Anda di halaman 1dari 22

UJI TETRAZOLIUM DALAM MENENTUKAN VIABILITAS BERBAGAI BENIH

TANAMAN HORTIKULTURA

Oleh :

Rina Sugiarti

NIRM: 02.05.18.025

PRODI AGRIBISNIS HORTIKULTURA

JURUSAN PERTANIAN

POLITEKNIK PEMBANGUNAN PERTANIAN BOGOR

2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah S.W.T yang telah memberikan kemampuan, kekuatan,serta
keberkahan baik waktu, tenaga, maupun pikiran kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
makalah review jurnal dengan judul Uji Tetrazolium dalam menentukan Viabilitas Berbagai
benih Tanaman Hortikultura tepat pada waktunya.

Dalam penyusunan laporan ini penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan, akan tetapi
dengan bantuan dari berbagai pihak, tantangan itu bisa teratasi
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada penulisan dan penyusunan
laporan ini. Maka dari itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan dari
pembaca sekalian. Penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang
membacanya.

Depok, Febuari 2021

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... 2


DAFTAR ISI................................................................................................................................... 3
BAB I .............................................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 4
BAB II............................................................................................................................................. 5
KAJIAN PUSTAKA ....................................................................................................................... 5
2.1 Viabilitas .......................................................................................................................... 5
2.2 Pengujian Viabilitas ......................................................................................................... 5
2.3 Uji Cepat Viabilitas .......................................................................................................... 5
2.4 Standardisasi Uji Cepat Viabilitas.................................................................................... 6
2.5 Uji Tetrazolium Topografis .............................................................................................. 6
BAB III ........................................................................................................................................... 8
PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 8
BAB IV ......................................................................................................................................... 20
KESIMPULAN ............................................................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 22

3
BAB I

PENDAHULUAN

Saat ini benih tanaman hortikultura telah menjadi salah satu komoditas penting dalam sistem
perdagangan global maupun lokal yang akan mendukung sistem ketahanan pangan. Status mutu
benih menentukan keberhasilan produksi tanaman. Mutu benih penting dijaga sejak proses
produksi benih, pemasaran hingga sampai di tangan petani untuk ditanam. Untuk memastikan
status mutu benih sebelum ditanam, maka pengujian mutu benih harus dilakukan terlebih dahulu.
Benih ialah biji atau bagian tanaman lainnya yang dipergunakan untuk keperluan dan
pengembangan usaha tani serta memiliki fungsi agronomis (Kartasapoetra, 2003). Dalam
konteks agronomi, benih dituntut bermutu tinggi atau unggul, sebab benih harus mampu
menghasilkan tanaman yang dapat berproduksi maksimum dengan sarana teknologi yang
semakin maju (Sadjad,1997 dalam Sutopo, 1988). Mutu benih terdiri atas empat komponen
yaitu: mutu fisik, mutu fisiologis, mutu genetik, dan mutu kesehatan benih. Benih yang bermutu
fisik tinggi terlihat dari penampilan fisiknya yang bersih, cerah, bernas, dan berukuran seragam.
Mutu fisiologis benih tercermin dari nilai viabilitas (seperti daya berkecambah) dan nilai vigor
(seperti kecepatan tumbuh, keserempakan tumbuh, dan daya simpan). Mutu genetik ditunjukkan
dengan keseragaman genetik yang tinggi dan tidak tercampur varietas lain (Widajati dkk, 2012).
Keberhasilan penanaman terutama dalam skala yang besar sangat dipengaruhi oleh interaksi
antara faktor-faktor biotik, klimatik, edafik, teknik maupun manajemen. Secara tidak langsung
faktor teknik seringkali dinyatakan sebagai penyebab utama kegagalan, misalnya karena
rendahnya mutu benih. Untuk membedakan suatu benih bermutu atau tidak, secara visual sangat
sulit. Apabila benih ditanam tanpa melalui proses pengujian mutu, maka perbedaan baru akan
terlihat setelah benih tumbuh di lapangan atau setelah tanaman berproduksi, sehingga konsumen
benih akan dirugikan karena kehilangan waktu, biaya dan kemungkinan harus melakukan
penanaman ulang (Sadjad, 1980). Informasi yang diperoleh dari pengujian benih akan
bermanfaat bagi produsen, penjual maupun konsumen benih, karena mendapat keterangan yang
dapat dipercaya tentang mutu atau kualitas dari suatu benih. Pengujian benih adalah penilaian
secara objektif tentang mutu benih yang diproduksi atau diedarkan.

