Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

Toksoplasma Cerebri

Disusun Oleh :

CINDI T C SIMBOLON

20010008

Pembimbing :

dr. Maria TSitepu, Sp. S

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN NEUROLOGI

MURNI TEGUH MEMORIAL HOSPITAL 2021


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
karuniaNya sehingga penulis dapat menyusun makalah yang berjudul “Toksoplasma Cerebri”.
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan selama menjalani Kepaniteraan
Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Saraf di Rumah Sakit Murni Teguh Memorial Hospital, Medan.

Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada dr. Maria Sitepu,
Sp.S sebagai pebimbing yang telah banyak memberikan bimbingan selama kepaniteraan klinik di
bagian Ilmu Penyakit Saraf.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan yang harus
diperbaiki, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak yang
sifatnya membangun

Akhir kata penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang
menggunakannya.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................... 1

1.1............................................................................................................................ Latar
belakang ............................................................................................................ 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 2

2.1. Definisi.............................................................................................................. 2

2.2. Etiologi ............................................................................................................ 2

2.3.Epidemiologi...................................................................................................... 4

2.4. Patogenesis ....................................................................................................... 4

2.5. Gejala Klinis .................................................................................................... 7

2.8. Pemeriksaan Penunjang.................................................................................... 8

2.9. Tatalaksana....................................................................................................... 9

2.10. Prognosis......................................................................................................... 10

BAB 3 KESIMPULAN .................................................................................................... 11

BAB 4 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia adalah negara berkembang yang memiliki pencemaran biologi yang


cukup tinggi, seperti jamur, bakteri, cacing dan parasit.Kematian 51% diakibatkan
HIV/AIDS, TBC, Malaria, 20% diakibatkan Neglected Topical Diseases (NTD), 29%
disebabkan infeksi lainnya.1
Dampak yang dihasilkan dari penyakit infeksi oleh parasit untuk saat ini kurang
mendapat perhatian ( kecuali fase kronis). Penyakit infeksi yang masih endemis namun
tidak memperoleh respon dari masyarakat adalah toksoplasmosis.2
Pengetahuan masyarakat tentang toksoplasmosis cukup rendah, hanya 18,1%
wanita dewasa yang berpengetahuan baik tentang toksoplasmosis.3
Toksoplasmosis pertama kali di laporkan oleh Nicolle dan Manceaux di Afrika
Utara yang diisolasi pada binatang pengerat sejenis tikus ((Ctenodactylus gondii)
Toxoplasma gondii (T.gondii) merupakan parasit intrasel obligat dari family
Apicomplexa yang menyebabkan penyakit toksoplasmosis dan merupakan patogen
oportunistik pada penderita Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Toksoplasma cerebral merupakan infeksi oportunistik pada sistem saraf pusat
yang disebabkan oleh infeksi parasit intraseluler obligat Toxoplasma gondii.
Toksopasma gondii memiliki karakteristik yang unik yaitu memiliki kemampuan
untuk menginvasi dan bertahan di SSP yang meliputi otak, sumsum tulang belakang dan
retina dari manusia dan hewan pengerat.5
Keberadaan fokus infeksi yang berdekatan dengan pembuluh darah kecil
mengindikasikaan bahwa Toxoplasma gondii dapat memasuki sawar darah otak melalui
pembuluh darah.
Penyebaran parasit ini sangan berhubungan dengan respon imun, yang tidak
hanya membatasi kerusakan akibat parasit tetapi juga dapat menyebabkan kerusakan lain
terkait imunologi.6

2.2. Etiologi4
Toxoplasma gondii merupakan protozoa obligat intrasel yang termasuk dalam
subfilum Apicomplexa, kelas sporozoasidea, genus Coccidia terdiri dari 3 fase perubahan
bentuk (ookista, takisoit, kista jaringan atau bradisoit). Ciri khas dari parasit ini adalah
hidup intrasel dalam sel hospes pada vakuola sitoplasma sel yang berinti, mampu mengisi
sesuai dengan karakteristik struktur sel yang diinfeksi dengan kompleks sistoskeletal serta
organellanya.
Siklus hidup T.gondii mengalami perkembangan secara seksual dan aseksual.
Siklus seksual atau siklus enteroepithelial terjadi di dalam usus hospes primer (definitif)
yaitu golongan Felidae (kucing, harimau) dan siklus aseksual berkembang pada manusia
dan binatang mamalia lainnya (hospes sekunder) yang disebut juga siklus ekstra
intestinal.

