planlet, panjang
tunas, jumlah tunas, dan jumlah daun dengan penambahan mT pada semua konsentrasi (1
ppm hingga 3 ppm) sehingga pertumbuhan eksplan yang lebih baik diperoleh pada
perlakuan media tanpa meta-Topolin. Efek hambatan pertumbuhan yang ditimbulkan
pemberian meta-Topolin tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan sitokinin untuk
pembentukan tunas telah terpenuhi dari sitokinin endogen yang dihasilkan eksplan secara
alami.
 Tabel 1 menunjukkan pula bahwa penggunaan media ½ MS dan ¾ MS menghasilkan
pertumbuhan yang lebih baik. Menurut Syahid dan Bermawie (2000), pengurangan
kandungan total ion khususnya garam-garam makro dapat mengurangi terbentuknya
sitokinin endogen sehingga menyebabkan ratio auksin sitokinin dalam tanaman dalam
keadaan yang optimal. Keseimbangan antara sitokinin dan auksin akan menghasilkan
tunas dan akar yang lebih baik (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Pemakaian unsur
makro yang lebih rendah yang terdapat pada media ½ MS membuktikan bahwa lebih baik
dalam pertumbuhan tanaman (Islam et al, 2003).
 Hasil Anava menunjukkan bahwa kombinasi media modifikasi MS (Murashige & Skoog)
dengan ZPT meta-Topolin berpengaruh nyata terhadap jumlah dan panjang akar. Untuk
melihat perbedaan antar perlakuan, dilakukan uji jarak berganda Duncan yang hasilnya
dapat dilihat pada Tabel 2.
 Tabel 2 menunjukkan bahwa eksplan tunas mampu membentuk akar pada semua
perlakuan, meskipun tanpa penambahan auksin eksogen ke dalam media. Hal ini
disebabkan eksplan secara alami menghasilkan auksin endogen untuk mendukung
pembentukan akar.
 Agriani (2010) menyatakan bahwa secara alami beberapa eksplan dapat memproduksi
auksin dalam jumlah yang cukup. Proses pemanjangan akar dimulai dengan
perangsangan oleh auksin endogen. Keberadaan auksin endogen sudah terbukti
merangsang terjadinya organogenesis dan mengarah pada terbentuknya akar (Farzana,
2007).
 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa auksin endogen yang dihasilkan eksplan telah
mencukupi untuk pembentukan akar dan berinteraksi dengan sitokinin/meta-Topolin
yang ditambahkan ke dalam media untuk mendukung pertumbuhan eksplan. Menurut
George dan Sherrington (1984), perimbangan konsentrasi auksin dan sitokinin yang tepat
sering kali mampu memperbaiki pemanjangan akar.
 Kombinasi ½ MS + 2 ppm meta-Topolin menghasilkan rata-rata jumlah akar tertinggi
yaitu 5,67 buah dan panjang akar tertinggi yaitu 5,91 cm dan menurun pada pemberian 3

19
ppm meta-Topolin. Demikian halnya pada media ¾ MS dan MS penuh, penambahan
meta-Topolin pada semua konsentrasi menyebabkan hambatan pembentukan akar.
 Dalam penelitiannya, Gusta dkk (2011) melaporkan bahwa konsentrasi sitokinin (BA)
yang semakin tinggi cenderung menghambat pertumbuhan akar, sehingga mengakibatkan
jumlah akar menjadi lebih sedikit dan akar menjadi pendek. Ketepatan ZPT yang
ditambahkan sangat penting dalam organogenesis, karena akan terjadi interaksi antara
ZPT yang digunakan dengan zat-zat endogen yang terdapat dalam jaringan tumbuhan
(Mervat et al., 2009 dalam Gusta, dkk., 2011).
 Eksplan tunas yang ditanam pada media ½ MS dan ¾ MS menghasilkan rata-rata jumlah
akar lebih tinggi daripada media MS penuh. Syahid dan Bermawie (2000)
mengungkapkan bahwa semakin rendah konsentrasi media dasar yang digunakan
cenderung menghasilkan akar yang lebih banyak karena pengurangan total ion khususnya
hara makro dapat mengurangi pembentukan sitokinin endogen, sehingga dalam hal ini
mampu menginduksi akar.

20
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

21
Daftar Pustaka

Abidin, Z. (1994). Dasar-Dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Bandung: Penerbit
Angkasa.

Ali, G., F. Hadi, Z. Ali, M. Tariq, and M. A. Khan. (2007). Callus Induction And In Vitro
Complete Plant Regeneration Of Different Cultivars Of Tobacco (Nicotiana tabacum L.)
On Media Of Different Hormonal Concentration. Biotechnology. 6(4): 561-566.

Anonim. (2007) . Aktifitas Penelitian Dalam Kultur Jaringan Tanaman. Diakses dari
http://www.indobiogen.or.id/bsj/bsj_aktivitas.php. Tanggal 13 Sept 2021.

Clark, R.C., & Mayer, R.E. (2008). E-Learning and the Science of Instruction. San Francisco:
John Wiley & Sons, Inc.

Dinyunita. (1999). Kultur Jaringan. Diakses dari www.indobiogen.or.id. Tanggal 15 Sept 2021.

