Anda di halaman 1dari 16

UNIVERSITAS INDONESIA

BATASAN NILAI HADIAH ATAU JANJI DALAM PASAL 11 UNDANG-


UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA KORUPSI

(Anotasi Putusan Tindak Pidana Korupsi Nomor 16/Pid.Sus-TPK/2019/PN Mnk)

Adinda Nabila NPM. 2106666536

Aditya Budi Cahyono NPM. 2106666542

Agustiar Hariri Lubis NPM. 2106666574

Alexander Sinurat NPM. 2106666624

Chusnus Tsuroyya NPM. 2106666776

Cyrose Narawangsa NPM. 2106666782

HUKUM DAN SISTEM PERADILAN PIDANA

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
JAKARTA
OKTOBER 2021

A. Posisi Kasus
Perkara yang terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Manokwari Nomor
16/Pid.Sus-TPK/2019/PN Mnk merupakan kasus tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh terdakwa dengan nama Adrian Oktovianus Matakupan, S.E., yang
merupakan seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang menjabat sebagai Kepala
Seksi Pengawasan dan Pemberdayaan Konsumen pada Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Provinsi Papua Barat.
Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa berbentuk gratifikasi
yang melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi (UU Tipikor). Pada awalnya, terdakwa
melakukan pengecekan perizinan ke Depot Fredy milik Agustina Liandy yang
merupakan anak dari Maria Laurens (korban) yang menjual air galon isi ulang.
Tepatnya, terdakwa mempermasalahkan mengenai SNI yang tidak dimiliki oleh
usaha air galon tersebut. Selanjutnya, terdakwa mengancam akan menutup usaha air
galon milik korban apabila tidak mengurus SNI melalui terdakwa. Terdakwa juga
meminta uang sebesar Rp 35.000.000 (tiga puluh lima juta rupiah) agar SNI
tersebut bisa terbit, akan tetapi korban hanya sanggup memberikan uang sebesar Rp
30.000.000 (tiga puluh juta rupah).
Pengurusan SNI oleh terdakwa tersebut berlangsung mulai dari bulan Juni
2018 dan izin SNI tersebut baru terbit pada 2019. Selain itu, masih terdapat sisa
uang sebesar Rp 7.000.000 (tujuh juta rupiah) dalam pengurusan SNI tersebut.
Perbuatan terdakwa tersebut menurut Majelis Hakim masuk ke dalam kategori suap
sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU Tipikor. Namun demikian, Majelis Hakim
berpendapat bahwa walaupun perbuatan terdakwa memenuhi unsur Pasal 11 UU
Tipikor, akan tetapi perbuatan tersebut bukanlah suatu tindak pidana karena menurut
Majelis Hakim, terdakwa tidak mendapatkan keuntungan pribadi. Selain itu,
penyelesaian mengenai pengembalian uang sebesar Rp 7.000.000 (tujuh juta rupiah)
tersebut bisa dilakukan secara keperdataan.
B. Dakwaan serta Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam perkara tersebut adalah dakwaan
alternatif, yaitu:
1. Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) : pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau
menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi
dirinya sendiri”.
ATAU
2. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling
sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau
patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan
atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut
pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan
dengan jabatannya”.
Adapun tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam perkara tersebut adalah
menyatakan terdakwa melanggar Pasal 11 UU Tipikor dan menjatuhkan pidana
penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) Subsidiair 3 (tiga) bulan kurungan.

C. Putusan Majelis Hakim


Putusan Majelis Hakim dalam perkara tindak pidana korupsi tersebut secara
singkat adalah sebagai berikut:
1. Terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan (Pasal 11 UU
Tipikor) tetapi bukan merupakan tindak pidana;
2. Melepaskan terdakwa, oleh karena itu dari segala tuntutan hukum.

D. Isu Hukum
Berdasarkan perkara tindak pidana korupsi dalam pengurusan izin SNI
tersebut, terdapat isu hukum yang penting untuk dibahas, yaitu mengenai batasan
nilai dari penerimaan hadiah atau janji yang diatur dalam Pasal 11 UU Tipikor.