4
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Viabilitas
Viabilitas benih merupakan refleksi dari mutu benih, yang dapat didefinisikan sebagai daya
hidup benih yang ditunjukkan oleh fenomena pertumbuhan benih atau gejala
metabolismenya dan dapat pula ditunjukkan oleh keadaan organel sitoplasma atau
kromosom. Sementara Gordon (1992), menyatakan bahwa viabilitas adalah kemampuan
yang dimiliki oleh benih untuk berkecambah, sedangkan perkecambahan adalah
keberhasilan proses di dalam benih untuk menghasilkan semai yang baik di persemaian.
2.2 Pengujian Viabilitas
Viabilitas benih dapat dideteksi melalui beberapa pendekatan, pendekatan yang paling lazim
dilakukan adalam melalui pendekatan fisiologis. Metode pendekatan fisiologis ini dibagi
menjadi metode langsung dan tidak langsung. Metode langsung yaitu apabila pengamatan
dilakukan pada setiap individu benih, sedangkan metode tidak langsung jika deteksi
viabilitas tersebut dilakukan terhadap sejumlah benih sekaligus. Deteksi viabilitas benih dari
gejala pertumbuhannya disebut penilaian dengan indikasi langsung, sedangkan penilaian
viabilitas benih dari gejala metabolisme, bentuk fisik yang kesemuanya tanpa
memperlihatkan gejala pertumbuhan disebut pendekatan dengan indikasi tidak
langsung.Pada pengujian viabilitas benih dengan menggunakan indikator pertumbuhan
kecambahnya sering disebut dengan indikasi langsung, di mana yang dinilai adalah
kenormalan pertumbuhan kecambah dan dilakukan dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan
metode pengujian yang didasarkan pada proses metabolisme benih yang merupakan indikasi
tak langsung atau sering disebut juga dengan uji cepat.
2.3 Uji Cepat Viabilitas
Pendugaan potensial perkecambahan dari suatu kelompok benih dengan
mengecambahkannya langsung merupakan suatu metode yang hampir relevan dalam praktek
bidang kehutanan. Tetapi pengujian tersebut akan membutuhkan waktu yang lama, seperti
yang diungkapkan oleh Zanzibar (1996), bahwa pelaksanaan pengujian viabilitas benih
dengan menggunakan indikator gejala pertumbuhan kecambah biasanya memerlukan waktu
yang relatif lama. Untuk jenis pohon hutan, waktu yang diperlukan berkisar antara 7- 30 hari
5
tergantung pada jenis benihnya. Dalam beberapa keadaan, jenis-jenis tertentu secara normal
akan berkecambah secara lambat atau menunjukan gejala dormansi sehingga informasi
mengenai viabilitas benih tidak dapat segera diperoleh. Keadaan ini akan berpengaruh
terhadap benih yang diuji dan keputusan tentang pengadaan benih untuk keperluan yang
bersangkutan misalnya untuk penanaman. Sehingga diperlukan metode pengujian viabilitas
benih yang dapat menduga secara akurat namun lebih cepat dari pada pengujian
perkecambahan secara langsung. Dalam hal ini maka dikembangkan uji cepat viabilitas
benih.
Tujuan dari uji cepat viabilitas benih menurut Manan (1976) dan Willan (1985),adalah:
(a). Untuk menentukan secara cepat viabilitas benih suatu spesies yang berkecambah normal
secara lambat atau menunjukkan dormansi di bawah perkecambahan normal.
(b ). Untuk menentukan viabilitas dari suatu sampel yang pada akhir uji perkecambahan
menyatakan suatu persentase yang tinggi dar:i yang tidak berkecambah (hard seed).
Beberapa metode uji cepat yang dapat digunakan dalam menduga viabilitas benih, antara
lain: uji belah (cutting test), uji tetrazolium, uji hidrogen peroksida, metode radiografi, uji
eksisi embrio, uji daya hantar listrik dan uji indigo carmine.
2.4 Standardisasi Uji Cepat Viabilitas
Penilaian secara objektif dapat dilaksanakan dengan baik dalam melakukan uji cepat
viabilitas bila ditetapkan adanya pembakuan dalam segala segi, mulai dari benih yang diuji,
metode pengujian, alat pengujian, skill atau keahlian tenaga penguji sampai dengan
parameter yang digunakan untuk menilai hasil pengujian tersebut. Standarisasi uji cepat
viabilitas benih tanaman hutan mencakup standar prosedur pengujuan dan kunci interpretasi.
Pedoman standarisasi uji cepat viabilitas ini diharapkan dapat membantu mempermudah
aktivitas berbagai pihak yang berkepentingan dalam pengujian benih. Dengan adanya
pedoman standar ini maka hasil pengujian lot benih akan seragam jika dikerjakan oleh pihak
lain, informasi data hasil pengujian diharapkan mempunyai keakuratan yang cukup baik dan
dapat digunakan sebagai acuan dalam rangka penerapan aspek legalitas perbenihan.
2.5 Uji Tetrazolium Topografis
Metode ini merupakan salah satu dari sejumlah metode uji secara biokimia yang telah
dikembangkan dan merupakan teknik pengujian yang cukup tepat untuk menduga viabilitas
benih. Dengan mengunakan metode ini, dalam waktu kurang lebih 24 jam viabilitas dari

