Anda di halaman 1dari 18

JARIMAH HUDUD

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hukum Pidana Islam

Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syaiah dan Hukum Islam

Oleh :

Jihan Putri Ramadani Sakka


Nim : 742352020140

Wiwik Pratiwi Abdullah


Nim : 742352020165

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE

2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat
dan hidayah serta Inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah
ini yang membahas tentang Jarimah “Jarimah Hudud” dan dapat diselesaikan dengan tepat
tanpa mengalami hambatan yang berarti. Semoga dengan selesainya makalah ini dapat
bermanfaat bagi kami selaku penulis dan bagi para pembaca semuanya.

Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu demi penyempurnaan tulisan ini, kami mengharapkan masukan dan saran yang
bersifat membangun.

Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang
berkompeten. Amin.

Bone, 17 0ktober 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii

DAFTAR ISI............................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................... 2

A. Pengertian Jarimah Hudud ............................................................................. 2


B. Jarimah Al-Sariqah (Pencurian) ..................................................................... 3
C. Jarimah Al-Hirabah (Perampokan) ................................................................ 6

BAB III PENUTUP .................................................................................................. 14

A. Kesimpulan .................................................................................................... 14
B. Saran .............................................................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 15

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ditinjau dari segi berat ringannya hukuman, jarimah dapat dibagi kepada tiga bagian
antara lain: jarimah hudud, jarimah qisâs/diyat, dan jarimah ta'zir. 1 Jarimah hudud adalah
jarimah yang diancam dengan hukuman had, pengertian hukuman had adalah hukuman yang
telah ditentukan oleh syara' dan menjadi hak Allah (hak masyarakat).2 Jarimah qisâs dan diyat
adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qisâs atau diyat. Baik qisâs maupun diyat
keduanya adalah hukuman yang sudah ditentukan oleh syara'. Perbedaannya dengan hukuman
had adalah bahwa had merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan qisâs dan diyat
adalah hak manusia (individu).

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud jarimah Hudud?
2. Bagaimana itu Jarimah Al-Sariqah?
3. Bagaimana itu Jarimah Al-Hirabah?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian jarimah Hudud.
2. Untuk mengetahui dan memahami Jarimah Al-Sariqah.
3. Untuk mengetahui dan memahami Jarimah Al-Hirabah.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Jarimah Hudud

Jarimah hudud adalah suatu jarimah (tindak pidana) yang diancam padanya hukuman
hadd, yaitu hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlahnya yang menjadi hak Allah.
jarimah hudud ada 7 (tujuh) macam, yaitu :zina, qadzaf (menuduh berzina), sukr (minum-
minuman keras), sariqah (pencurian), hirabah (perampokan), riddah (keluar dari Islam) dan
bughah (pemberontakan).1 Berdasarkan keterangan tersebut menunjukkan bahwa jarimah zina
merupakan perbuatan yang diancam dengan hukuman hadd.

Elisabeth Lukas, seorang logoterapis kondang, sebagaimana dikutip oleh Hanna


Djumhana Bastaman mengatakan:

"Salah satu prestasi penting dari proses modernisasi di dunia Barat, yakni melepaskan
diri dari berbagai belenggu tradisi yang serba menghambat, sekaligus berhasil meraih
kebebasan (freedom) dalam hampir semua bidang kehidupan. Di antaranya, yaitu
pertama, kebebasan seks dan peluang untuk melakukannya ternyata menjadikan fungsi
hubungan seks bukan sebagai ungkapan cinta kasih melainkan sebagai tuntutan dan
keharusan untuk berhasil meraih puncak kenikmatan; kedua, makin sering terjadi
gangguan fungsi seksual pada pria dan wanita dewasa".2

Pernyataan di atas menjadi indikator bahwa selama ini telah terjadi penyimpangan seks,
dan penyimpangan seks berkembang dalam bentuk perzinaan, padahal dalam pandangan
Quraish Shihab bahwa seks dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang suci.3 Namun dengan
adanya perzinaan maka seks menjadi sesuatu yang kotor, menjijikkan dan menimbulkan
berbagai penyakit yang membahayakan kehidupan manusia. Atas dasar itu, semua agama langit
mengharamkan dan memerangi perzinaan. Terakhir adalah agama Islam, yang dengan sangat
keras melarang dan mengancam pelakunya. Yang demikian itu karena zina menyebabkan
simpang siurnya keturunan, terjadinya kejahatan terhadap keturunan, dan berantakannya

1
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, hlm . 7
2
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, Menuju Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1995, hlm. 192.
3
Quraish Shihab, Mistik, Seks, dan Ibadah, Jakarta: Republika, 2004, hlm. 2.

