DI SUSUN OLEH :
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MATARAM
2021
UNCLOS
A. Latar Belakang
Hukum laut saat ini telah berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Hal
tersebut dapat disebabkan karena sumber kekayaan yang terdapat di dasar laut
adalah pemersatu dari berbagai sektor kegiatan, serta kekayaan sumber hayati
dimana 70% berasal dari dalam laut. Saat ini hukum laut terdapat pengaturan dan
pengurusan kegiatan yang ada dalam dasar laut serta kekayaan mineral yang
terkandung di dalam laut, bukan hanya yang berada di permukaan laut saja (Mauna,
2005).
Berbagai perundingan terkait kelautan telah diadakan dan terdapat puncak
perundingan yaitu Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut
(United Nations Conference on the Law of the Sea) pada tahun 1982 di Montego
Bay, Jamaika. Konferensi tersebut telah mengatur suatu perjanjian internasional
yang berisi segala aspek masalah dalam sektor kelautan. Perjanjian internasional
tersebut yaitu Konvensi PBB mengenai Hukum Laut (United Nations Convention
on the Law of the Sea/UNCLOS). Konvensi ini merupakan perkembangan paling
penting dalam kesuluruhan ketentuan hukum internasional berkenaan dengan lautan
bebas (Mauna, 2005).
Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki luas laut sebesar 5,8 Juta
km² yang terdiri dari laut territorial dengan luas 0.8 juta km², laut nusantara 2.3 juta km²
dan zona ekonomi eksklusif 2.7 juta km². Selain itu Indonesia memiliki pulau sebanyak
17.480 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 Km² (Mauna, 2018). Negara Indonesia
adalah negara yang sudah lama diperjuangkan di forum internasional yang diawali
dengan Deklarasi Djuanda tahun 1957. Kemudian diikuti UU / Prp No 4/1960 tentang
Perairan Indonesia; sehingga dalam The United Nations Convention on the Law of the
Sea (UNCLOS) 1982 dicantumkan Bagian IV mengenai negara kepulauan. Konsepsi
tersebut mempersatukan wilayah Indonesia, sehingga pulau yang berada di Indonesia
tidak ada laut bebas, dimana Indonesia merupakan negara kepulauan. Indonesia dapat
menarik garis pangkal (baselines-nya) dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar (the
outermost points of the outermost islands and drying reefs). Hal tersebut telah
diundangkan dengan UU No 6/1996 tentang Perairan Indonesia untuk menggantikan
UU /Prp No 4/1960 sebagai implementasi UNCLOS 1982 dalam hukum nasional kita
(Ariadno, 2018).
Pengertian
United Nations Convention On the Law Of The Sea (UNCLOS III) atau yang sering
dikenal dengan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982 merupakan
produk hukum internasional yang terakhir disepakati oleh Negara-negara dunia yang
tergabung dalam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sebagai pengaturan laut berskala
internasional, merupakan suatu bentuk usaha masyarakat internasional untuk mengatur
masalah kelautan. Sebelumnya rejim hukum laut sudah mulai diatur dalam Konvensi
Jenewa 1958, namun belum mencapai suatu kesempurnaan dalam pengaturan rejim
hukum laut dari segala aspeknya, karena dilihat dalam masa perkembangannya
menunjukkan bahwa perlu adanya suatu konvensi hukum laut yang baru dan dapat
diterima secara umum.
United Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS III) sebagai hasil dari
Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) 1982 ditandatangani oleh
117 negara peserta PBB tepatnya di Montego Bay-Jamaica pada tanggal 10 Desember
1982. Dibandingkan dengan Konvensi Jenewa 1958, Konvensi ini mengatur rejim-rejim
hukum laut secara lengkap dan menyeluruh, dimana satu dengan yang lainnya tidak
dapat dipisahkan. Indonesia adalah salah satu Negara yang ikut menandatangani
konvensi tersebut dan sebagai bentuk perhatian Indonesia terhadap rejim hukum laut
dan untuk memperkuat kedaulatan atas wilayah laut, maka 3 (tiga) tahun berselang
setelah ditandatanganinya United Nations Convention On The Law Of The
Sea (UNCLOS III) Indonesia pun meratifikasi atau mengesahkan konvensi tersebut
dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang
Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut). Tindakan Indonesia ini
menimbulkan adanya hak-hak dan kewajiban yang melekat pada Indonesia sendiri
dalam kancah internasional, khususnya dalam bidang kelautan, dimana Indonesia harus
menghormati, mentaati, dan melaksanakan aturan-aturan sesuai dengan ketentuan
didalam United Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS III).
Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 ini disahkan di Jakarta pada tanggal 31
Desember 1985 yang ditandatangani langsung oleh Presiden Soeharto. Undang-undang
tersebut terdiri atas 2 Pasal, yaitu :
Sama halnya dengan tujuan diselenggarakannya Konvensi Hukum Laut PBB 1982,
Indonesia meratifikasi United Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCOLS
III) ialah atas suatu keinginan dan ketekadan yang kuat untuk memperkokoh
perdamaian, keamanan, kerjasama dan hubungan bersahabat antara semua bangsa
sesuai dengan asas keadilan dan persamaan hak dan akan memajukan peningkatan
ekonomi dan sosial segenap rakyat dunia, sesuai dengan tujuan dan asas Perserikatan
Bangsa-Bangsa sebagaiamana yang telah ditetapkan. Kemudian daripada itu secara
khusus Indonesia meratifikasi UNCLOS III adalah sebagai suatu bentuk upaya untuk
memperkuat, memperjelas, menjaga kekuasaan Indonesia atas kedaulatan wilayah
lautnya.
Dengan Indonesia meratifikasi UNCLOS III, secara garis besar hal tersebut sangat
bermanfaat dan memberikan lebih banyak dampak positif bagi Indonesia dalam hal
penguasaan atas wilayah laut. Diantaranya yang sangat menguntungkan dari sisi
Indonesia adalah sebagaimana yang dijelaskan di dalam penjelasan umum Undang-
undang Nomor 17 Tahun 1985 tersebut menyebutkan bahwasanya konvensi ini (
Konvensi Hukum Laut PBB 1982) mempunyai arti yang sangat penting bagi Bangsa
dan Negara Republik Indonesia karena untuk pertama kalinya asas Negara Kepulauan
yang selama dua puluh lima tahun secara terus menerus diperjuangkan oleh Indonesia
pada akhirnya telah membuahkan hasil, yaitu berhasil memperoleh pengakuan resmi
masyarakat internasional. Dimana pengakuan resmi asas Negara Kepulauan tersebut
sangatlah penting bagi Indonesia dalam mewujudkan satu kesatuan wilayah Negara
Republik Indonesia.
Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwasanya Indonesia telah berusaha
memperjuangkan status Negara kepulauan sejak Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957,
walaupun beberapa Negara sudah ada yang mengakui hal tersebut, namun pada waktu
itu belumlah mendapatkan pengakuan secara resmi dari masyarakat internasional.
Diperjuangkannya Indonesia sebagai Negara Kepulauan yang berwawasan nusantara
untuk mewujudkan suatu kesatuan wilayah Indonesia, ialah satu kesatuan politik,
ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan.
Status Negara kepulauan yang dimiliki Indonesia juga memiliki dampak positif lainnya,
yaitu memposisikan Indonesia berada pada posisi yang strategis bagi kegiatan ekonomi,
sosial dan budaya, karena sebagaimana yang diketahui bahwasanya Indonesia berada di
garis khatulistiwa , berada diantara dua benua ( Asia dan Australia), dan dua samudera
(Pasifik dan India), serta Negara yang menjadi tempat perlintasan kapal-kapal asing
sebagai bentuk aktifitas-aktifitas perekonomian.
Dilihat dari sudut pengaturan rejim-rejim hukum laut juga banyak memberikan
keuntungan bagi Indonesia sebagai Negara kepulauan yang berwawasan nusantara,
diantaranya adalah: Pertama, pengaturan mengenai lebar laut territorial yang sebelum
diratifikasikannya UNCLOS III menunjukkan adanya keanekaragaman dalam masalah
lebar Laut territorial, dimana ada Negara yang mengukur lebar laut teritorialnya dari 3
mil sampai 200 mil jauhnya, namun sekarang menemukan titik kejelasan bahwasanya
lebar Laut Teritorial adalah tidak boleh lebih dari 12 mil laut. Kedua, pengaturan
mengenai lebar Zona Tambahan adalah maksimal 24 mil laut diukur dari garis dasar
Laut Teritorial, Indonesia memiliki yurisdiksi pengawasan di zona tersebut untuk
mencegah dan menindak pelanggaran Bea Cukai, Imigrasi, Fiskal dan saniter. Ketiga,
Zona Ekonomi Eksklusif yang diatur memiliki lebar sampai 200 mil laut membuat
wilayah laut Negara Indonesia bertambah luas yaitu dengan diberikannya “Hak
Berdaulat” atas ZEE tersebut. Keempat, dalam hal pengaturan lebar Landas Kontinen
juga menunjukkan dampak yang positif bagi Negara-negara pantai -
khususnya Indonesia, yaitu dimana Landas Kontinen yang pada mulanya termasuk
kedalam rejim Zona Ekenomo Eksklusif, namun pada Konvensi Hukum Laut PBB 1982
(UNCLOS III) Landas Kontinen diatur dalam Bab tersendiri dan memberikan
kesempatan yang memungkinkan suatu Negara panati (salah satunya Indonesia)
memiliki lebar Landas Kontinen melebihi lebar Zona Ekonomi Eksklusif, yaitu dengan
tidak melebihi dari 350 mil laut.
