Anda di halaman 1dari 13

HUKUM KEBIJAKAN DAN KELAUTAN

UNCLOS DAN DEKLARASI DJUANDA

DI SUSUN OLEH :

MOH.SOFIAN ASOURI WATONI (C1N020017)

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MATARAM

2021

UNCLOS

A. Latar Belakang
Hukum laut saat ini telah berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Hal
tersebut dapat disebabkan karena sumber kekayaan yang terdapat di dasar laut
adalah pemersatu dari berbagai sektor kegiatan, serta kekayaan sumber hayati
dimana 70% berasal dari dalam laut. Saat ini hukum laut terdapat pengaturan dan
pengurusan kegiatan yang ada dalam dasar laut serta kekayaan mineral yang
terkandung di dalam laut, bukan hanya yang berada di permukaan laut saja (Mauna,
2005).
Berbagai perundingan terkait kelautan telah diadakan dan terdapat puncak
perundingan yaitu Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut
(United Nations Conference on the Law of the Sea) pada tahun 1982 di Montego
Bay, Jamaika. Konferensi tersebut telah mengatur suatu perjanjian internasional
yang berisi segala aspek masalah dalam sektor kelautan. Perjanjian internasional
tersebut yaitu Konvensi PBB mengenai Hukum Laut (United Nations Convention
on the Law of the Sea/UNCLOS). Konvensi ini merupakan perkembangan paling
penting dalam kesuluruhan ketentuan hukum internasional berkenaan dengan lautan
bebas (Mauna, 2005).
Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki luas laut sebesar 5,8 Juta
km² yang terdiri dari laut territorial dengan luas 0.8 juta km², laut nusantara 2.3 juta km²
dan zona ekonomi eksklusif 2.7 juta km². Selain itu Indonesia memiliki pulau sebanyak
17.480 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 Km² (Mauna, 2018). Negara Indonesia
adalah negara yang sudah lama diperjuangkan di forum internasional yang diawali
dengan Deklarasi Djuanda tahun 1957. Kemudian diikuti UU / Prp No 4/1960 tentang
Perairan Indonesia; sehingga dalam The United Nations Convention on the Law of the
Sea (UNCLOS) 1982 dicantumkan Bagian IV mengenai negara kepulauan. Konsepsi
tersebut mempersatukan wilayah Indonesia, sehingga pulau yang berada di Indonesia
tidak ada laut bebas, dimana Indonesia merupakan negara kepulauan. Indonesia dapat
menarik garis pangkal (baselines-nya) dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar (the
outermost points of the outermost islands and drying reefs). Hal tersebut telah
diundangkan dengan UU No 6/1996 tentang Perairan Indonesia untuk menggantikan
UU /Prp No 4/1960 sebagai implementasi UNCLOS 1982 dalam hukum nasional kita
(Ariadno, 2018).

Pengertian
United Nations Convention On the Law Of The Sea (UNCLOS III) atau yang sering
dikenal dengan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982 merupakan
produk hukum internasional yang terakhir disepakati oleh Negara-negara dunia yang
tergabung dalam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sebagai pengaturan laut berskala
internasional, merupakan suatu bentuk usaha masyarakat internasional untuk mengatur
masalah kelautan. Sebelumnya rejim hukum laut sudah mulai diatur dalam Konvensi
Jenewa 1958, namun belum mencapai suatu kesempurnaan dalam pengaturan rejim
hukum laut dari segala aspeknya, karena dilihat dalam masa perkembangannya
menunjukkan bahwa perlu adanya suatu konvensi hukum laut yang baru dan dapat
diterima secara umum.

United Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS III) sebagai hasil dari
Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) 1982 ditandatangani oleh
117 negara peserta PBB tepatnya di Montego Bay-Jamaica pada tanggal 10 Desember
1982. Dibandingkan dengan Konvensi Jenewa 1958, Konvensi ini mengatur rejim-rejim
hukum laut secara lengkap dan menyeluruh, dimana satu dengan yang lainnya tidak
dapat dipisahkan. Indonesia adalah salah satu Negara yang ikut menandatangani
konvensi tersebut dan sebagai bentuk perhatian Indonesia terhadap rejim hukum laut
dan untuk memperkuat kedaulatan atas wilayah laut, maka 3 (tiga) tahun berselang
setelah ditandatanganinya United Nations Convention On The Law Of The
Sea (UNCLOS III) Indonesia pun meratifikasi atau mengesahkan konvensi tersebut
dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang
Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut). Tindakan Indonesia ini
menimbulkan adanya hak-hak dan kewajiban yang melekat pada Indonesia sendiri
dalam kancah internasional, khususnya dalam bidang kelautan, dimana Indonesia harus
menghormati, mentaati, dan melaksanakan aturan-aturan sesuai dengan ketentuan
didalam United Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS III).
Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 ini disahkan di Jakarta pada tanggal 31
Desember 1985 yang ditandatangani langsung oleh Presiden Soeharto. Undang-undang
tersebut terdiri atas 2 Pasal, yaitu :

1. Mengesahkan United Nations Convention the Law Of the Sea (Konvensi


Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut), yang salinan naskah aslinya dalam
bahasa inggeris dilampirkan pada Undang-undang ini ( Pasal 1 ).

2. Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan ( Pasal 2 ).

Sama halnya dengan tujuan diselenggarakannya Konvensi Hukum Laut PBB 1982,
Indonesia meratifikasi United Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCOLS
III) ialah atas suatu keinginan dan ketekadan yang kuat untuk memperkokoh
perdamaian, keamanan, kerjasama dan hubungan bersahabat antara semua bangsa
sesuai dengan asas keadilan dan persamaan hak dan akan memajukan peningkatan
ekonomi dan sosial segenap rakyat dunia, sesuai dengan tujuan dan asas Perserikatan
Bangsa-Bangsa sebagaiamana yang telah ditetapkan. Kemudian daripada itu secara
khusus Indonesia meratifikasi UNCLOS III adalah sebagai suatu bentuk upaya untuk
memperkuat, memperjelas, menjaga kekuasaan Indonesia atas kedaulatan wilayah
lautnya.

Dengan Indonesia meratifikasi UNCLOS III, secara garis besar hal tersebut sangat
bermanfaat dan memberikan lebih banyak dampak positif bagi Indonesia dalam hal
penguasaan atas wilayah laut. Diantaranya yang sangat menguntungkan dari sisi
Indonesia adalah sebagaimana yang dijelaskan di dalam penjelasan umum Undang-
undang Nomor 17 Tahun 1985 tersebut menyebutkan bahwasanya konvensi ini (
Konvensi Hukum Laut PBB 1982) mempunyai arti yang sangat penting bagi Bangsa
dan Negara Republik Indonesia karena untuk pertama kalinya asas Negara Kepulauan
yang selama dua puluh lima tahun secara terus menerus diperjuangkan oleh Indonesia
pada akhirnya telah membuahkan hasil, yaitu berhasil memperoleh pengakuan resmi
masyarakat internasional. Dimana pengakuan resmi asas Negara Kepulauan tersebut
sangatlah penting bagi Indonesia dalam mewujudkan satu kesatuan wilayah Negara
Republik Indonesia.
Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwasanya Indonesia telah berusaha
memperjuangkan status Negara kepulauan sejak Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957,
walaupun beberapa Negara sudah ada yang mengakui hal tersebut, namun pada waktu
itu belumlah mendapatkan pengakuan secara resmi dari masyarakat internasional.
Diperjuangkannya Indonesia sebagai Negara Kepulauan yang berwawasan nusantara
untuk mewujudkan suatu kesatuan wilayah Indonesia, ialah satu kesatuan politik,
ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan.