E. Analisis
1. Teori
Salah satu dari bentuk korupsi yang paling banyak diungkap hingga saat
ini adalah gratifikasi. Gratifikasi adalah pemberian, imbalan atau hadiah yang
diberikan dari seseorang yang telah menerima jasa atau keuntungan, atau dari
orang yang pernah atau sedang bekerja dengan lembaga publik atau pemerintah
untuk mendapatkan suatu kontrak.1 Gratifikasi menjadi salah satu modus
operandi korupsi yang berkembang dalam sistem hukum pidana di Indonesia.
Pembahasan mengenai tindak pidana gratifikasi tidak dapat dipisahkan dengan
pembahasan tentang tindak pidana korupsi secara umum. Mengingat bahwa
gratifikasi merupakan salah satu bentuk modus operandi dari tindak pidana
korupsi itu sendiri.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi mendefinisikan gratifikasi sebagai pemberian dalam arti luas,
termasuk pemberian uang tunai, barang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman
tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas akomodasi, kunjungan, wisata, perawatan
medis secara cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Larangan pemberian hadiah atau
gratifikasi dalam bentuk apa pun kepada orang sehubungan dengan kapasitasnya
sebagai pejabat negeri atau penyelenggara pemerintahan bukanlah hal baru.

1
Barda Nawawi Arief, Efektivitas Perangkat Hukum Untuk Menanggulangi Tindak Pidana
Korupsi. Makalah Pada Seminar "Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi di Era Peningkatan
Supremasi Hukum", Yayasan Setia Karya, Hotel Gracia, Semarang, 11 November 2001, hal 216.
Gratifikasi menjadi sangat penting karena merupakan ketentuan baru dalam
peraturan perundang-undangan dan memerlukan sosialisasi yang lebih optimal.
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling
sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau
patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan
atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut
pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan
dengan jabatannya”.
Kemudian pada Pasal 12 B Ayat (1) diatur pula tentang gratifikasi sebagai
berikut: “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai
berikut: (a) yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh
penerima gratifikasi; (b) yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh
penuntut umum. Suatu pemberian menjadi gratifikasi yang dianggap suap jika
terkait dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban atau tugas penerima.2
Hal ini perlu ditegaskan mengingat selama ini masih terdapat kerancuan berpikir
seolah-olah delik gratifikasi merupakan bentuk lain dari suap atau menyamakan
delik gratifikasi dengan suap. Hal ini perlu digaris bawahi apabila masih adanya
kerancuan mengenai apakah delik gratifikasi merupakan bentuk lain dari suap
atau delik gratifikasi disamakan dengan suap.
Menurut Eddy Omar Syarif, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, mengungkapkan bahwa perbedaan gratifikasi dan
suap terletak pada ada atau tidak meeting of mind pada saat penerimaan. Pada

2
Komisi Pemberantasan Korupsi, Pedoman Pengendalian Gratifikasi, (Jakarta: KPK), 2015, hal. 9
tindak pidana suap, terdapat meeting of mind antara pemberi dan penerima suap,
sedangkan pada tindak pidana gratifikasi tidak terdapat meeting of mind antara
pemberi dan penerima. Meeting of mind merupakan nama lain dari konsensus
atau hal yang bersifat transaksional.3
Secara hukum, sebenarnya tidak ada masalah dengan gratifikasi. Tindakan
ini hanyalah tindakan ketika seseorang yang memberikan hadiah atau hibah
kepada orang lain. Hal terebut tentu saja diperbolehkan. Namun, jika pemberian
dimaksudkan untuk mempengaruhi keputusan atau kebijakan pejabat yang
menerima hadiah, maka pemberian itu bukan hanya berupa ucapan selamat atau
terima kasih, tetapi sebagai niat untuk memperoleh manfaat dan memengaruhi
integritas, independensi, dan objektivitas mereka. Tindakan tersebut merupakan
tindakan yang tidak dapat dibenarkan, dan ini termasuk dalam definisi
gratifikasi.
Gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas. Pengaturan dan
penyebutan gratifikasi secara spesifik dikenal sejak disahkannya UU No. 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Undang-undang
memberikan kewajiban bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara untuk
melaporkan pada KPK setiap penerimaan gratifikasi yang berhubungan dengan
jabatan dan berlawanan dengan tugas atau kewajiban penerima. Jika gratifikasi
yang dianggap pemberian suap tersebut tidak dilaporkan pada KPK, maka
terdapat risiko pelanggaran hukum baik pada ranah administratif ataupun
pidana.4
Pada akhirnya, pembentuk undang-undang sepakat untuk memasukkan
gratifikasi sebagai salah satu dari tindak pidana korupsi dalam UU Tipokor.
Namun kenyataannya, penerapan aturan gratifikasi menimbulkan banyak
masalah dalam pemaknannya, karena ketidakjelasan unsur-unsur pasal tersebut.
Misalnya, tentang unsur kepentingan pemberi hadiah beserta batasan nilai yang
tidak jelas. Selain itu, masyarakat Indonesia masih menganggap pemberian