2
keluarga. Bahkan hingga menyebabkan tercerabutnya akar kekeluargaan, menyebarnya
penyakit menular, merajalelanya nafsu, dan maraknya kebobrokan moral.4

Menurut Ibnu Rusyd, zina adalah setiap persetubuhan yang terjadi bukan karena
pernikahan yang sah, bukan karena syubhat, dan bukan pula karena pemilikan (budak). Secara
garis besar, pengertian ini telah disepakati oleh para ulama Islam, meskipun mereka masih
berselisih pendapat tentang mana yang dikatakan syubhat yang menghindarkan hukuman hadd
dan mana pula yang tidak menghindarkan hukuman tersebut.5

B. Jarimah Al- Sariqah (Pencurian)

a. Pengertian Jarimah Al-Sariqah

Pengertian Al-Sariqah Secara Etimmologi ialah Pencurian asal kata dari saraqa yasriqu-
saraqan, wa sariqan wa saraqatan, wa sariqatan wa sirqatan, yang berarti mengambil sesuatu
secara sembunyi-sembunyi atau secara terang terangan.6

Menurut Muhammad Syaltut Pencurian adalah mengambil harta orang lain dengan
sembunyi-sembunyi yang dilakukan oleh orang yang tidak dipercayai menjaga barang tersebut.
Sedangkan Menurut Sayyid Sabiq Pencurian adalah mengambil barang orang lain secara
sembunyi-sembunyi misalnya mencuri suara, karena mencuri suara dengan sembunyi-
sembunyi dan dikatakan pula mencuri pandang karena memandang dengan sembunyi-
sembunyi ketika yang dipandang lengah.7

Definisi lain tentang Pencurian adalah perbuatan mengambil harta orang lain secara
diam-diam dengan tujuan tidak baik. Yang dimaksud dengan mengambil harta secara diam-
diam adalah mengambil barang tanpa sepengetahuan pemiliknya dan tanpa kerelaanya, seperti
mengambil barang dari rumah orang lain ketika penghuninya sedang tidur.

b. Macam Macam Al- Sariqah

Macam – Macam Al – Sariqah Dari berbagai definisi tentang pencurian, yaitu


mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya,

4
Yusuf Qardawi, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1986, hlm. 134
5
Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid Wa Nihayah al Muqtasid, Juz. 2, Beirut: Dar Al-Jiil, 1409 H/1989, hlm. 324.
6
Mardani, Kejahatan Pencurian dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: CV INDHILL CO
7
Sayyid Sabiq, Fiqh Al – Sunnah, Kuwait : Dar Al Bayan, 1968, Juz 9 hlm. 202.

3
pencurian ditinjau dari segi hukumnya dibagi penyimpanannya, pencurian ditinjau dari segi
hukumnya dibagi menjadi dua macam, yaitu:

1. Pencurian yang hukumannya ta’zir


Pencurian ini dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama yaitu, semua jenis
pencurian yang dikenai hukuman had, tetapi syarat–syaratnya tidak terpenuhi, atau
ada syubhat. Contohnya seperti pengambilan harta milik ayah oleh anaknya. Yang
kedua adalah pengambilan harta milik orang lain dengan sepengetahuan pemilik
tanpa kerelaannya dan tanpa kekerasan. Contohnya seperti menjambret kalung dari
leher wanita, lalu penjambret itu melarikan diri dan pemilikan barang tersebut
melihatnya sambil berteriak meminta bantuan. Contoh hukuman ta’zir misalnya
seorang yang mencuri barang berharga bukan ditempat penyimpanannya atau tidak
mencapai nishab (batas minimal), maka pencuri tersebut dapat dikenakan hukuman
ta’zir, seperti: hukuman penjara atau hukuman dera. Pemberian hukuman tersebut
diserahkan kepada hakim atau penguasa.
2. Pencurian yang hukumanya had
Menurut Abdul Qodir Audah pencurian dikategorikan menjadi dua bagian,
yaitu pencurian ringan (sirqatus sughra) dan pencurian berat (sirqatus kubra).
Pencurian ringan (sirqatus sughra) adalah Pencurian ringan adalah mengambil harta
milik orang lain cara diam-diam, yaitu dengan jalan sembunyisembunyi.8 Sedangkan
pengertian pencurian berat (sirqatus kubra) adalah mengambil harta milik orang lain
dengan cara kekerasan. Sedangkan pengertian pencurian berat (sirqatus kubra)
adalah mengambil harta milik orang lain dengan cara kekerasan. Contoh hukuman
had misalnya seseorang yang mencuri barang berharga di tempat penyimpanannya
yang lebih dari batas minimal (nishab) pencurian, maka pencuri tersebut dikenakan
hukuman had berupa potong tangan.
c. Unsur-Unsur Pencurian dan Syarat - Syarat Pencurian