Sehubungan dengan diakuinya Indonesia sebagai Negara Kepulauan, maka otomatis


perairan Indonesia yang dahulunya merupakan bahagian dari Laut Lepas kini menjadi
wilayah perairan Indonesia, artinya kedaulatan Indonesia atas wilayah perairannya
semakin luas dibandingkan sebelum ditandatanganinya Konvensi Hukum Laut
Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982. Indonesia memiliki pulau sebanyak 17.480 pulau
dan garis pantai sepanjang 95.181 km, sehingga secara geografis Indonesia merupakan
negara maritim, yang memiliki luas total wilayah 7,9 Juta Kilometer Persegi, yang
terdiri atas 1,9 Juta Kilometer Persegi daratan dan 5,8 Juta Kilometer Persegi berupa
Lautan. Bersamaan dengan semakin luasnya wilayah perairan Indonesia tersebut juga
berdampak kepada keutuhan kesatuan wilayah Negara Republik Indonesia, yaitu
sebelumnya ada diantara wilayah Indonesia yang harus dipisahkan karena adanya laut
lepas, tapi setelah Konvensi Hukum Laut 1982 disepakati dan wilayah perairan
Indonesia semakin bertambah menyebabkan wilayah laut lepas tadi tidak ada lagi, akan
tetapi bersatu menjadi satu kesatuan wilayah perairan Indonesia.

Status Negara kepulauan yang dimiliki Indonesia juga memiliki dampak positif lainnya,
yaitu memposisikan Indonesia berada pada posisi yang strategis bagi kegiatan ekonomi,
sosial dan budaya, karena sebagaimana yang diketahui bahwasanya Indonesia berada di
garis khatulistiwa , berada diantara dua benua ( Asia dan Australia), dan dua samudera
(Pasifik dan India), serta Negara yang menjadi tempat perlintasan kapal-kapal asing
sebagai bentuk aktifitas-aktifitas perekonomian.

Dengan meratifikasi UNCLOS III kedalam peraturan perundang-undangan nasional


membuat adanya kejelasan batas wilayah dari Negara Indonesia, sehingga dapat
dijadikan alat legitimasi dalam menjalin hubungan berbangsa dan bernegara. Kejelasan
batas-batas perairan suatu negara dengan Negara-negara yang berbatasan langsung juga
akan dapat membantu memperjelas fungsi pertahanan negara, yaitu menjaga
kemungkinan serangan atau penyusupan dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Karena dengan meratifikasi UNCLOS 1982 merupakan sebagai
bentuk langkah untuk mempertahankan kedaulatan Negara, karena mengingat
bahwasanya Indonesia memiliki wilayah perairan yang sangat luas.

Dilihat dari sudut pengaturan rejim-rejim hukum laut juga banyak memberikan
keuntungan bagi Indonesia sebagai Negara kepulauan yang berwawasan nusantara,
diantaranya adalah: Pertama, pengaturan mengenai lebar laut territorial yang sebelum
diratifikasikannya UNCLOS III menunjukkan adanya keanekaragaman dalam masalah
lebar Laut territorial, dimana ada Negara yang mengukur lebar laut teritorialnya dari 3
mil sampai 200 mil jauhnya, namun sekarang menemukan titik kejelasan bahwasanya
lebar Laut Teritorial adalah tidak boleh lebih dari 12 mil laut. Kedua, pengaturan
mengenai lebar Zona Tambahan adalah maksimal 24 mil laut diukur dari garis dasar
Laut Teritorial, Indonesia memiliki yurisdiksi pengawasan di zona tersebut untuk
mencegah dan menindak pelanggaran Bea Cukai, Imigrasi, Fiskal dan saniter. Ketiga,
Zona Ekonomi Eksklusif yang diatur memiliki lebar sampai 200 mil laut membuat
wilayah laut Negara Indonesia bertambah luas yaitu dengan diberikannya “Hak
Berdaulat” atas ZEE tersebut. Keempat, dalam hal pengaturan lebar Landas Kontinen
juga menunjukkan dampak yang positif bagi Negara-negara pantai -
khususnya Indonesia, yaitu dimana Landas Kontinen yang pada mulanya termasuk
kedalam rejim Zona Ekenomo Eksklusif, namun pada Konvensi Hukum Laut PBB 1982
(UNCLOS III) Landas Kontinen diatur dalam Bab tersendiri dan memberikan
kesempatan yang memungkinkan suatu Negara panati (salah satunya Indonesia)
memiliki lebar Landas Kontinen melebihi lebar Zona Ekonomi Eksklusif, yaitu dengan
tidak melebihi dari 350 mil laut.