6
suatu kelompok benih telah dapat diduga. Walaupun metode uji tetrazolium telah dinyatakan
oleh ISTA sebagai metode resmi untuk beberapa jenis kayu daun lebar dan konifer pada
tahun 1976, tetapi sampai saat ini metode dan standar pengujian dengan cara tetrazolium
untuk benih tanaman hutan masih sangat sedikit yang telah dibakukan dalam peraturan
pengujian internasional/ISTA.
Metode uji tetrazolium menggunakan prinsip bahwa setiap sel hidup akan berwarna merah
oleh reduksi dari suatu pewarnaan garam tetrazolium dan membentuk endapan formazan
merah sedangkan sel-sel yang mati menunjukan warna putih. Dengan merendamnya terlebih
dahulu selama semalam, kemudian dibelah dan direndan dalam larutan garam selama
beberapa jam, telah dapatmenunjukan reaksi yang jelas dan dapat membedakan antara sel
yang masih hidup dengan yang sudah mati.

7
BAB III

PEMBAHASAN

1. Tetrazolium test for evaluating viability of Capsicum annum seeds

Kualitas biji cabai (Capsicum annum) harus diketahui sebelum dirilis ke pasar- semakin
cepat identifikasi kualitasnya, semakin baik. Inisial Uji kualitas cabai adalah uji
perkecambahan. Namun, melalui pengujian ini, dibutuhkan setidaknya 14 hari untuk
melakukannya mengetahui viabilitas benih. Mayoritas ahli teknologi benih mendefinisikan
viabilitas benih sebagai kapasitas benih untuk berkecambah dan membentuk normal
bibit. Deminicis dkk. (2014) menyatakan bahwa uji tetrazolium dapat dilakukan dipilih
sebagai alternatif dari uji viabilitas konvensional dalam biji Stizolobium aterrimum
Penelitian kami bertujuan untuk mengklasifikasikan topografi pewarnaan uji tetrazolium
pada biji cabai, sebagai dasarmenentukan viabilitas benih untuk aplikasi dilapangan dimasa
mendatang. Biji cabai didapat dari beberapa biji perusahaan. Ada empat banyak benih yang
dianalisis percobaan, cabai varietas Laskar (Lot A), varietas Sret (Lot B), varietas Serambi
(Lot C), dan varietas Madun (Lot D). Bibit cabai lot B sudah disimpan selama 12 bulan pada
25 ° C. Uji viabilitas benih dilakukan dengan mengamati kapasitas perkecambahan biji dan
berdasarkan tetrazolium metode. Untuk pewarnaan tetrazolium, biji dibasahi kertas pada
20 o C selama 18 jam. Benih kemudian dilukai memotong testa antara radikula dan kotiledon.
Benih yang terluka direndam dalam 1% tetrazolium klorida larutan (dalam buffer fosfat)
selama 6 jam pada 30 o C, saat gelap kondisi (ISTA, 2016). Benih dipotong menjadi dua,
diamati, dan dikelompokkan berdasarkan pola topografi pewarnaannya Persentase masing-
masing kelompok pola topografi adalah dihitung. Setiap percobaan menggunakan 50 biji
dengan 8 ulangan.

8
Analisis regresi dan korelasi antara uji pewarnaan tetrazolium dan uji perkecambahan
ditunjukkan pada Tabel 3. Analisis regresi dapat memprediksi dependen variabel (Y) jika
variabel independen diketahui. Itu persamaan garis regresi menggambarkan hubungan antara
uji tetrazolium (sumbu X) dan uji perkecambahan (sumbu Y). Kontribusi variabel X terhadap
nilai Y tergantung koefisien determinasi (R 2 ) x 100%. Semakin tinggi R 2 , semakin tinggi
pengaruh variabel X terhadap variabel Y. Tabel 3 menunjukkan bahwa koefisien determinasi
untuk pola 1,2 adalah 76,1% yang menunjukkan bahwa kapasitas perkecambahan 76%
ditentukan oleh pola dan 23,9% ditentukan oleh variable lainnya. Kombinasi pola pewarnaan
tetrazolium dengan menentukan tingkat viabilitas benih menggunakan koefisien korelasi
(r). Dalam analisis ini, pola pewarnaan tetrazolium adalah Variabel sumbu X, dan kapasitas
perkecambahan adalah sumbu Y. variabel. Koefisien korelasi yang tinggi ditunjukkan oleh
pola 1 dan 2. Nilai koefisien korelasi ini menunjukkan nilai 0,872 (mendekati 1). Hasil ini
menunjukkan korelasi kuat antara hasil pewarnaan tetrazolium dan hasil uji
perkecambahan. Koefisien korelasi r = -1 menunjukkan korelasi negatif yang sempurna, r = 0
tidak korelasi, dan r = 1 korelasi positif sempurna (Mattjik dan Sumertajaya 2002). Vigor