2
Bentuk sporosoit, kistosoit adalah bentuk infektif apabila tertelan oleh host
difinitif kemudian masuk ke epitel usus dan terjadi pembiakan aseksual dalam bentuk
merosoit. Siklus ini dapat berulang hingga 5 kali dan akhirnya sebagian merosoit
berkembang menjadi gametogoni untuk memulai siklus seksual. Makrogamet(betina)
dibuahi oleh mikrogamet (jantan) menghasilkan zigot selanjutnya menjadi ookista.
Ookista mengandung 2 sporokista yang di dalamnya terdapat 4 sporosoit relatif tahan
terhadap lingkungan luar.
Ookista bentuknya bulat (9 x 13 µm), setelah matang dikeluarkan bersama tinja
kucing setelah 20-24 hari dari mulai terjadinya infeksi, dapat berlangsung hingga 1-3
minggu. Setiap hari dapat dikeluarkan 10 juta butir ookista selama 2 minggu. Kista
menjadi matang apabila lingkungan sekitar memungkinkan, sporulasi terjadi sangat cepat
pada suhu tinggi (24oC) selama 14-21 hari, suhu 11oC selama 2-3hari dan tidak terjadi
sporulasi pada suhu < 4oC atau > 37oC. Ookista mati pada suhu 45-55oC, dikeringkan
atau bercampur formalin, amonia dan iodium. Didalam tanah lembab ookista bertahan
hidup beberapa bulan hingga satu tahun.
Perkembangan siklus aseksual terjadi pada manusia dengan tertelannya ookista
atau memakan daging mengandung kista atau pseudokista yang dimasak tidak matang.
Bentuk aseksual pada manusia atau bintang (hospes sekunder) tidak terbentuk di sel epitel
usus. Merosoit dari hasil biakan aseksual, masuk kedalam limfe dan peredaran darah
membentuk pseudokista dan kista dalam berbagai alat dalam badan manusia sebagai
bentuk akhir, apabila dalam kondisi imunokompeten. Perkembangan merosoit dari fase
aseksual adalah bentuk takisoit (trofosoit) merupakan bentuk invasif aseksual sepanjang
fase akut, bentuk takisoit yang ditemukan dalam makrofag dan sel hospes lainnya.
Mampu memperbanyak diri secara cepat dalam sitoplasma (parasitophorus vakuola)
dengan cara membelah diri tiap 6-8 jam intraseluler (in vitro), sel yang terinfeksi akan
mengalami lisis dan takisoit keluar menginfeksi sel sekitarnya, tiap sel berisikan penuh
64 hingga128 parasit.

3
2.3. Epidemiologi
Prevalensi dari infeksi ini biasanya berasal dari negara yang berpenghasilan
rendah (55%), negara berpenghasilan menengah (34%), negara berpenghasilan tinggi
(26%). Prevalensi tertinggi ada di Amerika Latin, sebagian eropa timur/ tengah, sebagian
asia tenggara dan afrika.7
Pada laki-laki dengan HIV biasanya prevalensi terifeksi 28,95 dan pada wanita
38,89% dengan kelompok usia paling umum yaitu 31-40 tahun.8

2.4. Patogenesis9
Kasus infeksi T.gondii pada manusia biasanya terjadi melalui jalur oral atau
transplasenta dan sangat jarang melalui transfusi darah maupun transplantasi organ.
Kebiasaan mengkonsumsi daging mentah atau tidak dimasak dengan baik mengandung
kista viabel, air dan sayuran yang terkontaminasi ookista merupakan alur primer
penularan melalui oral. Manusia adalah host sekunder untuk T.gondii, sedangkan kucing
adalah host definitif. Kucing terinfeksi menyebarkan penyakit ketika mengeluarkan
ookista melalui kotorannya. Ketika kista jaringan mengandung bradisoit atau ookista
tertelan manusia, kista terlepas oleh enzim pencernaan usus halus, sporozoit dilepaskan
masuk ke sel epitel usus halus dan sebagian mati oleh karena proses fagositosis dan
sebagian lagi melanjutkan perkembangannya menjadi trophozoit atau takisoit.
Sporozoit yang terlepas dapat menghindari sistem imun tubuh pertama oleh
karena memiliki mantel lamina dan matrik protein ekstraseluler yang dapat mencegah
fagositosis dan kerusakan oksidatif walaupun saat ini respon imunitas seluler terhadap
toksoplasma sangat efektif namun pada seseorang dengan imunokompremis (AIDS),
sistem ini tidak mampu bekerja secara optimal. Seiring menurunnya kadar CD4
menyebabkan kista yang awalnya bersifat laten akan mengalami perubahan fase.
Kista di jaringan otak mengandung banyak bradisoit (kista jaringan otak
dengan daya replikasi sangat rendah), akan mengalami perubahan fase menjadi
takisoit dalam kista (pseudokista) yang mempunyai aktivitas pembelahan sangat
cepat, aktif dan invasif. Perkembangan selanjutnya takisoit atau trophozoit akan
mengalami replikasi secara cepat sehingga mengisi seluruh sel glial otak. Proses takisoit
menembus masuk ke sel glial, menempel pada permukaan sel hospes kemudian

