Anda di halaman 1dari 7

Nama : Isma Khoiriyyah

Kelas : 12 MIPA 2
No. Absen : 14

Kronologi Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia

1. Kasus Tanjung Priok (19984)

Kerusuhan Tanjung Priok berawal dari cekcok Bintara Pembina Desa


(Babinsa) dengan warga. Saat itu, Babinsa meminta warga mencopot spanduk
dan brosur yang tidak bernapaskan Pancasila. Ketika itu Pemerintah Orde Baru
melarang paham-paham anti Pancasila.
Selang dua hari, spanduk itu tidak juga dicopot oleh warga. Petugas
Babinsa Sersan Satu Hermanu lantas mencopot spanduk itu sendiri. Namun,
saat melakukan pencopotan, petugas Babinsa disebut melakukan pencemaran
terhadap masjid, dan petugas Babinsa disebut tidak melepas alas kaki saat
masuk ke dalam Masjid Baitul Makmur. Kabar ini membuat warga berang dan
berkumpul di masjid.
Pengurus Masjid Baitul Makmur, Syarifuddin Rambe, Sofwan Sulaeman,
dan Ahmad Sahi mencoba menenangkan warga. Namun, warga yang emosi
membakar sepeda motor petugas Babinsa. Alhasil, Syarifuddin, Sofwan,
Ahmad, dan warga yang diduga membakar motor yakni Muhammad Nur
ditangkap aparat.
Keesokan harinya, pada 11 September, warga warga meminta bantuan
tokoh masyarakat setempat yakni Amir Biki untuk menyelesaikan
permasalahan ini. Amir Biki dan sejumlah warga mendatangi Komando Distrik
Militer (Kodim) Jakarta Utara. Mereka meminta agar jemaah dan pengurus
masjid dilepaskan. Permintaan ini tak ditanggapi.
Amir Biki pun mengadakan pertemuan dengan para tokoh muslim se-
Jakarta untuk membahas masalah tersebut. Dalam ceramahnya, Amir memberi
ultimatum kepada aparat untuk melepaskan keempat jamaah yang ditahan dan
segera diantar ke mimbar sebelum pukul 23.00 WIB. Jika tak dituruti, Amir
dan massa akan mendatangi Kodim. Tuntutan itu tak juga dipenuhi. Amir pun
membagi massa menjadi dua kelompok untuk bergerak menuju Kodim dan
Polsek.
Kedatangan massa mendapat adangan aparat militer bersenjata lengkap.
Massa pun langsung menuntut pembebasan. Situasi semakin memanas dan
aparat pun melancarkan sejumlah tembakan. Korban jiwa pun berjatuhan.
Laporan KontraS, sejumlah warga disekap dan siksa oleh aparat. Sementara itu,
lokasi penembakan langsung dibersihkan sehingga tak terdapat tanda-tanda
kerusuhan.
Setelah penembakan, Pangdam V Jakarta Raya Mayjen TNI Try
Soetrisno bersama Pangkopkamtib Jenderal TNI LB Moerdani dan Menteri
Penerangan Harmoko memberikan pernyataannya terkait peristiwa berdarah di
Tanjung Priok. Pemerintah Orde Baru menyatakan bahwa Peristiwa Tanjung
Priok merupakan hasil rekayasa orang-orang yang menggunakan agama untuk
kepentingan politik. Namun, menurut KontraS, pemaparan jumlah korban yang
disampaikan dan kesaksian para saksi berbeda. Penyelesaian masalah ini
berlangsung lama. Sejumlah islah dilakukan pada tahun 2001. Sejumlah
persidangan dilakukan pada tahun 2003.

2. Kasus Marsinah (1993)


Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putra Surya yang
aktif dalam aksi unjuk rasa buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa
tersebut antara lain terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa
pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggulangin, Sidoarjo.

3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando


Rayon Militer (Koramil) setempat turun tangan mencegah aksi buruh.

4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan,


termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok dari Rp1.700 per hari
menjadi Rp2.250. Tunjangan tetap Rp550 per hari mereka perjuangkan dan bisa
diterima, termasuk oleh buruh yang absen.
Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama
rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan.
Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang
melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.

Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap


menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo.
Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh
telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah
bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan
rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar
pukul 10 malam, Marsinah lenyap.

Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-


rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei
1993.
3. Tragedi Semanggi 1 dan 2
 Tragedi 1
Pada tanggal 11 November 1998, mahasiswa dan masyarakat yang
bergerak dari Jalan Salemba, bentrok dengan Pamswakarsa di kompleks
Tugu Proklamasi.
Pada tanggal 12 November 1998, ratusan ribu mahasiswa dan masyrakat
bergerak menuju ke gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-
Kuningan, tetapi tidak ada yang berhasil menembus ke sana karena dikawal
dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob dan juga Pamswakarsa
(pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan
mahasiswa). Pada malam harinya terjadi bentrok di daerah Slipi dan Jl.
Sudirman, puluhan mahasiswa masuk rumah sakit. Ribuan mahasiswa
dievekuasi ke Atma Jaya. Satu orang pelajar, yaitu Lukman Firdaus, terluka
berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia.
Esok harinya, Jumat-13 November 1998, mahasiswa dan masyarakat
sudah bergabung dan mencapai daerah Semanggi dan sekitarnya, bergabung
dengan mahasiswa yang sudah ada di kampus Universitas Atma Jaya Jakarta.
Jalan Sudirman sudah dihadang oleh aparat sejak malam hari dan pagi hingga
siang harinya jumlah aparat semakin banyak guna menghadang laju
mahasiswa dan masyarakat. Kali ini mahasiswa bersama masyarakat
dikepung dari dua arah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dengan
menggunakan kendaraan lapis baja
 Traedi 2
Pada tanggal 24 September 1999, untuk yang kesekian kalinya tentara
melakukan tindak kekerasan kepada aksi-aksi mahasiswa.
Kala itu adanya pendesakan oleh pemerintahan transisi untuk
mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB)
yang materinya menurut banyak kalangan sangat memberikan keleluasaan
kepada militer untuk melakukan keadaan negara sesuai kepentingan militer.
Oleh karena itulah mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-
sama menentang diberlakukannya UU PKB.
Mahasiswa dari Universitas Indonesia, Yun Hap meninggal dengan luka
tembak di depan Universitas Atma Jaya.

