Anda di halaman 1dari 3

Zaman dahulu kita sering melihat aneka permainan tradisional seperti kelereng, logo,

sodoku, engrang, tali lompat, layang-layang dan lainnya. Setiap pulang sekolah, anak-anak
seusia SD masing-masing akan pulang ke rumah dan mengambil mainan tersebut dan
berkumpul lagi di tempat yang biasa mereka berkumpul. Tidak terlihat anak-anak yang
menyendiri. Meskipun mereka menyendiri, mungkin hanya karena lelah dan istirahat.
Pemandangan yang sangat menyenangkan mata orang tua yang melihat anaknya
tumbuh kembang di lingkungan sosial yang sangat bersahabat dan disenangi anak-anak.
Meskipun sesekali terjadi pertengkaran dan perkelahian anak-anak tersebut, sama sekali
tidak membuat mereka jera bermain permainan tradisional.
Sorak sorai, hiruk pikuk, tangis dan tawa setiap hari mewarnai waktu-waktu bermain
mereka. Bahkan sering sekali permainan yang seyogyanya hanya dimainkan di lingkungan
mereka, dibawa ke lingkungan sekolah seperti di halaman sekolah dan bahkan di dalam
kelas. Ada yang membawa peralatan dari rumah dan dimainkan di sekolah. Ada yang nangis
minta dibuatkan layang-layang pada orang tuanya dan di bawa setiap pagi di punggung
bersama tas ransel.
Setelah sampai di sekolah, mereka langsung tancap gas bermain permainan yang
sudah mereka siapkan sembari menunggu jam pelajaran pertama. Baru 10 sampai 20 menit,
keringat sudah membasahi tubuh mereka dengan berbagai macam gerakan dari berlari,
melompat, bersepeda dan sebagainya. Ketika guru masuk, tercium bau atau aroma yang
bermacam-macam dan sering guru menyebut aroma gado-gado karena ada bau harum, ada
bau keringat dan bau asam. Hal inilah yang menyebabkan guru kadang-kadang ngomel
dengan siswa, namun dengan santainya siswa hanya mendengar dan tak peduli, setelah
istirahat, mereka akan melanjutkan permainannya sampai berkeringat dan berdebu.
Begitulah gambaran suasana kegiatan anak SD/MI terutama di wilayah saya di sebuah desa
(Desa Pudak) di Kabupaten Balangan Kalimantan Selatan.
Dari segi harga, permainan tradisional bisa dibilang murah dan mudah didapat serta
mudah dibuat. Bahkan bisa saja tidak perlu modal sama sekali, melainkan memakai benda
yang ada di sekitar mereka seperti permainan engklek yang hanya menggunakan beling dari
pecahan gelas atau mangkok dan garis-garis yang dibuat di tanah yang datar. Namun,
meskipun dengan biaya murah dan mudah, keceriaan dan semangat bermain sangat tinggi.
Namun seiring berjalannya waktu dan perubahan generasi, dari tahun ke tahun
pemandangan seperti tersebut di atas sudah mulai jarang dan bahkan tidak terlihat lagi di
kalangan anak-anak usia SD/MI. Pemandangan seperti itu sudah berganti dengan
pemandangan lain dimana setiap anak-anak semakin asik memegang gawai mereka masing-
masing. Kadang mereka terlihat menyendiri dan tidak peduli dengan lingkungannya atau
orang disekitarnya. Ditambah lagi mereka juga menggunakan headphone sehingga tidak
mendengar dengan baik apa yang ada di sekitar mereka.
Pemandangan seperti ini kini melanda diberbagai daerah dan bahkan sudah sampai
ke pelosok desa termasuk di Desa Pudak dimana saya dulu berasal. Terlihat sekumpulan
anak-anak usia SD sampai SMA mereka asik dengan gawai di tangan masing-masing.
Walaupun mereka terkadang main bersama dan berkelompok, tetapi tetap saja mereka asik
sendiri.
Bahkan lebih miris lagi, dari gawai yang mereka pegang, di sanalah terjadi berbagai
pelanggaran dan penyimpangan sikap atau perilaku seperti menonton video porno,
bermain judi online, membuka dan mengumbar aurat dengan bermain aplikasi seperti
t*ktok dan lainnya. Hal yang seperti ini kalau dibiarkan, maka akan merusak generasi muda
kita dan bisa membawa dampak kehancuran moral dan akhirnya bisa berdampak pada
maraknya kejahatan pencurian, perampokan, pemerkosaan, LGBT dan sebagainya.
Lantas apa yang bisa kita lakukan untuk bisa mengembalikan cerahnya kebersamaan
dan positifnya permainan tradisional seperti zaman dahulu? Apakah kita perlu menjual HP
atau gawai mereka, tidak membelikan paket data atau memarahi anak selama tujuh hari
