FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
JAKARTA
OKTOBER 2021
A. Posisi Kasus
Perkara yang terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Manokwari Nomor
16/Pid.Sus-TPK/2019/PN Mnk merupakan kasus tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh terdakwa dengan nama Adrian Oktovianus Matakupan, S.E., yang
merupakan seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang menjabat sebagai Kepala
Seksi Pengawasan dan Pemberdayaan Konsumen pada Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Provinsi Papua Barat.
Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa berbentuk gratifikasi
yang melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi (UU Tipikor). Pada awalnya, terdakwa
melakukan pengecekan perizinan ke Depot Fredy milik Agustina Liandy yang
merupakan anak dari Maria Laurens (korban) yang menjual air galon isi ulang.
Tepatnya, terdakwa mempermasalahkan mengenai SNI yang tidak dimiliki oleh
usaha air galon tersebut. Selanjutnya, terdakwa mengancam akan menutup usaha air
galon milik korban apabila tidak mengurus SNI melalui terdakwa. Terdakwa juga
meminta uang sebesar Rp 35.000.000 (tiga puluh lima juta rupiah) agar SNI
tersebut bisa terbit, akan tetapi korban hanya sanggup memberikan uang sebesar Rp
30.000.000 (tiga puluh juta rupah).
Pengurusan SNI oleh terdakwa tersebut berlangsung mulai dari bulan Juni
2018 dan izin SNI tersebut baru terbit pada 2019. Selain itu, masih terdapat sisa
uang sebesar Rp 7.000.000 (tujuh juta rupiah) dalam pengurusan SNI tersebut.
Perbuatan terdakwa tersebut menurut Majelis Hakim masuk ke dalam kategori suap
sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU Tipikor. Namun demikian, Majelis Hakim
berpendapat bahwa walaupun perbuatan terdakwa memenuhi unsur Pasal 11 UU
Tipikor, akan tetapi perbuatan tersebut bukanlah suatu tindak pidana karena menurut
Majelis Hakim, terdakwa tidak mendapatkan keuntungan pribadi. Selain itu,
penyelesaian mengenai pengembalian uang sebesar Rp 7.000.000 (tujuh juta rupiah)
tersebut bisa dilakukan secara keperdataan.
B. Dakwaan serta Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam perkara tersebut adalah dakwaan
alternatif, yaitu:
1. Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) : pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau
menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi
dirinya sendiri”.
ATAU
2. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling
sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau
patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan
atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut
pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan
dengan jabatannya”.
Adapun tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam perkara tersebut adalah
menyatakan terdakwa melanggar Pasal 11 UU Tipikor dan menjatuhkan pidana
penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) Subsidiair 3 (tiga) bulan kurungan.
D. Isu Hukum
Berdasarkan perkara tindak pidana korupsi dalam pengurusan izin SNI
tersebut, terdapat isu hukum yang penting untuk dibahas, yaitu mengenai batasan
nilai dari penerimaan hadiah atau janji yang diatur dalam Pasal 11 UU Tipikor.
E. Analisis
1. Teori
Salah satu dari bentuk korupsi yang paling banyak diungkap hingga saat
ini adalah gratifikasi. Gratifikasi adalah pemberian, imbalan atau hadiah yang
diberikan dari seseorang yang telah menerima jasa atau keuntungan, atau dari
orang yang pernah atau sedang bekerja dengan lembaga publik atau pemerintah
untuk mendapatkan suatu kontrak.1 Gratifikasi menjadi salah satu modus
operandi korupsi yang berkembang dalam sistem hukum pidana di Indonesia.
Pembahasan mengenai tindak pidana gratifikasi tidak dapat dipisahkan dengan
pembahasan tentang tindak pidana korupsi secara umum. Mengingat bahwa
gratifikasi merupakan salah satu bentuk modus operandi dari tindak pidana
korupsi itu sendiri.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi mendefinisikan gratifikasi sebagai pemberian dalam arti luas,
termasuk pemberian uang tunai, barang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman
tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas akomodasi, kunjungan, wisata, perawatan
medis secara cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Larangan pemberian hadiah atau
gratifikasi dalam bentuk apa pun kepada orang sehubungan dengan kapasitasnya
sebagai pejabat negeri atau penyelenggara pemerintahan bukanlah hal baru.
1
Barda Nawawi Arief, Efektivitas Perangkat Hukum Untuk Menanggulangi Tindak Pidana
Korupsi. Makalah Pada Seminar "Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi di Era Peningkatan
Supremasi Hukum", Yayasan Setia Karya, Hotel Gracia, Semarang, 11 November 2001, hal 216.
Gratifikasi menjadi sangat penting karena merupakan ketentuan baru dalam
peraturan perundang-undangan dan memerlukan sosialisasi yang lebih optimal.