Kejelasan batas-batas rejim hukum laut yang diatur di dalam UNCLOS III di atas
tentunya dapat menciptakan kesejahteraan khususnya bagi warga negara Indonesia
melalui terjaminnya pemanfaatan potensi sumber daya alam seperti kegiatan perikanan,
eksplorasi dan eksploitasi lepas pantai, wisata bahari, transportasi laut dan berbagai
kegiatan kelautan lainnya.
Kemudian selain itu, atas dasar Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang
pengesahan Konvensi Hukum Laut 1982 akan membuka jalan bagi Negara Indonesia
yang dalam hal ini adalah dijalankan oleh Pemerintah, yaitu dimana Pemerintah dapat
membuat dan mensahkan peraturan perundang-undangan lebih lanjut terkait rejim-rejim
hukum laut sebagaiaman yang diamanatkan di dalam UNCLOS III sebagai suatu upaya
untuk melindungi hak berdaulat atas kekayaan dan yuridiksi yang dimiliki oleh
Indonesia terhadap wilayah perairannya dan sebagai bentuk usaha untuk memperkuat
eksistensi atau keberadaan Negara Republik Indonesia di kancah Internasional,
sehingga tidak lagi dipandang sebelah mata oleh Negara-negara lain di dunia/
masyarakat internasional.
Selain itu, wilayah Indonesia yang sebagian besar adalah wilayah perairan mempunyai
banyak celah kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh negara lain yang pada akhirnya
dapat meruntuhkan bahkan dapat menyebabkan disintegrasi bangsa Indonesia.
DEKLARASI DJUANDA
Kata wawasan berasal dari bahasa Jawa, yaitu wawas (mawas) yang artinya
melihat, memandang. Jadi kata wawasan dapat di artikan sebagai cara melihat atau cara
memandang.
Salah satu persyaratan mutlak harus dimiliki oleh sebuah negara adalah wilayah
kedaulatan, di samping rakyat dan pemerintahan yang diakui. Konsep dasar wilayah
negara kepulauan telah diletakkan melalui Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957.
Deklarasi Djuanda adalah pernyataan kepada dunia, bahwa laut Indonesia adalah
termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia, menjadi satu
kesatuan wilayah NKRI. Deklarasi itu dicetuskan pada 13 Desember 1957 oleh Perdana
Menteri Indonesia waktu itu, Djuanda Kartawidjaja.
Oleh karena itu, dibutuhkan peraturan yang mampu untuk melindungi wilayah
Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah, dan Deklarasi Djuanda menjadi pembuka
jalan untuk melawan TZMKO 1939 dan usaha untuk mendapatkan pengakuan
internasional. Deklarasi Djuanda merupakan akar dari Pasal 25 Undang-Undang Dasar
(UUD 1945). Dalam pasal tersebut, Indonesia mengesahkan identitasnya sebagai
“negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah dan batas-batas dan hak-
haknya ditetapkan dengan undang-undang.” Merujuk pada modul Sejarah Indonesia
(2020:8) yang diterbitkan oleh Kemendikbud.
1. Untuk kesatuan bangsa, integritas wilayh, dan kesatuan ekonominya ditarik garis-
garis pngkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari kepulauan terluar.
2. Termasuk dasar laut dan tanah bawahnya maupun ruang udara di atasnya
dengan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
3. Jalur laut wilayah laut territorial selebar 12 mil diukur dari garis-garis lurusnya.
4. Hak lintas damai kapal asing melalui perairan nusantara (archipelagic water)
dijamin tidak merugikan kepentingan negara pantai, baik keamanan maupun
ketertibannya
Inti dari Deklarasi Djuanda adalah bahwa Indonesia berdaulat secara mutlak atas
seluruh wilayah perairan di sekitarnya. Rinciannya adalah sebagai berikut: ”Segala
perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-
pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas
atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara
Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional
yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia. Lalu-
lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan
sekadar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara
Indonesia.”