9
benih ditunjukkan oleh kinerja pertumbuhan tanaman di polybag. Analisis kami
menunjukkan bahwa pewarnaan tetrazolium dan uji kekuatan benih di lapangan sangat
berkorelasi dengan nilai r 0,0959 (Tabel 5). Berdasarkan uji pewarnaan tetrazolium, benih
dari lot C menunjukkan hasil yang tinggi pola pewarnaan yang layak (pola 1,2) dengan
persentase 92% (Tabel 1). Benih yang layak sebagai ditentukan oleh pewarnaan tetrazolium
sangat mungkin tumbuh menjadi tanaman dengan kinerja pertumbuhan yang baik di
lapangan. Kulik dan Yaklich (1982) melaporkan bahwa pewarnaan tetrazolium dapat
memperkirakan tingkat perkecambahan biji kedelai di bidang. Pola 1 dan 2, ditandai dengan
seragam merah pewarnaan pada sumbu embrionik dan kotiledon, bersifat sensitive cukup
untuk menunjukkan benih yang akan tumbuh normal dan bibit yang sehat. Sejalan dengan
laporan kami saat ini Penelitian sebelumnya, Leist (2004) menyatakan bahwa benih dengan
baik vigor diwarnai dengan warna merah cerah seragam pada tetrazolium pengujian kadar
logam. Kekuatan tanaman yang buruk di lapangan dapat disebabkan oleh kerusakan
fisiologis benih (Basak et al., 2006). Ini mungkin benar untuk benih lot B yang telah masuk
penyimpanan lama selama sekitar 12 bulan. Tanaman tumbuh dari lot B benih menunjukkan
perawakan terpendek di antara semua kelompok yang diuji Kinerja pertumbuhan yang buruk
dari lot B sesuai dengan hasil pewarnaan tetrazolium lot yang menunjukkan rendah viabilitas
benih. Kesimpulannya, uji pewarnaan tetrazolium 1% menunjukkan 9 pola topografi benih
cabai. Pola-pola ini dapat dijadikan acuan untuk menentukan benih yang layak dari yang
tidak layak. Pola pewarnaan 1 dan 2 menunjukkan bahwa seluruh kotiledon dan sumbu
embrionik diwarnai merah secara merata dengan atau tanpa pewarnaan merah tua di ujung
radikula. Pola pewarnaan 1 dan 2 sangat berkorelasi dengan benih kapasitas perkecambahan
dan tinggi tanaman. Jadi, pewarnaan pola 1 dan 2 dapat digunakan untuk memperkirakan
pertumbuhan tanaman kinerja.

2. Enhancing the Viability of Rosella Seeds (Hibiscus sabdariffa L.) through Tetrazolium and
Paper Media Test

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat viabilitas benih rosella untuk mendapatkan
benih hasil yang terbaik pengujian viabilitas benih rosella, menemukan metode invigorasi
benih terbaik untuk pembenihan viabilitas benih rosella untuk mendapatkan pola pewarnaan
melalui nuji tetrazolium benih rosella dan untuk menentukan viabilitas dan vigor biji rosella
10
untuk selanjutnya digunakan sebagai indikator estimasi tanaman rosella pertumbuhan
tanaman di lapangan.
Penelitian dilakukan di Laboratorium Benih, Pemanis dan Serat Indonesia Balai Penelitian
Tanaman (ISFCRI), Malang, Jawa Timur selama Juli - Agustus 2018. The Bahan yang
digunakan adalah aksesi biji rosella ( Hibiscus sabdariffa L.) ACC. 1148 dari tahun 2015
koleksi ISFCRI, sampel kerja biji rosella ( H. sabdariffa L.) (20 gram, ± 36 gram), air pada
pH normal (400 ml), 100 ml larutan Tetrazolium (40 ml KH2PO4, 60 ml Na2HPO4 dan 1 gr
bubuk Tetrazolium).
Metode pengujian yang digunakan untuk meningkatkan viabilitas benih rosella meliputi uji
tetrazolium dan uji media kertas (Kertas Gulung Dibungkus Plastik dalam Posisi Berdiri /
UKDdp). Benih Uji viabilitas dilakukan dengan menggunakan larutan tetrazolium yaitu
KH 2 PO 4 seberat 9 gram selanjutnya dilarutkan dalam 1 liter aquades) dan
Na 2 HPO 4 ditimbang 11 g yang dilarutkan dalam 1 liter liter aquades. Kemudian, 40 ml
KH 2 PO 4 dan 60 ml Na 2 HPO 4 dihomogenisasi dan ditambahkan dengan 1 g bubuk
tetrazolium. Biji yang akan digunakan dikupas, dimasukkan ke dalam gelas gelas, dan
ditambahkan larutan tetrazolium sampai semua biji terendam seluruhnya. Bahkan, biji
dikeringkan dalam oven selama 2 jam pada suhu 35 o C. Uji tetrazolium, tanpa perlakuan
benih apa pun setelah pengujian, dapat menentukan pola pewarnaan yang dapat menunjukkan
apakah benih masih hidup atau tidak. Itu karena Alasan bahwa perendaman dalam larutan
tetrazolium dapat merangsang imbibisi secara meristematic jaringan dalam embrio, sehingga
meningkatkan viabilitas benih. Menurut Copeland & Mcdonald (1976) dalam Hasrawati,
Mustari, K., & Dachlan, A. (2015), proses perendaman benih dalam tetrazolium Larutan
garam akan menyebabkan imbibisi air oleh jaringan meristematik pada embrio dan
pengurangan H+ yang dilepaskan dari proses respirasi. Coker & Barton
(1957), dalam Hasrawati et al ., (2015), menyebutkan bahwa respirasi pada benih dapat
meningkatkan kadar air pada saat benih berada direndam dalam larutan tetrazolium. Uji
tetrazolium pada biji rosella menghasilkan pewarnaan embrio dengan intensitas warn merah
cerah, merah muda, dan, tidak berwarna (putih) seperti yang disajikan pada Gambar 2. Pola
pewarnaan ini memberikan indikasi dan dapat dijadikan patokan apakah benih akan tumbuh
menjadi kuat bibit normal atau memiliki viabilitas tinggi (Gambar A), bibit normal lemah
atau viabilitas rendah (Gambar B), kecambah abnormal, atau benih mati (Gambar C)