3
Ibid.
4
Sara Hersriavita, Upaya Pengembalian Kerugian Negara dari Perkara Tindak Pidana Korupsi
oleh Kejaksaan Negeri Sukoharjo, Jurnal Hukum Dan Pembangunan Ekonomi, 7.1 (2019), 15–28.
hadiah sebagai hal yang lumrah, karena itu adalah kebiasaan dari masyarakata
yang membudaya.
Contoh pemberian yang dapat digolongkan sebagai gratifikasi, antara lain
adalah:5
1. Pemberian hadiah barang atau uang sebagai ucapan terima kasih karena
telah dibantu;
2. Hadiah atau sumbangan dari rekanan yang diterima pejabat pada saat
perkawinan anaknya;
3. Pemberian tiket perjalanan dari rekanan kepada pejabat/pegawai negeri
atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma;
4. Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat/pegawai negeri untuk
pembelian barang atau jasa dari rekanan;
5. Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada
pejabat/pegawai negeri;
6. Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari
rekanan;
7. Pemberian hadiah atau souvenir dari rekanan kepada pejabat/pegawai
negeri pada saat kunjungan kerja;
8. Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat/pegawai negeri pada saat
hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya.
Kemudian, mengenai perbedaan karakteristik antara hadiah yang legal dan
illegal dapat dilihat secara ringkas pada tabel berikut ini:6
Tabel 1. Perbedaan Antara Hadiah yang Legal dan Hadiah Ilegal

Karakterisik Hadiah Legal Hadiah Ilegal


Tujuan/Motif Dilakukan untuk Ditujukan untuk
Pemberian menjalankan hubungan memengaruhi keputusan
baik, menghormati dan diberikan karena apa
martabat seseorang, yang
memenuhi tuntutan dikendalikan/dikuasai
5
Hafrida, Analisis Yuridis terhadap Gratifikasi dan Suap sebagai Tindak Pidana Korupsi Menurut
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Inovatif, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 6, No. 7, (2013), hal 6.
6
Komisi Pemberantasan Korupsi, Buku Saku Memahami Gratifikasi, (Jakarta: KPK), 2010, hal 12.
agama, dan oleh penerima
mengembangkan (wewenang yang
berbagai bentuk perilkau melekat pada jabatan,
simbolis (diberikan sumber daya lainnya).
karena alasan yang
diberikan secara sosial).
Hubungan antara Setara. Tampang.
Pemberi dan Penerima
Hubungan yang Umurnya tidak ada. Pasti ada.
Bersifat Strategis
Timbunya Konflik Umurnya tidak ada. Pasti ada.
Kepentingan
Situasi Pemberian Acara-acara yang Bukan merupakan
sifatnya sosial berakar peristiwa kolektif meski
pada adat istiadat dan bisa saja pemberian
peristiwa kolektif. diberikan pada acara
sosial.
Resiprositas (Sifat Bersifat ambigu dalam Resiprokal secara alami.
Timbal Balik) perspektif bisa
resiprokal.
Kesenjangan Waktu Memungkinkan Tidak memungkinkan
kesenjangan waktu yang ada kesenjangan waktu
panjang pada saat yang Panjang.
pemberian kembali
(membalas pemberian).
Sifat Hubungan Aliansi sosial untuk Patronase dan seringkali
mencari pengakuan nepotisme dan ikatan
sosial. serupa ini penting untuk
mencapai tujuan.
Ikatan yang Terbentuk Sifatnya jangka Panjang Sifatnya jangka pendek
dan emosional. dan transaksional.
Kecenderungan Terjadi sirkulasi Tidak terjadi sirkulasi
Adanya Sirkulasi barang/produk barang/produk.
Barang/Produk
Nilai atau Harga dari Menitikberatkan pada Menekankan pada nilai
Pemberian nilai instrinsik sosial moneter
Metode Pemberian Umumnya langsung dan Umumnya tidak
bersifat terbuka. langsung (melalui
agen/perantara) dan
bersifat tertutup/rahasia.
Mekanisme Penentuan Berdasarkan Ditentukan oleh pihak-
Nilai/Harga kewajaran/kepantasan pihak yang terlibat.
secara sosial
(masyarakat)
Akuntabilitas Sosial Akuntabel dalam arti Tidak akuntabel secara
sosial. sosial.

