Anda di halaman 1dari 34

Laporan Kasus

SUSPEK KARSINOMA NASOFARING

oleh :

Yulia Fitriani
Adhityas Angga Kusuma
Devinta Ifandari

Pembimbing :
dr. Ida Bagus NS. Sp. THT

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN THT-KL


FK UNLAM – RSUD ULIN BANJARMASIN
BANJARMASIN
Oktober, 2011

1
PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak

dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring

termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekwensi tertinggi, sedangkan

didaerah kepala dan leher menduduki tempat pertama1,2 Tumor ini berasal dari fossa

Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel

kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.3,4,5

Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara

“pathology based” mendapatkan angka prevalensi karsinoma nasofaring 4,7 per

100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di seluruh

Indonesia2

Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan

suatu problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak

khas serta letak nasofaring yang tersembunyi, sehingga diagnosis sering terlambat.2

Pada stadium dini, radioterapi masih merupakan pengobatan pilihan yang dapat

diberikan secara tunggal dan memberikan angka kesembuhan yang cukup tinggi.

Pada stadium lanjut, diperlukan terapi tambahan kemoterapi yang dikombinasikan

dengan radioterapi.2,3,5-13

2
TINJAUAN PUSTAKA

I. ANATOMI

Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas, belakang

dan lateral yang secara anatomi termasuk bagian faring. Ke anterior berhubungan

dengan rongga hidung melalui koana dan tepi belakang septum nasi, sehingga

sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul. Ke arah posterior dinding

nasofaring melengkung ke supero-anterior dan terletak di bawah os sfenoid,

sedangkan bagian belakang nasofaring berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia pre

vertebralis dan otot-otot dinding faring. Pada dinding lateral nasofaring terdapat

orifisium tuba eustakius dimana orifisium ini dibatasi superior dan posterior oleh

torus tubarius, sehingga penyebaran tumor ke lateral akan menyebabkan sumbatan

orifisium tuba eustakius dan akan mengganggu pendengaran. Ke arah posterosuperior

dari torus tubarius terdapat fossa Rosenmuller yang merupakan lokasi tersering

karsinoma nasofaring. Pada atap nasofaring sering terlihat lipatan-lipatan mukosa

yang dibentuk oleh jaringan lunak sub mukosa, dimana pada usia muda dinding

postero-superior nasofaring umumnya tidak rata. Hal ini disebabkan karena adanya

jaringan adenoid.3,4 Di nasofaring terdapat banyak saluran getah bening yang

terutama mengalir ke lateral bermuara di kelenjar retrofaring Krause (kelenjar

Rouviere).3,4

3
II. EPIDEMIOLOGI

Insidens karsinoma nasofaring tertinggi di dunia dijumpai pada penduduk

daratan Cina bagian selatan, khususnya suku Kanton di propinsi Guang Dong dengan

angka rata-rata 30-50 / 100.000 penduduk per tahun. Insidens karsinoma nasofaring

juga banyak pada daerah yang banyak dijumpai imigran Cina, misalnya di Hong

Kong, Amerika Serikat, Singapura, Malaysia dan Indonesia. Sedangkan insidens yang

terendah pada bangsa Kaukasian, Jepang dan India.10

Penderita karsinoma nasofaring lebih sering dijumpai pada pria dibanding

pada wanita dengan rasio 2-3 : 1. Penyakit ini ditemukan terutama pada usia yang

masih produktif ( 30-60 tahun ), dengan usia terbanyak adalah 40-50 tahun.10

III. ETIOLOGI

Kaitan antara virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai

penyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut dapat masuk ke dalam tubuh

dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu

4
yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator. Kebiasaan

untuk mengkonsumsi ikan asin secara terus menerus mulai dari masa kanak-kanak,

merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan

karsinoma nasofaring.2

Mediator di bawah ini dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma

nasofaring yaitu :

1. Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamin.

2. Keadaan sosio-ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.

3. Sering kontak dengan zat-zat yang dianggap karsinogen, seperti :

- benzopyrenen

- benzoanthracene

- gas kimia

- asap industri

- asap kayu

- beberapa ekstrak tumbuhan

4. Ras dan keturunan

5. Radang kronis daerah nasofaring

6. Profil HLA.2,3

IV. HISTOPATOLOGI

Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi

Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :

5
1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma).

Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk.

2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma).

Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa

tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.

3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma).

Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, Berbentuk

oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat

dengan jelas.2,6,10 Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang

sama, yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu

radiosensitif.2

Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh WHO

pada tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu :

1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma).

2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma).

Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.6

V. GEJALA KLINIK

1. Gejala Dini.

Penting untuk mengetahui gejala dini karsinoma nasofaring dimana tumor

masih terbatas di nasofaring, yaitu :

a. Gejala telinga

6
- Rasa penuh pada telinga

- Tinitus

- Gangguan pendengaran

b. Gejala hidung

- Epistaksis

- Hidung tersumbat

c. Gejala mata dan saraf

- Diplopia

- Gerakan bola mata terbatas9,12

2. Gejala lanjut

- Limfadenopati servikal

- Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar

- Gejala akibat metastase jauh.2,3,10

VI. DIAGNOSIS

Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma

nasofaring, protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti

serta stadium tumor :

1. Anamnesis / pemeriksaan fisik

2. Pemeriksaan nasofaring

3. Biopsi nasofaring

4. Pemeriksaan Patologi Anatomi

7
5. Pemeriksaan radiologi

6. Pemeriksaan neuro-oftalmologi

7. Pemeriksaan serologi.2,3,10,12

VII. STADIUM

Penentuan stadium yang terbaru berdasarkan atas kesepakatan antara UICC

(Union Internationale Contre Cancer) pada tahun 1992 adalah sebagai berikut :

T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya.

T0 : Tidak tampak tumor

T1 : Tumor terbatas pada 1 lokasi di nasofaring

T2 : Tumor meluas lebih dari 1 lokasi, tetapi masih di dalam rongga nasofaring

T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan / atau orofaring

T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan / sudah mengenai saraf otak

N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional

N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar

N1 : Terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat digerakkan

N2 : Terdapat pembesaran kelenjar kontralateral / bilateral yang masih dapat

digerakkan

N3 : Terdapat pembesaran kelenjar baik homolateral, kontralateral atau bilateral,

yang sudah melekat pada jaringan sekitar.

M = Metastase, menggambarkan metastase jauh

M0 : Tidak ada metastase jauh

8
M1 : Terdapat metastase jauh.2,3,9-13

Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan :

Stadium I : T1 N0 M0

Stadium II : T2 N0 M0

Stadium III : T3 N0 M0 T1,T2,T3 N1 M0

Stadium IV : T4 N0,N1 M0. Tiap T N2,N3 M0. Tiap T Tiap N M12,3,9-13

Menurut American Joint Committee Cancer tahun 1988, tumor staging dari

nasofaring diklasifikasikan sebagai berikut :

Tis : Carcinoma in situ

T1 : Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor yang tak

dapat dilihat, tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi.

T2 : Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-superior dan

dindinglateral.

T3 : Perluasan tumor sampai ke dalam rongga hidung atau orofaring.

T4 : Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang saraf kranial

(atau keduanya).5,12

Stage 0:

Larger image

9
Stage I:

Larger image
Stage IIA:

Larger image
Stage IIB:

Larger image

Stage III:

10
Stage IVA:

Larger image
Stage IVB:

Larger image
Stage IVC:

Larger image

VIII. PENATALAKSANAAN

1. Radioterapi

Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam

penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma

nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.2-13

2. Kemoterapi

11
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata

dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada

keadaan kambuh.2,3,10,12

3. Operasi

Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher

radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar

pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer

sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan

serologi.2,3,8-12 Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan

pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak

berhasil diterapi dengan cara lain.3,9,10,12

4. Imunoterapi

Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring

adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan

imunoterapi.10

Radioterapi

Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit-penyakit maligna dengan

menggunakan sinar peng-ion, bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak

mungkin dan memelihara jaringan sehat di sekitar tumor agar tidak menderita

12
kerusakan terlalu berat. Karsinoma nasofaring bersifat radioresponsif sehingga

radioterapi tetap merupakan terapi terpenting.12

Radiasi pada jaringan dapat menimbulkan ionisasi air dan elektrolit dari cairan

tubuh baik intra maupun ekstra seluler, sehingga timbul ion H+ dan OH- yang sangat

reaktif. Ion itu dapat bereaksi dengan molekul DNA dalam kromosom, sehingga

dapat terjadi :