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling
sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau
patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan
atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut
pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan
dengan jabatannya”.
Kemudian pada Pasal 12 B Ayat (1) diatur pula tentang gratifikasi sebagai
berikut: “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai
berikut: (a) yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh
penerima gratifikasi; (b) yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh
penuntut umum. Suatu pemberian menjadi gratifikasi yang dianggap suap jika
terkait dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban atau tugas penerima.2
Hal ini perlu ditegaskan mengingat selama ini masih terdapat kerancuan berpikir
seolah-olah delik gratifikasi merupakan bentuk lain dari suap atau menyamakan
delik gratifikasi dengan suap. Hal ini perlu digaris bawahi apabila masih adanya
kerancuan mengenai apakah delik gratifikasi merupakan bentuk lain dari suap
atau delik gratifikasi disamakan dengan suap.
Menurut Eddy Omar Syarif, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, mengungkapkan bahwa perbedaan gratifikasi dan
suap terletak pada ada atau tidak meeting of mind pada saat penerimaan. Pada
2
Komisi Pemberantasan Korupsi, Pedoman Pengendalian Gratifikasi, (Jakarta: KPK), 2015, hal. 9
tindak pidana suap, terdapat meeting of mind antara pemberi dan penerima suap,
sedangkan pada tindak pidana gratifikasi tidak terdapat meeting of mind antara
pemberi dan penerima. Meeting of mind merupakan nama lain dari konsensus
atau hal yang bersifat transaksional.3
Secara hukum, sebenarnya tidak ada masalah dengan gratifikasi. Tindakan
ini hanyalah tindakan ketika seseorang yang memberikan hadiah atau hibah
kepada orang lain. Hal terebut tentu saja diperbolehkan. Namun, jika pemberian
dimaksudkan untuk mempengaruhi keputusan atau kebijakan pejabat yang
menerima hadiah, maka pemberian itu bukan hanya berupa ucapan selamat atau
terima kasih, tetapi sebagai niat untuk memperoleh manfaat dan memengaruhi
integritas, independensi, dan objektivitas mereka. Tindakan tersebut merupakan
tindakan yang tidak dapat dibenarkan, dan ini termasuk dalam definisi
gratifikasi.
Gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas. Pengaturan dan
penyebutan gratifikasi secara spesifik dikenal sejak disahkannya UU No. 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Undang-undang
memberikan kewajiban bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara untuk
melaporkan pada KPK setiap penerimaan gratifikasi yang berhubungan dengan
jabatan dan berlawanan dengan tugas atau kewajiban penerima. Jika gratifikasi
yang dianggap pemberian suap tersebut tidak dilaporkan pada KPK, maka
terdapat risiko pelanggaran hukum baik pada ranah administratif ataupun
pidana.4
Pada akhirnya, pembentuk undang-undang sepakat untuk memasukkan
gratifikasi sebagai salah satu dari tindak pidana korupsi dalam UU Tipokor.
Namun kenyataannya, penerapan aturan gratifikasi menimbulkan banyak
masalah dalam pemaknannya, karena ketidakjelasan unsur-unsur pasal tersebut.
Misalnya, tentang unsur kepentingan pemberi hadiah beserta batasan nilai yang
tidak jelas. Selain itu, masyarakat Indonesia masih menganggap pemberian
3
Ibid.
4
Sara Hersriavita, Upaya Pengembalian Kerugian Negara dari Perkara Tindak Pidana Korupsi
oleh Kejaksaan Negeri Sukoharjo, Jurnal Hukum Dan Pembangunan Ekonomi, 7.1 (2019), 15–28.
hadiah sebagai hal yang lumrah, karena itu adalah kebiasaan dari masyarakata
yang membudaya.
Contoh pemberian yang dapat digolongkan sebagai gratifikasi, antara lain
adalah:5
1. Pemberian hadiah barang atau uang sebagai ucapan terima kasih karena
telah dibantu;
2. Hadiah atau sumbangan dari rekanan yang diterima pejabat pada saat
perkawinan anaknya;
3. Pemberian tiket perjalanan dari rekanan kepada pejabat/pegawai negeri
atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma;
4. Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat/pegawai negeri untuk
pembelian barang atau jasa dari rekanan;
5. Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada
pejabat/pegawai negeri;
6. Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari
rekanan;
7. Pemberian hadiah atau souvenir dari rekanan kepada pejabat/pegawai
negeri pada saat kunjungan kerja;
8. Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat/pegawai negeri pada saat
hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya.