Dwiyani, Rindang. (2015). Kultur Jaringan Tanaman. Bali: Pelawa Sari.

Gamborg, O.L., Miller, R.A, and Ojima, K. (1968). Nutrient Requirement of Suspension Culture
of Soybean Root Cells. Exp. Cell. Res. 50:151-158

George, E. F., dan P. D. Sherrington. (1984). Plant Propagation by Tissue Culture. England:
Exegetics Limited.

Gunawan L.W. (1987). Teknik Kultur Jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman P.A.U.
Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor.

Hendaryono, D. P. S., dan A. Wijayanti. (1994). Teknik Kultur Jaringan. Yogyakarta: Kanisius.

Hunt, G.M., Garrat, G.A., (1986). Pengawetan kayu (Terjemahan). Yogyakarta. Gajah Mada
University Press.

Hussey, G. (1978). In Vitro Propagation of the Onion Allium cepa by Axillary and Adventitious
Shoot Proliferation. Scientia Horticulturae. 9:227-236.

Irawati, (2000). Diferensiasi berbagai macam eksplan pada perbanyakan Philodendron goeldii
(Araceae) secara in-vitro. Berita Biologi. 5 (1) : 69-75.

Joko, T. and Arwiyanto, T., (2021). Karakteristik Morfologi Dan Fisiologi Bakteri Endofit Dan
Rizobakteri Dari Tanaman Cengkeh Sehat. Jurnal Agro Wiralodra, 4(1), pp.1-8.

22
Juanda, D., dan Bambang, C. (2000). Budidaya dan Analisis Usaha Tani Manggis. Yogyakarta:
Kanisius.

Juarna K.S (2016). Contamination explant Centella asiatica (L.) Urban (Pegagan) In Vitro
Culture Through Comparison Of Two Sterilization Methods. Jurnal ProLife. 3: 2.119-
128

Kusumo, S. (1984). Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Edt. 1. Yasaguna.

Mattjik, N. A. (2005). Peran kultur Jaringan Dalam Perbaikan Tanaman. FP. IPB. Bogor.

Noggle, G. R., dan G. J. Fritz. (1983). Introductory Plant Physiology: Second Edition. New
Jersey: Prentince-Hall, Inc.

Nursetiadi, Eka. (2008). Kajian Macam Media Dan Konsentrasi Bap Terhadap Multiplikasi
Tanaman Manggis (Garcinia mangostana L.) Secara In Vitro. Fakultas Pertanian,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Oratmangun K.M, Pandiangan D , Febby E. and Kandou F.E. (2017). Description Types of
Contaminants From Culture Callus Catharanthus roseus (L.) G. Don.

Pierik, R. L. M. (1987). In vitro Culture of Higher Plants. Netherlands : Martinus Nijhoff


Publisher, P. 344

Rahardja, P. C., dan Wahyu, W. (2003). Aneka Cara Memperbanyak Tanaman. Jakarta:
Agromedia Pustaka. Jakarta.

Rahardja, P. C. (1994). Kultur Jaringan Teknik Perbanyakan Tanaman Secara Modern. Jakarta:
Penebar Swadaya.

Ryugo, K. (1988). Fruit Culture. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Salisbury, F. B. dan C. W. Ross. (1995). Fisiologi Tumbuhan Jilid III. Bandung: Penerbit ITB.

Santoso, U., dan Fatimah, N. (2003). Kultur Jaringan Tanaman. Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang Press.

Silalahi, Marina. (2014). Bahan Ajar Kultur Jaringan. Prodi Pendidikan Biologi, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Kristen Indonesia.

23
Sucandra, Adi., Fetmi Silvina., dan Arnis En Yulia. (2015). Uji Pemberian Beberapa Konsentrasi
Glisin Pada Media Vacin And Went (VW) Terhadap Pertumbuhan Plantlet Anggrek
(Dendrobium sp.) Secara In Vitro. Jom Faperta. Vol 2(1).

Sudarmadji. (2003). Penggunaan Benzil Amino Purine Pada Pertumbuhan Kalus Kapas Secara
In Vitro. Buletin Teknik Pertanian. 8 (1) : 8-10.

Waluyo, L., (2004), Mikrobiologi Umum, Malang: UMM press

Welsh, J. R. (1981). Fundametal of Plant Genetic and Breeding. John Wiley and Sons, Inc.

Wetherell, D. F. (1982). Pengantar Propagasi Tanaman secara In Vitro Seri Kultur Jaringan
Tanaman. New Jersey: Avery Publishing Group Inc.

Widyastuti, N. (2002). Inovasi Memperbanyak Bibit Tanaman.


www.sinarharapan.co.id/berita/0202/13/ipt02.html. [Diakses pada Tanggal 15 Sept
2021].

Winarto. (2013). Pengaruh Medium Dasar dan Amonium Nitrat Terhadap Pembentukan,
Regenerasi Kalus, dan Penggandaan Tunas Hasil Kultur Anther Anthurium. Cianjur. J.
Hort. Vol : 23 No :1

Yuliarti, N. (2010). Kultur Jarinngan Tanaman Skala Rumah Tangga. Yogyakarta: Penerbit
ANDI

Yusnita. (2003). Kultur jaringan Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Jakarta: Agro
Media Pustaka.

24

Anda mungkin juga menyukai