4
membentuk vakuola, pengeluaran enzim dari roptri sehingga mempermudah menembus
kedalam sel hingga sempurna dalam waktu ± 10 detik.
Selanjutnya bereplikasi sangat cepat mengisi seluruh sel glial hingga penuh menyebabkan
sel pecah dan parasit bersporulasi menginfeksi sel jaringan otak sekitarnya. Takisoit yang
baru terbentuk akan menyebar dan segera mengaktivasi sistem imunitas tubuh ditangkap
oleh makrofag dan limfosit yang merupakan sistem imun diluar sistem saraf pusat (SSP).
Sitokin yang dihasilkan oleh sel astrosit dan mikroglia seperti IL-1, IL-6, Tumor
Necrosis Factor α (TNFα) dan Tumor Growth Factor ß (TGF-ß) dan sitokin yang
dihasilkan oleh oligodendrodit seperti IL-1, dan TGF- ß, sel-sel tersebut merupakan
komponen sistem imun dalam otak (SSP) yang bekerja untuk menghancurkan dan
menghambat perkembangan parasit.
Astrosit dan mikroglia memproduksi TNFα yang memodulasi ekspresi MCH-I
dan MCH-II yang ditemukan pada beberapa jenis sel SSP. Interferon gamma (IFN-γ)
diproduksi oleh sistem imun di SSP maupun diperifer dan INF-γ inilah yang kerjanya
diduga sebagai penghubung antara SSP dan sistem imun diseluruh tubuh.

Lesi di otak menjadi lebih berat dan permanen akibat destruksi jaringan oleh karena
ploriferasi takisoit, mengakibatkan sel otak mengalami kematian atau nekrosis.
Mekanisme kematian sel glia secara morfologi terdiri dari dua mekanisme yaitu,
apoptosis dan nekrosis Kedua mekanisme sel ini pada awalnya diakibatkan oleh suatu
stres oksidatif sebagai pemicu awalnya, namun proses kematian sel selanjutnya sangat
berbeda. Takisoit menginduksi terjadinya proses infiltrasi inflamasi sel mikroglia untuk
menginduksi IFN-γ selanjutnya menghasilkan Nitrit Oksida (NO) sebagai stres oksidatif
yang merusak mikondria sel. Sitokin proinflamasi dalam otak IL-1 dan TNFα

5
merangsang Apaf-1 mengaktifkan caspase untuk terjadinya apoptosis yaitu kematian sel
tipe-1, selanjutnya terjadi kematian sel tipe-2, cytoplasmic autophagig vakuola dalam
lisosom yang merusak intraseluler yang merusak nukleus dan sitoplasma sebagai
penetrasi takisoit dalam target nukleus sehingga kematian sel tipe -3 yang dikenal
dengan nekrosis terjadi. Nekrosis ditandai dengan kariolisis dan edem sel sehingga
terjadi pembengkakan dan hilangnya plasma serta integritas membran.Keluaran radikal
bebas Nitrit Oksida (NO) dalam jumlah tinggi menimbulkan gejala serebral melalui
hambatan neurotransmisi.
Pada penelitian binatang percobaan, predileksinya selalu tampak pada substansia
grisea dari kortek serebri, lebih dalam lagi ke ganglia basalis dan daerah periventrikuler.
Keadaan AIDS menyebabkan respon perlawanan terhadap T.gondii sangat lemah, tidak
mampu membatasi perkembangan parasit. Sifat parasit yang obligat intraseluler
memperburuk keadaan, dimana parasit masuk secara intraseluler kemudian dengan
mudah menyebar keseluruh tubuh secara hematogen dan limfogen.
Parasit dapat masuk menembus sawar darah otak yang memperberat infeksi
disamping oleh reaktivasi dari kista jaringan yang memang sebelumnya berada di
jaringan otak. Pada saat takisoit menyebar dalam darah terjadi parasitemia yang
berlangsung beberapa hari. Takisoit beredar dalam sirkulasi akan difagosit oleh
makrofag. Takisoit mempunyai kemampuan menghambat fusi fagosom dan lisosom,
sehingga terhindar dari enzim lisosom yang dapat membunuhnya. Kondisi sistem imun
rendah menyebabkan takisoit tetap dapat berkembang dalam makrofag dan justru secara
aktif menginvasi sel makrofag untuk membelah diri dalam fagosom, selanjutnya
makrofag pecah mengeluarkan banyak takisoit baru dan siap menginfeksi sel host
lainnya melalui proses endodiogeni.
Seseorang dengan sistem imun baik akan terjadi perangsangan respon imun oleh
takisoit, teraktivasi sel limfosit T membentuk limfosit T sitotoksik, antibodi anti parasit
menginduksi makrofag dan sel dendritik menghasilkan IL-12, serta mempresentasikan
antigen dan mengaktifkan sitokin proinflamasi lainnya untuk mengaktifkan sel T dan
natural killer (NK) memproduksi IFN–γ mengaktifkan imunitas humoral.
Limfokin spesifik antigen ini mampu membunuh baik parasit ekstraseluler
maupun sel target yang terinfeksi oleh parasit. Keadaan ini membatasi perkembangan