Selanjutnya, pada Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Komisi


Pemberantasan Korupsi (KPK)7, disebutkan pula tentang batasan-batasan
terhadap gratifikasi. Pertama, terhadap penerimaan gratifikasi berupa
honorarium baik dalam bentuk uang/setara uang sebagai kompensasi
pelaksanaan tugas sebagai pembicara, narasumber, konsultan, dan fungsi serupa
lainnya berdasarkan penunjukkan atau penugasan resmi dapat diterima oleh
Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara sepanjang tidak ada pembiayaan ganda,
tidak dilarang atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau
ketentuan yang berlaku. Penerimaan tersebut dilaporkan kepada instansi
penerima sebagai fungsi kontrol untuk memutus potensi terjadinya praktik
korupsi investif (lnvestive Corruption) dari pihak pemberi;
Kedua, terhadap penerimaan gratifikasi berupa barang yang mudah busuk
atau rusak dalam batasan kewajaran dapat disalurkan langsung ke panti asuhan,
panti jompo, pihak-pihak yang membutuhkan atau tempat penyaluran bantuan
sosial lainnya dan dilaporkan kepada masing- masing instansi disertai penjelasan
taksiran harga dan dokumentasi penyerahannya. Selanjutnya instansi
melaporkan rekapitulasi penerimaan tersebut kepada KPK;
Ketiga terhadap barang gratifikasi yang direkomendasikan untuk dikelola
instansi maka dapat dilakukan beberapa hal sebagai berikut:

7
Surat Edaran Bersam KPK, Pedoman dan Batasan Gratifikasi, (2017), hal. 4. (diakses melalui
https://www.kpk.go.id/images/pdf/Gratifikasi/buku_gratifikasi/SE-B-1341-pedoman-dan-Batasan-
Gratifikasi.pdf)
a. Ditempatkan sebagai barang display instansi;
b. Digunakan untuk kegiatan operasional instansi;
c. Disalurkan kepada pihak yang membutuhkan antara lain, panti asuhan,
panti jompo, atau tempat penyaluran bantuan sosial lainnya; atau
d. Diserahkan kepada pegawai yang menerima gratifikasi untuk
dimanfaatkan sebagai penunjang kinerja.
2. Fakta
Berdasarkan putusan yang telah mempertimbangkan seluruh alat bukti
yang ada di persidangan, maka terungkap fakta bahwa terdakwa Adrian
Oktovianus Matakupan merupakan PNS yang menjabat sebagai Kepala Seksi
Pengawasan dan Pemberdayaan Konsumen pada Desperindag Provinsi Papua
Barat sejak tahun 2013, dan mendapatkan amanah selaku PPNS (Penyidik
Pegawai Negeri Sipil) oleh Kemenkumham sejak tahun 2018. Tugas dan
tanggung jawab terdakwa sebagai Kepala Seksi yaitu membantu Kepala Bidang
Standarisasi dan Perlindungan Konsumen dalam Bidang Tugas Pengawasan dan
Pemberdayaan Konsumen pada Disperindag Provinsi Papua Barat secara umum
yaitu dibagi 3 (tiga) yaitu: 1). Pengawasan tertip Niaga dan Standarisasi; 2).
Pengawasan Barang Beredar dan Jasa; 3). Pengawasan dan Pemberdayaan
Konsumen.
Perkara ini dimulai pada bulan Juni 2018 saat terdakwa mengunjungi
Depot Fredy, depot air minum milik Agustiana Liandy, yang bertemu dengan
saksi Jeki, Maria Laurens, dan Sutikno Liandy. Terdakwa menyatakan diri
sebagai perwakilan dari Perindagkop, menanyakan mengenai izin usaha serta
sertifikasi SNI yang dimiliki oleh depot, di mana saat itu Depot Fredy baru
memiliki SIUP, TDP, IUI milik Depot Ferdy yang dikeluarkan oleh Dinas
Peridagkop Kab. Manokwari, namun belum memiliki SNI dan izin edar. Hal ini
dikarenakan Perindagkop Kab. Manokwari tidak dapat mengurus SNI dan izin
edar, yang mana seharusnya dikeluarkan oleh LS-PRO. Terdakwa datang
dengan marah-marah dengan mengatakan bahwa Depot Fredy harus memiliki
SNI dan izin edar, apabila tidak, toko dapat ditutup dan semua galon dapat
disita.
Pada tanggal 12 Juni 2018 sekitar pukul 12.00 WIT, Terdakwa mencegat
mobil saksi Jeki di Arfai I Manokwari yang sedang mengantarkan galon dan
kemudian menahan STNK Jeki dengan alasan saksi Jeki masih mengoperasikan
kegiatan usaha Depot Fredy meskipun sudah diperingatkan untuk tidak boleh
melakukan kegiatan usaha apabila belum memiliki SNI dan izin edar. Hal ini
menjadikan Maria Laurens dan Sutikno Liandy melaporkan perbuatan terdakwa
ke Polda Papua Barat, namun laporannya ditolak dan diminta untuk
menyelesaikan dengan kekeluargaan. Malam harinya, terdakwa datang ke rumah
Maria Laurens untuk mengembalikan STNK dan menawarkan untuk melakukan
pengurusan SNI dengan meminta korban Maria Laurens untuk menyiapkan uang
sebesar Rp 15.000.000. Terdakwa menjanjikan agar pengurusan akan dilakukan
secara cepat. Setelah melalui proses pertimbangan oleh Maria Laurens, malam
harinya terjadi penyerahan uang sebesar Rp 15.000.000 di rumah Maria Laurens
ditandai dengan penandatanganan kwitansi bermaterai 6.000 guna “biaya
pengurusan SNI DAM di UPTD Pengujian Mutu Barang dan Sertifikasi
Sulawesi Utara” (tertera dalam kwitansi) yang ditulis dan diinisasi sendiri oleh
terdakwa, serta terjadi penandatanganan surat kuasa kepengurusan SNI oleh
Agustina Liandy selaku pemilik toko. Terdakwa mengatakan bahwa izin akan
keluar dalam waktu 1-2 bulan dan terdakwa mengizinkan korban untuk tetap
mengoperasikan depotnya. Selanjutnya pada bulan Juni hingga November 2018,
terdakwa tidak dapat dihubungi oleh korban.
Pada tanggal 19 November 2018 terdakwa menelpon saksi Maria Laurens
dan menyampaikan kepada saksi Maria Laurens untuk menyiapkan lagi uang
sebesar Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) yang dikatakan oleh terdakwa
sebagai biaya untuk mendatangkan petugas LS-PRO dari Makassar. Malam
harinya terdakwa datang ke rumah Maria Laurens, dan terjadi penyerahan uang
sebesar Rp 15.000.000 karena Sutikno Liandy merasa keberatan dengan biaya
Rp 20.000.000. Terdakwa mengiyakan kemudian saksi Maria Laurens keluarkan
meterai 6000 dan kwitansi pembayaran yang ditulis sendiri dan ditandatangani
oleh terdakwa guna “biaya perjalanan petugas LS-PRO dari Makassar-Sulawesi
Selatan” (tertulis di kwitansi). Setelah menerima uang tersebut terdakwa pulang
dari rumah Saksi Maria Laurens.
Bahwa benar beberapa hari setelahnya datang saksi Mamang selaku
konsultan dari laboratorium yang kedatangannya dibiayai oleh Terdakwa, untuk
melakukan survei pada Depot Fredy. Kemudian pada bulan Januari 2019 sekitar
pukul 12.00 WIT orang Balai POM datang ke Depot Fredy dan menanyakan
kembali mengenai SNI dan menawarkan apabila ingin menanyakan tentang
pengurusan SNI bisa langsung datang ke BPOM dan akan dilayani secara gratis.
Pada 26 Januari 2019 saksi Jeki dan saksi Agustina Liandy (anak Maria
Laurens, selaku pemilik depot) ditangkap polisi dan dibawa ke POLDA sebagai
tersangka karena Depot Fredy telah mengedarkan air galon tanpa SNI dan izin
edar air galon. Saksi Djoni Saiba, S.H, M.Ap. selaku Kepala Bidang pada Dinas
Perindagkop Provinsi Papua Barat, menyatakan tidak pernah mengeluarkan surat
perintah tugas maupun memerintahkan terdakwa selaku Kasi Pemberdayaan
Konsumen pada Deperindagkop Propinsi Papua Barat untuk melakukan
pemeriksaan terhadap Depot Fredy Aqua. Adapun terdakwa tidak memiliki
wewenang dalam pengurusan SNI, melainkan hanya melakukan pengecekan
dokumen-dokumen kelengkapan untuk membantu pelaku usaha mendapatkan
SNI melalui kerjasama dengan Disperindag Kabupaten Manokwari.
Saat ini SNI untuk Depot Fredy Aqua sudah keluar dan diterima oleh saksi
Maria Laurens karena tanpa sepengetahuan terdakwa Saksi Agustina Liandy
telah menandatangani seluruh dokumen yang ada dan melaksanakan seluruh
petunjuk dari saksi Mamang. Sebelumnya Depot Fredy tidak mendapatkan SNI
karena Agustina Liandy tidak mau menandatangani dokumen-dokumen yang
dibutuhkan untuk persyaratan dikeluarkannya ijin SNI dari LS-PRO. Diketahui
pula melalui keterangan saksi-saksi yang meringankan terdakwa, diketahui
bahwa para saksi pernah mengurus izin SNI, dan biaya yang dibutuhkan dapat
mencapai sekitar Rp 40.000.000 secara total, termasuk juga biaya untuk
mendatangkan konsultan dari Surabaya/ Makassar.