11
Pengujian benih menggunakan larutan garam tetrazolium ditemukan dapat meningkatkan
viabilitas benih rosella mulai tahun 2015 relatif lebih cepat dibandingkan benih uji
menggunakan media kertas. Benih yang layak ditemukan memiliki sumbu embrio berwarna
merah cerah dan cerah kotiledon merah. Pewarnaan ini memberikan indikasi atau menjadi
patokan bahwa benih akan kelak tumbuh menjadi bibit normal yang kuat atau memiliki
viabilitas tinggi. Pengujian menggunakan media kertas pada beberapa perlakuan penyegaran
benih menghasilkan pengaruh yang berbeda nyata parameter indeks vigor, kapasitas
perkecambahan, dan bobot kering bibit normal. Itu Perlakuan penyegaran benih terbaik
diperoleh melalui pemotongan benih yang terkait dengan parameter indeks kekuatan dengan
rata-rata 99,5%. Parameter perkecambahan terbaik. Kapasitas dan bobot kering bibit normal
diperoleh dengan perlakuan direndam dalam air pada suhu 27 ° C selama 10 jam.

3. Uji Tetrazolium pada Benih Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC.) sebagai Tolok
Ukur Viabilitas

Ketersediaan benih bermutu serta informasi mutu benih kecipir masih terbatas. Hal tersebut
bisa diatasi melalui proses pengujian mutu benih. Tujuan penelitian ini adalah memperoleh
prosedur perlakuan pra test yang sesuai untuk pengujian tetrazolium benih kecipir,
memperoleh metode pengusangan yang sesuai untuk benih kecipir, memperoleh pola
pewarnaan pada embrio sebagai indikasi tidak langsung untuk mendeteksi viabilitas benih
kecipir.
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih Departemen Agronomi
dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan mulai
bulan Agustus 2016 sampai bulan Desember 2016.
Bahan yang digunakan yaitu benih kecipir aksesi Tajur yang dipanen pada bulan Juni 2016.
Bahan lain yang digunakan antara lain garam tetrazolium, larutan buffer, alkohol 96%, kertas
12
cd buram, plastik, label, kertas aluminium foil, aquades. Alat-alat yang digunakan yaitu glass
jar, pH meter, timbangan analitik, kamera, inkubator, alat pengecambah benih tipe IPB 72-1
(APB IPB 72-1), alat pengepres kertas tipe IPB 75-1, oven, desikator, alat pengusangan cepat
APC IPB 77-1 MM, alat pengusangan cepat APC IPB 77-1 MMM, dan alat laboratorium
lainnya.
Rancangan percobaan yang digunakan pada percobaan pengusangan benih kecipir metode
fisik dan kimia adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan satu faktor yaitu pengusangan.
Rancangan percobaan yang digunakan pada pengujian pola pewarnaan pada benih kecipir
adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan satu faktor yaitu pengusangan. Percobaan pra
test diawali dengan optimasi perendaman aquades (imbibisi) sebelum perendaman
tetrazolium. Imbibisi dilakukan dengan merendam benih kecipir dalam aquades dengan
waktu perendaman (12 jam, 24 jam, dan 36 jam). Benih kemudian dikelupas testanya
sebelum direndam ke dalam larutan tetrazolium.
Pengujian pola terdiri atas dua pengujian, yaitu pengujian viabilitas indikasi langsung dan
tidak langsung. Pengujian viabilitas indikasi langsung merupakan pengujian yang digunakan
sebagai pembanding pada pengujian viabilitas dengan indikasi tidak langsung (tetrazolium).
Pengujian viabilitas indikasi langsung yaitu dengan mendera benih kecipir menjadi lima lot
dengan alat MPC IPB 77-1 seperti pada percobaan pengusangan. Benih kemudian
dikecambahkan. Benih kecipir tersebut kemudian diuji dengan larutan tetrazolium.