6
parasit menjadi bentuk aktif (takisoit), dan untuk tetap dapat bertahan hidup parasit
membentuk kista agrofilik dalam jaringan host. Kista jaringan yang mengandung
bradisoit apabila tetap utuh tidak mengalami degenerasi maupun pecah diotak sehingga
tidak akan menimbulkan reaksi inflamasi.

2.5. Gejala Klinis10


Masa inkubasi penyakit ini berlangsung sekitar 1-2 minggu, yang selanjutnya baik
yang timbul gejala ataupun tanpa gejala akan berlanjut menjadi fase kronik. 80% kasus
primer tanpa gejala (asimptomatik), gejala klinis tergantung pada sistem imun penderita.
Gejala klinis fase akut yang timbul tidaklah khas, gejala yang paling sering adalah
limfadenopati servikal, kadang didapati sedikit peningkatan suhu tubuh, nyeri otot,
nyeri tekan, sakit kepala, urtika, kemerahan pada kulit dan hepatosplenomegali,
sehingga perlu pemeriksaan yang lebih cermat. Pada penderita yang simptomatik ini
biasanya gejalanya akan menghilang dalam waktu beberapa bulan. Reaktivasi dari
infeksi ini dapat terjadi apabila terdapat penurunan kekebalan dari penderita. Reaktivasi
dari infeksi akan menimbulkan berbagai gejala dan diperkirakan sekitar 50% dari
penderita ini akan menderita ensefalitis toksoplasma.
Gejala klinis dari ensefalitis toksoplasma dapat berupa gangguan status mental,
panas badan yang teru-menerus atau hilang timbul, sakit kepala, defisit neurologis fokal,
gelisah, hingga penurunan kesadaran, kadang kejang, gangguan penglihatan, selain itu
dapat pula didapatkan tanda iritasi selaput otak. Terjadinya defisit neurologis fokal
adalah akibat adanya lesi massa intrakranial, seperti hemiparese, afasia, parese nervus
cranialis, kejang fokal, defisit sensoris, kadang juga didapatkan adanya gerakan
involunter, seperti dystonia, chorea, athethosis dan hemibalismus.
Apabila lesi timbul pada batang otak maka akan timbul gangguan pada saraf
cranial, disorientasi, penurunn kesadaran dan bahkan sampai koma. Terkadang terdapat
pula gejala parkinsonism, distonia fokal, tremor, hemikorea, hemiballismus, diabetes
insipidius.
Lesi pada medulla spinalis memberikan gejala klinis yang menyerupai tumor pada
medulla spinalis, dapat berupa gangguan motorik atau sensoris pada satu atau beberapa

7
enggota gerak, disfungsi bladder atau bowel atau keduanya disertai timbulnya nyeri
lokal. Tanpa terapi klinis pederita akan memburuk dan timbul kejang, stupor dan koma.