Kejelasan batas-batas rejim hukum laut yang diatur di dalam UNCLOS III di atas
tentunya dapat menciptakan kesejahteraan khususnya bagi warga negara Indonesia
melalui terjaminnya pemanfaatan potensi sumber daya alam seperti kegiatan perikanan,
eksplorasi dan eksploitasi lepas pantai, wisata bahari, transportasi laut dan berbagai
kegiatan kelautan lainnya.

Kemudian selain itu, atas dasar Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang
pengesahan Konvensi Hukum Laut 1982 akan membuka jalan bagi Negara Indonesia
yang dalam hal ini adalah dijalankan oleh Pemerintah, yaitu dimana Pemerintah dapat
membuat dan mensahkan peraturan perundang-undangan lebih lanjut terkait rejim-rejim
hukum laut sebagaiaman yang diamanatkan di dalam UNCLOS III sebagai suatu upaya
untuk melindungi hak berdaulat atas kekayaan dan yuridiksi yang dimiliki oleh
Indonesia terhadap wilayah perairannya dan sebagai bentuk usaha untuk memperkuat
eksistensi atau keberadaan Negara Republik Indonesia di kancah Internasional,
sehingga tidak lagi dipandang sebelah mata oleh Negara-negara lain di dunia/
masyarakat internasional.

Selain kelebihan atau dampak positif yang didapatkan Indonesia dengan


mengesahkan United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut) melalui Undang-Undang Nomor 17
Tahun 1985, ternyata ada kelemahan yang dirasakan atau dampak negatif yang masih
dapat dirasakan oleh Negara Indonesia, walaupun dampak negatif itu berbanding lebih
sedikit dari pada dampak positif yang sangat banyak dirasakan.

Diantara kelemahannya itu adalah disamping keberadaan Indonesia pada posisi


yang strategis dalam kegiatan perekonomian, sosial dan budaya juga berpengaruh
terhadap Indonesia yang sangat rawan untuk mengalami konflik dengan negara
tetangga, baik yang berbatasan langsung dengan Indonesia maupun berbatasan secara
tidak langsung dengan Indonesia. Negara-negara tetangga akan mengklaim suatu
wilayah laut yang pada mulanya diklaim oleh Indonesia sebagai wilayah kekuasaanya,
hal ini terjadi karena Negara yang berbatasan langsung dengan Negara indonesia
tersebut juga berusaha memperluas wilayah lautnya dengan pengukuran garis batas
sebagaimana yang ditentukan di dalam UNCLOS III. Selain itu konflik dapat saja
terjadi ketika Indonesia sudah mengesahkan UNCLOS III, kemudian mendasarkan
pengaturan wilayah laut berdasarkan UNCLOS tersebut, namun di lain pihak Negara
tetangga dalam mengklaim suatu wilayah laut malah tidak tunduk atau tidak didasarkan
kepada UNCLOS akan tetapi hanya dilakukan secara sepihak, seperti halnya contoh
konflik yang terjadi antara Indonesia dengan Malaysia terkait kasus perebutan blok
Ambalat.