13
Percobaan pertama memperoleh waktu perendaman aquades yang efektif pada benih kecipir
yaitu 24 jam, memperoleh konsentrasi tetrazolium yang efektif yaitu 0,3%, memperoleh
waktu perendaman tetrazolium yang efektif yaitu dua jam. Percobaan kedua memperoleh
metode pengusangan, yaitu pengusangan secara kimia dan dipilih 5 waktu penderaan yang
menghasilkan viabilitas secara gradual yaitu 0x5, 2x5, 4x5, 6x5, dan 8x5 menit. Percobaan
ketiga pola pewarnaan pada embrio benih kecipir belum bisa digunakan untuk mengevaluasi
viabilitas benih kecipir karena diduga kriteria pola yang dibuat terlalu sempit.

4. Pengaruh Sarcotesta dan Pengeringan Benih serta Perlakuan Pendahuluan terhadap Viabilitas
dan Dormansi Benih Pepaya (Carica papaya L.)

14
Salomao dan Mundim (2000) menggolongkan benih pepaya sebagai benih ortodok, namun
kenyataannya daya simpannya relatif singkat dibandingkan benih ortodok umumnya. Ellis et
al. dalam Wood et al. (2000) menggolongkan benih pepaya dalam kelompok benih
intermediate, yaitu tidak tahan bila kadar air benih < 8%. Sementara itu, menurut Wood et al.
(2000) menurunnya perkecambahan pada benih pepaya yang dikeringkan hingga kadar air
5% sebenarnya bukan disebabkan oleh hilangnya viabilitas, melainkan karena terjadinya
induksi dormansi. Terjadinya induksi dormansi dan pemecahannya perlu dipelajari agar
benih dapat disimpan dengan aman pada kadar air rendah, untuk menekan laju metabolisme
dan meningkatkan daya simpannya. Seiring dengan upaya pemanfaatan sarcotesta yang
mengandung fenol untuk meningkatkan daya simpan benih maka diperlukan informasi
tentang pengaruh mempertahankan sarcotesta selama proses pengeringan benih terhadap
viabilitas benih pasca pengolahan. Perlakuan pendahuluan (praperkecambahan) yang tepat
perlu diperoleh untuk menghilangkan efek negatif yang mungkin timbul. Penelitian ini
bertujuan untuk mempelajari pengaruh keberadaan sarcotesta dan pengeringan benih
terhadap viabilitas dan dormansi benih pepaya.
Penelitian dilaksanakan di rumah kaca dan Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih,
Fakultas Pertanian dan pembuatan foto scanning electron microscopy (SEM) dilakukan di
Laboratorium Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan IPB, pada bulan Juli-
Oktober 2004. Bahan penelitian adalah benih pepaya genotipe IPB-1 berasal dari kebun
koleksi Pusat Kajian Buah Tropika (PKBT) IPB di Tajur, Bogor. Percobaan disusun dengan
rancangan petak terbagi dalam pola acak kelompok, dengan tiga ulangan. Petak utama adalah
keberadaan sarcotesta dan tingkat kadar air (KA) benih, terdiri atas 4 taraf yaitu: (1) benih
tanpa sarcotesta, berkadar air 11-12%, (2) benih tanpa sarcotesta, berkadar air 6-7%, (3)
benih ber-sarcotesta, berkadar air 11-12% dan (4) benih ber-sarcotesta, berkadar air 6-7%.
Anak petak adalah perlakuan pendahuluan (pra-perkecambahan), terdiri dari 5 taraf yaitu: (1)
benih dengan dan tanpa sarcotesta dicuci secara manual, termasuk menghilangkan sarcotesta
yang masih melekat, (2) benih dicuci secara manual lalu direndam selama 1 jam dalam
KNO3 10%, (3) benih dicuci dengan stirer, (4) benih dicuci dengan stirer lalu direndam
KNO3 10% dalam stirer selama 1 jam, (5) benih dicuci dengan air panas 50oC dengan stirer
lalu direndam 1 jam dalam KNO3 10%. Pengeringan dilakukan dengan sinar matahari pagi
hingga siang pada suhu maksimum 40oC. Setelah benih dikeringkan berdasarkan perlakuan
pada petak utama kemudian dilakukan pengujian kadar air, pengujian kekerasan benih, dan
15
pengujian viabilitas benih dengan uji cepat tetrazolium (uji TTZ) menggunakan metoda Shie
dan Kuo (1999) yang dimodifikasi. Hal ini untuk melihat potensi tumbuh maksimum pada
benih yang diduga mengalami dormansi. Hasil uji kontras ortogonal pada uji tetrazolium
menunjukkan bahwa penurunan KA benih hingga sekitar 6% dan dengan adanya sarcotesta
yang tetap dipertahankan selama proses pengeringan tidak menyebabkan hilangnya viabilitas
benih (Tabel 1 dan 2). Namun demikian, pada uji perkecambahan tidak semua menunjukkan
hasil yang sama dengan uji tetrazolium tersebut.