1. Rantai ganda DNA pecah

2. Perubahan cross-linkage dalam rantai DNA

3. Perubahan base yang menyebabkan degenerasi atau kematian sel.14

Dosis lethal dan kemampuan reparasi kerusakan pada sel-sel kanker lebih

rendah dari sel-sel normal, sehingga akibat radiasi sel-sel kanker lebih banyak yang

mati dan yang tetap rusak dibandingkan dengan sel-sel normal.14

Sel-sel yang masih tahan hidup akan mengadakan reparasi kerusakan DNA-nya

sendiri-sendiri. Kemampuan reparasi DNA sel normal lebih baik dan lebih cepat dari

sel kanker. Keadaan ini dipakai sebagai dasar untuk radioterapi pada kanker.14

Pada kongres Radiologi Internasional ke VIII tahun 1953, ditetapkan RAD

(Radiation Absorbed Dose) sebagai banyaknya energi yang di serap per unit jaringan.

Saat ini unit Sistem Internasional ( SI ) dari dosis yang di absorpsi telah diubah

menjadi Gray (Gy) dan satuan yang sering dipakai adalah satuan centi gray (cGy).13

1 Gy = 100 rad

1 rad = 1 cGy = 10-2 Gy.13,14

13
Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap penyinaran

sangat tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium tumor, makin berkurang

responsnya. Untuk stadium I dan II, diperoleh respons komplit 80% -

100% dengan terapi radiasi. Sedangkan stadium III dan IV, ditemukan angka

kegagalan respons lokal dan metastasis jauh yang tinggi, yaitu 50% - 80%. Angka

ketahanan hidup penderita karsinoma nasofaring tergantung beberapa

faktor,diantaranya yang terpenting adalah stadium penyakit.12 Qin dkk, melaporkan

angka harapan hidup rata-rata 5 tahun dari 1379 penderita yang diberikan terapi

radiasi adalah 86%, 59%, 49% dan 29% pada stadium I, II, III dan IV.12

a. Persiapan / perencanaan sebelum radioterapi

Sebelum diberi terapi radiasi, dibuat penentuan stadium klinik, diagnosis

histopatologik, sekaligus ditentukan tujuan radiasi, kuratif atau paliatif. Penderita

juga dipersiapkan secara mental dan fisik. Pada penderita, bila perlu juga

keluarganya diberikan penerangan mengenai perlunya tindakan ini, tujuan

pengobatan, efek samping yang mungkin timbul selama periode pengobatan.

Pemeriksaan fisik dan laboratorium sebelum radiasi dimulai adalah mutlak. Penderita

dengan keadaan umum yang buruk, gizi kurang atau demam tidak

diperbolehkanuntuk radiasi, kecuali pada keadaan yang mengancam hidup penderita,

seperti obstruksi jalan makanan, perdarahan yang masif dari tumor, radiasi tetap

dimulai sambil memperbaiki keadaan umum penderita. Sebagai tolok ukur, kadar Hb

tidak boleh kurang dari 10 gr%, jumlah lekosit tidak boleh kurang dari 3000 per mm3

dan trombosit 100.000 per uL.3,12

14
b. Penentuan batas-batas lapangan radiasi

Tindakan ini merupakan salah satu langkah yang terpenting untuk menjamin

berhasilnya suatu radioterapi. Lapangan penyinaran meliputi daerah tumor primer dan

sekitarnya / potensi penjalaran perkontinuitatum serta kelenjar-kelenjar getah bening

regional.3,12

Untuk tumor stadium I dan II, daerah-daerah dibawah ini harus disinari :

1. Seluruh nasofaring

2. Seluruh sfenoid dan basis oksiput

3. Sinus kavernosus

4. Basis kranii, minimal luasnya 7 cm2 meliputi foramen ovale, kanalis karotikus

dan foramen jugularis lateral.

5. Setengah belakang kavum nasi

6. Sinus etmoid posterior

7. 1/3 posterior orbit

8. 1/3 posterior sinus maksila

9. Fossa pterygoidea

10. Dinding lateral dan posterior faring setinggi fossa midtonsilar

11. Kelenjar retrofaringeal

12. Kelenjar servikalis bilateral termasuk jugular posterior, spinal aksesori dan

supraklavikular.3

Apabila ada perluasan ke kavum nasi atau orofaring ( T3 ) seluruh kavum nasi

dan orofaring harus dimasukkan dalam lapangan radiasi. Apabila perluasan melalui

15
dasar tengkorak sudah mencapai rongga kranial, batas atas dari lapangan radiasi

terletak di atas fossa pituitary. Apabila penyebaran tumor sampai pada sinus etmoid

dan maksila atau orbit, seluruh sinus atau orbit harus disinari. Kelenjar limfe sub

mental dan oksipital secara rutin tidak termasuk, kecuali apabila ditemukan

limfadenopati servikal yang masif atau apabila ada metastase ke kelenjar sub

maksila.3

Secara garis besar, batas-batas lapangan penyinaran adalah :

- Batas atas : meliputi basis kranii, sella tursika masuk dalam lapangan

radiasi.

