Anda di halaman 1dari 10

“PENEGAKAN KEADILAN BAGI RAKYAT

INDONESIA”

Disusun Oleh

THOHAN GALANG S

NIM: 3903019073

Program Studi Manajemen


Fakultas EKONOMI
Universitas Katolik Widya Mandala Madiun
2019

ABSTRAK
Tujuan dari paper untuk melakukan kajian mendalam mengenai perangnegasan keadilan
sosial. Hal ini menjadi penting karena akhir – akhir ini banyak bermunculan kasus tentang
kurangnya keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Salah satu contohnya adalah dengan
menunjukkan suatu kesadaran mengenai diri dan jiwanya sebagai bagian dari rakyat Indonesia
yang berkewajiban menjaga persatuan dan kesatuan.

Kurangnya penegaasan keadilan sosial dianggap sebagai ancaman bagi setiap orang
untuk memperoleh apa yang menjadi haknya dan memperoleh bagian yang sama. Setiap orang
wajib untuk mendapatkan keadilan karena keadilan merupakan kewajiban tertinggi dalam
kehidupan, sedangkan orang yang adil adalah orang yang mampu mengendalikan diri, dan
perasaannya dikendalikan oleh akal sehat.

Kata kunci : Keadilan, Indonesia, Rakyat.


KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan paper yang berjudul “Menolak Kebangkitan Ide
Khilafah” ini tepat pada waktunya.

Paper ini merupakan tugas mata kuliah Filsafat Pancasila yang dibuat untuk menunjang
proses belajar. Adapun judul paper ini adalah “Penegakan keadilan bagi rakyat indonesia” dalam
paper ini dijelaskan tentang tidak ada dasar Negara selain pancasila. Kebangkitan khilafah
dianggap sebagai ancaman yang dapat mengalihkan pancasila sebagai dasar Negara.

Terlepas dari berbagai kesalahan dan kekurangan dalam paper ini, penulis berharap agar
paper ini dapat membantu dalam memahami lebih jauh tentang dasar Negara Sekian dan
terimakasih.
KASUS

Berpolitik di negara bhinneka dengan kekayaan local wisdom yang dimiliki idealnya
dapat memberikan sebuah pembelajaran bagi para elit ataupun masyarakat itu sendiri agar
bersikap sesuai dengan norma serta nilai-nilai lokal yang diintegrasikan kedalam satu kesatuan
yang final yakni Pancasila sebagai pandangan hidup serta filosofis kehidupan guna membangun
bangsa dan negara dengan mengedepankan moral serta etika dalam upaya mencapainya.

Kasus yang dialami oleh Ratna Sarumpaet, adalah sebagai contoh bahwa telah disalah
gunakannya hak demokrasi serta telah menciderai nilai-nilai daripada ideologi bangsa.
Bagaimana tidak? Ketika seorang Ratna menyatakan kepada beberapa orang politikus bahwa
dirinya telah mengalami penganiayaan yang kemudian mendapat respon dari beberapa elite
politikus negeri ini yang mempublikasikan berbagai pernyataan di televisi swasta serta media
sosial.

Namun tak beberapa lama pihak kepolisian melakukan konferensi pers dan sanggahan
yang berdasarkan hasil penyelidikan bahwa Ratna tidak dirawat di 23 rumah sakit dan tidak
melapor ke 28 polsek dibandung serta beberapa bukti lainnya yang salah satunya adalah bukti
transaksi ke RS. Estetika di Menteng, Jakarta pusat.

Lalu tak beberapa lama Ratna mengeluarkan pernyataan bahwa apa yang ia ceritakan
merupakan cerita khayalan yang kemudian disusul oleh pernyataan Prabowo untuk meminta ia
mengundurkan diri dari tim Badan Pemenangan Prabowo-Sandi yang kemudian selang sehari
pada tanggal 4 Oktober 2018 Ratna ditetapkan sebagai tersangka. Dengan posisinya sebagai eks
tim pemenangan Prabowo-Sandi yang sedang menjalani sidang pertama pada Kamis, 28 Februari
2019 ada satu hal yang menarik perhatian khalayak umum yakni Ratna mengacungkan dua jari
dan tersenyum sebagai jargon dari capres-cawapres nomor urut 02.

Sikap Ratna seakan seperti tanpa beban dan tidak menanggung kesalahan terhadap rakyat
dan bangsa ini dengan posisinya saat mengeluarkan pernyataan bahwa telah mengalami
penganiayaan saat posisinya sebagai tim pendukung politik pasangan 02 tentu dari sisi etika/
moral bangsa Indonesia amat sangat bertentangan.
Karena dalam etika/ moral bangsa ini mengajarkan kesediaan jiwa seseorang untuk
senantiasa patuh kepada seperangkat peraturan-peraturan kesusilaan yang sudah disetujui
bersama yakni Pancasila yang notabene menjadi pandangan hidup bangsa ini serta didalamnya
memuat nilai-nilai lokal yang salah satunya adalah nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.