Kemudian, mengenai perbedaan karakteristik antara hadiah yang legal dan
illegal dapat dilihat secara ringkas pada tabel berikut ini:6
Tabel 1. Perbedaan Antara Hadiah yang Legal dan Hadiah Ilegal
7
Surat Edaran Bersam KPK, Pedoman dan Batasan Gratifikasi, (2017), hal. 4. (diakses melalui
https://www.kpk.go.id/images/pdf/Gratifikasi/buku_gratifikasi/SE-B-1341-pedoman-dan-Batasan-
Gratifikasi.pdf)
a. Ditempatkan sebagai barang display instansi;
b. Digunakan untuk kegiatan operasional instansi;
c. Disalurkan kepada pihak yang membutuhkan antara lain, panti asuhan,
panti jompo, atau tempat penyaluran bantuan sosial lainnya; atau
d. Diserahkan kepada pegawai yang menerima gratifikasi untuk
dimanfaatkan sebagai penunjang kinerja.
2. Fakta
Berdasarkan putusan yang telah mempertimbangkan seluruh alat bukti
yang ada di persidangan, maka terungkap fakta bahwa terdakwa Adrian
Oktovianus Matakupan merupakan PNS yang menjabat sebagai Kepala Seksi
Pengawasan dan Pemberdayaan Konsumen pada Desperindag Provinsi Papua
Barat sejak tahun 2013, dan mendapatkan amanah selaku PPNS (Penyidik
Pegawai Negeri Sipil) oleh Kemenkumham sejak tahun 2018. Tugas dan
tanggung jawab terdakwa sebagai Kepala Seksi yaitu membantu Kepala Bidang
Standarisasi dan Perlindungan Konsumen dalam Bidang Tugas Pengawasan dan
Pemberdayaan Konsumen pada Disperindag Provinsi Papua Barat secara umum
yaitu dibagi 3 (tiga) yaitu: 1). Pengawasan tertip Niaga dan Standarisasi; 2).
Pengawasan Barang Beredar dan Jasa; 3). Pengawasan dan Pemberdayaan
Konsumen.
Perkara ini dimulai pada bulan Juni 2018 saat terdakwa mengunjungi
Depot Fredy, depot air minum milik Agustiana Liandy, yang bertemu dengan
saksi Jeki, Maria Laurens, dan Sutikno Liandy. Terdakwa menyatakan diri
sebagai perwakilan dari Perindagkop, menanyakan mengenai izin usaha serta
sertifikasi SNI yang dimiliki oleh depot, di mana saat itu Depot Fredy baru
memiliki SIUP, TDP, IUI milik Depot Ferdy yang dikeluarkan oleh Dinas
Peridagkop Kab. Manokwari, namun belum memiliki SNI dan izin edar. Hal ini
dikarenakan Perindagkop Kab. Manokwari tidak dapat mengurus SNI dan izin
edar, yang mana seharusnya dikeluarkan oleh LS-PRO. Terdakwa datang
dengan marah-marah dengan mengatakan bahwa Depot Fredy harus memiliki
SNI dan izin edar, apabila tidak, toko dapat ditutup dan semua galon dapat
disita.
Pada tanggal 12 Juni 2018 sekitar pukul 12.00 WIT, Terdakwa mencegat
mobil saksi Jeki di Arfai I Manokwari yang sedang mengantarkan galon dan
kemudian menahan STNK Jeki dengan alasan saksi Jeki masih mengoperasikan
kegiatan usaha Depot Fredy meskipun sudah diperingatkan untuk tidak boleh
melakukan kegiatan usaha apabila belum memiliki SNI dan izin edar. Hal ini
menjadikan Maria Laurens dan Sutikno Liandy melaporkan perbuatan terdakwa
ke Polda Papua Barat, namun laporannya ditolak dan diminta untuk
menyelesaikan dengan kekeluargaan. Malam harinya, terdakwa datang ke rumah
Maria Laurens untuk mengembalikan STNK dan menawarkan untuk melakukan
pengurusan SNI dengan meminta korban Maria Laurens untuk menyiapkan uang
sebesar Rp 15.000.000. Terdakwa menjanjikan agar pengurusan akan dilakukan
secara cepat. Setelah melalui proses pertimbangan oleh Maria Laurens, malam
harinya terjadi penyerahan uang sebesar Rp 15.000.000 di rumah Maria Laurens
ditandai dengan penandatanganan kwitansi bermaterai 6.000 guna “biaya
pengurusan SNI DAM di UPTD Pengujian Mutu Barang dan Sertifikasi
Sulawesi Utara” (tertera dalam kwitansi) yang ditulis dan diinisasi sendiri oleh
terdakwa, serta terjadi penandatanganan surat kuasa kepengurusan SNI oleh
Agustina Liandy selaku pemilik toko. Terdakwa mengatakan bahwa izin akan
keluar dalam waktu 1-2 bulan dan terdakwa mengizinkan korban untuk tetap
mengoperasikan depotnya. Selanjutnya pada bulan Juni hingga November 2018,
terdakwa tidak dapat dihubungi oleh korban.