2.6. Pemeriksaan Penunjang10


Pemeriksaan antibodi terhadap toksoplasma seperti Imunoglobulin (Ig)M untuk
mendeteksi adanya infeksi akut pada minggu pertama, dan titer IgM toksoplasma ini akan
menurun setelah 1 minggu pertama. Pemeriksaan IgM antibodi dengan menggunakan
ELISA bersifat lebih sensitif dan dapat menunjukkan adanya imfeksi dalam 2-3 bulan.
Untuk fase kronik dapat dilakukan pemeriksaan IgG avidity yang akan masih nampak
dalam beberapa bulan.
Pemeriksaan pungsi lumbal pada fase akut pada penderita dengan dugaan adanya
meningoensefalitis atau endefalitis toksoplasma didapatkan gambaran adanya
peningkatan tekanan intrakranial, pleiositosis mononuklear (10-50sel/mL), sedikit adanya
peningkatan kadar protein, kadar glukosa biasanya normal dan PCR toxoplasma gondii
yang positif. Akan tetapi pada fase kronik pemeriksaan pungsi lumbal tidak memberikan
diagnostik yang berarti.
Pemeriksaan radiologi yang dianjurkan adalah CT Scan dengan kontras atau MRI.
Pemeriksaan dengan MRI memberikan hasil yang lebih baik dan lebih sensitif
dibandingkan dengan pemeriksaan CT Scan.
Pada CT Scan kepala tanpa kontras didapatkan gambaran isodens atau hipodens
area di beberapa tempat dengan predileksi pada basal ganglia atau pada corticomedullary
junction disertai udema yang memberikan efek massa (vasogenic udema). Sering kali
didapatkan gambaran lesi ini bervariasi dari 1cm dan dapat sampai lebih dari 3 cm.
Gambaran MRI adanya lesi dengan gambaran dengan adanya cincin yang mutipel,
walaupun ada beberapa kasus didapatkan lesi tunggal. Pada penambahan kontras
didapatkan gambaran cincin, padat atau bentukan nodul yang jelas. Deteksi T.gondii
dengan PCR pada Cairan Serebro Spinal (CSS) mempunyai spesifitas 96-100% tetapi
sensibilitas hanya 50% teritama pada penderita yang telah mendapatkan terapi spesifik.

8
2.7. Tatalaksana9
Terapi diberikan dalam jangka eaktu minimal 6 bulan dan dibagi menjadi dua
bagian, yaitu fase akut yang di berikan selama sekitar 4 -6 minggu, yang kemudian
dilanjutkan dengan fase perawatan.
Pemberian kortikosteroid sebagai terapi tambahan untuk mengatasi udema, akan
tetapi apabila toxoplasma ini terjadi karena adanya infeksi oportunistik, maka harus
dipertimbangkan pemberian kortikosteroid ini. Terapi empiris toxoplasma dapat
diberikan pada penderita HIV dengan CD4 yag kurang dari 100/mm 3 dan didapatkan
gambaran abses otak dengan seropositif dari toxoplasma.
Terapi fase akut dapat diberikan pyrimethamine ditambah dengan sulfadiazin dan
ditambah pula dengan asam folat. Pada penderita yang mempunyai alergi terhadap sulfa,
maka preparat sulfa ini dapat digantikan dengan clindamycin, selain ini dapat pula
digantikan preparat lain sebagai alternatif, yaitu trimethoprim sulfamethoxazole,
azithromycin, clarithromycin, atovaquone, minocyclin atau doksisiklin. Kombinasi
pemberian pymethamin dengan sulfadiazin dibandingkan kombinasi pyrimethamin
dengan clindamycin memberikan hasil yag tidak berbeda.
Regimen terapi adalah sebagai beikut: terapi utama untuk toksop asmosis serebral
adalah:
 Pyrimethamine yang dimulai dengan pemberian loading dose kemudian
dilanjutkan dengan pemberian dosis rumatan standard per oral ditambah
dengan
 Sulfadiazine per oral atau klindamisin intravena atau per oral dan
ditambah pula dengan
 Asam folinic 10 mg/hari

Sedangkan CDC 2013 merekomendasikan inisial terapi berupa kombinasi


pyrimethamine plus sulfadiazine plus leucovorin. Pyrimethamine bisa penetrasi ke
parenkim otak secara efisien meskipun tidak ada inflamasi.

Kombinasi yang lain dapat digunakan adalah:

 Trimetropim/sulfamethoxazol po atau iv 4x sehari

9
 Pyrimethamine + klarithromisin
 Pyrimethamine + azitromycin
 Pyrimethamine + dapson
 Atorvaquone 4 kali perhari
 Pyrimethamine p.o 1x sehari + clindamycin p.o 4x sehari + leucovorin

Respon terhadap terapi perlu dievaluasi. Perubahan titer antibodi tidak terlalu
bermanfaat. Efek samping pengobatan, manifestasi klinis dan perbaikan radiologis yang
perlu mendapat perhatian. Efek samping pyrimethamineberupa mual, kemerahan kulit,
sepresi sumsum tulang neutropenia, anemia, trombositopenia, seringkali bisa dikurangi
dengan meningkatkan dosis leucovorin ke 10, 25 atau 50 mg 4 kali sahari.