Menurut Prof. Dr. Kaelan dalam bukunya PENDIDIKAN PANCASILA, ia


mendefinisikan bahwa arti daripada "Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah mengandung
nilai suatu kesadaran sikap moral dan tingkah laku manusia yang didasarkan pada potensi nurani
manusia dalam hubungan dengan norma-norma dan kebudayaan pada umumnya baik terhadap
diri sendiri, terhadap sesama manusia maupun terhadap lingkungannya. Nilai kemausiaan yang
beradab adalah perwujudan nilai kemanusiaan sebagai makhluk yang berbudaya, bermoral dan
beragama".

Dari definisi diatas mengenai nilai kemanusiaan yang adil dan beradab kemudian penulis
mencoba membandingkannya dengan apa yang dilakukan oleh Ratna memang penulis
menemukan dua kesimpulan.

Pertama Ratna dapat dikatakan melanggar norma-norma dan kebudayaan terhadap


dirinya sendiri sebagai warga negara Indonesia yang berkewajiban menjaga persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia. Namun ia membuat suatu kegaduhan terhadap lingkungannya (rakyat
Indonesia) dengan menyebarkan berita yang tidak benar yang dalam hal ini terkait dengan
keamanan dalam negeri ditengah isu disintegrasi serta tumbuhnya kembali kelompok PKI.

Kedua, ia telah menunjukkan suatu kesadaran mengenai diri dan jiwanya sebagai bagian
dari rakyat Indonesia yang berkewajiban menjaga persatuan dan kesatuan dengan mengakui
ketidak benaran pernyataannya terhadap rakyat Indonesia yang kemudian mengembalikan
kepercayaan rakyat bahwa pemerintah dapat menjada ketertiban dan keamanan nasional serta
menghilangkan asumsi masyarakat untuk saling menghilangkan rasa curiga terhadap kelompok
lain.

Akan tetapi terlepas dari itu semua, pembelajaran mengenai kasus seorang Ratna tentu
memberikan satu refleksi mengenai nilai yang terkandung dalam sila 'Kemanusiaan Yang Adil
dan Beradab' terhadap bangsa ini serta memberikan suatu pembelajaran bahwa pentingnya
membudayakan kembali local wisdom yang dalam hal ini adalah Pancasila dikalangan elite
politik dan rakyat negeri ini.

Ini adalah sangat penting menjelang pemilihan kepala negara agar menjernihkan kembali
pandangan politik bangsa ini kedepan yang tidak terbatas pada persaingan politik kepartaian
ataupun kelompok setiap lima tahunan akan tetapi politik bangsa ini adalah politik kebangsaan
untuk membangun bersama, untuk menjaga bersama ke-Indonesiaan sebagai negara Pancasila.
TEORI

Pidato soekarno pada tanggal 1 juni 1945 tentu ada dalam suatu posisi filsuf tertentu.
Artinya pidato ini ada dalam konteks pidato para toko yang lain. Berdirinya suatu negara. Teori
tersebut adalah teori individualistis (dengan Thomas Hobbes, John Locke, Rousseau,
HerbertSpancer, dan lakis sebagai pijakan filsufnya), teori golongan/kelas (dengan Marx, Engels,
dan lenin sebagai filosof rujukannya), dan teori itegralistik (dengan Spinoza, Adam Muller, dan
Hegel sebagai pijakan filsufnya).

Pancasila di tawarkan soekarno sebagai philosofische grondslag (dasar, filsafat, atau


jiwa) dari Indonesia merdeka. Sebelum mengutarakan gagasan mengenai dasar negara Soekarno
merasa perlu untuk meyakinkan para peserta sidang bahwa merdeka tidak perlu terlalu
memusingkan perkara yang kecil – kecil daripada kemauan untuk merdeka. Soekarno bahkan
menganalogikan kemauan merdeka dengan kemauan untuk menikah. Apakah menikah harus
menunggu semuanya mapan? Demikian pula dengan kemerdekaan. Berkaitan dengan hal ini,
Soekarno merasa perlu untuk menunjukkan pengalaman negara – negara lain sebagai retorika
untuk memperkuat argumentasinya.