Pada tanggal 19 November 2018 terdakwa menelpon saksi Maria Laurens
dan menyampaikan kepada saksi Maria Laurens untuk menyiapkan lagi uang
sebesar Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) yang dikatakan oleh terdakwa
sebagai biaya untuk mendatangkan petugas LS-PRO dari Makassar. Malam
harinya terdakwa datang ke rumah Maria Laurens, dan terjadi penyerahan uang
sebesar Rp 15.000.000 karena Sutikno Liandy merasa keberatan dengan biaya
Rp 20.000.000. Terdakwa mengiyakan kemudian saksi Maria Laurens keluarkan
meterai 6000 dan kwitansi pembayaran yang ditulis sendiri dan ditandatangani
oleh terdakwa guna “biaya perjalanan petugas LS-PRO dari Makassar-Sulawesi
Selatan” (tertulis di kwitansi). Setelah menerima uang tersebut terdakwa pulang
dari rumah Saksi Maria Laurens.
Bahwa benar beberapa hari setelahnya datang saksi Mamang selaku
konsultan dari laboratorium yang kedatangannya dibiayai oleh Terdakwa, untuk
melakukan survei pada Depot Fredy. Kemudian pada bulan Januari 2019 sekitar
pukul 12.00 WIT orang Balai POM datang ke Depot Fredy dan menanyakan
kembali mengenai SNI dan menawarkan apabila ingin menanyakan tentang
pengurusan SNI bisa langsung datang ke BPOM dan akan dilayani secara gratis.
Pada 26 Januari 2019 saksi Jeki dan saksi Agustina Liandy (anak Maria
Laurens, selaku pemilik depot) ditangkap polisi dan dibawa ke POLDA sebagai
tersangka karena Depot Fredy telah mengedarkan air galon tanpa SNI dan izin
edar air galon. Saksi Djoni Saiba, S.H, M.Ap. selaku Kepala Bidang pada Dinas
Perindagkop Provinsi Papua Barat, menyatakan tidak pernah mengeluarkan surat
perintah tugas maupun memerintahkan terdakwa selaku Kasi Pemberdayaan
Konsumen pada Deperindagkop Propinsi Papua Barat untuk melakukan
pemeriksaan terhadap Depot Fredy Aqua. Adapun terdakwa tidak memiliki
wewenang dalam pengurusan SNI, melainkan hanya melakukan pengecekan
dokumen-dokumen kelengkapan untuk membantu pelaku usaha mendapatkan
SNI melalui kerjasama dengan Disperindag Kabupaten Manokwari.
Saat ini SNI untuk Depot Fredy Aqua sudah keluar dan diterima oleh saksi
Maria Laurens karena tanpa sepengetahuan terdakwa Saksi Agustina Liandy
telah menandatangani seluruh dokumen yang ada dan melaksanakan seluruh
petunjuk dari saksi Mamang. Sebelumnya Depot Fredy tidak mendapatkan SNI
karena Agustina Liandy tidak mau menandatangani dokumen-dokumen yang
dibutuhkan untuk persyaratan dikeluarkannya ijin SNI dari LS-PRO. Diketahui
pula melalui keterangan saksi-saksi yang meringankan terdakwa, diketahui
bahwa para saksi pernah mengurus izin SNI, dan biaya yang dibutuhkan dapat
mencapai sekitar Rp 40.000.000 secara total, termasuk juga biaya untuk
mendatangkan konsultan dari Surabaya/ Makassar.
3. Analisis
a. Pemenuhan Unsur Pasal 11 UU Tipikor
Analisis Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut
jabatannya”
subjek hukum yang didalam melaksanakan tugas pekerjaan bersifat umum dan
untuk kepentinngan publik, pegawai negeri adalah orang yang menerima upah
tentang Aperatur sipil Negara, yang dimaksud dengan Pegawai Negeri yang
memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai ASN secara tetap oleh
dari pada itu, pengertian penyelenggara negara adalah pejabat negara yang
menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang
yang memberikan hadiah atau janji tersebut merasa berutang budi kepadanya,
maka dari hal tersebut seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara
dengan cara akan memasang garis polisi jika pemilik Depot air tidak segera
meninggalkan kalimat, “kalau bapak mau lebih lanjud cari saya di kantor
dengan menjanjikan akan mengurus izin usaha air isi ulang atau izin SNI.
dengan jabatannya atau menurut orang yang memberikan hadiah tersebut ada
F. Kesimpulan
G. Saran