Unsur – Unsur Pencurian Dalam hukum Islam hukuman potong tangan mengenai
pencuriannya di jatuhi unsur-unsur tertentu, apabila salah satu rukun itu tidak ada, maka
pencurian tersebut tidak dianggap pencurian. Unsur-unsur pencurian ada empat macam, yaitu
sebagai berikut.9

8
Abdul Qadir Audah,op.cit, hlm 214
9
Ahmad Wardi Muslich, op. cit., hlm. 83

4
1. Pengambilan secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi. Pengambilan secara
diam-diam terjadi apabila pemilik (korban) tidak mengetahui terjadinya
pengambilan barang tersebut dan ia tidak merelakanya. Contohnya, mengambil
barang-barang milik orang lain dari dalam rumahnya pada malam hari ketika ia
(pemilik) sedang tidur. Pengambilan harta harus dilakukan dengan sempurna jadi,
sebuah perbuatan tidak di anggap sebagai tindak pidana jika tangan pelaku hanya
menyentuh barang tersebut.10
2. Barang yang diambil berupa harta. Salah satu unsur yang penting untuk
dikenakannya hukuman potong tangan adalah bahwa barang yang dicuri itu harus
barang yang bernilai mal (harta), ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk
dapat dikenakan hukuman potong tangan.
syarat-syarat tersebut adalah:
a. Barang yang dicuri harus mal mutaqawwin yaitu barang yang dianggap bernilai
menurut syara’. Menurut, Syafi’i, Maliki dan Hambali, bahwa yang dimaksud
dengan benda berharga adalah benda yang dimuliakan syara’, yaitu bukan benda
yang diharamkan oleh syara’ seperti khamar, babi, anjing, bangkai, dan
seterusnya, karena benda-benda tersebut menurut Islam dan kaum muslimin
tidak ada harganya. Karena mencuri benda yang diharamkan oleh syara’, tidak
dikenakan sanksi potong tangan. Hal ini diungkapkan oleh Abdul Qadir Awdah,
“Bahwa tidak divonis potong tangan kepada pencuri anjing terdidik (helder)
maupun anjing tidak terdidik, meskipun harganya mahal, karena haram menjual
belinya.
b. Barang tersebut harus barang yang bergerak Untuk dikenakanya hukuman had
bagi pencuri maka disyaratkan barang yang dicuri harus barang atau benda yang
bergerak. Suatu benda dapat dianggap sebagai benda bergerak apabila benda
tersebut bisa dipindahkan dari satu tempat ke tempat lainya.
c. Barang tersebut harus barang yang tersimpan Jumhur fuqaha berpendapat bahwa
salah satu syarat untuk dikenakannya hukuman had bagi pencuri adalah bahwa
barang yang di curi harus tersimpan di tempat simpanannya. Sedangkan
Zhahiriyah dan sekelompok ahli hadis tetap memberlakukan hukuman had
walaupun pencurian bukan dari tempat simpanannya apabila barang yang dicuri
mencapai nisab yang dicuri.

10
Tim Tsalisah, Ensklipodi hukum pidana islam,Bogor : PT kharisma ilmu tanpa tahun. Hlm 80

5
d. Barang tersebut mencapai nisab pencurian Tindak pidana pencurian baru
dikenakan hukuman bagi pelakunnya apabila barang yang dicuri mencapai nisab
pencurian. Nisab harta curian yang dapat mengakibatkan hukuman had potong
ialah seperempat dinar (kurang lebih seharga emas 1,62gram), dengan demikian
harta yang tidak mencapai nisab itu dapat dipikirkan kembali, disesuaikan
dengan keadaan ekonomi pada suatu dan tempat. Harta Tersebut Milik Orang
Lain.