- Batas depan : terletak dibelakang bola mata dan koana

- Batas belakang : tepat dibelakang meatus akustikus eksterna, kecuali bila

Terdapat pembesaran kelenjar maka batas belakang harus terletak 1 cm di belakang

kelenjar yang teraba.

- Batas bawah : terletak pada tepi atas kartilago tiroidea, batas ini berubah bila

didapatkan pembesaran kelenjar leher, yaitu 1 cm lebih rendah dari kelenjar yang

teraba. Lapangan ini mendapat radiasi dari kiri dan kanan penderita.3,12 Pada

penderita dengan kelenjar leher yang sangat besar sehingga metode radiasi di atas

tidak dapat dilakukan, maka radiasi diberikan dengan lapangan depan dan belakang.

Batas atas mencakup seluruh basis kranii. Batas bawah adalah tepi bawah klavikula,

batas kiri dan kanan adalah 2/3 distal klavikula atau mengikuti besarnya kelenjar.12

Kelenjar supra klavikula serta leher bagian bawah mendapat radiasi dari lapangan

16
depan, batas atas lapangan radiasi ini berimpit dengan batas bawah lapangan radiasi

untuk tumor primer.

c. Sinar untuk radioterapi

Sinar yang dipakai untuk radioterapi adalah :

1. Sinar Alfa

Sinar alfa ialah sinar korpuskuler atau partikel dari inti atom. Inti atom terdiri dari

proton dan neutron. Sinar ini tidak dapat menembus kulit dan tidak banyak dipakai

dalam radioterapi.

2. Sinar Beta

Sinar beta ialah sinar elektron. Sinar ini dipancarkan oleh zat radioaktif yang

mempunyai energi rendah. Daya tembusnya pada kulit terbatas, 3-5 mm. Digunakan

muntuk terapi lesi yang superfisial.

3. Sinar Gamma

Sinar gamma ialah sinar elektromagnetik atau foton. Sinar ini dapat menembus tubuh.

Daya tembusnya tergantung dari besar energi yang menimbulkan sinar itu. Makin

tinggi energinya atau makin tinggi voltagenya, makin besar daya tembusnya dan

makin dalam letak dosis maksimalnya.14

d. Radioisotop

1. Caecium137 sinar gamma

2. Cobalt60 sinar gamma

3. Radium226 sinar alfa, beta, gamma.14

e. Teknik Radioterapi

17
Ada 3 cara utama pemberian radioterapi, yaitu :

1. Radiasi Eksterna / Teleterapi

Sumber sinar berupa aparat sinar-X atau radioisotop yang ditempatkan di luar tubuh.

Sinar diarahkan ke tumor yang akan diberi radiasi. Besar energi yang diserap oleh

suatu tumor tergantung dari :

a. Besarnya energi yang dipancarkan oleh sumber energi

b. Jarak antara sumber energi dan tumor

c. Kepadatan massa tumor.

Teleterapi umumnya diberikan secara fraksional dengan dosis 150-250 radper kali,

dalam 2-3 seri. Diantara seri 1-2 atau 2-3 diberi istirahat 1-2 minggu untuk pemulihan

keadaan penderita sehingga radioterapi memerlukan waktu 4-6 minggu.13,14

2. Radiasi Interna / Brachiterapi

Sumber energi ditaruh di dalam tumor atau berdekatan dengan tumor di dalam rongga

tubuh. Ada beberapa jenis radiasi interna :

a. Interstitial

Radioisotop yang berupa jarum ditusukkan ke dalam tumor, misalnya jarum radium

atau jarum irridium.

b. Intracavitair

Pemberian radiasi dapat dilakukan dengan :

- After loading

Suatu aplikator kosong dimasukkan ke dalam rongga tubuh ke tempat tumor. Setelah

aplikator letaknya tepat, baru dimasukkan radioisotop ke dalam aplikator itu.

18
- Instalasi

Larutan radioisotop disuntikkan ke dalam rongga tubuh, misal : pleura atau

peritoneum.