Selain itu, wilayah Indonesia yang sebagian besar adalah wilayah perairan mempunyai
banyak celah kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh negara lain yang pada akhirnya
dapat meruntuhkan bahkan dapat menyebabkan disintegrasi bangsa Indonesia.
DEKLARASI DJUANDA

Pengertian Deklarasi Djuanda

Adalah deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa laut di Indonesia


termasuk laut di sekitarnya, dan diantara serta di dalam kepulauan Indonesia menjadi
satu kesatuan pada wilayah NKRI. Karena sebelum adanya deklarasi ini, wilayah
Indonesia masih mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939 yang di dalam aturan
tersebut. bahwa pulau yang ada di dalam wilayah Indonesia dipisahkan oleh laut dan
sekelilingnya, sejauh maksimal 2 mil dari garis pantai sementara pada laut yang
memisahkan pulau yang ada yang bebas dilewati oleh kapal asing.

Latar Belakang dan Tujuan Deklarasi Djuanda

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara keanekaragaman pendapat,


kebudayaan kesenian, kepercayaan, memerlukan suatu perekat agar bangsa yang
bersangkutan bersatu guna memelihara keutuhan negaranya. Suatu bangsa dalam
menyelenggarakan kehidupannya tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya, kondisi
sosial masyarakat, kebudayaan dan tradisi, kepercayaan, keadaan alam dan wilayah
serta pengalaman sejarah.

Kata wawasan berasal dari bahasa Jawa, yaitu wawas (mawas) yang artinya
melihat, memandang. Jadi kata wawasan dapat di artikan sebagai cara melihat atau cara
memandang.

Kehidupan negara senantiasa dipengaruhi perkembangan lingkungan strategi


sehingga wawasan harus mampu memberi inspirasi pada suatu bangsa dalam
menghadapi berbagai hambatan dan tantangan.

Salah satu persyaratan mutlak harus dimiliki oleh sebuah negara adalah wilayah
kedaulatan, di samping rakyat dan pemerintahan yang diakui. Konsep dasar wilayah
negara kepulauan telah diletakkan melalui Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957.
Deklarasi Djuanda adalah pernyataan kepada dunia, bahwa laut Indonesia adalah
termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia, menjadi satu
kesatuan wilayah NKRI. Deklarasi itu dicetuskan pada 13 Desember 1957 oleh Perdana
Menteri Indonesia waktu itu, Djuanda Kartawidjaja.

TZMKO 1939 membuat wilayah Indonesia terpecah-belah dan tidak berada


dalam satu kesatuan. Pulau-pulau yang ada di dalam wilayah Indonesia tidak saling
terhubung dan dipisahkan oleh perairan internasional. Perairan internasional adalah
zona yang bebas untuk dilayari oleh kapal-kapal negara asing. Tiap negara boleh untuk
melaksanakan kegiatan apa pun, baik yang menguntungkan atau merugikan kedaulatan
Indonesia. Indonesia keberatan dengan peraturan tersebut karena TZMKO 1939 tidak
memperhatikan sifat khusus negara Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelago).
Padahal, Indonesia memiliki 17 ribu pulau yang harus dijaga kesatuan dan pertahanann.

Oleh karena itu, dibutuhkan peraturan yang mampu untuk melindungi wilayah
Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah, dan Deklarasi Djuanda menjadi pembuka
jalan untuk melawan TZMKO 1939 dan usaha untuk mendapatkan pengakuan
internasional. Deklarasi Djuanda merupakan akar dari Pasal 25 Undang-Undang Dasar
(UUD 1945). Dalam pasal tersebut, Indonesia mengesahkan identitasnya sebagai
“negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah dan batas-batas dan hak-
haknya ditetapkan dengan undang-undang.” Merujuk pada modul Sejarah Indonesia
(2020:8) yang diterbitkan oleh Kemendikbud.

Tujuan dari Deklarasi Djuanda adalah :

1. untuk mewujudkan wilayah negara Indonesia yang utuh,


2. menentukan batas wilayah Indonesia yang sesuai dengan asas kepulauan, dan
3. untuk mengatur lalu lintas pelayaran.