3. Analisis
a. Pemenuhan Unsur Pasal 11 UU Tipikor
Analisis Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana

telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, dengan demikian bunyi pasal 11:

“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan

paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp

50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling Banyak

Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai

negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji

padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut

diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan

dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang

memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan

jabatannya”

Rumusan pegawai negeri atau penyelenggara negara adalah merupakan

subjek hukum yang didalam melaksanakan tugas pekerjaan bersifat umum dan

untuk kepentinngan publik, pegawai negeri adalah orang yang menerima upah

dari keuangan negara serta menggunakan fasilitas dari negara.

Berdasarkan pasal 1 angka 3 Undang-undang RI Nomor 5 Tahun 2014

tentang Aperatur sipil Negara, yang dimaksud dengan Pegawai Negeri yang

selanjudnya disingkat dengan PNS adalah warga negara indonesia yang

memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai ASN secara tetap oleh

pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. Selain

dari pada itu, pengertian penyelenggara negara adalah pejabat negara yang

menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang

fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggara negara sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pasal 1 angka 1

Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang penyelenggara negara yang

bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan Napotisme.


Bahwa dalam kaitannya dengan kasus korupsi yang di lakukan oleh

Adrian Oktovianus Matakupan, SE, unsur-unsur dalam pasal 11 terpenuhi,

dimana kesalahan yang patut diduga yang di lakukan terdakwa merupakan

kesalahan yang dilakukan dengan kesengajaan dengan cara menggunakan

jabatannya untuk meraup keuntungan pribadi.

Bahwa dalam hal pegawai negeri atau penyelenggara negara yang

menerima hadiah atau janji diberikan kepadanya karena kekuasaan dan

kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya sehingga membuat orang

yang memberikan hadiah atau janji tersebut merasa berutang budi kepadanya,

maka dari hal tersebut seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara

tersebut melampaui kekuasaan atau kewenangan (ultra vires).

Bahwa berdasarkan fakta hukum didepan persidangan yang

menerangkan benar terdakwa melakukan sebuah ancaman sambil marah-marah

dengan cara akan memasang garis polisi jika pemilik Depot air tidak segera

mengurus SNI usaha Depotnya, terdakwa pergi setelah marah-marah dengan

meninggalkan kalimat, “kalau bapak mau lebih lanjud cari saya di kantor

Perindag”terdakwa mengatakan demikian dengan tujuan meraup untung

dengan menjanjikan akan mengurus izin usaha air isi ulang atau izin SNI.

Bahwa berdasakan fakta dan pertimbangan hukum tersebut diatas patut

diduga hadiah diberikan karena kekuasaan dan kewenangan yang berhubungan

dengan jabatannya atau menurut orang yang memberikan hadiah tersebut ada

hubungannya dengan jabatannya telah terpenuhi.