Untuk terwujudnya tindak pidana pencurian yang pelakunya dapat dikenai hukuman
had, disyaratkan barang yang dicuri itu merupakan barang orang lain. Dalam kaitannya dengan
unsur ini yang terpenting adalah barang tersebut ada pemiliknya, dan pemiliknya itu bukan si
pencuri melainkan orang lain. Dengan demikian, apabila barang tersebut tidak ada pemiliknya
seperti benda-benda yang mubah maka pengambilanya tidak dianggap sebagai pencurian,
walaupun dilakukan secara diam-diam.

d. Syarat – Syarat Pencurian Menurut Fiqh Jinayah

Menurut Sayid Sabiq, bahwa syarat – syarat pencuri yang dihukumi potong tangan
adalah sebagai beikut:

1. Taklif yaitu sudah cakap hukum dan sudah dewasa.


2. Perbuatan tersebut atas kehendak sendiri bukan atas paksaan orang lain.
3. Nilai harta yang dicuri jumlahnya mencapai satu nisab, yaitu kadar harta tertentu
yang ditetapkan sesuai dengan undang - undang.
4. Sesuatu yang dicuri bukan barang Syubhat

e. Dasar Hukum Al-Sariqah

Telah disepakati oleh kaum muslimin bahwa tiap-tiap peristiwa pasti ada ketentuan-
ketentuan hukumnya, dan sumber hukum Islam merupakan segala sesuatu yang dijadikan
pedoman. Yang menjadi sumber syari’at Islam yaitu: al-Qur’an, Hadist, dan Ijma’. Disamping
itu ada yang menyebutkanbahwa sumber hukum Islam itu ada empat yaitu: Al-Qur’an, As
Sunnah, Ijma dan Qiyas.11

C. Jarimah Al-Hirabah

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shddiqy, Falsafah Hukum Islam, Ed-2, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
11

Cet-1, 2001, hlm. 33.

6
a. Pengertian Jarimah Hirabah

Secara etimologis, kata hirabah merupakan bentuk masdar yang berasal dari kata kerja
" ‫ " ﺣﺎﺭﺏ – ﻳﺤﺎﺭﺏ – ﻣﺤﺎﺭﺑﺔ‬yang berarti “ ‫” ﻗﺎﺗﻠﻪ‬yakni memerangi karena di satu sisi, kelompok ini
memerangi kelompok muslim lain, dan di sisi lainnya, memerangi ajaran Islam yang datang
untuk menciptakan kedamaian dan ketentraman bagi seluruh anggota masyarakat dengan cara
menjamin hak-hak mereka. Kata hirabah diambil dari akar kata ‫( ﺣﺮﺏ‬perang), atau dalam
kalimat " ‫ "ﻓﻼﻧﺎ ﺣﺮﺏ‬yang bermakna “‫ ” ﻣﺎﻟﻪ ﺳﻠﺐ‬yaitu merampas hartanya.

Hirabah juga disebut dengan qat’u at-tariq ataupun sirqah kubra, hal tersebut bukanlah
arti hakikat melainkan dalam arti majas. Secara hakikat pencurian (sirqah) adalah pengambilan
harta secara sembunyi-sembunyi, sedangkan qat’u at-tariq adalah pengambilan harta secara
terang-terangan. Akan tetapi, dalam qat’u at-tariq terdapat bentuk sembunyi-sembunyi, yaitu
dalam artian pelaku bersembunyi dari penguasa atau petugas keamanan. Oleh karena itu, sirqah
tidak bisa dikatakan sebagai qat’u at-tariq kecuali bila diperjelas dengan ungkapan sirqah al-
kubra bukan sirqah saja. Jika dinamakan pencurian saja, ungkapan tersebut tidak akan
dipahami sebagai qat’u at-tariq dan adanya beberapa ketentuan ini adalah tanda-tanda majas.12

Hirabah adalah delik kejahatan terhadap harta benda atau nyawa, atau meneror dan
menebar ancaman dengan cara yang sulit meski telah meminta bantuan pemerintahan dan lain
sebagainya. Pengertian hirabah hampir sama dengan pengertian pembegalan (qath’u ath-
tahriq), yaitu tindak merampas harta, membunuh, atau menakut-nakuti dengan paksaan dan
mengandalkan kekuatan.13

Hirabah adalah keluarnya gerombolan bersenjata di daerah islam untuk mengadakan


kekacauan, penumpahan darah, perampasan harta, mengoyak kehormatan, merusak tanaman,
peternakan, citra agama, akhlak, ketertiban, dan undang-undang. Baik gerombolan tersebut
dari orang islam sendiri maupun kafir dzimmi, atau kafir harbi.14