3. Intravena

Larutan radioisotop disuntikkan ke dalam vena. Misalnya I131 yang disuntikkan IV

akan diserap oleh tiroid untuk mengobati kanker tiroid.14

f. Dosis radiasi

Ada 2 jenis radiasi, yaitu :

1. Radiasi Kuratif

Diberikan kepada semua tingkatan penyakit, kecuali pada penderita dengan

metastasis jauh. Sasaran radiasi adalah tumor primer, KGB leher dan supra

klavikular. Dosis total radiasi yang diberikan adalah 6600-7000 rad dengan fraksi 200

rad, 5 x pemberian per minggu. Setelah dosis 4000 rad medulla spinalis di blok dan

setelah 5000 rad lapangan penyinaran supraklavikular dikeluarkan.12

2. Radiasi Paliatif

Diberikan untuk metastasis tumor pada tulang dan kekambuhan lokal. Dosis radiasi

untuk metastasis tulang 3000 rad dengan fraksi 300 rad, 5 x per minggu. Untuk

kekambuhan lokal, lapangan radiasi terbatas pada daerah kambuh.12

Bagian Radiologi FK UI / RSCM memberikan dosis per fraksi 200 cGy yang

diberikan 5 x dalam seminggu untuk tumor primer maupun kelenjar. Setelah dosis

mencapai 4000 cGy penderita mendapat istirahat selama 2-3 minggu, pada akhir

istirahat dilakukan penilaian respon terhadap tumor untuk kemungkinan mengecilkan

19
lapangan radiasi dan penilaian ada tidaknya metastasis jauh yang manifes. Setelah itu

radiasi dilanjutkan 10-13 x 200 cGy lagi untuk tumor primer sehingga dosis total

adalah 6000-6600 cGy. Bila tidak didapatkan pembesaran kelenjar regional maka

radiasi efektif pada kelenjar leher dan supraklavikular cukup sampai 4000 cGy.3

Di bagian Radiologi FK USU / RS.Dr. Pirngadi Medan, radiasi diberikan secara

bertahap dengan dosis 200 cGy dosis tumor 5 x per minggu untuk tumor primer dan

KGB leher sampai mencapai dosis total 6000 cGy, dengan menggunakan pesawat

megavoltage dan menggunakan radioisotop Cobalt60.15Di bagian Radiologi RS.

Elisabet Medan, radiasi diberikan dengan menggunakan radioisotop Cessium137,

mula-mula diberikan dengan dosis rendah mulai 300 cGy – 6000 cGy dalam waktu 4

atau 5 minggu.15

g. Respon radiasi

Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi.

Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor

primer di nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO :

- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar.

- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.

- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.

- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau

lebih.12

h. Komplikasi radioterapi

20
Komplikasi radioterapi dapat berupa :14

1. Komplikasi dini

Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :

- Xerostomia - Mual-muntah

- Mukositis - Anoreksi

- Dermatitis

- Eritema

2. Komplikasi lanjut

Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :

- Kontraktur

- Gangguan pertumbuhan

- dll

PROGNOSIS

Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk

oleh beberapa faktor, seperti :

- Stadium yang lebih lanjut.

- Usia lebih dari 40 tahun

- Laki-laki dari pada perempuan

- Ras Cina dari pada ras kulit putih

- Adanya pembesaran kelenjar leher

21
- Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak

- Adanya metastasis jauh

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. S

Umur : 70 tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Islam

Suku : Banjar

Alamat : Gunung Linggai Rt. 2 Samarinda

MRS : 06 September 2011

NO RMK : 95 23 52

ANAMNESIS

Autoanamnesis penderita tanggal 06 Septembet 2011 pukul 11.38 WITA.

22
1. Keluhan Utama

Bengkak pada leher

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Kurang lebih 6 bulan ini pasien mengeluh lehernya membengkak. Awalnya

bengkak dari leher sebelah kanan lalu menjalar ke leher sebelah kiri. Bengkak bila

diraba teraba benjolan, tidak ada nyeri pada benjolan. Pasien merasa telinga

sebelah kirinya kurang mendengar dan terdengar suara bising sejak lima bulan

terakhir. Pasien juga kadang-kadang merasa nyeri saat menelan dan pasien

mengalami penurunan nafsu makan. Sejak kurang lebih satu bulan ini pasien

sering mengeluh sakit kepala seperti diremas-remas dan nyeri pada bahu. Pasien

juga merasakan sesak dan hidung terasa tersumbat. Pasien mengaku kurang lebih

dua minggu sebelum masuk rumah sakit ada berobat ke dokter Spesialis THT dan

dikatakan oleh dokter tersebut dari hasil foto CT-Scan pasien terkena Tumor

belakang hidung. Sebelum masuk rumah sakit pasien ada mengeluh demam tinggi

dan nyeri kepala hebat.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Asma (-), Hipertensi (-), Diabetes Melitus (-)

PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Generalis

1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

2. Kesadaran : Kompos mentis

23
3. Tanda Vital : Tekanan Darah : 120/80 mmHg

Nadi : 76 kali/menit

Respirasi : 22 kali/menit

Suhu : 36,7 oC

4. Kepala : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, JVP

tidak meningkat.

5. KGB : Pembesaran KGB dextra dan sinistra

5. THT : Lihat status lokalis

6. Thoraks

Paru : I : Simetris

P : Fremitus raba simetris

P : Sonor

A : Suara nafas vesikuler, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

Jantung : I : Iktus tampak pada ICS 4 linea parasternal sinistra

P : Thrill (-)

P : Batas jantung normal

A : S1 dan S2 tunggal, murmur (-)

7. Abdomen : I : Simetris

P : Hepar/Lien/massa tidak teraba

P : Timpani

A : Bising usus normal

8. Ekstremitas :

24
Atas : Edem (-/-), reflek fisiologis (+/+), reflek patologis (-/-)

Bawah : Edem (-/-), reflek fisiologis (+/+), reflek patologis (-/-)

B. Status Lokalis

1. Telinga
Bagian Telinga Dextra Sinistra
Aurikula
 Bentuk Normal Normal
 Tragus Pain - -
 Mastoid Pain - -
 Hematom - -
 Massa - -
 Fistel Retroaurikuler - -
- -
 Abses retroaurikuler
Meatus Akustikus Ext.
 Edema - -
 Hiperemi - -
 Serumen minimal minimal
 Sekret - -
 Furunkel - -
 Jaringan granulasi - -
Membran Timpani
 Perforasi - -
 Conus of light + +
 Hiperemi - -
 Retraksi - -

Tes Garputala
Pemeriksaaan Dextra Sinistra
Rinne + +
Weber Tidak ada lateralisasi Tidak ada lateralisasi
Scwabach Memendek Sama dengan pemeriksa

2. Hidung
Bagian Hidung Dextra Sinistra
Bagian Luar Deformitas (-) Deformitas (-)
Rinoskopi anterior

25
 Vestibulum nasi Hiperemi (-) Hiperemi (-)
 Meatus nasi inferior Normal Normal
 Konka inferior Normal Normal
 Meatus nasi media Normal Normal

 Konka media Normal Normal


 Septum nasi - -
- -
 Sekret
 Perdarahan - -
Rinoskopi Posterior
Transiluminasi : Tidak dilakukan

3. Tenggorokan
Bagian Tenggorokan Dextra Sinistra
Rongga mulut
 Bibir Sianosis (-) Sianosis (-)
 Gigi Karies (+) Karies (+)
 Gusi Hiperemi (-) Hiperemi (-)
 Lidah Kotor (-) Kotor (-)
 Palatum durum Hiperemi (-) Hiperemi (-)
 Palatum mole Hiperemi (-) Hiperemi (-)
Hiperemi (-) Hiperemi (-)
 Arkus anterior
Hiperemi (-) Hiperemi (-)
 Arkus posterior
Sentral Sentral
 Uvula
Faring
 Edema - -
 Hiperemi - -
 Membran - -
 Sekret - -
 Granula - -
 Reflek muntah + +
Tonsil
 Pembesaran T0 T0
 Edema - -
 Hiperemi - -
 Kripte Tidak melebar Tidak melebar
 Detritus - -

PEMERIKSAAN PENUNJANG

26
1. Laboratorium

Hasil Laboratorium tanggal 05 September 2011

HEMATOLOGI

Hemoglobin = 10, 3 gr/dl

Leukosit = 9, 0 ribu/ul

Eritrosit = 3, 83 juta/ul

Hematokrit = 35, 1 vol%

Trombosit = 930 mg/dl

RDW-CV = 14, 0%

MCV, MCH, MCHC

MCV = 82, 8 fl

MCH = 25, 8 pg

MCHC = 31, 1%

HITUNG JENIS

ESR = 84 mm/jam

ESR 2 = 100 mm/jam

KIMIA DARAH

GDP = 110 mg/dl

HATI DAN JANTUNG

SGOT = 31 U/I

SGPT = 18 U/I

Albumin = 4, 2

27
Bilirubin Total = 0, 69

Bilirubin Direx = 0, 32

Bilirubin Indirex =0, 37

GINJAL

Ureum = 76 mg/dl

Creatinin = 1.0 mg/dl

2. Radiologi

- Hasil Foto CT-Scan tanggal 21 agustus 2011

CT-Scan : Carsinoma Nasofaryng sinistra.