5. Pengaruh Perendaman Asam Sulfat (H2SO4) Terhadap Viabilitas Benih Delima (Punica
granatum L.)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan konsentrasi dan lama
perendaman asam sulfat (H2SO4) terhadap viabilitas benih delima. Penelitian ini dilakukan
di Laboratorium Teknologi Benih Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan

16
dengan ketinggian ± 25 meter di atas permukaan laut, pada bulan April sampai dengan Mei
2015. Adapun bahan digunakan dalam penelitian ini adalah benih delima sebagai bahan
pengamatan perkecambahan, pasir, label, air, tissue, H2SO4 (aq), dan larutan
trifeniltetrazolium klorida. Alat-alat yang digunakan adalah bak kecambah, timbangan
analitik, beaker glass, batang pengaduk, oven, handsprayer, gunting, ember, pisau,
kalkulator, kamera, alat tulis, dan stopwatch. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) Non-Faktorial, dengan 10 taraf perlakuan pematahan dormansi ;
K0 : Kontrol (tanpa perlakuan),
K1 : perendaman benih dengan H2SO4 25 % selama 10 menit
K2 : perendaman benih dengan H2SO4 25 % selama 15 menit,
K3 : perendaman benih dengan H2SO4 25 % selama 20 menit
K4 : perendaman benih dengan H2SO4 50 % selama 10 menit,
K5 : perendaman benih dengan H2SO4 50 % selama 15 menit
K6 : perendaman benih dengan H2SO4 50 % selama 20 menit
K7 : perendaman benih dengan H2SO4 75 % selama 10 menit
K8 : perendaman benih dengan H2SO4 75 % selama 15 menit
K9 : perendaman benih dengan H2SO4 75 % selama 20 menit.
Rataan uji tetrazolium benih delima pada beberapa perlakuan konsentrasi dan lama
perendaman asam sulfat dapat dilihat pada Tabel 1. Dari Tabel 1, persentase uji tetrazolium
tertinggi terdapat pada perlakuan kontrol (K0), H2SO4 25 % 20 menit (K3), dan H2SO4 50
% 10 menit (K4) sebesar 100 % dan rataan hasil uji tetrazolium benih delima terendah
terdapat pada perlakuan K1, K2, K5, dan K8 sebesar 86,67 %. Hal ini menunjukan bahwa
benih delima yang dipakai layak digunakan untuk uji viabilitas benih yang mana syarat benih
yang baik memiliki persentase daya kecambah diatas 80 %. Uji tetrazolium bertujuan dalam
membedakan antara sel atau jaringan yang hidup dan mati. Uji tetrazolium ini merupakan
salah satu cara untuk membuktikan bahwa benih itu baik digunakan atau tidak dan secara
tidak langsung uji ini dapat mempermudah untuk mengetahui kondisi sel dan jaringan pada
benih apakah benih itu hidup dengan perubahan warna merah dan mati tanpa perubahan
(berwarna putih).

17
laju perkecambahan tercepat terdapat pada perlakuan H2SO4 75 % 10 menit (K7) sebesar
6,31 hari yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan K6, K8, dan K9 namun berbeda nyata
dengan perlakuan lainnya Laju perkecambahan ini dapat diukur dengan menghitung jumlah
hari yang
dibutuhkan untuk munculnya radikula atau plumula. Hal ini menunjukkan bahwa waktu yang
dibutuhkan benih delima untuk munculnya radikula atau plumula pada perlakuan K7 lebih
cepat dibanding perlakuan lainnya.

dapat dilihat juga bahwa indeks vigor tertinggi terdapat pada perlakuan H2SO4 75% selama
10 menit (K7) sebesar 5,00 yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.
18
Bobot segar kecambah dan bobot kering kecambah tertinggi terdapat pada perlakuan
perendaman H2SO4 75 % 10 menit (K7) yang masing - masing sebesar 3,35 g dan 0,36 g
yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.