Penodong atau perampok adalah merampas atau mengambil harta milik orang lain
dengan cara memaksa. Pada umumnya kata penodong lebih lazim dipakai terhadap tindak

12
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’u al-Jina’i al-Islami, Juz II, Beirut: Muassasah al-Risalah,1992, hlm. 638
13
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i, (Jakarta Timur: Almahira, 2010), cet.I, hlm. 322-324
14
Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, Terj. Moh. Nabhan Husein, (Bandung: PT ALMA’ARIF, 1984), hlm. 175

7
pidana yang dilakukan diluar rumah, jika perbuatan yang sama dilakukan oleh pelaku di dalam
rumah atau gedung disebut dengan perampok.15

b. Kualifikasi Penjatuhan Hadd

Unsur-unsur umum untuk jarimah itu ada tiga macam, yaitu:

1. Unsur formal yaitu adanya nas (ketentuan) yang melarang perbuatan dan
mengancamnya dengan hukuman.
2. Unsur material yaitu adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa
perbuatan nyata (positif) maupun sikap tidak berbuat (negatif).
3. Unsur moral yaitu bahwa pelaku adalah orang yang mukallaf, yakni orang yang
dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya.16

Mengenai unsur khusus jarimah hirabah para fuqaha’ berbeda pendapat dengan yang
lainnya. Menurut Imam Malik, perampokan dapat dilakukan baik di kota maupun di luar kota,
tetapi Imam Abu Hanifah berkata bahwa bukan perampokan kalau dilakukan di dalam kota,
karena ada pihak berwenang yang akan melindungi warganya. Fuqaha’ yang lain mengatakan
sama saja halnya apakah ia dilakukan di dalam atau di luar kota, asalkan ia menggunakan
kekerasan. Sedangkan Imam Syafi’i menjelaskan bahwa bila pihak yang berwenang lemah, tak
dapat menolong atau melindungi warganya, maka perampokan bersenjata mungkin saja terjadi
di dalam kota.

Jarimah hirabah dapat terjadi dalam kasus-kasus:

a. Seseorang pergi dengan niat untuk mengambil harta secara terang-terangan dan
mengadakan intimidasi, namun tidak jadi mengambil harta dan tidak membunuh;
b. Seseorang pergi dengan niat untuk mengambil harta dengan terang-terangan dan
kemudian mengambil harta tersebut tetapi tidak membunuh;
c. Seseorang pergi atau berangkat dengan niat merampok, kemudian membunuh tapi
tidak mengambil harta korban;
d. Seseorang pergi untuk merampok kemudian mengambil harta dan membunuh
pemiliknya.17

15
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Cet. Ke-2, hlm. 69
16
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’u al-Jina’i al-Islami, Juz I, Beirut: Muassasah al-Risalah,1992, hlm. 110-111
17
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), cet. I, hlm. 30

8
Maka setiap orang, baik laki-laki atau perempuan, sadar atau mabuk, dengan atau tanpa
senjata tajam, dengan kekuatan sendiri yang meneror hingga mengancam keselamatan nyawa
atau harta benda pengguna jalan di perkotaan atau di padang sahara, dia dianggap pembegal
atau hirabah (kebanditan).

Hadd kebanditan (hirabah) tidak dapat dijatuhkan kepada pelaku yang masih kanak-
kanak, orang gila, orang yang dipaksa atau orang lemah yang tidak mempunyai kekuatan.
Hanya saja dia harus ditakzir.18

Terkait dengan apakah perbuatan hirabah dapat ditetapkan, maka hal itu adalah dengan
pengakuan (iqrar) dan kesaksian (bayyinah)19.20

1. Imam Malik menerima persaksian orang yang dirampas (hartanya) atas orang yang
merampas.
2. Imam Syafi’i berpendapat bahwa kesaksian kawan serombongan diperbolehkan,
jika mereka tidak mendakwakan harta yang mereka ambil, baik untuk dirinya
sendiri maupun kawan-kawannya.
c. Hukuman

Hukum melakukannya adalah haram dan dosa besar. Dan hukuman bagi pelaku hirabah
ini ditegaskan atau di dasarkan pada Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 33-34, yaitu:

‫ﻄ َﻊ ﺃ َ ْﻳﺪِﻳ ِﻬ ْﻢ َﻭﺃ َ ْﺭ ُﺟﻠُ ُﻬ ْﻢ‬


‫ﺼ ﱠﻠﺒُﻮﺍ ﺃ َ ْﻭ ﺗ ُ َﻘ ﱠ‬
َ ُ‫ﺴﺎﺩ ًﺍ ﺃ َ ْﻥ ﻳُ َﻘﺘﱠﻠُﻮﺍ ﺃ َ ْﻭ ﻳ‬
َ ‫ﺽ َﻓ‬
ِ ‫ﺍﻷﺭ‬ْ ‫ﺳﻮ َﻟﻪُ َﻭ َﻳ ْﺴ َﻌ ْﻮﻥَ ِﻓﻲ‬ ِ ‫ﺇِ ﱠﻧ َﻤﺎ َﺟﺰَ ﺍ ُء ﱠﺍﻟﺬِﻳﻦَ ﻳُ َﺤ‬
‫ﺎﺭﺑُﻮﻥَ ﱠ‬
ُ ‫َ َﻭ َﺭ‬p
‫ ) ِﺇﻻ ﱠﺍﻟﺬِﻳﻦَ ﺗَﺎﺑُﻮﺍ ِﻣ ْﻦ َﻗ ْﺒ ِﻞ‬33( ‫ﺍﻵﺧ َﺮﺓِ َﻋﺬَﺍﺏٌ َﻋ ِﻈﻴ ٌﻢ‬ ِ ‫ﻱ ِﻓﻲ ﺍﻟﺪﱡ ْﻧ َﻴﺎ َﻭ َﻟ ُﻬ ْﻢ ِﻓﻲ‬
ٌ ‫ﺽ ﺫَﻟِﻚَ َﻟ ُﻬ ْﻢ ِﺧ ْﺰ‬ ْ َ‫ِﻣ ْﻦ ِﺧﻼﻑٍ ﺃ َ ْﻭ ﻳُ ْﻨ َﻔ ْﻮﺍ ِﻣﻦ‬
ِ ‫ﺍﻷﺭ‬
)34( ‫ﻮﺭ َﺭ ِﺣﻴ ٌﻢ‬ ٌ ُ‫ﻏﻔ‬ َ َp ‫ﺃ َ ْﻥ ﺗَ ْﻘﺪ ُِﺭﻭﺍ َﻋ َﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ َﻓﺎ ْﻋ َﻠ ُﻤﻮﺍ ﺃ َ ﱠﻥ ﱠ‬
Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi
Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh
atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau
dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang
besar,(33) kecuali orang-orang yang tobat (di antara mereka) sebelum kamu dapat

18
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i, (Jakarta Timur: Almahira, 2010), cet.I, hlm. 324
19
Syarat-syaratnya baligh, berakal, kuat ingatannya, dapat berbicara (terjadi khilafiyah), dapat melihat (terjadi
khilafiyyah), adil, Islam, dan tidak menghalangi persaksian.
20
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Semarang: Asy-Syifa’, 1990), cet. I, hlm. 675

9
menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang (34).”21

Imam Malik memahami huruf aw (‫ )ﺃﻭ‬dari ayat di atas tersebut dalam arti pilihan (‫)ﺗﺨﻴﻴﺮ‬,
yakni empat macam hukuman yang disebutkan dalam surat al-Maidah ayat 33 tersebut,
diserahkan kepada yang berwenang (hakim) untuk memilih mana yang paling sesuai dan adil
dengan kejahatan pelaku.22

Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat salah satu sebab (faktor) yang
melatarbelakangi perbedaan pendapat antara jumhur fuqaha’ dan Imam Malik yaitu sebab yang
berkaitan dengan kebahasaan, terutama berkaitan dengan nash yang lafaznya berbentuk
musytarak, ‘am, mujmal, dan sebagainya, yaitu lafaz-lafaz yang memiliki makna beragam,
terlalu umum, dan terlalu global, sehingga para fuqaha’ atau mufassir mengartikan lafaz
musytarak memberikan batasan yang ‘am dan mujmal secara beragam pula, tergantung pada
dasar yang digunakan.23

Untuk hukuman yang dijatuhkan atas muharib, para fuqaha telah sependapat bahwa
hukuman tersebut berkaitan dengan hak Allah dan hak adami (manusia). Bahwa hak Allah
tersebut adalah hukuman mati, hukuman salib, dipotong tangan dan kakinya dengan bertimbal
balik, dan hukuman pengasingan, sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah dalam ayat di atas.