4. Kasus kerusahan Timor Timur pascajajak pendapat / Referendum ( 1999 )


 19 Desember 1998
Perdana Menteri Australia, John Howard, mengirim surat kepada Presiden
B.J. Habibie. Howard mengusulkan agar pemerintah RI meninjau ulang
pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Timor Timur.
 25 Januari 1999
Digelar rapat untuk membahas surat Howard. “Tolong dipelajari. Apakah
setelah 22 tahun bergabung dengan Indonesia, masyarakat Timtim masih
merasa belum cukup bersatu dengan kita. Bagaimana kalau kita pisah baik-
baik saja melalui Sidang Umum MPR?” kata Presiden Habibie waktu itu.
 27 Januari 1999
Ali Alatas selaku Menteri Luar Negeri RI mengumumkan menawarkan
opsi otonomi khusus yang sangat diperluas kepada Timor Timur. Jika
ditolak, maka pemerintah Indonesia akan merelakan Timor Timur. Sempat
terjadi pro-kontra di internal kabinet saat itu.
 Maret-April 1999
Terjadi serangkaian peristiwa menegangkan di Timor Timur, antara lain
eksodus massal warga pendatang, kekerasan di Gereja Liquica yang
menyebabkan ratusan orang harus mengungsi, hingga kerusuhan besar di
Dili yang menelan korban jiwa.
 21 April 1999
Kelompok pro-otonomi dan pro-kemerdekaan menandatangani
kesepakatan damai di kediaman Uskup Belo dengan disaksikan langsung
oleh Menhankam/Pangab Wiranto, Wakil Ketua Komnas HAM Djoko
Soegianto, serta beberapa tokoh lainnya.
 27 April 1999
Presiden Habibie menggelar pertemuan dengan John Howard. Habibie
mengungkapkan akan melaksanakan penentuan pendapat untuk mengetahui
kemauan rakyat Timor Timur.
 5 Mei 1999
Menlu RI Ali Alatas dan Menlu Portugal Jaime Gama, bersama Sekjen
PBB Kofi Annan menandatangani kesepakatan pelaksanaan penentuan
pendapat rakyat Timor Timur di Markas PBB New York. Dua hari
kemudian, Sidang Umum PBB menerima dengan bulat hasil kesepakatan
itu.
 17 Mei 1999
Presiden Habibie mengeluarkan Kepres No.43/1999 tentang Tim
Pengamanan Persetujuan RI-Portugal tentang Timor Timur, kemudian
dikuatkan dengan Inpres No.5/1999 tentang Langkah Pemantapan
Persetujuan RI-Portugal.
 16-18 Juni 1999
Perwakilan kelompok pro-otonomi dan pro-kemerdekaan Timor Timur
bertemu di Jakarta. Kedua kubu mereka sepakat menyerahkan senjata
kepada PBB atau pemerintah RI.
 30 Agustus 1999
Setelah terjadi serangkaian konflik, penentuan pendapat rakyat Timor
Timur dilaksanakan. PBB mengumumkan hasilnya: 78,5 persen menolak
otonomi, 21 persen menerima otonomi, sisanya tidak sah. Dengan demikian,
Timor Timur dipastikan bakal segera lepas dari NKRI.
 26 Oktober 1999
Presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang menggantikan
Habibie, menandatangani surat keputusan pembentukan UNTAET atau
pemerintahan transisi di Timor Timur.
 30 Oktober 1999
Bendera Merah Putih diturunkan dari Timor Timur dalam upacara yang
sangat sederhana. Media dilarang meliput acara ini, kecuali RTP Portugal.
 20 Mei 2002
Timor Timur resmi menjadi negara merdeka bernama Timor Leste.
5. Kasus pembunuhan Munir ( 2004 )

Tiga jam setelah pesawat GA-974 lepas landas dari Singapura, awak kabin
melaporkan kepada pilot Pantun Matondang bahwa seorang penumpang
bernama Munir yang duduk di kursi nomor 40 G menderita sakit. Munir bolak
balik ke toilet. Pilot meminta awak kabin untuk terus memonitor kondisi Munir.
Munir pun dipindahkan duduk di sebelah seorang penumpang yang kebetulan
berprofesi dokter yang juga berusaha menolongnya pada saat itu. Penerbangan
menuju Amsterdam menempuh waktu 12 jam. Namun dua jam sebelum
mendarat 7 September 2004, pukul 08.10 waktu Amsterdam di Bandara Schipol
Amsterdam, saat diperiksa, Munir telah meninggal dunia.

Pada tanggal 12 November 2004, dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda


(Institut Forensik Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah
otopsi. Hal ini juga dikonfirmasi oleh polisi Indonesia. Belum diketahui siapa
yang telah meracuni Munir pada saat itu.

Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Umum Kota Batu. Ia


meninggalkan seorang istri bernama Suciwati dan dua orang anak, yaitu Sultan
Alif Allende dan Diva. Sejak tahun 2005, tanggal kematian Munir, 7 September,
oleh para aktivis HAM dicanangkan sebagai Hari Pembela HAM Indonesia.

Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14


tahun hukuman penjara atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan
bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda yang sedang cuti, menaruh arsenik
dalam makanannya karena dia ingin mendiamkan pengkritik pemerintah
tersebut. Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum pembunuhan
Pollycarpus menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang
terdaftar oleh agen intelijen senior, tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut. Selain
itu Presiden SBY juga membentuk tim investigasi independen, tetapi hasil
penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik.

Pada 19 Juni 2008, Mayjen (purn) Muchdi Purwoprandjono, ditangkap


dengan dugaan kuat bahwa dia adalah otak pembunuhan Munir. Beragam bukti
kuat dan kesaksian mengarah padanya.Namun, pada 31 Desember 2008, Muchdi
divonis bebas. Vonis ini sangat kontroversial dan kasus ini ditinjau ulang, serta 3
hakim yang memvonisnya bebas kini tengah diperiksa.

Anda mungkin juga menyukai