Soekarno mengemukakan gagasannya dalam sebuah sidang BPUPKI atau dalam bahasa
Jepang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai pada 1 Juni 1945. Pada uraian Soekarno mengemukakan
dasar dari Indonesia merdeka. Argumentasinya seperti pada ajakannya untuk meraih
kemerdekaan, juga didahului dengan merefrensi sejarah kemerdekaan negara lain. Argumentasi
Soekarno mengenai dasar negara dibuka dengan suatu pertanyaan, “Apakah Weltanschuung
(dasar dan filsafat hidup) kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia merdeka?” Soekarno
tidak menjawab pertanyaan ini dengan satu jawaban singkat. Terlebih dahulu ia hendak
mengutarakan pandangannya bahwa dasar negara Indonesia ini haruslah ditemukan dalam lubuk
hati dan jiwa bangsa Indonesia.

Soekarno menguraikan dasar – dasar apa saja yang perlu dimiliki bagi bangunan
Indonesia merdeka. Dasar – dasar yang ia sebutkan adalah kebangsaan Indonesia,
internasionalisme (kemanusiaan), mufakat atau permusyawaratan kesejahteraan (keadilan,
sosial), dan akhirnya ketuhanan. Lima prinsip itulah yang dinamakan pancasila, dan
diusulkannya sebagai Weltanschauung negara Indonesia merdeka.

Pertama kebangsaan yang dimaksud soekarno adalah Nationale Staat dan nasionalisme
Indonesia. Setiap warga negara Indonesia harus merasa diri mempunyai satu bangsa dan tumpah
darah yang sama yakni Indonesia. Kedua kebangsaan yang dimaksud oleh soekarno ini
bukanklah chauvinisme khas Hitler, maka prinsip kedua untuk menjaganya adalah
perikemanusiaan (internasionalisme). Hal ini penting agar bangsa Indonesia merasa diri menjadi
bagian dari seluruh umat manusia di dunia. Ketiga, permusyawaratan yang dimaksud Soekarno
adalah perjuangan ide dari seluruh rakyat Indonesia lewat wakil – wakilnya demi mewujudkan
kesejahteraan umum. Keempat, kesejahteraan sosial yang dimaksud Soekarno adalah
kemakmuran yang harus bisa dinikmati oleh segenap warga Indonesia, karena untuk kepentingan
inilah suatu bangsa terbentuk. Kelima, ketuhanan yang dimaksud Soekarno adalah ketuhanan
yang berkebudayaan. Artinya bangsa Indonesia menghargai pengakuan setiap manusia Indonesia
akan peran Tuhan dalam pencapaian kemerdekaan ini.
ARGUMENTASI

Sila kelima pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, selama ini
cenderung diabaikan. Keadilan siosial adalah keadaan setiap orang memperoleh apa yang
menjadi haknya dan setiap orang orang memperoleh bagian yang sama. Keadilan merupakan
kewajiban tertinggi dalam kehidupan, sedangkan orang yang adil adalah orang yang mampu
mengendalikan diri, dan perasaannya dikendalikan oleh akal sehat.

Dalam kasus tersebut yang pertama Ratna dapat dikatakan melanggar norma-norma dan
kebudayaan terhadap dirinya sendiri sebagai warga negara Indonesia yang berkewajiban menjaga
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Namun ia membuat suatu kegaduhan terhadap
lingkungannya (rakyat Indonesia) dengan menyebarkan berita tidak benar yang dalam hal ini
terkait dengan keamanan dalam negeri ditengah isu disintegrasi serta tumbuhnya kembali
kelompok PKI.

Kedua, ia telah menunjukkan suatu kesadaran mengenai diri dan jiwanya sebagai bagian
dari rakyat Indonesia yang berkewajiban menjaga persatuan dan kesatuan dengan mengakui
ketidak benaran pernyataannya terhadap rakyat Indonesia, yang kemudian mengembalikan
kepercayaan rakyat bahwa pemerintah dapat menjada ketertiban dan keamanan nasional serta
menghilangkan asumsi masyarakat untuk saling menghilangkan rasa curiga terhadap kelompok
lain.

Akan tetapi terlepas dari itu semua, pembelajaran mengenai kasus seorang Ratna tentu
memberikan satu refleksi mengenai nilai yang terkandung dalam sila 'Kemanusiaan Yang Adil
dan Beradab'.
DAFTAR PUSTAKA

DEWANTARA, Agustinus. Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini. 2017.


DEWANTARA, Agustinus. Filsafat Moral (Pergumulan Etis Keseharian Hidup Manusia). 2017.
DEWANTARA, Agustinus W. Alangkah hebatnya negara gotong royong: Indonesia dalam
kacamata Soekarno. PT Kanisius, 2017.
https://www.kompasiana.com/adin_fadzkurrahman/5c781ff143322f1adb027327/kasus-ratna-
suatu-refleksi-sila-kemanusiaan-yang-adil-dan-beradab

Anda mungkin juga menyukai