b. Penerapan Alasan Pembenar

Hakim dalam mempertimbangkan perbuatan terdakwa pada awalnya


telah berpendapat bahwa perbuatan Terdakwa telah memenuhi unsur Pasal 11
UU Tipikor. Walaupun demikian, terdapat hal lain yang dipertimbangkan oleh
Hakim yang masih berkaitan dengan rangkaian perbuatan Terdakwa tersebut,
yakni mengenai biaya dalam mendaftarkan perizinan SNI, serta pengembalian
uang yang masih dalam kekuasaan Terdakwa.
Dasar pertimbangan Hakim mengenai biaya pendaftaran SNI bersumber
dari pengalaman Saksi Abdi Manaf yang mengeluarkan biaya untuk ijin SNI
sebesar Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan Saksi Galih Fajar
Purnomo yang mengeluarkan biaya untuk ijin SNI sebesar Rp. 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah). Sedangkan jumlah uang yang diberikan oleh Maria
Laurens kepada Terdakwa adalah sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta
rupiah). Artinya, uang yang diberikan oleh Maria Laurens tersebut masih
kurang dalam proses pendaftaran SNI.
Pertimbangan Hakim mengenai hal tersebut belum dapat dikatakan
objektif dikarenakan Hakim tidak melakukan perincian terhadap biaya-biaya
yang dikeluarkan oleh Saksi Abdi Manaf dan Saksi Galih Fajar. Selain itu,
Hakim juga tidak mempertimbangkan lebih lanjut mengenai pihak yang secara
langsung mendaftarkan SNI, karena belum tentu orang yang mendaftarkan SNI
tersebut adalah Saksi Abdi Manaf dan Saksi Galih Fajar, sehingga apabila ada
perwakilan yang membantu kedua saksi tersebut untuk mendaftarkan SNI,
maka akan terdapat biaya tambahan lainnya.
Hakim juga hanya melihat jumlah total pengeluaran uang dalam
mendaftarkan izin SNI yang dilakukan oleh Saksi Abdi Manaf dan Saksi Galih
Fajar. Namun, Hakim tidak melihat rincian biaya pengeluaran dalam
mendaftarkan izin SNI tersebut, sebab bisa saja terdapat penggelembungan
dana maupun biaya lain yang tidak berkaitan dengan pendaftaran SNI.
Sedangkan pengurusan izin SNI yang dilakukan oleh Terdakwa hanya
memakan biaya sebesar Rp. 23.000.000,00 (dua puluh tiga juta rupiah), serta
biaya tersebut sudah termasuk biaya operasional Terdakwa. Apabila
dibandingkan antara biaya pendaftaran izin SNI yang dikeluarkan oleh
Terdakwa dengan biaya yang dikeluarkan oleh Saksi Abdi Manaf dan Saksi
Galih Fajar, maka terdapat selisih yang tidak rasional, sehingga hal tersebut
tidak layak untuk dijadikan sebagai alasan pembenar dalam membebaskan
Terdakwa. Oleh karena itu, pertimbangan Hakim yang membandingkan biaya
pengurusan izin SNI tersebut sangat tidak relevan dan tidak memiliki dasar
yang jelas.
Pertimbangan Hakim lainnya yang sangat subjektif dan tidak sejalan
dengan semangat pembarantasan tindak pidana korupsi terdapat pada poin
yang menerangkan mengenai pengembalian sisa uang dari Terdakwa kepada
Maria Laurens. Hakim berpendapat bahwa dikarenakan pendaftaran izin SNI
telah selesai, dan masih terdapat sisa uang sebesar Rp7.000.000,00 (tujuh juta
rupiah) dari total uang yang diminta oleh Terdakwa kepada Maria Laurens,
maka pengembalian uang tersebut dapat dilakukan dengan jalan keperdataan.
Apabila pertimbangan hakim tersebut dicermati lebih lanjut, maka tidak
terdapat dasar hukum maupun alasan yang rasional sebagai landasan Hakim
dalam menentukan alasan pembenar sehingga terdapat kesalahan Hakim dalam
menerapkan hukum. Selain itu, tindakan Terdakwa yang meminta uang kepada
Maria Luarens juga tidak dibenarkan disebabkan ruang lingkup dari tugas
Terdakwa tidak berkaitan dengan pengurusan izin SNI. Bahkan, kronologis
dalam meminta uang tersebut dilakukan oleh Terdakwa dengan cara
mengancam Maria Laurens dan melakukan perampasan terhadap STNK mobil.
Tindakan Terdakwa tersebut telah secara jelas merupakan perbuatan melawan
hukum sehingga tidak terdapat bukti yang menerangkan bahwa adanya alasan
pembenar dalam perbuatan Terdakwa.

F. Kesimpulan

G. Saran

Anda mungkin juga menyukai