Massa pada leher sinistra medial, yang berhubungan dengan

Nasofaryng sinistra.

Pembesaran KBG pada leher dextra et sinistra.

- Hasil foto rontgen tanggal 5 September 2011

Foto thorak : Cor dan Pumo dalam batas normal

USULAN PEMERIKSAAN

- Pemeriksaan histo PA

DIAGNOSIS BANDING

- Limfoma Maligna

- TB Kelenjar

DIAGNOSIS

28
Suspek Karsinoma Nasofaring

PENATALAKSANAAN

PO. Asam Mefenamat 3 x 1 Tablet

Pro Biopsi

DISKUSI

PEMBA HA S A N

Pada kasus ini pasien datang dengan keluhan leher membengkak sejak kurang

lebih 6 bulan ini. Pasien juga mengeluh kurang lebih lima bulan ini telinga sebelah

kirinya kurang mendengar dan terdengar suara bising. Pasien mengeluh sakit kepala

dan nyeri pada bahu sejak satu bulan ini. Sebelum masuk rumah sakit pasien

mengeluh demam dan skait kepala yang bertambah nyeri. Pasien menyangkal ada

riwayat keluarga yang mengeluh penyakit seperti ini dan tumor.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan pada leher terdapat benjolan disebelah

kanan dan kiri. Benjolan pada sebelah kiri berukuran 3x2 cm dan sebelah kanan 6x5

cm dengan konsistensi padat, mobile, permukaan rata. Pada pasien ini sudah

dilakukan pemeriksaan CT scan tetapi belum dilakukan biopsi sehingga pasien ini

29
didiagnosis suspek karsinoma nasofaring, diagnosis ini hanya berdasarkan anamnesis

dan pemeriksaan fisik dan hasil CT scan.

Pada pasien ini penyebab pasien mengidap ca nasoparing tidak dapat

diketahui secara pasti, karena tidak dilakukan pemeriksaan lebih lanjut seperti

pemeriksaan titer anti-virus EB, biopsi dan lain sebagainya.

Pada kasus ini juga pasien sudah mengalami komplikasi akibat keganasan ini

yaitu pasien sudah mengalami gangguan pada panca inderanya berupa gangguan

pendengaran. Stadium dari kasus ini juga belum diketahui secara jelas, perlu

pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui secara jelas sejauh mana perkembangan

penyakit ini misalnya dengan biopsi jaringan. Pada kasus ini belum dilakukan

pengambilan jaringan atau biopsi pada pasien. Diduga penyakit yang diderita pasien

sudah pada tahap stadium lanjut dikarenakan terdapat benjolan pada leher diduga

sudah terjadi proses metastasis pada daerah sekitar leher.

Pada pasien ini belum dilakukan pemeriksaan biopsi, sehingga direncanakan

dilakukan pemeriksaan tersebut, untuk menegakkan diagnosis dan menentukan

stadium serta terapi dan prognosis. Biopsi nasofaring dapat dilakukan dengan lokal

anestesi maupun anestesi umum.

Diagnosa kanker nasofaring sering terlambat dilakukan. Hal ini disebabkan

gejala dininya tidak khas dan letak nasofaring yang tersembunyi. Ia tersembunyi di

belakang rongga hidung dan terletak di bawah dasar kepala serta berhubungan dengan

banyak daerah penting di dalam otak dan leher. Penderita seringkali baru datang

berobat setelah muncul gejala-gejala akibat penyebaran tumor seperti adanya

30
benjolan di leher atau gangguan saraf. Mengingat letak nasofaring tidak mudah

diperiksa.