Dalam penjatuhan hukuman-hukuman tersebut, para fuqaha berselisih pendapat,


apakah didasarkan atas pilihan atau diurutkan berdasarkan besar kecilnya perbuatan.

1. Imam Malik berpendapat, apabila ia membunuh maka ia harus dibunuh pula.


Keputusan penjatuhan hukuman adalah hukuman mati atau penyaliban. Apabila ia
mengambil harta dan tidak membunuh, maka pilihan hukumannya pada
penghukuman mati, penyaliban atau potong tangan dan kaki secara timbal balik.
Dan jika hanya menakut-nakuti lalu lintas, penguasa boleh memilih antara
menghukum mati, menyalib, memotong tangan dan kaki, atau membuangnya.
Menurut Imam Malik, sanksi hirabah ini diserahkan kepada Imam24 untuk memilih

21
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Jakarta: Al-Kahfi, 2012, h. 113
22
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Alquran, Jilid 3 , Ciputat: Lentera
Hati, 2001, hlm. 80
23
M. Agus Salim, Studi Komparatif tentang Hukuman Jarimah Hirabah Menurut Jumhur Fuqoha’ dan Imam
Malik, Skripsi (Semarang: UIN Walisongo, 2016), hlm. 11
24
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Semarang: Asy-Syifa’, 1990), cet. I, hlm. 670

10
salah satu hukuman yang tercantum dalam ayat di atas sesuai dengan
kemaslahatan.[17] Jika muharib itu termasuk orang yang mempunyai kepandaian
dan keahlian, maka tuntutan ijtihad adalah dibunuh atau disalib, karena jika
memotong anggota badan tidak akan menghilangkan bahayanya. Hanya
mempunyai kekuatan dan senjata, maka penguasa memotong tangan dan kakinya
dengan bertimbal balik. Apabila ia tidak memiliki salah satu dari dua sifat tersebut,
maka penguasa menjatuhkan hukuman yang lebih ringan, yaitu pemukulan dan
pengasingan.
2. Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah dan segolongan fuqaha berpendapat bahwa
hukuman-hukuman tersebut diurutkan berdasarkan kejahatan-kejahatan yang telah
diketahui urutanya dalam syara’. Maka tidak dihukum mati kecuali orang yang
membunuh, tidak dihukum potong tangan kecuali orang yang mengambil harta,
dan tidak diasingkan kecuali orang yang tidak mengambil harta dan tidak
membunuh.
3. Sementara golongan fuqaha lainnya berpendapat bahwa penguasa dapat/boleh
memilih secara mutlak, baik muharib tersebut membunuh atau tidak, dan
mengambil harta atau tidak.

Hukuman bagi sebagian anggota pembegal/hirabah bersenjata tajam yang hanya


meneror pengguna jalan, tidak merampas harta benda dan tidak menghilangkan nyawa adalah
ditakzir dan dipenjara. Dalam kemaksiatan semacam ini tidak ada hukuman yang wajib
diberlakukan dan tidak ada kewajiban membayar kafarat.

Jenis takziran diserahkan kepada imam. Kebijakan semacam ini merupakan cara yang
paling tepat untuk menetralisir tindak kejahatan. Sanksi hukum yang diterapkan terhadap
pembegal atau perampok disesuaikan dengan tingkat kejahatan yang mereka perbuat. Hadd
pembegalan ada empat golongan, disesuaikan dengan keterangan ayat tentang hadd
kebanditan.

a. Golongan pertama, apabila mereka hanya merampas harta benda kurang lebih
sebanyak satu nisab seperti tindak pencurian dan tidak melakukan pembunuhan
terhadap seseorang, maka tangan dan kaki mereka harus dipotong secara silang.
Jika dia mengulangi kejahatan serupa, maka tangan kira dan kaki kanan yang
dipotong sekaligus atau berturut-turut.

11
b. Golongan kedua, apabila mereka melakukan pembunuhan tanpa mengambil harta
benda, mereka harus dihukum mati. Karena mereka mencoba mengintegrasikan
rasa takut menggunakan jalan yang menuntut hukuman lebih berat ke dalam
kejahatan mereka.
c. Golongan ketiga, apabila mereka melakukan pembunuhan sekaligus merampas
harta benda sebanyak satu nisab atau lebih, maka mereka harus dihukum mati
kemudian disalib selama tiga hari agar kondisi semacam ini terpublikasi dan
sempurnanya efek jera. Tujuan dari penyaliban setelah hukuman mati ialah untuk
menanamkan efek jera.
d. Golongan keempat, apabila mereka hanya menakut-nakuti pengguna jalan, tidak
merampas harta benda dan tidak melakukan pembunuhan, mereka cukup dipenjara
dan ditakzir.

d. Yang Dapat Menghapus Hukuman

Hadd ada yang gugur karena pertaubatan sebelum perkaranya sampai kepada hakim,
tetapi ada pula yang tidak dapat gugur.