Perlakuan pematahan dormansi dengan menggunakan konsentrasi dan lama perendaman asam
sulfat (H2SO4) terhadap benih delima yang terbaik untuk meningkatkan persentase laju
perkecambahan, kecambah normal, indeks vigor benih, bobot segar kecambah, dan bobot
kering
kecambah adalah perlakuan perendaman dengan H2SO4 75% selama 10 menit. Disarankan
untuk mematahkan dormansi benih delima dapat dilakukan denganmenggunakan perendaman
larutan H2SO4 75% selama 10 menit

19
BAB IV

KESIMPULAN

1. Pola pewarnaan 1 dan 2 menunjukkan bahwa seluruh kotiledon dan sumbu embrionik
diwarnai merah secara merata dengan atau tanpa pewarnaan merah tua di ujung radikula.
Pola pewarnaan 1 dan 2 sangat berkorelasi dengan benih kapasitas perkecambahan dan
tinggi tanaman. Jadi, pewarnaan pola 1 dan 2 dapat digunakan untuk memperkirakan
pertumbuhan tanaman kinerja.
2. Pengujian benih menggunakan larutan garam tetrazolium ditemukan dapat meningkatkan
viabilitas benih rosella mulai relatif lebih cepat dibandingkan benih uji menggunakan
media kertas. Benih yang layak ditemukan memiliki sumbu embrio berwarna merah
cerah dan cerah kotiledon merah. Pewarnaan ini memberikan indikasi atau menjadi
patokan bahwa benih akan kelak tumbuh menjadi bibit normal yang kuat atau memiliki
viabilitas tinggi. Pengujian menggunakan media kertas pada beberapa perlakuan
penyegaran benih menghasilkan pengaruh yang berbeda nyata parameter indeks vigor,
kapasitas perkecambahan, dan bobot kering bibit normal.
3. Percobaan pertama memperoleh waktu perendaman aquades yang efektif pada benih
kecipir yaitu 24 jam, memperoleh konsentrasi tetrazolium yang efektif yaitu 0,3%,
memperoleh waktu perendaman tetrazolium yang efektif yaitu dua jam. Percobaan kedua
memperoleh metode pengusangan, yaitu pengusangan secara kimia dan dipilih 5 waktu
penderaan yang menghasilkan viabilitas secara gradual yaitu 0x5, 2x5, 4x5, 6x5, dan 8x5
menit. Percobaan ketiga pola pewarnaan pada embrio benih kecipir belum bisa digunakan
untuk mengevaluasi viabilitas benih kecipir karena diduga kriteria pola yang dibuat
terlalu sempit.
4. Hasil uji kontras ortogonal pada uji tetrazolium menunjukkan bahwa penurunan KA
benih hingga sekitar 6% dan dengan adanya sarcotesta yang tetap dipertahankan selama
proses pengeringan tidak menyebabkan hilangnya viabilitas benih (Tabel 1 dan 2).
Namun demikian, pada uji perkecambahan tidak semua menunjukkan hasil yang sama
dengan uji tetrazolium tersebut.
20
5. Perlakuan pematahan dormansi dengan menggunakan konsentrasi dan lama perendaman
asam sulfat (H2SO4) terhadap benih delima yang terbaik untuk meningkatkan persentase
laju perkecambahan, kecambah normal, indeks vigor benih, bobot segar kecambah, dan
bobot kering kecambah adalah perlakuan perendaman dengan H2SO4 75% selama 10
menit. Disarankan untuk mematahkan dormansi benih delima dapat dilakukan
denganmenggunakan perendaman larutan H2SO4 75% selama 10 menit

21
DAFTAR PUSTAKA

Fatmawati, Lia Irma dk. 2018. Uji Tetrazolium pada Benih Kecipir (Psophocarpus
tetragonolobus (L.) DC.) sebagai Tolok Ukur Viabilitas. Bul. Agrohorti 6 (2) : 231-240
Hidayat, Taufik Mayasari yamin. 2019. Enhancing the Viability of Rosella Seeds (Hibiscus
sabdariffa L.) through Tetrazolium and Paper Media Test. Agrotech Journal. e-ISSN:
2548-5148 p-ISSN: 2548-5121 Vol. 4, No. 1
Kusumawardana, Aditya dkk. 2018. Short Communiction : TetrazoliumTest For Evaluating
Viability of Capsicum annum Seeds. Nusantara Bioscience. ISSN: 2087-3948 Vol. 10,
No. 3, pp. 142-145
Sari, Maryati dkk. 2005. Pengaruh Sarcotesta dan Pengeringan Benih serta Perlakuan
Pendahuluan terhadap Viabilitas dan Dormansi Benih Pepaya (Carica papaya L.). Bul.
Agron. (33) (2) 23 – 30
Satya, Ilhm Indra dkk. 2015. Pengaruh Perendaman Asam Sulfat (H2SO4) Terhadap Viabilitas
Benih Delima (Punica granatum L.) Jurnal Online Agroekoteknologi . ISSN No. 2337-
6597 Vol.3. No.4. (519) :1375 – 1380

22

Anda mungkin juga menyukai