Banyaknya pembuluh kapiler darah daerah limphatik di nasofaring

membantu penyebaran dengan prevalensi metastasis tinggi. Kira-kira 44-57% pasien

awalnya pergi kedokteran karena keluhan metastatis pada kelenjar getah bening yang

banyak timbul di leher. Pada saat diagnosa, 60-85% pasien sudah mempunyai

cervikal metastasis. Penyebaran sistemik juga terjadi lebih mudah pada karsinoma

nasofaring daripada jenis kanker kepala dan leher yang lain. Paling sering metastase

melibatkan daerah tulang, paru-paru, dan hati. Metastases jauh didapatkan di 5-10%

pasien pada pertemuan pertama6,7

Gejala dini kanker nasofaring sangat bervariasi dan tidak khas seperti gejala

influensa biasa. Keluhan yang muncul tergantung dari posisi dan perluasan tumor

nasofaring, apakah tumbuh ke arah muara tuba eustachius dari telinga atau ke hidung.

Keluhan yang terjadi pada telinga maupun hidung bersifat unilateral atau satu sisi.

Umumnya gangguan telinga muncul sebagai gejala dini karena tumor tumor bermula

di sekitar muara tuba eustachius yang disebut fossa rossenmuller dimana

pertumbuhan tumor akan menyumbat muara tuba. Gangguan pada telinga, dapat

berupa rasa penuh di telinga, gangguan pendengaran, telinga mendenging dan rasa

nyeri pada telinga.

Penatalaksanaan yang telah diberikan pada pasien ini berupa terapi

simptomatik dan perbaikan keadaan umum, yaitu pemberian asam mefenamat.

Pemberian cairan dan roboransia dimaksudkan untuk mengatasi dehidrasi dan nutrisi,

31
pemberian antibiotik sebagai profilaksis terhadap infeksi. Hal ini dikarenakan pada

pasien dengan keganasan mudah terjadi infeksi akibat menurunnya daya tahan tubuh.

Pemberian asam traneksamat membantu menghentikan perdarahan akibat komplikasi

karsinoma nasofaring yang mudah terjadi perdarahan, serta asam mefenamat sebagai

analgetik.

Prognosis akan memburuk jika sudah terjadi komplikasi misalnya pembesaran

kelenjar leher, disamping itu pula faktor usia diatas 40 tahun dan ras terutama kulit

putih serta jenis kelamin utamanya laki-laki cenderung untuk akan memperburuk

penyakit ini. Pada pasien ini, kemungkinan prognosis mengarah ke prognosis buruk.

Hal ini dikarenakan kemungkinan stadium pada pasien ini sudah lanjut, yang dilihat

dari komplikasi lanjut yang sudah muncul, yaitu penurunan pendengaran sebelah kiri,

nyeri kepala hebat, sumbatan jalan nafas disamping besarnya tumor itu sendiri.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Ramsi Lutan, dkk. Tinjauan tumor ganas nasofaring di poliklinik THT RS.Dr.
Pirngadi Medan tahun 1970-1979. Kumpulan naskah ilmiah Kongres Nasional VII
Perhati., Surabaya, 21-23 Agustus 1983.h. 771-81.
2. Damayanti Soetjipto. Karsinoma nasofaring.Dalam : Nurbaiti Iskandar (ed).Tumor
telinga-hidung-tenggorok diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta : FK UI,
1989.h. 71- 84.3. Farid Wajdi, Ramsi Lutan. Penatalaksanaan karsinoma
nasofaring. Referat.Medan :FK USU, 1998.h. 1-20.
4. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi 13.
Jilid 1. Alih bahasa staf ahli bagian THT RSCM-FK UI. Jakarta : Binarupa Aksara,
1994.h. 391-6.
5. Myers EN, Suen JY. Cancer of the head and neck. 2nd ed. New York : Churchill
Livingstone, 1989.h. 495-507.
6. Ballenger JJ. Otorhinolaryngology : head and neck surgery. 15th ed. Philadelphia :
Williams & Wilkins, 1996.p. 323-36.
7. Ho JHC. Staging and radiotherapy of nasopharyngeal carcinoma. In : Cancer in
Asia Pacific. Vol.1. Hong Kong, 1998.p. 487-93.

33
8. Close LG, et al. Essentials of head and neck oncology. New York : Thieme,
1998.p.
205-10.
9. Averdi Roezin, Anida Syafril. Karsinoma nasofaring. Dalam : Efiaty A. Soepardi
(ed). Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ketiga. Jakarta : FK
UI,1997. h. 149-53.
10. Ramsi Lutan, Nasution YU. Karsinoma nasofaring. Dalam : Program & abstrak
PITIAPI. Medan : FK USU, 2001.h. 9-25.

34

Anda mungkin juga menyukai