tujuh malam supaya anak tidak menggunakan gawainya? Tentunya hal itu sangat ekstrim
dan bisa membuat hubungan antara orang tua dan anak akan menjadi renggang dan bahkan
bisa terjadi konflik.
Ternyata caranya cukup mudah, namun tidak semua orang tua bisa dan punya
kesempatan untuk melakukannya. Hal ini saya amati ketika saya sedang berada di sebuah
rumah keluarga istri saya yang berada di Tabalong Kalimantan Selatan yang pada saat itu
sedang menyelenggarakan acara syukuran tasmiyahan anak mereka yang ke dua yang diberi
nama Nur Khaira Azzahra.
Pada acara tersebut, berkumpulah semua keluarga dan tentunya mereka masing-
masing membawa anak-anak yang seusia TK, SD/MI. ketika acara syukuran sudah berakhir,
terlihat anak-anak sangat antusias bermain perosotan di pelataran rumah yang tidak begitu
tinggi. Pemandangan yang sangat menarik karena anak-anak yang tidak saling mengenal
atau hanya mengenal sebagian dari mereka saja. Namun meskipun tidak saling mengenal,
mereka kompak bermain perosotan di pelataran tersebut. Dalam permainan tersebut
bahkan terlihat seorang anak yang belum berusia 3 tahun terlihat berguling-guling di bidang
miring tersebut, terkadang dia melakukan perosotan bertiarap dengan kepala di bagian
bawah dan bagian kaki di atas, sementara sebagian yang lain juga tidak kalah gayanya
seperti dengan gaya berdiri layaknya sedang berselancar. Ada yang menggunakan kertas
karton dari kardus minuman gelas, ada juga yang menggunakan kardus minuman gelas
tersebut. Pokoknya mereka saat itu seakan lupa dengan gawai mereka. Mereka larut dalam
kegembiraan dan keseruan permainan sederhana yang tidak memerlukan alat canggih dan
modal yang besar.
Dari pemandangan tersebut, apa yang bisa kita ambil pelajaran untuk bisa digunakan
sebagai cara mengurangi ketergantungan gawai bagi anak-anak kita yang selama ini banyak
dikeluhkan oleh beberapa orang tua. Kegiatan anak tersebut memberikan gambaran pada
kita akan rindunya anak-anak pada permainan yang menyenangkan bersama teman-
temannya. Saya terus memperhatikan mereka mereka sambil tetap mengawasi akan
keselamatan mereka. Hal ini dapat diambil makna bahwa anak-anak ingin mereka diberikan
kebebasan untuk bermain karena mereka tidak suka untuk dibatasi. Ketika mereka sedang
asik bermain bersama dengan teman-temannya, tugas kita hanyalah mengawasi dan
sesekali memberikan bantuan pada mereka atau bahkan ikut bermain dengan mereka.
Hal inilah yang sekarang cukup jarang dilakukan oleh orang tua. Kebanyakan orang
tua saat ini karena terlalu dilanda kesibukan, sehingga tidak punya banyak waktu untuk
memberikan anak-anak pilihan permainan. Ketika ada waktu, sisa tenaga orang tua sudah
terkuras dan mau istirahat atau sekedar santai sambil menonton TV, sedangkan anak-
anaknya ingin ditemani. Sebagai cara agar anak tidak cerewet, maka orang tua
menggantikan dengan memberikan gawai dan hasilnya orang tua akan bisa tenang.
Padahal seandainya dari awal anak dibiasakan disiplin untuk tidak menggunakan
gawai atau penggunaannya dengan pengawasan orang tua, maka dampak kecanduan gawai
pasti bisa dikurangi. Sedangkan alternatif lainnya adalah dengan menmperkenalkan
permainan tradisional atau membuat sendiri permainan tradisional dan memberikan sedikit
waktu kepada anak-anak untuk sekedar menemani mereka bermain, maka dampaknya akan
bisa mengurangi frekuensi anak menggunakan gawai. Mereka akan semakin asik dengan
permainan dan sekaligus kegiatan bersosialisasi juga akan tetap terjalin antar anak
seusianya.
Dari kegiatan anak yang diuraikan di atas, sebenarnya anak hanya ingin mai bersama
meskipun permainan sederhana. Oleh karena itu, berikan mereka kesempatan main di luar
bersama teman seusiannya dan berikan pengawasan untuk mereka. Berikan juga sarana
permainan sederhana dan murah meriah agar mereka bisa menikmati permaian tanpa takut
rusak dan sekaligus menikmati kebersamaan yang sebenarnya, tidak hanya bersama namun
masing-masing sibuk dengan gawainya sendiri.

Balangan, 17 Maret 2020

Anda mungkin juga menyukai