1. Hadd yang Gugur karena Pertaubatan

Yaitu hukuman karena menyerang secara paksa atau membegal. Hal ini
berdasarkan Nash Al-Qur’an yang menjelaskan tentang perbuatan penyerangan secara
paksa yaitu, “kecuali orang-orang yang tobat (di antara mereka) sebelum kamu dapat
menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Maidah: 34). Ayat ini sangat jelas menggugurkan
hukuman mereka yang menyerang secara paksa tanpa harus dihukum mati, disalib,
dipotong tangannya, dan dipotong kakinya. Ketika sebagian hukuman telah digugurkan
maka semua hukuman itu menjadi gugur karena pertaubatan yang dilakukannya sebelum
mampu menangkapnya.

2. Hadd yang Tidak Dapat Digugurkan karena Pertaubatan

Ialah tuntutan hadd lain yang diberlakukan secara khusus karena melanggar hak
Allah SWT. Menurut pendapat yang azhar, hadd ini meliputi hadd tindak pidana

12
perzinaan, pencurian, dan meminum khamr. Pernyataan ini menurut jumhur ulama
kecuali pengikut Madzhab Hanbali.25

25
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i, (Jakarta Timur: Almahira, 2010), cet.I, hlm. 324-326

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Jarimah hudud adalah suatu jarimah (tindak pidana) yang diancam padanya hukuman
hadd, yaitu hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlahnya yang menjadi hak Allah.
Al-Sariqah adalah mengambil harta orang lain dengan sembunyi-sembunyi yang dilakukan
oleh orang yang tidak dipercayai menjaga barang tersebut. Hirabah adalah delik kejahatan
terhadap harta benda atau nyawa, atau meneror dan menebar ancaman dengan cara yang sulit
meski telah meminta bantuan pemerintahan dan lain sebagainya.

B. Saran

Dengan makalah ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan serta ilmu, kepada
pembaca terkait dengan materi Jarimah Hudud, selain itu kami juga memohon kritik dan saran
kepada pembaca jikalau banyak kata-kata atau kesalahan ketikan dalam makalah ini, karena
penulis adalah manusia biasa dan kesempurnaan hanya milik Tuhan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, Menuju Psikologi Islami,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Quraish Shihab, Mistik, Seks, dan Ibadah, Jakarta: Republika, 2004.
Yusuf Qardawi, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1986.
Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid Wa Nihayah al Muqtasid, Juz. 2, Beirut: Dar Al-Jiil, 1409
H/1989.
Mardani, Kejahatan Pencurian dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: CV INDHILL CO.
Sayyid Sabiq, Fiqh Al – Sunnah, Kuwait : Dar Al Bayan, 1968, Juz 9.
Tim Tsalisah, Ensklipodi hukum pidana islam,Bogor : PT kharisma ilmu tanpa tahun.
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shddiqy, Falsafah Hukum Islam, Ed-2, Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, Cet-1, 2001.
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’u al-Jina’i al-Islami, Juz II, Beirut: Muassasah al-Risalah,1992.
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i, (Jakarta Timur: Almahira, 2010), cet.I.
Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, Terj. Moh. Nabhan Husein, (Bandung: PT ALMA’ARIF, 1984).
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Cet. Ke-2.
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003).
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i, (Jakarta Timur: Almahira, 2010), cet.I.
Syarat-syaratnya baligh, berakal, kuat ingatannya, dapat berbicara (terjadi khilafiyah), dapat
melihat (terjadi khilafiyyah), adil, Islam, dan tidak menghalangi persaksian.
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Semarang: Asy-Syifa’, 1990), cet. I.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Jakarta: Al-Kahfi, 2012.
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Alquran, Jilid 3 , Ciputat:
Lentera Hati, 2001.
1
M. Agus Salim, Studi Komparatif tentang Hukuman Jarimah Hirabah Menurut Jumhur
Fuqoha’ dan Imam Malik, Skripsi (Semarang: UIN Walisongo, 2016).
1
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Semarang: Asy-Syifa’, 1990), cet. I.

15

Anda mungkin juga menyukai