Secara prinsip Deklarasi Djuanda menyatakan hal hal dibawah ini :

1. Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak


tersendiri
2. Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu
kesatuan
3. Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan
wilayah Indonesia

Prinsip-prinsip dalam Deklarasi Djuanda ini kemudian dikukuhkan dengan Undang-


undang Nomor 4 Tahun 1960, yang isinya sebagai berikut :

1. Untuk kesatuan bangsa, integritas wilayh, dan kesatuan ekonominya ditarik garis-
garis pngkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari kepulauan terluar.
2. Termasuk dasar laut dan tanah bawahnya maupun ruang udara di atasnya
dengan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
3. Jalur laut wilayah laut territorial selebar 12 mil diukur dari garis-garis lurusnya.
4. Hak lintas damai kapal asing melalui perairan nusantara (archipelagic water)
dijamin tidak merugikan kepentingan negara pantai, baik keamanan maupun
ketertibannya

Tokoh dan Isi Deklarasi Djuanda

Tanggal 13 Desember 1957, Ir. H. Djuanda Kartawidjaja selaku Perdana


Menteri Republik Indonesia kala itu mendeklarasikan “Pengumuman Pemerintah
mengenai Perairan Negara Republik Indonesia” atau yang kemudian disebut sebagai
Deklarasi Djuanda.

Inti dari Deklarasi Djuanda adalah bahwa Indonesia berdaulat secara mutlak atas
seluruh wilayah perairan di sekitarnya. Rinciannya adalah sebagai berikut: ”Segala
perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-
pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas
atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara
Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional
yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia. Lalu-
lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan
sekadar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara
Indonesia.”

Jika disimpulkan, isi Deklarasi Juanda dapat diringkas sebagai berikut:

Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak


tersendiri Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu
kesatuan Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan
wilayah Indonesia .

Deklarasi Djuanda ditetapkan secara konstitusional melalui Peraturan Pemerintah


Nomor 4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Dalam peraturan tersebut, lebar laut
Indonesia yang awalnya hanya 3 mil berganti menjadi seluruh “laut wilayah Indonesia
beserta perairan pedalaman Indonesia.”

Hasil dan Dampak Deklarasi Djuanda

Dengan adanya Deklarasi Djuanda, Indonesia memiliki kedaulatan untuk


mengelola dan menjaga keamanan seluruh wilayah kelautan. Dampak lain yang
dirasakan adalah penambahan luas wilayah laut Indonesia yang awalnya 2.027.087 km²,
meningkat 2,5 kali lipat menjadi 5.193.250 km². Bagi negara asing, Deklarasi Djuanda
membuat kapal-kapal yang biasanya mencari ikan di perairan Indonesia tidak dapat
melakukan mobilisasi secara bebas karena seluruh sumber daya laut telah menjadi milik
Indonesia. Lebih lanjut, dampak Deklarasi Djuanda secara internasional bahkan
mengubah peraturan batas laut secara internasional.

Awalnya, Deklarasi Djuanda tidak dapat diterima secara internasional. Deklarasi


ini dikhawatirkan oleh sejumlah negara tetangga akan membatasi pergerakan akses
perairan ke daerah penangkapan ikan.

Indonesia juga dikecam karena telah berpotensi mengganggu mobilitas perairan


internasional. Selain itu, Indonesia dianggap telah melanggar TZMKO 1939 terkait
batas wilayah laut. Agar kedaulatan mutlak atas perairan negara diakui, Indonesia terus
mengupayakan adanya peraturan perairan baru melalui forum-forum internasional.
Perjuangan Indonesia berhasil. Melalui Konvensi Hukum Laut PBB di Montego Bay,
Jamaika, kedaulatan Indonesia sebagai negara kepulauan dan peraturan tentang batas
laut diakui dunia. Selanjutnya, Indonesia meneguhkan konvensi tersebut melalui
Undang-Undang nomor 17 tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang
Hukum Laut

Anda mungkin juga menyukai