2.8. Prognosis
Penyakit ini dapat diobati, dan sebagian besar pasien sembuh total, tetapi
berakibat fatal jika tidak diobati. Pada penderita dengan defisiensi imun, terdapat
kemungkinan terjadinya kekambuhan apabila pengobatan profilaksis dihentikan.11

BAB III

10
KESIMPULAN

Toksoplasma cerebral merupakan infeksi oportunistik pada sistem saraf pusat


yang disebabkan oleh infeksi parasit intraseluler obligat Toxoplasma gondii.
Gejala klinis fase akut yang timbul tidaklah khas, gejala yang paling sering adalah
limfadenopati servikal, kadang didapati sedikit peningkatan suhu tubuh, nyeri otot, nyeri
tekan, sakit kepala, urtika, kemerahan pada kulit dan hepatosplenomegali, sehingga perlu
pemeriksaan yang lebih cermat.
Diagnosis dari myasthenia gravis dapat ditegakan dengan wawancara,
pemeriksaan fisik neurologi dan beberapa tes penunjang seperti pemeriksaan antibodi,
PCR pada cairan serebro spinal (CSS), CT Scan atau MRI .
Terapi diberikan dalam jangka eaktu minimal 6 bulan dan dibagi menjadi dua
bagian, yaitu fase akut yang di berikan selama sekitar 4 -6 minggu, yang kemudian
dilanjutkan dengan fase perawatan. Terapi fase akut dapat diberikan pyrimethamine
ditambah dengan sulfadiazin dan ditambah pula dengan asam folat. Pada penderita yang
mempunyai alergi terhadap sulfa, maka preparat sulfa ini dapat digantikan dengan
clindamycin, selain ini dapat pula digantikan preparat lain sebagai alternatif, yaitu
trimethoprim sulfamethoxazole, azithromycin, clarithromycin, atovaquone, minocyclin
atau doksisiklin.
Prognosis Penyakit ini dapat diobati, dan sebagian besar pasien sembuh total, tetapi
berakibat fatal jika tidak diobati. Pada penderita dengan defisiensi imun, terdapat
kemungkinan terjadinya kekambuhan apabila pengobatan profilaksis dihentikan.

BAB IV

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Agustin PD. Kejadian Toksoplasma pada kehamilan Dan Pemeliharaan Kucing Di


Kecamatan Mulyonojo, Surabaya. Kesehatan Lingkungan. 2015.Vol 8(1).p 103-117

2. Yuliawati I, Nasronudin. Pathogenesis,Diagnostic And Management Of


Thoxoplasmosis.Indonesia J Trop Infact Dia.2015;5(4):100-106

3. Larasati P A, Sudarmaja I M, Swastika I K. Gambaran tingkat Pengetahuan Ibu Hamil


Tentang Toksoplasmosis Di Denpasar Utara Tahun 2017.Putu E-Jurnal Med.2019,8(3):1-
6

4. Indriyani S A I. Uji Validitas Kadar Cd4 Untuk Diagnosis Toksoplasmosis Serebri Pada
Penderita Acquired Immunodeficiency Syndrome.Neurologi FK Udayana.2011.

5. Koshy A A, Harris TH, Lodoen MB. Cerebral Toxoplasmosis [Internet]. Toxoplasma


Gondii, LTD,2020. 1043-1074 hal.

6. Schulter D, Barragan A. Advances And Challanges In Understanding Cerebral


Toxoplasmosis.2019;10(February): 1-13

7. Vidal. J.E.HIV-Related Cerebral Toxoplasmosis Revisited:Current Concepts and


Controversies Of An Old Disease.2019.

8. Basavaraju, A. Toxoplasmosis In HIV Infection: An Overview.2016.

9. Indriyani. IAS.2011. Uji Validasi Kadar CD4 Untuk Diagnosis Toksoplasmosis Serebri
Pada Penderita AIDS

10. Badrul, et. al. Continuing Neurology Education. Danar Wijaya.2014.

11 Madi Deepak,et.al. Successful Treatment Of Cerebral Toxoplasmosis With Clindamycin.


Oman Medical Journal.2012;27.411-412

12

Anda mungkin juga menyukai